Kisah Si Naga Langit Jilid 15 karya Kho Ping Hoo - “SUDAH kukatakan tadi, aku harus mencari gadis baju merah yang telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai. Dan mengingat ilmu silatnya berdasar aliran Tibet, aku akan mencari ke barat.”

“Ah, kebetulan sekali, Thian Liong. Akupun akan melakukan perjalanan ke sana. Di dekat perbatasan Sin-kiang terdapat seorang pamanku, Pangeran Kuang yang memimpin pasukan yang berjaga di perbatasan. Aku akan menemui dia untuk suatu keperluan penting sekali dan mungkin saja dia yang mempunyai banyak pengalaman akan dapat memberi petunjuk kepadamu tentang gadis baju merah yang mencuri kitab itu. Kita dapat melakukan perjalanan bersama.”
Dalam hati Thian Liong timbul perasaan rikuh. Melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang demikian cantik jelita, puteri kaisar pula? ''Akan tetapi…..” dia meragu.
“Hemm, apakah engkau tidak suka melakukan perjalanan bersama seorang puteri kerajaan bangsa Nuchen yang memusuhi bangsa Han? Katakan saja terus terang!” kata Nio-cu sambil memandang tajam.
Thian Liong menggeleng kepalanya. “Tidak, Nio-cu. Permusuhan antara kerajaan tidak berarti permusuhan perorangan. Aku tidak memusuhimu, akan tetapi... apa akan kata orang kalau aku seorang pemuda, melakukan perjalanan berdua dengan engkau, seorang gadis......?” Dia menahan mulutnya tidak mengatakan cantik jelita.
“Apa salahnya? Yang penting kita bersahabat dan tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas. Kalau ada mulut usil bicara sembarangan, biar kupukul hancur mulut itu!”
Thian Liong menghela napas. Bagaimana dia dapat mencari alasan untuk menolaknya? Dia tidak berdaya menghadapi gadis yang berhati keras namun tidak dapat dibantah karena ucapannya memang benar itu. “Baiklah kalau engkau memang menghendaki demikian. Akan tetapi kuperingatkan, melakukan perjalanan bersama aku tidak akan menyenangkan karena aku seorang yang miskin dan biasa hidup sederhana, terkadang harus melewatkan malam di tempat terbuka, di kuil-kuil kosong, di guha-guha, bahkan di bawah pohon. Mana mungkin engkau dapat melakukan perjalanan seperti itu?”
Pek Hong Nio-cu tertawa, suara tawanya mengingatkan Thian Liong kepada Ang Hwa Sian-li. Alangkah miripnya. Sama-sama begitu bebas kalau tertawa, tidak ditutup-tutupi atau malu-malu seperti gadis Han pada umumnya. Bebas membuka mulut sehingga tampak deretan gigi yang putih rapi seperti mutiara, bagian dalam mulut yang merah dan lidah yang merah muda.
“Tentu saja aku tidak sudi tidur di tempat-tempat kotor seperti itu!” katanya setelah tawanya reda. “Akan tetapi akupun tidak perlu harus sengsara seperti itu. Kau tahu, aku membawa cukup banyak emas untuk membeli segala keperluan kita di dalam perjalanan, dan pedangku ini dapat membuat semua pembesar di daerah bertekuk lutut dun melayani segala keperluanku. Maka, kalau kita melakukan perjalanan bersama, perlu apa kita harus bersusah payah seperti yang kau gambarkan tadi? Mari kita berangkat. Tak jauh dari sini, di depan sana terdapat sebuah dusun dan kita dapat membeli seekor kuda untukmu.”
Thian Liong merasa rikuh kalau selalu dibiayai gadis itu, akan tetapi dia tidak dapat membantah. Bagaimanapun juga, gadis itu adalah puteri kaisar, tentu saja kaya raya dan memiliki kekuasaan tinggi. Diapun lalu berjalan cepat di samping kuda yang ditunggangi Pek Hong Nio-cu.
Dua orang gadis itu melewati perbatasan kerajaan Sung Selatan dan memasuki daerah Kerajaan Kin utara. Keduanya berjalan kaki dan melihat langkah mereka yang tegap dan gesit, apalagi melihat pedang yang tergantung di punggung mereka, mudah diduga bahwa mereka berdua adalah gadis-gadis kang-ouw yang pandai ilmu silat.
Yang seorang berusia duapuluh tahun, bermuka bulat dan cantik, bertubuh tinggi ramping. Yang kedua lebih pendek, juga cantik dengan wajahnya yang berbentuk bulat telur, usianya sekitar sembilanbelas tahun. Keduanya memiliki wajah cantik dan bentuk tubuhnya yang menggiurkan sehingga di dalam perjalanan mereka, banyak mata pria mencuri pandang dengan kagum.
Namun jarang ada yang berani mengganggu mereka, melihat pedang yang tergantung di pungung mereka. Mereka memang bukan gadis sembarangan, melainkan dua orang murid Kun-lun-pai yang pandai ilmu silat, terutama lihai ilmu pedang mereka. Yang pertama adalah Kim Lan dan yang kedua adalah su-moinya (adik seperguruannya) Ai Yin.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena dikalahkan oleh Thian Liong, sesuai dengan sumpah yang diharuskan oleh guru mereka, Biauw In Su-thai, Kim Lan harus menjadi isteri Thian Liong dan kalau Thian Liong menolak, Kim Lan harus membunuhnya! Sakit hati karena cintanya ditolak pria, membuat Biauw In Su-thai mengambil sumpah para murid wanitanya seperti itu.
Kemudian ia menyesal ketika ditegur Kui Beng Thaisu ketua Kun-lun-pai dan ia dihukum harus bertapa di pondok pengasingan. Akan tetapi Kim Lan sudah terlanjur pergi untuk mencari dan membunuh Thian Liong yang menolak menjadi suaminya. Ai Yin yang amat mencinta sucinya (kakak seperguruannya) ikut pergi bersama Kim Lan.Demikianlah, setelah melakukan perjalanan selama hampir dua bulan Kim Lan belum juga dapat menemukan Thian Liong. Ia lalu mengajak su-moinya untuk pergi mengunjungi bibinya yang tinggal di dusun Lui-touw di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Ai Yin menurut saja kepada sucinya.
“Suci, kalau sekiranya tinggal di dusun tempat tinggal bibimu itu enak, lebih baik kita tinggal saja di sana dan tidak usah ke Kun-lun-pai, tidak perlu bersusah payah mencari Souw Thian Liong. Mencari seseorang yang tidak diketahui ke mana perginya, mana mungkin? Ke mana kita harus mencarinya? Kita hidup di dusun saja bertani, suci,” kata Ai Yin.
Mereka melepaskan lelah di bawah pohon besar di pinggir sebuah hutan. Siang itu hawa udara amat panasnya dan mereka telah melakukan perjalanan sejak pagi tadi. Kim Lan menyusut keringat dari lehernya, memandang wajah su-moinya dengan alis berkerut dan pandang mata sedih. Lalu ia menghela napas panjang.
“Aih, mana bisa begitu, su-moi? Kita berdua sudah yatim piatu dan sejak kecil kita dirawat dan dididik oleh subo Biauw In Su-thai penuh kasih sayang. Subo menganggap kita seperti anaknya sendiri ia menjadi pengganti orang tua kita. Bagaimana kita dapat menjadi murid murtad? Apa lagi kita sudah bersumpah dan sungguh memalukan seorang gagah mengingkari sumpahnya sendiri!”
Tiba-tiba tampak debu mengepul tinggi dan terdengar derap kaki banyak kuda mendatangi dari utara. Setelah dekat ternyata mereka adalah sepasukan perajurit terdiri dari duapuluh empat orang, dipimpin oleh dua orang perwira. Dari pakaian seragam mereka mudah diketahui bahwa mereka adalah pasukan Kerajaan Kin yang menguasai daerah sebelah utara Sungai Yang-ce.
Ketika dua orang perwira itu melihat dua orang gadis yang duduk di tepi hutan pinggir jalan itu, mereka segera mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukannya berhenti. Semua kuda berhenti dan tentu saja hal ini menimbulkan debu mengepul tinggi di siang hari terik itu.
“Menyebalkan!” kata Kim Lan yang pemarah dan ia bangkit berdiri sambil menutupi hidung dan mulutnya dengan sehelai saputangan. Ai Yin juga menutupi hidung dan mulut, dan bangkit berdiri pula.
Dua orang perwira dan anak buah mereka itu telah melihat bahwa dua orang gadis itu cantik dan hanya berdua saja, maka timbul keisengan mereka. Dua orang perwira itu segera saling bicara, kemudian sambil tertawa keduanya melompat turun dari atas kuda masing-masing dan melangkah dengan gagah menghampiri Kim Lan dan Ai Yin.
Dua losin perajurit itupun berlompatan dari atas kuda mereka, tertawa-tawa melihat tingkah kedua orang pimpinan mereka yang mereka anggap lucu. Sudah berbulan-bulan mereka meronda di perbatasan dan haus akan hiburan maka peristiwa ini mereka anggap sebagai hiburan yang menarik.
Kim Lan berbisik kepada sumoinya. “Su-moi, hati-hati, mereka itu agaknya mencari perkara.”
Dua orang gadis itu memandang penuh perhatian. Dua orang perwira itu berusia empatpuluh tahun lebih, yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka merah halus, sedangkan yang kedua bertubuh lebih pendek gempal dengan muka penuh brewok. Dengan langah gagah dibuat-buat kedua orang perwira itu menghampiri dua orang gadis itu.
Kini Kim Lan dan Ai Yin sudah melepaskan tangan dari muka mereka sehingga tampaklah wajah mereka yang cantik. Dua orang perwira itu memandang penuh gairah dan menyeringai lebar. Setelah mereka berhadapan, dua orang perwira itu cengar-cengir memandang kepada dua orang gadis itu dan yang tinggi besar itu bertanya kepada Kim Lan.
“Nona berdua siapakah dan mengapa berada di sini?”
Kim Lan mengerutkan alisnya dan memang pada dasarnya Kim Lan berwatak galak dan angkuh, maka ia menjawab dengan sikap galak dan suara ketus. “Kami berada di tempat umum dan tidak ada sangkut pautnya dengan kalian. Ada urusan apa engkau bertanya-tanya?”
“Ha-ha-ha!” Perwira tinggi besar itu tertawa dan menoleh kepada temannya yang brewokan. “Lihat, betapa galaknya nona ini! Wah, aku suka yang galak-galak begini, makin liar semakin menyenangkan. Ha-ha-ha! Biarlah engkau mendapat yang satunya itu, Koan-te (adik Koan)!”
“Ha-ha-ha!” Yang brewokan juga tertawa senang. “Aku lebih suka yang sikapnya halus ini!”
“Nona, jangan galak-galak. Marilah kalian ikut dengan kami, bersenang-senang daripada kesepian di sini!” Setelah berkata demikian, perwira tinggi besar menjulurkan tangannya hendak mengusap pipi Kim Lan.
Bukan main marahnya Kim Lan. “Wwuutt...... plak!” Tiba-tiba Kim Lan sudah maju menampar dengan tangannya, mengenai pipi si perwira tinggi besar sehingga orang itu terhuyung ke belakang. Agaknya perwira itu memiliki tubuh yang kuat maka tamparan itu hanya membuatnya terhuyung.
“Jahanam, engkau bosan hidup!” Kim Lan membentak dan sekali tangannya bergerak, ia sudah mencabut pedangnya. Ai Yin juga sudah mencabut pedangnya dan kedua orang gadis itu sudah siap memasang kuda-kuda dengan gagahnya!
Dua orang perwira itu marah sekali. Terutama si tinggi besar yang kena ditampar pipinya. Dia juga mencabut golok yang tergantung di pinggangnya, diikuti perwira yang brewok. “Berani kalian melawan kami! Kalian tentu mata-mata dari pemberontak di Kerajaan Sung Selatan!” kata si perwira tinggi besar.
“Kalau kami laporkan kepada Perdana Menteri Chin Kui, kalian tentu akan ditangkap dan dihukum berat!” kata pula perwira brewokan dan mereka berdua memberi isyarat kepada para anak buahnya. Dua losin perajurit itu sudah bergerak maju mengepung dengan senjata tajam di tangan.
“Hayo kalian dua orang gadis Han cepat membuang pedang kalian dan menyerah, atau kalian akan mati dengan tubuh hancur!” bentak pula perwira tinggi besar.
“Jahanam busuk, kalian semua yang akan mampus oleh pedang kami!” bentak Kim Lan dan iapun sudah menerjang maju dengan gerakan pedangnya, menyerang Perwira tinggi besar.
Ai Yin tidak tinggal diam, iapun menggunakan pedangnya menyerang perwira brewokan. Gerakan pedang dua orang gadis murid Kun-lun-pai ini hebat bukan main, cepat dan dahsyat karena mereka mainkan Tian-lui-kiam-sut (ilmu Pedang Kilat Guntur).
Dua orang perwira itu cepat menggerakkan golok mereka menangkis sambil berlompatan ke belakang, terkejut menghadapi serangan kilat yang dahsyat itu. Perajurit-perajurit lalu bergerak mengeroyok dan dua orang gadis itu menghadapi pengeroyokan duapuluh empat orang perajurit yang dipimpin dua orang perwira itu.
Dengan memainkan pedang mereka menggunakan ilmu pedang andalan mereka, yaitu Tian-lui-kiamsut, Kim Lan dan Ai Yin mengamuk bagaikan dua ekor singa betina yang haus darah. Para murid wanita Kun-lun-pai yang langsung di bawah bimbingan Biauw In Su-thai memang sudah terbiasa dengan sifat galak dan keras guru mereka itu sehingga mereka sendiri rata-rata memiliki sifat yang keras.
Berbeda dengan para murid wanita yang langsung ditangani Hui In Sian-kouw yang berwatak lembut, merekapun rata-rata berwatak lembut. Kim Lan dan Ai Yin sebagai murid-murid kesayangan Biauw In Su-thai berwatak keras walaupun Ai Yin lebih lembut dibandingkan Kim Lan yang galak.
Mereka berdua mengamuk dengan pedang mereka dan sebentar saja sudah ada empat orang perajurit terjungkal mandi darah dan pedang kedua orang gadis itu sudah mulai berlumuran darah. Akan tetapi, dua orang perwira itu kiranya bukan orang-orang lemah.
Mereka berdua merupakan lawan yang lumayan tangguhnya dan dibantu oleh banyak perajurit cukup merepotkan Kim Lan dan Ai Yin yang mulai terdesak karena hujan serangan para pengeroyoknya yang jauh lebih banyak itu.
Biarpun mereka dapat merobohkan dua orang perajurit lagi, namun Kim Lan dan Ai Yin kini merasa lelah sekali. Mereka terpaksa harus saling membelakangi agar tidak dapat diserang dari belakang dan mereka hanya dapat mempertahankan diri, memutar pedang untuk menghalau semua senjata yang datang menyerang seperti hujan itu.
Kim Lan dan Ai Yin mulai merasa lelah sekali Mereka kehabisan tenaga. Untuk melarikan diri, mereka tidak mempunyai kesempatan lagi. Pula, andaikata mereka dapat melarikan diri, pasukan itu dapat mengejar mereka dengan naik kuda. Tidak ada jalan lain, mereka harus melawan terus mempertahankan diri sampai akhir.
Akan tetapi dua orang perwira itu agaknya tidak menghendaki mereka berdua mati begitu saja. “Kepung terus, jangan bunuh mereka. Tangkap hidup-hidup!” teriak dua orang perwira itu.
Inilah yang ditakuti dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu. Membayangkan tertawan hidup-hidup oleh segerombolan orang ini, mereka berdua menjadi ngeri. Lebih baik mati daripada tertawan hidup-hidup, pikir mereka sambil mengamuk terus.
Pada saat yang amat gawat bagi kedua orang gadis itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Ji-wi Li-hiap (Dua Nona Pendekar) jangan khawatir, mari kita basmi tikus-tikus busuk ini!”
Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu beberapa orang perajurit Kin terpelanting, diterjang seorang pemuda yang gerakannya amat dahsyat. Pemuda itu berusia sekitar duapuluh enam tahun, berkulit putih, wajahnya bundar dan tampan dengan alis tebal dan sepasang mata tajam, sikapnya gagah.
Tubuhnya sedang dan tegap dan pakaiannya bersih rapi. Dia memegang sebatang pedang dengan ronce merah. Begitu dia menerjang dengan pedangnya, empat orang perajurit berpelantingan.
Para pengeroyoknya terkejut sekali, apalagi ketika pemuda itu dengan gerakan pedangnya yang amat dahsyat kini menerjang kepada dua orang perwira dan dalam beberapa jurus saja dua orang perwira itu terjungkal mandi darah dan tewas! Tentu saja para perajurit menjadi terkejut dan gentar.
Sebaliknya, Kim Lan dan Ai Yin menjadi girang dan bersemangat. Mereka berdua mengamuk dan sudah merobohkan empat orang pengeroyok lagi. Akhirnya, sisa pasukan itu ketakutan dan mereka lalu melarikan diri, berloncatan ke atas punggung kuda mereka dan membalapkan kuda meninggalkan tempat yang berbahaya itu, meninggalkan mayat-mayat dua orang perwira dan kawan-kawan mereka.
Kim Lan dan Ai Yin kini berhadapan dengan pemuda yang telah menyelamatkan mereka dari ancaman bahaya yang bagi mereka lebih mengerikan dari pada maut itu. Kim Lan merangkap kedua tangan ke depan dada memberi hormat kepada pemuda itu, diturut oleh Ai Yin.
“Terima kasih atas bantuan tai-hiap (pendekar besar) yang telah menyelamatkan kami berdua dari pengeroyokan pasukan itu.”
Pemuda itu membalas penghormatan mereka lalu dengan sikap halus dan senyum ramah dia menjawab, “Harap ji-wi lihiap (pendekar wanita berdua) tidak bersikap sungkan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling bantu menentang kejahatan. Mari kita bicara di tempat lain. Tempat ini tidak nyaman untuk bicara, pula kalau sisa pasukan tadi datang membawa bala bantuan yang besar jumlahnya, kita bisa repot.”
Setelah berkata demikian, pemuda itu dengan sikapnya yang hormat mengajak kedua orang gadis meninggalkan tempat itu dan memasuki hutan.
Kim Lan dan Ai Yin mengerti bahwa ucapan pemuda itu memang benar, maka merekapun mengikuti pemuda itu dan sebentar saja mereka bertiga yang mempergunakan ilmu berlari cepat sudah meninggalkan tempat di mana mayat-mayat para perajurit bergelimpangan itu. Mereka berhenti di bagian terbuka dalam hutan itu.
“Nah, di sini kita dapat bicara dengan lebih nyaman,” kata pemuda itu. “Perkenalkan, nona berdua, namaku Cia Song, seorang murid Siauw-lim-pai. Kalau aku tidak salah lihat, permainan pedang kalian tadi adalah dari Kun-lun-pai. Benarkah?”
“Tidak salah dugaanmu, Cia-taihiap (pendekar besar Cia)...”
“Aih, nona. Harap jangan sebut tai-hiap padaku. Kita murid-murid dua partai persilatan besar yang segolongan, jadi seperti saudara saja. Kalian seperti adik-adikku seperguruan sendiri.”
“Ah, engkau baik sekali, Cia-twako (kakak Cia)!” kata Ai Yin kagum.
“Baiklah, Cia-twako. Perkenalkan, aku bernama Kim Lan dan ini sumoiku (adik seperguruanku) bernama Ai Yin, murid-murid Kun-lun-pai.”
“Hemm, Lan-moi dan Yin-moi, senang sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian di sini. Akan tetapi, bagaimana sampai kalian berdua dikeroyok tikus-tikus tadi?” tanya Cia Song, murid Siauw-lim-pai yang pernah kita kenal.
Dia adalah murid Hui Sian Hwesio yang pernah bertemu dengan Thian Liong ketika Thian Liong berkunjung ke Siauw-lim-pai untuk menyerahkan kitab Sam-jong Cin-keng kepada Hui Sian Hwesio. Cia Song inilah yang dulu menangkap kemudian membunuh Hui-houw-ong Giam Ti yang dituduh sebagai pemerkosa Kwee Bi Hwa, puteri Kwee Bun To.
“Kami berdua sedang melakukan perjalanan dan tiba di sini ketika rombongan pasukan itu muncul dan mereka hendak ganggu kami, maka kami melawan dan dikeroyok,” kata Ai Yin. Gadis ini diam-diam kagum kepada Cia Song yang tampan dan gagah, dan yang telah menyelamatkan ia dan sucinya itu.
“Akan tetapi, kalian berdua jauh-jauh datang ke sini, ada urusan apakah, kalau aku boleh bertanya? Siapa tahu, aku dapat membantu kalian,” kata Cia Song dengan sikapnya yang lemah lembut dan ramah.
Kim Lan dan Ai Yin saling berpandangan dan mereka setuju untuk berterus terang kepada pemuda yang menarik hati dan menyenangkan itu. Siapa tahu dia dapat membantu dan menemukan orang yang mereka cari-cari.
“Cia-twako sesungguhnya aku sedang mencari seseorang dan sumoi ini ikut denganku. Susahnya, aku tidak tahu ke mana harus mencari seseorang itu,” kata Kim Lan.
“Hemm, siapakah orang yang kau cari itu, Lan-moi? Barangkali saja aku mengenalnya,” tanya Cia Song sambil lalu karena sesungguhnya dia tidak tertarik kepada orang yang dicari kedua orang gadis cantik ini.
Akan tetapi jawaban Kim Lan sungguh tak disangka-sangka dan amat mengejutkan hatinya. “Cia-twako, engkau tentu tidak mengenalnya. Dia adalah seorang pemuda yang bernama Souw Thian Liong.”
“Souw Thian Liong....?” tanya Cia Song, tertarik sekali.
“Apakah engkau mengenal dia, Cia-twako?” Tanya Ai Yin.
“Hemm, bukankah yang kalian maksudkan itu, Souw Thian Liong murid dari Tiong Lee Cin-jin?”
“Benar sekali, twako!” seru Kim Lan girang. “Apakah engkau tahu di mana dia?”
Cia Song mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tahu di mana Thian Liong berada! Di Siauw-lim-si dia sudah bergaul akrab dengan Thian Liong dan ia mendengar bahwa sebuah di antara kitab-kitab pelajaran ilmu silat, yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang merupakan kitab pusaka Kun-lun-pai, yang seharusnya oleh Thian Liong dikembalikan kepada Kun-lun-pai, telah dicuri seorang gadis berpakaian merah yang tidak diketahui siapa nama dan di mana tempat tinggalnya.
Dia tahu pula bahwa setelah pergi dari Siauw-lim-si, Thian Liong tentu akan mencari gadis pencuri kitab itu sampai dapat ditemukan untuk merampas kembali kitab pusaka Kun-lun-pai. Diam-diam tanpa diketahui Thian Liong, Cia Song membayangi pemuda itu karena timbul keinginannya untuk menguasai kitab pusaka Kun-lun-pai itu!
Dia tahu bahwa Thian Liong berada di kota Kiang-cu, tak jauh dari tempat itu dan Thian Liong dilihatnya telah menyewa sebuah kamar di rumah penginapan. Karena memang niatnya hendak mendahului Thian Liong menemukan gadis yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai.
Maka selagi Thian Liong berada di kota itu, dia sengaja keluar kota untuk menyelidiki kalau-kalau gadis berpakaian merah itu berada di sekitar daerah itu dan kebetulan dia melihat Kim Lan dan Ai Yin yang dikeroyok perajurit Kin.
“Mungkin aku dapat membantu kalian mendapatkan Souw Thian Liong. Akan tetapi aku juga ingin sekali mengetahui, mengapa kalian mencari dia?”
“Suci Kim Lan yang mencarinya, twako. Dia adalah calon suami suci!” kata Ai Yin.
Cia Song terkejut dan memandang wajah Kim Lan yang berubah kemerahan. “Ah, jadi engkau telah bertunangan dengan Souw Thian Liong, Lan-moi? Sungguh tidak kusangka! Kalau begitu, kiong-hi (selamat)!” Cia Song memberi selamat dengan menjura. “Akan tetapi, kenapa sekarang engkau mencari dia sampai ke sini? Apakah dia pergi tanpa pamit dan ada urusan yang amat penting? Katakanlah terus terang karena aku adalah kenalan baiknya dan aku pasti akan dapat menemukan untukmu.”
Dengan muka masih kemerahan, Kim Lan berkata, “Sebetulnya, dia... memang melarikan diri dan aku ngin bertemu dengan dia untuk minta keputusannya apakah dia mau menjadi suamiku atau kalau tidak....”
“Hemm, kalau tidak bagaimana?” kejar Cia Song yang menjadi semakin heran.
“Kalau tidak aku.... aku harus membunuhnya!”
Cia Song terbelalak heran. “Bagaimana pula ini?” tanyanya dengan heran. “Apa yang terjadi, Lan-moi?”
“Pendeknya, bagiku hanya ada dua pilihan. Dia mau menjadi suamiku atau kalau dia menolak, aku harus membunuhnya!” kata pula Kim Lan.
Cia Song mengerutkan alisnya, lalu dia mengangguk-angguk. “Hemm, begitukah? Jadi dia dan engkau hemm, dia telah...”
“Tidak, tidak begitu, Cia-twako!” bantah Ai Yin yang tahu apa yang diduga pemuda itu. “Tidak pernah ada hubungan apapun antara Souw Thian Liong dan suci. Akan tetapi suci harus melakukan itu untuk memenuhi sumpahnya, sumpah kami.”
“Sumpah? Aku tidak mengerti....” kata Cia Song, semakin heran.
Kim Lan menghela napas panjang lalu berkata, “Begini, Cia-twako. Karena engkau bersikap baik kepada kami, biarlah kami anggap saudara sendiri dan engkau boleh mengetahui persoalannya. Kami, murid-murid subo, sudah disumpah oleh subo bahwa kami tidak boleh menikah dengan pria kecuali kalau ada pria yang mengalahkan kami dalam pertandingan dan kalau pria itu menolak, kami harus membunuhnya. Kebetulan Souw Thian Liong mengalahkan aku dalam pertandingan, akan tetapi dia menolak untuk menjadi suamiku, bahkan lalu melarikan diri. Karena itu aku harus mencarinya dan minta kepastian darinya.”
Cia Song mengangguk-angguk, diam-diam dalam hatinya dia tertawa mendengar tentang sumpah yang aneh itu. “Hemm, begitukah? Apakah semua murid wanita Kun-lun-pai harus bersumpah seperti itu?”
“Tidak, twako,” kata Ai Yin. “Hanya subo Biauw In Su-thai yang mempunyai peraturan seperti itu dan kami sebagai murid-muridnya harus memenuhi sumpah kami.”
“Hemm, aku pernah mendengar bahwa Souw Thian Liong datang ke Kun-lun-pai untuk menyerahkan sebuah kitab pusaka. Benarkah begitu?” tanya Cia Song.
“Ah, engkau tahu juga akan hal itu, Cia-twako?” kata Kim Lan. “Memang benar, akan tetapi menurut pengakuannya, kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu telah dicuri orang.”
“Hemm, itu menurut pengakuannya, ya? Aku sudah curiga kepadanya, aku sudah menduga bahwa Souw Thian Liong sebetulnya bukan orang baik-baik. Kitab pusaka Kun-lun-pai itu tentu ingin dia kuasai sendiri dan dia berbohong mengatakan bahwa kitab itu dicuri orang agar mendapat kesempatan untuk mempelajarinya sendiri.
"Dan kalau dia memang seorang gagah, tentu dia menghormati sumpahmu, Lan-moi. Bukankah mengalahkanmu lalu meninggalkan pergi, membiarkan engkau kebingungan dengan sumpahmu. Dan sementara ini, apa kalian tahu apa yang sedang ia lakukan? Hemm, aku melihat dia berhubungan dengan seorang puteri bangsawan Nuchen.”
“Apa? maksudmu, seorang puteri bangsawan kerajaan Kin?” tanya Ai Yin penasaran.
“Ya, aku melihatnya sendiri. Dia sekarang berada di kota Kiang-cu, tak jauh dari sini dan dia telah menyewa kamar di sebuah penginapan bersama puteri bangsawan Kerajaan Kin itu.”
“Tak tahu malu!” kata Ai Yin, hatinya ikut panas mendengar betapa pemuda yang telah mengalahkan sucinya dan menolak menikah dengan Kim Lan itu kini bergaul dengan seorang wanita Kin, bahkan bersama-sama menginap di sebuah rumah penginapan.
“Cia-twako, tolonglah tunjukkan tempatnya. Aku harus menemuinya untuk memenuhi sumpahku!” kata Kim Lan dengan muka berubah kemerahan karena hatinya juga mulai merasa panas.
Cia Song memang tidak berbohong. Dia melihat betapa Thian Liong berkenalan dengan Pek Hong Nio-cu. Biarpun dia sendiri tidak mengenal Pek Hong Nio-cu, akan tetapi dari pakaiannya dan dari keterangan orang di jalan yang dia tanyai, tahulah dia bahwa Pek Hong Nio-cu adalah seorang puteri bangsawan yang selain lihai silatnya, juga memiliki kekuasaan besar sehingga ditakuti dua orang pembesar di kota Leng-ciu itu.
Diam-diam dia membayangi dan melihat Thian Liong bergaul akrab dengan Pek Hong Nio-cu. Diam-diam dia sendiri juga kagum kepada gadis cantik jelita yang lihai itu. Pula, kedatangannya di daerah yang diduduki Kerajaan Kin juga bukan semata-mata hendak membayangi Thian Liong dan kalau mungkin dapat menguasai kitab pusaka Kun-lun-pai yang katanya dicuri seorang gadis baju merah itu. Akan tetapi dia memiliki tugas pribadi yang teramat penting.
“Baiklah, aku akan mengantarkan kalian ke sana, akan tetapi kalian harus menaati petunjukku karena kalau tidak, keadaannya malah tidak menguntungkan, bahkan berbahaya sekali untuk kita semua. Ketahuilah, Souw Thian Liong seperti kalian sudah mengetahui, adalah seorang yang lihai sekali. Biarpun aku kiranya dapat dan mampu menandinginya, akan tetapi temannya itu, gadis bangsawan Kin itu, ia juga seorang yang lihai bukan main. Ia berjuluk Pek Hong Nio-cu dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.”
“Kami tidak takut!” kata Kim Lan.
“Biar kami hajar sekalian gadis kerajaan musuh itu!” kata pula Ai Yin.
“Wah, kalian ini agaknya sudah lupa berada di mana!” kata Cia Song sambil tersenyum. “Kita berada di daerah yang dikuasai Kerajaan Kin, hal ini harus kalian ingat benar. Di mana-mana terdapat pasukan Kin. Kalau kita bentrok begitu saja melawan puteri bengsawan Kin itu, kemudian ia mendatangkan pasukan yang besar jumlahnya, celakalah kita!”
Dua orang gadis itu saling pandang dan baru menyadari kesalahan mereka. “Habis, lalu apa yang harus kita lakukan, twako?” tanya Kim Lan, bingung.
“Nah, karena itu kukatakan tadi bahwa kalian harus menaati petunjukku. Kalian jangan tergesa-gesa turun tangan. Nanti kita memasuki kota Kiang-cu, kita menyewa kamar rumah penginapan, lalu aku akan menemui Thian Liong yang sudah kukenal baik. Aku akan membujuk dia agar dia mau menerimamu sebagai isterinya sehingga engkau tidak akan melanggar sumpahmu, Lan-moi. Kalau dia dapat kubujuk, maka segalanya menjadi beres. Kalau dia menolak, aku akan mencoba memancingnya keluar kota dan di tempat sunyi, tanpa ditemani Pek Hong Nio-cu, kita dapat memaksa dan menyerang dia.”
“Kita?” Kim Lan bertanya.
“Ya, aku akan membantumu, Lan-moi. Kalau tidak, bagaimana kalian akan mampu mengalahkannya?”
Diam-diam Kim Lan berterima kasih sekali kepada Cia Song dan Ai Yin menjadi semakin kagum kepadanya. Mereka bertiga lalu meninggalkan hutan itu dan menuju kota Kiang-cu yang jaraknya hanya belasan lie (mil) dari situ.
“Souw-sute (adik seperguruan Souw)…..!”
Mendengar seruan itu, Thian Liong yang bersama Pek Hong Nio-cu berjalan keluar dari rumah penginapan itu terkejut dan menengok. “Eh, suheng (kakak seperguruan) Cia Song....!” Dia berseru heran sekali ketika mengenal Cia Song. Sejak dia diberi pelajaran ilmu silat dari kitab Sam-jong Cin-keng oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, Thian Liong diakui sebagai murid Siauw-lim-pai dan karena itu Cia Song menyebutnya sute (adik seperguruan) dan dia menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada Cia Song.
Cia Song melangkah cepat menghampiri Thian Liong yang berdiri di samping Pek Hong Nio-cu. Gadis inipun memandang dengan sinar mata penuh selidik kepada pemuda tampan gagah yang menegur Thian Liong sebagai sutenya.
“Aih, Souw-sute, senang sekali kejutan ini bagiku, bertemu denganmu di tempat ini!” kata Cia Song, kemudian seolah baru melihat Pek Hong Nio-cu yang berdiri di samping Thian Liong, dia menyambung ragu, “dan...... maaf, kalau boleh aku mengetahui, siapakah nona yang terhormat ini?”
Melihat di ruangan depan rumah penginapan itu terdapat tamu-tamu yang mulai memperhatikan mereka, Thian Liong segera berkata, “Suheng, marilah kita bicara di dalam. Marilah Nio-cu.” Ajaknya kepada Pek Hong Nio-cu. Mereka bertiga lalu memasuki rumah penginapan dan tak lama kemudian mereka bertiga memasuki kamar Thian Liong dan duduk berhadapan terhalang meja.
“Cia-suheng, lebih dulu perkenalkan. Ini adalah Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita yang terkenal di daerah ini. Nio-cu, ini adalah suheng Cia Song, murid suhu Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai.”
Dengan sikap lembut dan hormat Cia Song bangkit berdiri dan memberi hormat kepada gadis itu yang dibalas oleh Pek Hong Nio-cu dengan sikap anggun dan angkuh. Melihat sikap wanita itu, makin yakinlah hati Cia Song bahwa Pek Hong Nio-cu tentulah puteri seorang pembesar tinggi kedudukannya.
“Souw-sute, tidak kusangka akan dapat bertemu denganmu di sini. Engkau... eh, kalau boleh aku bertanya, engkau dan nona Pek Hong Nio-cu hendak pergi ke manakah?”
“Saudara Cia Song tidak usah sungkan, sebut saja aku Nio-cu,” kata gadis itu dengan sikap wajar.
Kembali Cia Song mendapat kenyataan betapa dalam ucapannya itu gadis ini memiliki wibawa dan keanggunan yang amat kuat. “Ah, terima kasih, Nio-cu,” katanya.
“Cia-suheng, tentu engkau masih ingat bahwa kitab pusaka milik Kun-lun-pai dicuri orang…”
“Ah, pencuri wanita baju merah yang tidak kau kenal siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya itu?” sambung Cia Song.
“Benar, suheng. Aku hanya ingat bahwa gerakan silatnya memiliki dasar ilmu silat Tibet. Karena itu, aku hendak mencari ke daerah barat dan kebetulan Pek Hong Nio-cu ini juga hendak melakukan perjalanan ke perbatasan Sin-kiang, maka kami melakukan perjalanan bersama. Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah suheng?”
“Ah, aku.... aku hanya hendak melihat-lihat keadaan di utara ini saja. Akan tetapi tiba-tiba aku mendapatkan suatu urusan yang teramat penting, yang menyangkut pribadimu. Aku... hem, agaknya urusan ini hanya dapat kau dengarkan sendiri saja, sute....”
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Pek Hong Nio-cu bangkit berdiri dan berkata kepada Thian Liong, “Thian Liong, engkau bicarakanlah urusan pribadimu dengan saudara Cia Song. Aku hendak keluar sebentar. Nanti kita bertemu lagi!”
“Maafkan aku, Nio-cu,” kata Cia Song.
“Ah, tidak mengapa!” kata Pek Hong Nio-cu dan gadis ini segera melangkah keluar dari kamar itu.
Thian Liong mengerutkan alisnya, merasa tidak enak karena dia maklum bagaimana perasaan Pek Hong Nio-cu mendengar kata-kata Cia Song yang jelas hendak membicarakan sesuatu yang dirahasiakan bagi orang lain itu.
“Cia-suheng, sebetulnya ada apakah maka engkau bicara seperti ada rahasia besar?” tanya Thian Liong. “Tentu saja Nio-cu menjadi tidak enak dan pergi meninggalkan kita.”
“Maafkan aku, Souw-sute. Akan tetapi aku tidak mengada-ada. Memang ada hal yang harus kuberitahukan kepadamu seorang diri saja dan amat tidak enak kalau sampai terdengar orang lain, apa lagi oleh seorang gadis seperti Nio-cu tadi.”
“Akan tetapi ada urusan apakah, suheng? Aku tidak merasa mempunyai urusan pribadi yang harus disembunyikan dari orang lain!” kata Thian Liong penasaran.
“Hemm, Souw-te, ingatkah engkau akan nama Kim Lan dan Ai Yin?”
“Kim Lan dan Ai Yin?” Thian Liong mengingat-ingat. Tentu saja mudah baginya mengingat dua nama gadis itu yang membuatnya penasaran setengah mati. Kim Lan dan Ai Yin pernah mengeroyoknya, bahkan dibantu guru mereka, Biauw In Su-thai, dan hendak memaksanya untuk menikah dengan Kim Lan! Sumpah aneh dan gila itu! “Maksudmu... dua orang murid wanita dari Biauw In Su-thai, tokoh Kun-lun-pai itu?”
“Hemm, ternyata engkau masih ingat dengan baik. Ya, mereka itu mencarimu dan ingin memaksamu menikah dengan Kim Lan dan kalau engkau tidak mau menjadi suaminya, mereka berdua hendak membunuhmu!”
“Hemm, sumpah gila itu? Aku sudah tahu, suheng, dan aku tidak perduli. Salah mereka sendiri kenapa mereka mau membuat sumpah gila itu? Aku tidak ingin menjadi suaminya Kim Lan atau suami siapapun juga. Biarkan saja mereka mengancam akan membunuhku. Bagaimanapun mereka berada jauh di Kun-lun-pai!”
Cia Song tersenyum. “Siapa bilang mereka berada jauh di Kun-lun-pai? Mereka berada dekat sekali, sute. Mereka berada di sini, di kota ini!”
Thian Liong terkejut. Berita ini benar-benar mengejutkan, tidak pernah disangkanya. “Di sini? Di mana mereka? Biar kutemui mereka dan akan kujelaskan, kusadarkan mereka bahwa sumpah mereka itu benar gila dan tidak ada artinya!”
“Sssttt, tenanglah, Souw-sute. Aku telah bertemu secara kebetulan dengan mereka. Mereka dikeroyok segerombolan penjahat dan aku kebetulan lewat dan membantu mereka. Mereka lalu menceritakan semuanya tentang urusan Kim Lan denganmu dan Kim Lan sudah mengambil keputusan nekad, yaitu mengajak engkau menikah dan kalau engkau tidak mau, ia dan Ai Yin akan mengeroyokmu dan membunuhmu!”
“Aku tidak takut, Cia-suheng. Engkau bantulah aku menyadarkan mereka dari sumpah gila itu. Kalau mereka hendak mengeroyokku, aku dapat mengatasi mereka.”
“Hemm, mudah saja kau bicara. Dan apa yang dapat kau lakukan kalau mereka membunuh diri?”
Thian Ltong terbelalak, “Membunuh diri……?”
“Nah, ini agaknya yang kau tidak ketahui, Souw-sute. Kim Lan mengatakan kepadaku bahwa kalau engkau menolak. Ia dan Ai Yin akan mengeroyokmu. Kalau mereka kalah, mereka akan membunuh diri di depanmu, karena kalau tidak, mereka juga akan dibunuh oleh guru mereka.”
“Gila betul…..!!”
“Gila atau tidak, apa yang dapat kaulakukan kalau mereka membunuh diri? Berarti mereka mati karena engkau, sute. Sama saja dengan engkau yang membunuh mereka.”
“Wah-wah, cialat (celaka) kalau begitu!” Thian Liong bingung. “Lalu apa yang harus kulakukan, suheng?”
“Apa lagi? Ya harus menjadi suami Kim Lan, itu jalan yang paling aman.”
“Aih, mana bisa begitu, Cia-suheng. Kalau setiap ada gadis mengancam bunuh diri kalau tidak dinikahi, bisa repot! Tolonglah, suheng, berikan aku nasihat, bagaimana sebaiknya yang harus kulakukan. Apakah tidak baik kalau kutemui mereka dan kubujuk dan nasihati agar mereka tidak usah memenuhi sumpah mereka yang gila-gilaan itu?” tanya Thian Liong yang benar-benar merasa bingung sekali.
Cia Song meraba-raba dagunya dan berpikir-pikir. “Kukira itu tidak baik, sute. Engkaulah orang yang mereka cari. Kalau engkau yang menemui mereka dan menasihati, jelas mereka menganggap engkau terang-terangan menolak dan hal itu akan membuat mereka menjadi sakit hati dan lebih marah lagi. Soal membujuk dan menasihati mereka, kurasa aku akan lebih berhasil. Pertama, bukan aku orang yang mereka kejar, kedua kalinya, bagaimanapun juga mereka berhutang budi padaku.”
“Dan aku? Bagaimana dengan aku? Apa yang harus kulakukan?”
“Hemm, tidak ada jalan lain, sute. Sebaiknya engkau cepat pergi meninggalkan kota ini. Jangan sampai mereka mengetahui bahwa engkau berada di sini. Jangan sampai mereka melihatmu! Lebih cepat engkau lari lebih baik, lebih jauh dari mereka lebih baik!”
“Begitukah, suheng? Hemm, agaknya memang sebaiknya begitu. Terima kasih, Cia-suheng, engkau telah menolongku!” kata Thian Liong dengan girang.
“Sudahlah, Souw-sute. Sekarang aku mau cepat menghampiri mereka dan akan kujaga agar mereka jangan meninggalkan rumah penginapan sehingga tidak akan bertemu denganmu. Akan tetapi, sore ini juga engkau harus meninggalkan kota ini.”
“Baik, akan kuusahakan, suheng. Terima kasih!”
Cia Song segera meninggalkan rumah penginapan itu dan bergegas dia pergi ke rumah penginapan di mana dia dan kedua orang murid wanita Kun-lun-pai menyewa dua buah kamar, untuk dia dan untuk mereka berdua. Rumah penginapan itu berada di sudut kota Kiang-cu, jauh dari rumah penginapan di mana Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu bermalam.
Tak lama setelah Cia Song pergi, muncullah Pek Hong Nio-cu. Ternyata gadis itu tidak pergi jauh, hanya duduk di rumah makan yang berada di depan rumah penginapan itu. Setelah ia melihat Cia Song pergi, cepat ia menemui Thian Liong.
“Thian Liong, biarpun Cia Song itu suhengmu, akan tetapi terus terang saja aku tidak suka padanya,” kata Pek Hong Nio-cu sejujurnya.
“Eh, Nio-cu. Kenapa begitu? Dia memang bukan suhengku secara langsung, hanya karena kebetulan Hui Sian Hwesio melatih sebuah ilmu kepadaku, maka aku lalu dianggap sebagai sutenya. Akan tetapi, dia orang baik, Nio-cu, bahkan baru saja dia telah menolong aku keluar dari keadaan yang amat menyulitkan diriku.”
“Hemm, kalau engkau juga hendak merahasiakan urusan besar dan penting pribadimu itu, tidak perlu kau bicarakan denganku!” kata Pek Hong Nio-cu ketus. “Pendeknya aku tidak suka padanya, mungkin kata-katanya yang terlalu manis, sikapnya yang terlalu manis, sikapnya yang terlalu sopan, dan pandang matanya yang terkadang aneh. Aku tidak percaya orang itu, Thian Liong.”
“Maafkan dia kalau tadi dia merahasiakan urusan itu, Nio-cu. Akan tetapi aku tidak perlu merahasiakannya kepadamu karena urusan itu aneh dan lucu dan juga terpaksa aku harus mengajak engkau untuk meninggalkan kota ini sekarang juga.”
“Hemm, kenapa begitu?” Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya.
“Nio-cu, mari kita bicara di dalam agar jangan terdengar orang lain.” Thian Liong mengajak dan Pek Hong Nio-cu tanpa rikuh-rikuh lagi lalu mengikuti Thian Liong masuk kamar pemuda itu dan membiarkan daun pintu kamar terbuka sehingga mereka akan dapat melihat kalau ada orang mendekati kamar itu.
Setelah mereka duduk, Thian Liong lalu menceritakan tentang sumpah Kim Lan pada subonya dan betapa sekarang Kim Lan, dibantu su-moinya yang bernama Ai Yin, mencarinya sampai ke kota Kiang-cu itu dan hendak memaksa dia mengawininya, kalau dia menolak, mereka akan mengeroyok dan membunuhnya!
“Hemm, dan engkau tidak mau menjadi suami Kim Lan itu?” tanya Nio-cu.
“Tentu saja aku tidak mau. Aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikatkan diriku dengan sebuah perjodohan. Kalau aku mau tentu aku tidak akan melarikan diri dari mereka.”
“Dan engkau takut menghadapi pengeroyokan dua orang gadis itu? Apakah mereka lihai sekali?”
“Tidak, aku tidak takut. Kurasa aku dapat mengatasi mereka, Nio-cu,” kata Thian Liong sejujurnya.
“Hemm, kalau begitu mengapa engkau harus cepat-cepat melarikan diri? Kalau mereka menyerangmu, lawan saja dan hajar perempuan-perempuan tidak tahu malu itu!”
“Ah, engkau tidak tahu, Nio-cu. Masalahnya tidak sesederhana itu. Tadi suheng Cia Song memberi tahu bahwa Kim Lan sudah mengatakan kepadanya bahwa kalau ia dan sumoinya tidak dapat membunuhku, mereka akan membunuh diri di depanku.”
“Perempuan-perempuan gila!” desis Pek Hong Nio-cu.
“Mereka itu terpaksa, Nio-cu. Mereka sudah bersumpah kepada guru mereka dan andaikata mereka tidak membunuh diri, merekapun akan dibunuh guru mereka sendiri.”
“Huh, orang-orang gila! Mengapa engkau perduli amat? Kalau mereka mau bunuh diri, biarkan saja, bukan urusanmu!”
“Ah, bagaimana aku dapat membiarkan hal itu terjadi, Nio-cu? Kalau mereka membunuh diri karena tidak dapat mengalahkan aku, berarti mereka mati karena aku. Sama saja dengan aku yang membunuh mereka.”
“Huh, habis apakah selama hidupmu engkau akan terus berlari-larian menjadi buruan mereka? Gila!”
“Tidak, Nio-cu. Suheng Cia Song sudah berjanji bahwa dia akan membujuk mereka untuk tidak melanjutkan pelaksanaan sumpah mereka itu.”
“Perempuan dari manakah mereka itu? Begitu tidak tahu malu!”
“Mereka bukan perempuan sembarangan, Nio-cu. Mereka adalah murid-murid Kun-lun-pai dan subo merekalah yang gila, menyuruh mereka bersumpah seperti itu.”
“Tidak perduli mereka itu murid partai mana, kelakuan mereka itu memalukan! Jadi engkau tetap akan melarikan diri meninggalkan kota ini sekarang?”
“Benar, Nio-cu. Terpaksa, maafkan aku.”
“Tidak, aku tidak mau pergi sekarang!” kata wanita itu dengan suara tegas.
“Nio-cu, sekali ini harap engkau suka mengalah,” pinta Thian Liong.
“Tidak, aku baru mau berangkat besok pagi-pagi. Kalau engkau takut bertemu mereka, malam ini tinggal saja di kamar, jangan keluar-keluar. Aku ingin sekali melihat orang-orang macam apa sih murid-murid Kun-lun-pai itu!”
“Aih, Nio-cu, harap jangan membuat gara-gara dengan mereka. Urusanku dengan mereka sudah cukup membuat aku pusing.”
“Siapa mau cari gara-gara dengan mereka? Aku hanya ingin melihat macam apa mereka itu dan aku hanya mau pergi besok pagi-pagi. Terserah kalau engkau mau pergi sekarang!” Setelah berkata demikian, dengan sikap marah Pek Hong Nio-cu meninggalkan kamar itu.
Thian Liong menghela napas dan menutup daun pintu kamarnya, lalu merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Pikirannya pusing! Para wanita itu, selalu membikin pusing saja! Mula-mula gadis baju merah. Lalu Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Kemudian Kim Lan dan sekarang diapun pusing melihat sikap keras Pek Hong Nio-cu! Mengapa mereka semua keras kepala? Terpaksa dia mengalah kepada Pek Hong Nio-cu.
Malam ini dia tidak akan keluar kamar. Dia akan bersembunyi saja di dalam kamarnya dan besok pagi-pagi berangkat meninggalkan kota Kiang-cu itu bersama Pek Hong Nio-cu. Puteri itu telah membeli seekor kuda untuknya dan dua ekor kuda mereka berada di kandang rumah penginapan.
Terpaksa dia juga tidak keluar untuk makan malam. Akan tetapi malam itu daun pintu kamarnya diketuk pelayan yang mengantarkan makanan dan minuman untuknya. “Nio-cu yang memerintahkan untuk mengantar ini kepada sicu (tuan),” kata pelayan itu.
Thian Liong tersenyum dan kejengkelannya terhadap Pek Hong Nio-cu mereda. Puteri itu ternyata memperhatikan kebutuhan makannya juga. Akan tetapi malam itu dia tidak mau keluar kamar, khawatir kalau-kalau sampai ketahuan oleh Kim Lan dan Ai Yin.
Kembalinya Cia Song ke rumah penginapan disambut oleh dua orang gadis murid Kun-lun-pai dengan hati ingin tahu sekali. Apa lagi Kim Lan, ia segera menyongsong kedatangan Cia Song dengan pertanyaan yang dilakukan dengan hati berdebar tegang.
“Bagaimana, Cia-twako? Apakah engkau berhasil bertemu dia?”
Cia Song tersenyum dan mengangguk. “Beres! Aku sudah bertemu dengan Souw Thian Liong dan setelah aku membujuk dan berbantahan dengan dia, akhirnya dia menyatakan bersedia bertemu denganmu, Lan-moi.”
“Ah, dia mau menikah dengan suci, twako?” tanya Ai Yin girang.
“Dia tidak mengatakan begitu, akan tetapi dia bersedia mengadakan pertemuan dengan kalian untuk membicarakan hal itu baik-baik. Aku yakin akhirnya dia akan mau menerimanya juga.”
“Mana dia sekarang, Cia-twako? Kenapa tidak datang bersamamu?” tanya Kim Lan tidak sabar karena ia ingin segera mendapat keputusan akan masa depannya.
“Dia tidak dapat datang sekarang seperti kukatakan kepada kalian, dia bersama puteri bangsawan Kin itu. Akan tetapi dia bilang bahwa malam ini dia pasti datang mengunjungi kalian. Karena itu, kalian siap saja menerima kunjungannya malam ini. Setelah berkata demikian, Cia Song mengajak dua orang gadis yang sudah mandi dan berganti pakaian itu untuk makan malam.
“Mari kita makan minum untuk merayakan keberhasilanku membujuk Souw Thian Liong!” katanya dan mereka memasuki rumah makan.
Pemuda itu memesan bermacam masakan dan arak wangi. Untuk menyenangkan hati Cia Song yang mereka anggap sudah menolongnya dengan sungguh-sungguh itu, Kim Lan dan Ai Yin memaksa diri ikut merayakan keberhasilan itu. Bahkan mereka tidak dapat menolak ketika beberapa kali Cia Song mengajak mereka minum arak sehingga setelah perjamuan makan itu selesai, dua orang gadis itu merasa agak pening karena pengaruh arak yang cukup keras.
Wajah mereka menjadi kemerahan dan keadaan setengah mabok membuat mereka gembira dan mudah terkekeh senang. Dengan langkah agak tidak tetap kedua orang gadis itu lalu diajak kembali ke rumah penginapan oleh Cia Song.
“Sekarang kalian tunggu saja dalam kamar. Nanti kalau keadaan sudah agak sepi, tentu dia akan datang berkunjung. Sebaiknya pintu kamar kalian ditutup saja, jangan dipalang dari dalam sehingga kalau dia datang, aku mudah memberitahu kalian tanpa harus menggedor daun pintu. Maklum, Souw Thian Liong menghendaki agar orang lain tidak ada yang tahu akan persoalan dia dan kalian.”
Dua orang gadis itu mengangguk, kemudian mereka memasuki kamar dan menutupkan daun pintu kamar tanpa memalangnya dari dalam. Pengaruh arak membuat mereka agak pening dan mengantuk. Mereka lalu merebahkan diri di atas pembaringan tanpa mematikan lilin besar yang bernyala menerangi kamar itu, dan tanpa membuka sepatu.
Karena merasa yakin bahwa Cia Song tidak berbohong dan bahwa pemuda itu tentu menunggu kedatangan Souw Thian Liong dan akan memberitahu mereka, maka dua orang gadis itu berbaring dengan santai dan akhirnya tak kuasa menahan kantuk dan tertidur.
Cia Song memang tidak tidur. Dia duduk di dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar dua orang gadis itu. Dia menelan sebutir obat pulung berwarna merah. Obat ini adalah obat penawar minuman keras sehingga minuman beberapa cawan arak di rumah makan tadi tidak mempengaruhinya dan dia tetap sadar.
Tiba-tiba pendengarannya yang terlatih dapat menangkap suara lembut yang datangnya dari atas genteng. Dia terkejut dan menduga-duga. Benar-benarkah Thian Liong datang berkunjung? Kalau benar, gila orang itu. Bukankah dia sudah memesan agar Thian Liong segera melarikan diri meninggalkan kota Kiang-cu?
Dia tetap waspada dan segera menyelinap keluar lalu melompat ke atas genteng melalui bagian belakang. Dia akhirnya dapat melihat sesosok bayangan mendekam di atas kamar Kim Lan dan Ai Yin. Jantung Cia Song berdebar tegang. Benarkah Thian Liong datang berkunjung? Dan kalau benar dia yang datang, kenapa caranya seperti itu, mengintai dari atas dan membuka genteng seperti kelakuan seorang pencuri?
Dia hendak menegur dengan bentakan, akan tetapi ditahannya karena setelah dapat melihat lebih jelas, dia mendapatkan bahwa orang itu berpakaian serba putih dan ketika berjongkok, pinggulnya berbentuk bulat indah dan pinggangnya ramping. Seorang wanita!
Ah, dia teringat sekarang. Bayangan itu tentulah Pek Hong Nio-cu, gadis bangsawan Kin itu! Mau apa dara itu datang seperti pencuri? Karena cuaca memang gelap, dia tidak melihat betapa Pek Hong Nio-cu melemparkan sesuatu ke dalam kamar dari lubang genteng yang dibuatnya.
Cia Song bergerak mendekati. Gerakannya itu agaknya terdengar oleh Pek Hong Nio-cu. Gadis ini cepat menutupkan kembali genteng yang dibukanya dan tubuhnya berkelebat cepat menghilang dari tempat itu. Cia Song kagum melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat dari gadis itu. Akan tetapi dia tidak melakukan pengejaran. Untuk apa?
Dia mempunyai rencananya sendiri dan kemunculan orang tadi bahkan membantu rencananya. Tak lama kemudian, menjelang tengah malam setelah keadaan menjadi sunyi sekali dan dia yakin bahwa dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu tertidur dalam penantian mereka, dia menghampiri kamar itu, mendorong daun pintu terbuka, menggunakan sin-kang (tenaga sakti) dari jauh meniup padam lilin di atas meja, menutupkan daun pintu, memalangnya dari dalam, lalu berjingkat menghampiri pembaringan.
Kim Lan dan Ai Yin terbangun dan terkejut. Mereka hendak meronta, akan tetapi mereka hanya dapat menggerakkan kaki tangan dengan lemah sekali, tanpa tenaga. Jalan darah mereka telah tertotok secara lihai sekali sehingga mereka tidak mampu mengerahkan tenaga dan tubuh mereka menjadi lemas!
Mereka hendak berteriak, akan tetapi dengan kaget mendapat kenyataan bahwa leher mereka telah tertotok sehingga mereka tidak mampu mengeluarkan suara! Keadaan kamar dan sedikit cahaya yang menerobos melalui celah-celah di atas jendela, yang datangnya dari sinar lampu di luar, hanya membuat keadaan dalam kamar itu remang-remang, namun terlalu gelap untuk melihat jelas.
Kemudian, dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati kedua orang gadis Kun-lun-pai itu ketika mereka berdua melihat bayangan seorang laki-laki dalam kamar mereka. Biarpun mereka tidak dapat melihat jelas wajah dan bentuk tubuh orang itu, namun mereka dapat melihat garis bayangan seorang laki-laki. Kemudian, bayangan itu mendekati mereka. Mereka hendak melompat dan meronta, namun hanya mampu menggerakkan tangan dan kaki dengan lemah saja, tanpa tenaga.
Dan ketika laki-laki itu menyentuh mereka, dunia bagaikan kiamat bagi dua orang gadis itu! Mereka tidak dapat melawan, tidak dapat menggunakan tenaga. Mereka hanya mampu menangis tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya air mata yang bercucuran dan akhirnya mereka jatuh pingsan.
Terlalu ngeri malapetaka yang menimpa diri mereka sehingga tak tertahankan lagi. Sebelum ketidak-sadaran menyelimuti mereka, kedua orang gadis itu mendengar suara laki-laki itu berbisik sinis.
“Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong?” Suara itu disusul tawa lirih laki-laki itu dan selanjutnya mereka tidak mendengar apa-apa lagi karena keduanya jatuh pingsan.
Kalau keadaan sudah terbalik, yaitu kalau manusia yang sesungguhnya menjadi majikan dari nafsu-nafsunya sendiri yang menjadi hamba atau pelayannya itu malah menjadi hamba dari nafsu-nafsunya maka segala macam perbuatan keji dan terkutuk dapat saja dilakukan manusia itu!
Manusia terlahir di dunia memang sudah disertai nafsu-nafsunya sebagai pelayan, sebagai penggerak hidupnya, pendorong semangat dan memberi kemungkinan manusia menikmati kehidupannya di dunia.
Kita tidak mungkin dapat hidup wajar tanpa disertai nafsu-nafsu kita, alat-alat hidup atau hamba-hamba kita yang amat penting ini. Akan tetapi, kita sama sekali tidak boleh lengah. Iblis mengetahui bahwa kita tidak dapat hidup tanpa nafsu, karena itu iblis mempergunakan nafsu-nafsu ini untuk menyeret kita ke dalam lembah dosa.
Dengan umpan kesenangan-kesenangan duniawi, yang serba enak dan nikmat, maka nafsu-nafsu manusia berkobar dan dari keadaan sebagai hamba, nafsu berbalik menjadi majikan.
Manusia menjadi hamba, hidupnya sepenuhnya bergantung kepada ulah nafsu sehingga untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan seperti yang dipamerkan dan dibisikkan iblis melalui nafsu akal pikiran, manusia tidak segan-segan melakukan apa saja. Rusaklah semua pertimbangan, patahlah semua ukuran manusiawi, dan manusia tiada ubahnya sebagai binatang yang hanya bergerak dalam hidup sebagai abdi nafsu-nafsunya sendiri.
Seperti juga nafsu lain, nafsu berahi merupakan nafsu alami yang murni, bahkan suci karena nafsu berahi selain menjadi puncak pernyataan rasa kasih sayang yang paling dalam, juga menjadi sarana perkembang-biakan segala mahluk hidup termasuk manusia. Tidak ada yang buruk atau kotor dalam nafsu ini.
Akan tetapi ia akan menjadi buruk, kotor, busuk dan keji apabila ia telah menjadi alat iblis untuk menguasai manusia. Yang tadinya bersih murni seperti malaikat berubah menjadi kotor dan jahat seperti iblis! Kalau manusia yang diperhamba nafsu berahi, iblis menang dan si manusia melakukan segala hal yang amat keji seperti perjinahan, pelacuran, bahkan perkosaan!
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, begitu mereka dapat mempergunakan tenaga, kedua orang gadis murid Kun-lun-pai itu berloncatan turun dari pembaringan. Air mata mereka sudah terkuras habis sepanjang malam setelah mereka siuman dari pingsan.
Tangis tanpa suara, bercucuran seperti hujan. Setelah dapat menggunakan tenaga dan dapat bersuara lagi, keduanya sambil terisak cepat membereskan pakaian mereka, kemudian sambil menahan jerit mereka saling berangkulan. Saling bertangisan dan menangisi nasib diri sendiri yang terkutuk!
“Jahanam Souw Thian Liong…!” Ai Yin menangis tersedu-sedu namun menjaga agar supaya tangisnya jangan sampai terdengar orang.
“Lebih baik aku mati saja...!” Kim Lan tiba-tiba melompat ke dekat meja, mencabut pedangnya yang terletak di atas meja dan berniat menghabisi nyawanya sendiri.
Akan tetapi Ai Yin melompat dan merangkulnya, memegangi lengan yang memegang pedang. “Tunggu suci. Kenapa engkau begitu bodoh? Kita harus membalas dendam ini! Kita harus membunuh iblis itu, baru boleh membunuh diri. Mari kita selidiki!”
Kim Lan teringat dan ia meletakkan pedangnya di atas meja. Wajahnya pucat sekali dan ia mengepal tinju. “Engkau benar, su-moi. Aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum membunuh iblis busuk Souw Thian Liong!”
Ai Yin sudah berdiri dekat jendela. “Lihat, suci. Jendela ini dipaksa terbuka dari luar, kaitannya putus. Jahanam itu tentu masuk dan keluar dari jendela.” Ia membuka daun jendela sehingga cahaya lampu kini menyinar ke dalam.
“Lihat, ini ada surat!” kata Kim Lan.
Ai Yin menghampiri. Kini setelah kamar agak terang oleh sinar lampu dari luar jendela, mereka melihat sehelai kertas bersurat di atas meja, tertancap sebilah pisau runcing. Keduanya lalu membaca kertas itu.
“Murid-murid perempuan Kun-lun-pai tak tahu malu! Memaksa seorang menjadi suaminya. Begitukah pelajaran yang kalian dapatkan dari Kun-lun-pai?”
Demikian bunyi surat itu, tanpa tanda tangan. Kim Lan hendak meremas surat itu, akan tetapi Ai Yin berkata, “Jangan merusak surat itu, suci. Itu dapat kita jadikan bukti dan kita perlihatkan kepada para suhu dan subo di Kun-lun-pai...!”