Kisah Si Naga Langit Jilid 16

Sonny Ogawa

Kisah Si Naga Langit Jilid 16 karya Kho Ping Hoo - KIM LAN lalu melipat dan menyimpan surat itu. “Sekarang mari kita cari Cia-twako! Barangkali dia menge¬tahui sesuatu tentang jahanam itu!” kata Kim Lan.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

“Benar juga,” kata Ai Yin. “Kenapa Cia-twako tidak memberi tahu kita tentang kedatangan jahanam itu?”

“Mungkin dia tidak tahu. Bukankah jahanam itu datang masuk dan keluar melalui jendela? Mari kita tanya Cia-twako!” Dua orang gadis itu setelah membereskan pakaian mereka lalu bergegas keluar dan mengetuk daun pintu kamar Cia Song.

Karena dua orang gadis itu mengetuk pintu dengan gencar, Cia Song terkejut dan ketika dia membuka pintu, dua orang gadis itu melihat wajah yang pucat dan rambut pemuda itupun kusut.

“Eh, Lan-moi dan Yin-moi, ada apakah...?” tanyanya dengan kaget.

“Cia-twako, apakah engkau melihat dia?” tanya Kim Lan yang matanya masih merah dan bengkak, seperti juga mata Ai Yin karena keduanya terlalu banyak menangis.

“Ah, maksudmu Souw Thian Liong? Hemm, keparat itu tidak memegang janji. Dia tidak jadi datang, bukan? Semalam aku sempat melihat dia.”

“Di mana? Di mana engkau melihat dia, twako?” tanya Ai Yin.

“Semalam aku mendengar suara di atas genteng. Aku naik ke atas dan melihat sesosok bayangan di atas genteng, tepat di atas kamar kalian. Akan tetapi begitu melihatku, dia menutup kembali genteng lalu pergi menghilang dalam gelap. Dia tidak jadi berkunjung kepada kalian, bukan?”

Dua orang gadis itu saling pandang dan keduanya merasa yakin bahwa yang dilihat Cia Song itu pastilah Souw Thian Liong yang kemudian berhasil memasuki kamar mereka, menotok mereka sehingga mereka tidak berdaya lalu melakukan kekejian terkutuk terhadap mereka.

“Eh, kenapa kalian.... heran, kalian begini pucat dan.... mata kalian itu. Kalian habis menangis? Apakah yang telah terjadi, Lan-moi dan Yin-moi?” Melihat dua orang gadis itu tampak kebingungan dan seperti hendak menangis lagi, Cia Song berkata, “Mari, kita masuk saja dan bicara di dalam.”

Dua orang gadis yang juga khawatir kalau ada orang lain melihat keadaan mereka itu¬pun tidak membantah dan memasuki ka¬mar Cia Song. Mereka duduk di sekeliling meja dan kembali Cia Song bertanya.

“Sebetulnya, apakah yang telah terja¬di? Kalian tampak begitu pucat, bingung dan menangis. Ada apakah?”

Dua orang gadis itu kini tidak dapat menahan lagi tangis mereka. Mereka menangis sesenggukan dan menahan agar tidak bersuara. Kim Lan mengeluarkan lipatan kertas dan menyerahkannya kepada Cia Song tanpa berkata-kata.

Cia Song membaca tulisan di surat itu dan alisnya berkerut. “Jahanam busuk! Berani dia menghina kalian dengan mengirimkan surat ini kepada kalian?” kata Cia Song dengan nada suara marah sekali.

“Bukan hanya itu, twako,” Ai Yin berkata sambil menangis. “Lebih celaka lagi......”

“Apa maksudmu, Yin-moi? Apa yang terjadi?” tanya Cia Song.

“Dia.... dia memasuki kamar kami dari jendela….. dan..... dan dia telah memperkosa kami.......”

Cia Song melompat bangun. “Apa?? Dan kalian tidak melawan?”

“Bagaimana kami dapat melawan? Dia telah lebih dulu menotok kami sehingga kami tidak mampu melawan, tidak mam¬pu berteriak……” kata Kim Lan.

“Dan surat ini?” tanya Cia Song.

“Dia tinggalkan surat di atas meja, ditusuk dengan pisau ini,” kata Kim Lan, mengeluarkan pisau runcing yang disimpannya. Cia Song mengamati pisau itu.

“Hemm, kalian melihat dia?”

“Lilin dipadamkan, keadaan dalam kamar gelap, hanya remang-remang kami melihatnya.” kata Ai Yin.

“Begaimana kalian dapat yakin bahwa dia adalah Souw Thian Liong?” desak Cia Song.

“Kami yakin dia itu jahanam Souw Thian Liong. Dia bahkan mengaku sendiri,” kata Kim Lan gemas.

“Mengaku? Bagaimana dia mengaku?” kejar Cia Song.

“Dia berbisik. Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong?‟ begitulah bisiknya lalu dia tertawa. Iblis jahanam terkutuk itu. Aku harus membunuhnya!” kata pula Kim Lan penuh dendam.

“Keparat busuk! Betapa keji dan jahatnya dia! Ah, kalau saja aku tahu dia begitu jahat! Lalu, apa yang akan kalian lakukan sekarang?” tanya Cia Song.

“Kami akan laporkan penghinaan ini kepada suhu dan subo di Kun-lun-pai. Penghinaan ini bukan hanya urusan pribadi, melainkan sudah menghina pula Kun-lun-pai!” kata Ai Yin.

“Benar sekali itu! Aku juga akan melaporkan kejahatan Souw Thian Liong ini kepada suhu di Siauw-lim-pai. Bagaimanapun dia sudah diakui sebagai murid Siauw-lim-pai, maka berarti dia telah mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai. Jangan khawatir, kelak aku yang akan menjadi saksi tentang kejahatannya itu, Lan-moi dan Yin-moi!” kata Cia Song penuh semangat.

“Terima kasih, Cia-twako. Dengan bukti surat ini, kesaksian kami berdua dibantu kesaksianmu, semua orang tentu percaya. Jahanam busuk itu harus membayar kejahatannya!” kata Kim Lan.

“Kelau begitu, sekarang kita saling berpisah, Lan-moi dan Yin-moi. Aku akan pergi melaporkan kejahatan Souw Thian Liong ke Siauw-lim-pai, sedangkan kalian kembali ke Kun-lun-pai untuk melaporkan kepada para guru kalian,” kata Cia Song.

Dua orang gadis itu menerima baik usul ini dan pada pagi hari itu juga, mereka saling berpisah. Kim Lan dan Ai Yin melakukan perjalanan ke Kun-lun-pai. Mereka menanggung derita batin yang hebat, dan gairah hldup mereka ha¬nya terdorong oleh keinginan membalas dendam kepada Souw Thian Liong.

Cia Song memasuki kota Ceng-goan yang merupakan kota besar kedua setelah kota raja Peking di sebelah utaranya. Tanpa ragu-ragu dia memasuki halaman sebuah gedung besar yang berada di ujung barat kota. Dua orang perajurit Kin keluar dari gardu penjagaan dan menghadangnya. Cia Song tersenyum, mengeluarkan sebuah kartu merah dari saku bajunya dan memperlihatkan kepada mereka.

Dua orang perajurit itu memberi hormat dan mempersilakan Cia Song masuk ke ruangan depan gedung besar itu. Seorang perajurit lain menyambutnya dan setelah melihat kartu merah yang diperlihatkan Cia Song, perajurit itu lalu mengantarkan Cia Song memasuki sebuah ruangan tamu di sebelah kanan depan gedung itu.

Kemudian perajurit itu melaporkan ke dalam. Cia Song memasuki ruangan tamu yang luas dan mewah sekali. Dia memandang kagum kepada hiasan dinding berupa lukisan-lukisan dan tulisan bersajak. Tak lama kemudian dua orang muncul dari pintu sebelah dalam.

Cia Song cepat memutar tubuh dan setelah berhadapan dengan mereka, dia cepat memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam dan merangkap kedua ta¬ngan di depan dada kepada seorang di antara mereka yang mengenakan pakaian sebagai seorang bangsawan tinggi bangsa Kin.

“Hamba mohon beribu ampun kalau berani datang menghadap tanpa paduka panggil sehingga mengganggu waktu paduka yang amat berharga, Pangeran.”

Laki-laki berpakaian bangsawan tinggi itu bertubuh tinggi kurus dan pakaiannya mewah, usianya sekitar limapuluh tahun, wajahnya tampan namun tampak licik dan cerdik pada pandang mata dan senyumnya yang khas. Jenggotnya panjang dan kumisnya dicukur pendek. Jari-jari tangannya berkuku panjang terpelihara.

Dia adalah Pangeran Hiu Kit Bong, kakak dari kaisar Kerajaan Kin yang berkedudukan tinggi karena sebagai kakak tiri kaisar yang terlahir dari ibu selir, dia diangkat menjadi Menteri Kebudayaan dan juga Penasihat kaisar.

Gedung di kota Ceng-goan merupakan rumah peristirahatannya dan sering kali Pangeran Hiu Kit Bong ini beristirahat di gedungnya itu, meninggalkan kota raja yang bising di mana dia sibuk dengan tugas-tugasnya. Adapun orang kedua yang muncul bersamanya berpakaian sebagai seorang panglima perang, usianya sekitar empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah, tampak bertubuh kuat.

“Ah, Cia-sicu (orang gagah Cia), selamat datang. Kami girang menerima kunjunganmu. Silakan duduk, sicu!” kata Pangeran Hiu Kit Bong dengan ramah. Mereka bertiga lalu duduk mengelilingi sebuah meja besar.

“Cia-sicu lebih dulu perkenalkan. Ini adalah panglima Kiat Kon seperti yang pernah kuceritakan kepadamu. Dan Kiat-ciangkun, inilah sicu Cia Song, orang kepercayaan yang menjadi utusan rahasia Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung Selatan.” Pangeran itu memperkenalkan.

Cia Song cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada panglima tinggi besar itu. “Terimalah hormat saya, ciangkun. Sudah lama saya mendengar dan mengagumi nama besar ciangkun!”

Jenderal tinggi besar itu tersenyum, senang melihat sikap Cia Song yang demikian ramah. “Ha-ha, terima kasih, Cia-sicu. Akupun sudah banyak mendengar tentang jasamu. Silakan duduk!”

Cia Song duduk kembali. Seorang pelayan masuk membawa minuman sehingga percakapan mereka terhenti. Setelah pelayan pergi, Pangeran Hiu Kit Bong bertanya kepada Cia Song.

“Cia-sicu, kabar apa yang kaubawa dari selatan? Kalau engkau datang bar¬kunjung secara tiba-tiba begini, tentu engkau membawa berita penting sekali.”

Cia Song yang menjadi murid yang disayang oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, yang dikenal sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai itu, ternyata memiliki peran ganda dalam hidupnya. Di satu pihak, umum mengenalnya sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai yang suka membela kebenaran dan keadilan, sebagai murid Hui Sian Hwesio.

Akan tetapi di lain pihak, secara rahasia dan sama sekali tidak diketahui, bahkan tidak pernah disangka oleh para golongan bersih, diam-diam Cia Song telah berguru kepada Ali Ahmed, seorang datuk bangsa Hui yang berasal dari Mongolia Dalam. Dengan ilmu-ilmu yang dlpelajarinya dari datuk bangsa Hui itu, yaitu ilmu silat dan sihir, Cia Song menjadi semakin lihai.

Akan tetapi dia amat cerdik dan tidak pernah dia menonjolkan atau memperlihatkan ilmu-ilmu asing itu. Hanya dia pandai memasukkan tenaga-tenaga yang dahsyat dari ilmu barunya ke dalam ilmu silat Siauw-lim-pai yang dikuasainya, pandai menggabung ilmu-ilmu dari Ali Ahmed dengan ilmu silatnya sendiri sehingga tidak kentara bahwa dia mempergunakan ilmu yang asing.

Dan mulailah dia dikenalkan oleh Ali Ahmed kepada Pangeran Hiu Kit Bong. Pergaulan dengan orang-orang yang menjadi hamba nafsu, orang-orang yang selalu hanya mengejar kenikmatan dan kesenangan daging dan dunia, menyeret Cia Song ke lembah hitam.

Dia sudah mengesampingkan pelajaran tentang kebajikan yang dulu dia pelajari dari Hui Sian Hwesio dan mulailah dia menjadi hamba nafsunya, sering melakukan perbuatan-perbuatan yang sesat.

Bahkan dia kemudian oleh pergaulan itu diperkenalkan kepada Perdana Menteri Chin Kui yang bersekutu dengan Kerajaan Kin, yang telah mempengaruhi Kaisar Sung agar berbaik dengan Kerajaan Kin, bahkan tidak segan-segan Kaisar Sung mengirim upeti sebagai tanda damai dengan Kerajaan penjajah itu!

Sebentar saja Cia Song telah menjadi orang kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui dan menjadi utusan rahasia. Tidak ada yang tahu kecuali para sekutunya bahwa Cia Song telah menjadi antek perdana menteri korup yang telah mempengaruhi dan menguasai kaisar Sung itu!

Mendapat pertanyaan dari Pangeran Hiu Kit Bong, Cia Song mengangguk-angguk. Kini terjadi perubahan besar dalam hubungan gelap antara Perdana Menteri Chin Kui dan Kaisar Kerajaan Kin. Karena Kaisar Kerajaan Kin mulai tidak percaya kepada Perdana Menteri Chin Kui, maka diam-diam timbul kerenggangan.

Dalam keadaan seperti itu, terjalinlah persekutuan antara Perdana Menteri Chin Kui dengan Pangeran Hiu Kit Bong. Pangeran ini sudah lama merencanakan hendak menggulingkan Kaisar Kin, yaitu adik tirinya dan menduduki tahta kerajaan Kin sendiri! Untuk itu, dia sudah menghimpun tenaga di kota raja Peking, bersekutu dengan beberapa orang perwira yang dipimpin oleh Jenderal Kiat Kon.

Jenderal ini hanya memperoleh kedudukan yang paling rendah di antara jajaran para panglima. Karena inilah maka dia tergiur oleh bujukan Pangeran Hiu Kit Bong yang menjanjikan kedudukan Panglima tertinggi kepadanya kalau usaha mereka merebut tahta kerajaan berhasil. Bahkan Pangeran Hiu Kit Bong mengadakan persekutuan gelap dengan Perdana Menteri Chin Kui dari kerajaan Sung Selatan melalui Cia Song yang lebih dulu mengenal Pangeran Hiu Kit Bong.

“Berita dari selatan yang hamba bawa kurang begitu menggembirakan, Pangeran. Saat ini banyak para pendekar mulai memperlihatkan sikap menentang Perdana Menteri Chin Kui secara berterang. Semua ini sesungguhnya disebabkan kekeliruan Perdana Menteri sendiri yang dulu tergesa-gesa mengusahakan pembunuhan terhadap Jenderal Gak Hui.

"Akibatnya, para pendekar dan juga banyak pejabat tinggi yang menghormati dan kagum kepada Jenderal Gak Hui, merasa sakit hati kepada Perdana Menteri Chin Kui. Hal ini bukan saja menyurutkan pengaruhnya, bahkan juga Sribaginda mulai berubah sikapnya terhadap Perdana Menteri.”

Mendengar laporan ini, Panglima Kiat Kon berkata dengan suaranya yang besar parau. “Ah, mudah saja itu! Kenapa pusing-pusing? Bukankah Perdana Menteri Chin Kui mempunyai banyak jagoan yang lihai? Suruh saja para jagoannya itu bertindak dan membunuhi mereka yang menentangnya. Habis perkara!”

“Hemm, tidak begitu mudah, ciangkun. Di antara para pendekar itu terdapat banyak orang yang lihai,” kata Cia Song.

“Ah, memang repot menghadapi ahli-ahli silat petualang itu!” kata Pangeran Hiu Kit Bong. “Kami sendiri di sini pusing oleh seorang puteri yang pandai ilmu silat. Ilmu silatnya tinggi dan puteri itu benar-benar merupakan batu sandungan bagi kami. Kalau ia berada dekat dengan ayahnya, yaitu Sribaginda, akan sukarlah untuk mengganggu Sribaginda.”

Diam-diam Cia Song menjadi heran. Seorang puteri raja Kin memiliki ilmu silat tinggi? “Siapakah puteri itu, Pangeran? Hamba tertarik sekali mendengar bahwa ada puteri Sribaginda Raja Kin amat lihai ilmu silatnya.”

“Namanya Puteri Moguhai. Akan tetapi kami kira nama itu tidak ada artinya dan tidak terkenal bagimu. Akan tetapi ada julukannya yang lain dan mungkin saja engkau pernah mendengar nama julukan itu. Puteri Moguhai adalah Pek Hong Nio-cu. Pernahkah engkau mendengar nama itu?”

“Ohhh…!” Cia Song terkejut. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa Pek Hong Nio-cu yang pernah dilihatnya itu adalah Puteri Moguhai, puteri Raja Kin! “Jadi Pek Hong Niocu itu Puteri Moguhai, puteri Sribaginda Kerajaan Kin?”

“Nah, engkau mengenalnya, Cia-sicu. Gadis itu sungguh membuat kami pusing. Ia bahkan pernah menghajar beberapa orang pejabat yang menjadi pembantu-pembantuku. Ia tidak takut siapapun dan ini tidak aneh karena ia memegang pedang emas dari Kaisar sebagai tanda kekuasaan. Tidak ada pejabat yang berani menentangnya karena sebagai pemilik pedang emas, ia mewakili kehadiran kaisar sendiri. Dan beberapa kali ia memperlihatkan sikap tidak suka dan menentangku. Kalau gadis itu tidak dibinasakan, kelak ia akan menjadi penghalang besar bagi gerakan kita bersama.”

“Ah, hamba tahu di mana adanya Pek Hong Nio-cu, Pangeran! Belum lama ini hamba bertemu dengannya. Ia sedang melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang hamba kenal. Mereka sedang menuju ke barat, hamba bertemu dengan mereka di kota Kiang-cu.”

“Hemm, menuju ke barat. Ah, tidak salah lagi. Puteri Moguhai tentu akan berkunjung ke perbatasan Sin-kiang di mana adik tiriku, Pangeran Kuang, menjadi komandan pasukan yang menjaga di tapal batas barat. Wah, harus dicegah! Moguhai tentu mempunyai maksud tertentu hendak menghubungi Pangeran Kuang dan ini berbahaya. Pangeran Kuang merupakan orang yang amat setia kepada Sribaginda. Cia-sicu, maukah engkau membantu kami?”

“Tentu saja, Pangeran. Bukankah selama ini hamba membantu paduka dan Perdana Menteri Chin Kui?”

“Ya, kami menghargai semua bantuanmu, Cia-sicu. Akan tetapi permintaan bantuan kami kali ini istimewa, penting dan juga berat. Yaitu maukah engkau mengejar dan membunuh Puteri Moguhai yang berarti akan melancarkan jalannya semua rencana kami?”

Cia Song terkejut bukan main. Kalau dia disuruh membunuh orang lain, tentu akan segera dia sanggupi dan baginya merupakan pekerjaan yang tidak terlalu sukar dilaksanakan. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu? Dia belum tahu sampai di mana kelihaian gadis yang kecantikannya pernah membuat dia tergila-gila begitu melihatnya itu.

Akan tetapi ketika Pek Hong Nio-cu berada di atas genteng penginapan, ketika gadis itu melemparkan surat dan pisau ke atas meja Kim Lan dan Ai Yin, dia melihat gerakan Pek Hong Nio-cu ketika melarikan diri begitu cepat dan ringan. Harus diakui bahwa gadis bangsawan itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat dan mungkin saja ilmu silatnya juga lihai sekali.

“Bagaimana, Cia-sicu? Sanggupkah engkau?” Pangeran Hiu Kit Bong mendesak.

Cia Song menghela napas panjang lalu menjawab, “Tugas itu berat sekali, pangeran.”

“Hemm, engkau hendak mengatakan bahwa engkau merasa jerih kepada Puteri Moguhai?” tanya pangeran itu.

“Sama sekali tidak, Pangeran. Mungkin ilmu kepandaiannya tinggi, akan tetapi hamba tidak takut kepadanya. Akan tetapi, hamba melihat bahwa Pek Hong Nio-cu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda, dan pemuda inilah yang merupakan lawan yang amat berat karena hamba sudah mengenalnya dan tahu betapa tangguhnya dia.”

“Hemm, siapakah pemuda itu?” tanya Pangeran Hiu Kit Bong dengan alis dikerutkan.

“Namanya Souw Thian Liong, Pangeran. Dia adalah murid Tiong Lee Cin jin.”

“Cia-sicu jangan takut. Kami tidak ingin engkau turun tangan seorang diri. Kami selalu ingin keyakinan bahwa kami pasti berhasil sebelum melakukan sesuatu. Kami akan mempersiapkan sebuah pasukan khusus, pasukan istimewa terdiri dari dua losin orang yang dipimpin oleh lima orang jagoan kami yang lihai dan boleh diandalkan kemampuannya. Mereka bukan saja pandai ilmu silat dan amat tangguh, akan tetapi juga merupakan ahli-ahli mengatur siasat pertempuran. Dengan bantuan mereka, engkau tidak perlu ragu dan khawatir. Pasti rencana kita berjalan dengan baik dan lancar.”

Cia Song sudah tahu benar betapa tinggi ilmu kepandaian Thian Liong. Bahkan pemuda itu masih menerima pelajaran ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng dari Hui Sian Hwesio, hal yang membuat dia merasa iri hati sekali. Dan walaupun dia belum mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Pek Hong Nio-cu, dia dapat menduga bahwa gadis itu pasti bukan lawan yang mudah dikalahkan.

Karena itu, untuk memperoleh keyakinan, dia harus menguji dulu sampai di mana kelihaian lima orang jagoan yang hendak diperbantukan padanya itu. Sedikitnya lima orang pembantu itu harus mampu menandinginya, barulah bantuan mereka dan dua losin perajurit pilihan akan ada artinya.

“Maaf, pangeran. Akan tetapi siapakah lima orang jagoan yang akan diperbantukan kepada hamba itu? Hamba tetap merasa ragu sebelum menguji sampai di mana kemampuan mereka.”

Pangeran Hiu Kit Bong tidak marah, malah tersenyum. Kehati-hatian Cia Song itu menyenangkan dia karena ini berarti bahwa pemuda itu seorang yang teliti dan boleh diandalkan akan berhasil dalam melaksanakan tugasnya.

“Mereka adalah bekas pengawal-pengawal pribadi Sribaginda sendiri. Karena melakukan pelanggaran kesusilaan di istana, mereka diusir dari istana. Kami menampung mereka dan mereka memang mempunyai perasaan dendam kepada Sribaginda, maka dapat merupakan pembantu-pembantu yang setia.

"Mereka adalah jagoan-jagoan yang telah menguasai banyak ilmu, bukan saja ilmu silat aliran utara, akan tetapi juga menguasai ilmu gulat dari Mongolia dan ilmu silat dari Jepang. Dan mudah saja untuk menguji mereka karena dapat segera dipanggil ke sini.”

Setelah berkata demikian, Pangeran Hiu Kit Bong mengutus seorang perajurit untuk memanggil lima orang jagoannya itu. Sambil menanti datangnya lima orang jagoan itu, mereka bertiga bercakap-cakap dan mengatur siasat selanjutnya, bukan hanya untuk membunuh Pek Hong Nio-cu, melainkan juga untuk gerakan pemberontakan dan menggulingkan kedudukan Kaisar Kin.

Cia Song yang teringat akan kecantikan Pek Hong Nio-cu yang membuat dia tergila-gila dan bangkit gairahnya, mengajukan usul kepada Pangeran Hiu Kit Bong. “Pangeran, menurut pendapat hamba, akan lebih baik apabila Puteri Moguhai itu tidak dibunuh, melainkan ditawan saja.”

“Eh? Kenapa begitu? Ia akan menjadi batu sandungan bagiku, mengganggu kelancaran rencanaku. Tidak, ia harus dibunuh, Cia-sicu. Untuk membunuh puteri itulah kami minta bantuanmu!”

“Harap paduka pertimbangkan dulu usul hamba. Kalau puteri itu dibunuh paduka hanya mendapatkan satu keuntungan yang tidak begitu berharga. Akan tetapi kalau ia ditawan, berarti paduka memperoleh dua keuntungan, seperti sebatang pedang yang tajam kedua sisinya, satu kali bergerak mendapatkan dua yang amat baik.”

“Hemm, apa maksudmu, sicu?”

“Begini, Pangeran. Hamba akan menawan Puteri Moguhai itu dan dengan tawanan yang amat penting itu, paduka dapat menjadikan ia sebagai sandera dan paduka dapat mengancam agar Sribaginda suka menyerahkan tahta kepada paduka untuk ditukar dengan nyawa puteri Sribaginda. Dengan demikian, paduka akan dapat mengambil alih singasana tanpa banyak kesukaran lagi.”

Mendengar usul ini, Pangeran Hiu Kit Bong tertegun dan saling pandang dengan Panglima Kiat Kon yang menjadi sekutu utamanya dalam ambisinya merebut kekuasaan kerajaan Kin. Keduanya saling pandang lalu mengangguk-angguk.

“Siasat itu sungguh hebat dan baik sekali, Pangeran!” kata Panglima Kiat Kon.

Pangeran Hiu Kit Bong juga mengangguk-angguk dan tersenyum kepada Cia Song. “Bagus, Cia-sicu, gagasanmu itu cemerlang sekali! Kenapa aku tidak berpikir sejauh itu? Ha-ha-ha, tidak percuma Perdana Menteri Chin Kui mengangkatmu menjadi penghubung antara kami! Baik, siasatmu itu baik dan harus dilaksanakan begitu. Puteri Moguhai, keponakan tiriku itu, si cantik yang liar itu, jangan dibunuh, melainkan ditangkap dan dijadikan sandera! Bagus sekali!”

“Akan tetapi, Pangeran. Biarpun gagasan itu bagus dan sudah sepatutnya dilaksanakan, akan tetapi tetap saja kita harus menyusun kekuatan pasukan yang besar. Siapa tahu Sribaginda akan nekat dan tidak mau menyerahkan mahkota sehingga kita terpaksa harus menggunakan kekerasan, menyerbu istana dan untuk itu kita memerlukan pasukan yang amat kuat,” kata Panglima Kiat Kon.

Pangeran Hiu Kit Bong mengangguk-angguk setuju. Mereka lalu bercakap cakap dan berunding, mencari siasat-siasat terbaik. Ada dua tujuan terpenting yang hendak dicapai oleh persekutuan antara Pangeran Hiu Kit Bong dan Perdana Menteri Chin Kui. Pertama, mahkota kerajaan Kin harus terjatuh ke tangan Pangeran Hiu Kit Bong.

Dan kedua, kedudukan Perdana Menteri Chin Kui harus diperkuat dengan disingkirkannya mereka yang menentang kekuasaannya sehingga dia dapat makin kuat mencengkeram Kaisar Sung dalam kekuasaannya. Dengan demikian, maka Kerajaan Kin akan dapat tetap bersahabat dengan Kerajaan Sung Selatan.

Percakapan mereka terhenti ketika muncul lima orang memasuki ruangan itu. Mereka segera memberi hormat kepada Pangeran Hiu Kit Bong dengan membungkuk dalam-dalam.

Pangeran Hiu Kit Bong tersenyum gembira menyambut mereka. “Ah, kalian telah datang? Duduklah!” Dia mempersilakan mereka duduk dan lima orang itu lalu duduk di atas kursi-kursi yang sudah tersedia di depan pangeran itu. Cia Song memandang mereka dengan penuh perhatian.

Pangeran Hiu Kit Bong lalu memperkenalkan Cia Song kepada mereka. “Nah, kalian berlima kenalkanlah. Ini adalah pendekar besar Cia Song yang menjadi orang kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung!”

Lima orang itu agaknya sudah pernah mendengar nama Cia Song, maka mereka lalu bangkit dan memberi hormat kepada Cia Song, juga dengan membungkuk dalam-dalam. Cia Song membalas dengan merangkap kedua tangan depan dada. Dia pernah melihat cara penghormatan membungkuk seperti itu, yakni kebiasaan orang-orang Jepang.

Agaknya lima orang ini pernah berguru kepada orang Jepang, pikirnya dan perkiraan ini agaknya tidak salah karena diapun melihat betapa di pinggang mereka berlima itu tergantung sebatang pedang samurai, yaitu pedang bangsa Jepang yang bentuknya agak melengkung, gagangnya agak panjang sehingga dapat dipegang kedua tangan dan hanya bermata sebelah seperti golok.

Pangeran Hiu Kit Bong memperkenalkan lima orang jagoannya kepada Cia Song. Cia Song memperhatikan mereka. Orang pertama bernama Con Gu, berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya panjang dan berwarna kuning sekali. Orang kedua bernama Koi Cu, usianya empatpuluh tiga tahun, bertubuh pendek gendut dan kepalanya botak.

Orang ketiga bernama Jiu Hon, berusia empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok menyeramkan. Orang keempat bernama Kian Su, usianya tigapuluh lima tahun, tubuhnya sedang dan wajahnya bersih tampan. Adapun orang kelima bernama Hayasi, berusia tigapuluh tahun, tubuhnya pendek dengan kaki tangan pendek akan tetapi kokoh berotot.

Mereka berlima itu memiliki mata yang tampak cerdik, bersinar tajam dan dari sikap mereka mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh. Mereka berlima memiliki sebatang pedang samurai. Koi Cu dan Hayasi yang bertubuh pendek membawa pedang samurai mereka di punggung, akan tetapi tiga orang yang lain menggantung pedang samurai mereka di pinggang.

“Paduka memanggil kami menghadap, ada tugas apakah yang harus kami laksanakan, Pangeran?” tanya Con Gu, orang tertua yang agaknya juga menjadi juru bicara mereka berlima.

“Ada tugas penting sekali untuk kalian berlima. Tugas itu sebetulnya sudah kami serahkan kepada Cia-sicu, akan tetapi karena tugas itu berbahaya dan akan menghadapi lawan yang amat kuat, maka kami membutuhkan bantuanmu yang akan memimpin dua losin perajurit pilihan untuk membantu tugas Cia-sicu,” kata Pangeran Hiu Kit Bong.

“Bolehkah kami mengetahui, tugas apa yang harus kami lakukan, Pangeran?” tanya Con Gu.

“Kalian berlima dan pasukan yang kalian pimpin harus membantu Cia-sicu untuk menangkap seseorang.”

“Menangkap seorang saja mengapa harus memakai begitu banyak orang?” Hayasi bertanya dan logat bicaranya jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang berbangsa Jepang.

“Yang harus ditangkap adalah Puteri Moguhai yang di luar istana terkenal sebagai Pek Hong Nio-cu!” kata Pangeran Hiu Kit Bong.

Lima orang itu terkejut sekali. “Oh....! Sang Puteri Moguhai....?” kata Con Gu, lalu dia mengangguk-angguk.

“Pangeran, kami tahu bahwa Puteri Moguhai memang memiliki kepandaian tinggi dan lihai sekali. Memang harus hamba akui kalau kami berlima maju satu-satu, agaknya masih akan sukarlah menangkapnya. Akan tetapi kalau kami berlima maju, agaknya sudah pasti kami dapat menangkapnya. Mengapa harus menyusahkan Cia-sicu dan bahkan ditambah dua losin perajurit lagi?”

“Wah, tidak semudah itu, Con Gu!” kata Pangeran Hiu Kit Bong. “Ketahuilah bahwa selain Puteri Moguhai sendiri seorang yang tangguh, ia ditemani oleh seorang pemuda yang namanya.... eh, siapa tadi namanya, Cia-sicu?”

“Namanya Souw Thian Liong, Pangeran.”

“Ya, temannya itu bernama Souw Thian Liong dan menurut keterangan Cia-sicu, pemuda itu lihai sekali karena dia adalah murid Tiong Lee Cin-jin.”

Lima orang jagoan itu saling pandang dan dari sinar mata mereka Cia Song tahu bahwa mereka terkejut dan gentar mendengar nama Tiong Lee Cin-jin yang dikenal sebagai seorang manusia setengah dewa itu!

“Kami akan membantu Cia-sicu sekuat tenaga kami!” kata Con Gu.

“Karena menghadapi pekerjaan penting, Cia-sicu masih ragu apakah bantuan kalian berlima berikut dua losin perajurit pilihan sudah cukup. Oleh karena itu, untuk menyakinkan hatinya, dia minta agar diperbolehkan menguji ketangguhan kalian berlima.”

Mendengar ucapan pangeran itu, kelima orang jagoan mernandang kepada Cia Song dengan sinar mata tajam.

“Bagaimana, sobat-sobat? Apakah kalian tidak keberatan kalau aku hendak menguji ilmu silat kalian?” tanya Cia Song.

Lima orang itu menggeleng kepala dan Con Gu berkata sambil tersenyum. “Tentu saja tidak, Cia-sicu. Kami siap untuk diuji sewaktu-waktu.”

Pangeran Hiu Kit Bong tertawa. “Ha-ha, bagus. Waktunya sekarang saja dan ruangan ini kiranya cukup luas untuk dipakai sebagai tempat ujian bertanding. Bagaimana pendapatmu, Cia-sicu?”

Cia Song bangkit berdiri. “Memang cukup luas, Pangeran. Marilah, sobat-sobat, kita mulai saja.” Dia lalu melangkah ke tengah ruangan yang luas.

Con Gu juga bangkit dan setelah membungkuk di depan sang pangeran, diapun melangkah lebar menghampiri Cia Song, setelah berhadapan lalu berkata, “Cia-sicu, kami telah siap. Biarlah saya yang maju pertama untuk menerima ujian.”

“Bukan satu-satu, maksudku kalian berlima maju berbareng. Aku ingin melihat apakah kalau kalian maju berbareng cukup kuat untuk melawan musuh yang tangguh.”

“Kami berlima maju berbareng? Mengeroyokmu, sicu? Ah, jangan bergurau!” kata Con Gu sambil tertawa dan empat orang rekannya juga tertawa lirih karena mereka berada di depan Pangeran.

“Aku sama sekali tidak bergurau. Ketahuilah bahwa lawan-lawan yang akan kita hadapi sungguh tangguh dan lihai sekali, maka aku harus yakin bahwa kalian cukup kuat untuk menandingi seorang di antara mereka. Nah, marilah, kalian berlima maju berbareng dan jangan sungkan mengeroyok aku, keluarkan semua kemampuan kalian agar aku dapat merasa yakin sehingga tugas kita akan dapat terlaksana dengan hasil baik.”

“Hayolah, kalian berlima jangan ragu. Turuti perintah Cia-sicu. Dalam tugas dia adalah pemimpin kalian!” kata Pangeran Hiu Kit Bong.

Mendengar perintah pangeran, tentu saja lima orang itu tidak berani membantah lagi dan empat orang jagoan yang lain segera bangkit berdiri dan menghampiri Cia Song. Mereka berlima berdiri berjajar menghadapi Cia Song dengan sikap masih ragu-ragu. Mereka adalah jagoan-jagoan pilihan, bahkan pernah menjadi pengawal pribadi Raja Kin yang jarang menemui tanding.

Bagaimana sekarang mereka berlima disuruh mengeroyok seorang lawan saja? Bagi mereka, hal ini memalukan sekali. Andaikata mereka menang sekalipun, tidak dapat dibanggakan. Akan tetapi karena pangeran yang memerintah dan Cia Song juga hanya bermaksud untuk menguji, maka mereka berlima siap.

Melihat mereka berdiri berjajar, bukan mengepung seperti lima orang yang hendak mengeroyok, Cia Song maklum bahwa mereka masih merasa sungkan. Dan dia maklum akan perasaan mereka. Mereka adalah jagoan-jagoan istana Kin dan usia mereka juga lebih tua daripada dia, maka tentu saja mereka sungkan untuk melakukan pengeroyokan.

“Sekarang begini saja,” katanya, “Agar kalian tidak merasa sungkan, biarlah kalau sampai robek sedikit pakaianku terkena ujung pedang kalian, kuanggap kalian sudah lulus ujian dan dapat mengalahkan aku. Nah, sekarang aku hendak bertanya dan kuharap kalian menjawab sejujurnya. Aku ingin agar kalian mengeluarkan ilmu kalian yang paling ampuh. Kalau kalian maju berlima, kalian hendak mempergunakan ilmu pedang apakah yang kalian anggap paling ampuh?”

“Sesungguhnya, Cia-sicu. Kami berlima malu untuk maju berbareng dan mengeroyokmu. Akan tetapi karena Pangeran telah memerintahkan dan sicu hanya ingin menguji, maka apa boleh buat, kami akan menaati perintah. Kami masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri, akan tetapi kalau kami maju bersama, kami telah menciptakan permainan pedang gabungan yang kami namakan Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima Unsur). Dengan memainkan Ngo-heng Kiam-tin, kami berlima belum pernah terkalahkan.”

“Bagus! Aku menghendaki agar kalian berlima mengeroyok aku dengan Ngo-heng Kiam-tin itu dan jangan sungkan. Serang aku sekuat kalian dan kalahkan aku secepat mungkin. Aku percaya bahwa ahli-ahli pedang seperti kalian tentu tidak akan salah tangan, tidak akan melukai tubuhku, cukup dengan merobek pakaianku saja.” Cia Song bicara sambil tersenyum ramah, sama sekali tidak terkandung nada atau sikap mengejek.

“Baiklah, Cia-sicu. Maafkan kami.” Con Gu memandang kepada empat orang rekannya dan mereka berlima lalu menggerakkan tangan kanan. Tampak kilatan lima sinar ketika mereka telah mencabut pedang samurai mereka masing masing. Lima batang pedang panjang yang agak melengkung itu berkilauan dan ini menunjukkan bahwa pedang-pedang itu amat tajam.

Ketika dicabut dengan amat cepatnya, terdengar suara berdesing yang menandakan bahwa lima orang itu memiliki tenaga yang kuat. Setelah mencabut pedang samurai masing-masing, lima orang itu lalu mulai melangkah dengan geseran-geseran kaki dan mereka telah mengepung Cia Song dari lima penjuru.

“Bersiaplah, Cia-sicu!” kata Con Gu yang memberi kesempatan kepada Cia Song untuk mengeluarkan senjatanya.

Dari gerakan mereka saja Cia Song maklum bahwa akan sukar menandingi mereka berlima kalau dia bertangan kosong. Maka diapun segera mencabut pedang yang berada di punggungnya, sebatang pedang beronce merah. Dia mencabutnya dengan perlahan lalu melintangkan pedangnya di depan dada.

Biarpun dia tidak memasang kuda-kuda secara khusus, namun Cia Song bersikap hati-hati dan waspada karena dia maklum bahwa lima orang lawannya ini benar-benar tangguh. Dia harus menjaga agar dia jangan sampai kalah atau kalau dikalahkan juga dia harus dapat melakukan perlawanan yang cukup kuat dan seimbang.

Setelah melihat Cia Song mencabut pedang, Con Gu mewakili rekan-rekannya bertanya, “Cia-sicu, apakah kami sudah boleh mulai menyerang?”

“Boleh, silakan, aku sudah siap!” kata Cia Song.

“Sambut serangan Unsur Swee (Air)!” bentak Con Gu dan dia menyerang dari depan Cia Song. Pedang samurainya menyambar dan gerakannya bergelombang seperti ombak sehingga cocok sekali kalau Con Gu memperkenalkan dirinya sebagai pemain Unsur Air dalam Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima Unsur) itu.

Cia Song sengaja menggunakan pedangnya menangkis dengan pengerahan tenaga karena dia hendak mengukur tenaga Con Gu melalui serangan pedang samurainya itu.

“Tranggg!!” Pedang samurai itu tergetar dan Con Gu melangkah ke belakang lima kali. Cia Song juga merasakan pedangnya tergetar dan tahulah dia bahwa tenaga Con Gu cukup kuat walaupun masih jauh kalau dibandingkan dengan sin kang (tenaga sakti) yang dikuasainya.

“Cia-sicu, sambut serangan Unsur Hwe (Api)!” teriak Koi Cu yang berkepala botak dan bertubuh pendek gendut dari sebelah kanan Cia Song. Pedang Samurai yang terlalu panjang bagi tubuh yang pendek itu menyambar lurus, dari bawah ke atas seperti berkobarnya api dan gerakannya dahsyat sekali.

Cia Song sudah mengukur kekuatan Con Gu dan dia menduga bahwa tentu tenaga orang pertama itu yang paling kuat di antara mereka berlima. Maka dia menghadapi serangan Unsur Api ini dengan mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya. Dia mengelak sehingga pedang Koi Cu menyambar di samping tubuhnya.

“Sambut serangan Unsur Bhok (Kayu)!” teriak Jiu Hon yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok. Orang ketiga ini menyerang dari belakang.

Maka Cia Song memutar tubuhnya, menggeser kakinya dan melihat pedang samurai Jiu Hon menusuk ke arah lambungnya. Cia Song memiringkan tubuhnya dan menggunakan pedangnya untuk menangkis dari samping sehingga serangan Jiu Hon gagal, pedang samurainya terpental.

“Awas serangan Unsur Kim (Emas, logam)!” bentak Kian Su, orang keempat yang berwajah tampan. Pedangnya meluncur dan menyerang dari sebelah kiri tubuh Cia Song. Kembali Cia Song mengelak dengan mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi tingkatnya.

“Sambut serangan Unsur Tho (Tanah)!” bentak Hayasi. Orang yang paling pendek ini menyerang dan pedangnya berputar menyerang ke arah kedua kaki Cia Song. Serangannya tidak kalah dahsyat dibandingkan empat orang rekannya. Cia Song dengan tenang namun cepat meloncat untuk menghindarkan serangan itu.

Setelah lima orang itu masing-masing mengeluarkan jurus serangannya secara bergiliran dan semua serangan itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Cia Song mereka berlima maklum bahwa Cia Song benar-benar lihai, maka mereka tidak merasa ragu lagi untuk mengeroyok. Con Gu memberi isyarat kepada empat orang rekannya dan mulailah mereka berlima menyerang dari lima penjuru dengan berbareng!

Serangan mereka datang bergelombang dan bertubi-tubi, dan hebatnya serangan mereka itu saling menunjang, saling melengkapi sesuai dengan watak ngo-heng (lima unsur) sehingga serangan beruntun yang saling menunjang dan saling melengkapi akan tetapi yang sifatnya juga saling berlawanan itu menjadi membingungkan, aneh dan dahsyat sekali!

Diam-diam Cia Song terkejut. Dia tahu bahwa kalau mereka itu maju satu demi satu, tidak begitu sukar baginya untuk mengalahkan mereka. Akan tetapi, dengan maju bersama membentuk Barisan Pedang Lima Unsur, mereka sungguh merupakan lawan yang tangguh dan amat berbahaya.

Untuk dapat melakukan perlawanan yang kuat, Cia Song segera memainkan ilmu silat gabungan, yaitu pada dasarnya merupakan ilmu silat pedang aliran Siauw-lim-pai, akan tetapi dia memasukkan unsur ilmu yang dipelajarinya dari Ali Ahmed, datuk suku bangsa Hui itu. Ilmu pedang menjadi aneh namun kuat sekali.

Tubuh Cia Song lenyap dibungkus sinar pedangnya yang bergulung-gulung dan berkelebatan, bukan hanya sinar pedang itu menangkis lima batang pedang samurai yang mengancamnya dari lima jurusan yang kadang berputaran, namun juga mengirim serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya!

Pangeran Hiu Kit Bong yang hanya menguasai ilmu silat yang rendah, tidak dapat mengikuti jalannya pertandingan. Gerakan enam orang itu terlampau cepat baginya sehingga pandang matanya menjadi kabur. Kilatan sinar pedang yang mencuat ke sana-sini, kadang bergulung gulung, diseling suara berdentangan nyaring membuat dia hanya dapat memandang kagum.

“Bagaimana pendapatmu, ciangkun?” Dia bertanya kepada Panglima Kiat Kon yang juga menonton pertandingan itu dengan tertarik sekali. Tingkat kepandaian silat panglima ini juga sudah cukup tinggi, seimbang dibandingkan tingkat masing-masing anggauta Ngo-heng Kiam-tin itu.

Maka dia dapat mengikuti pertandingan itu dan menjadi amat kagum melihat betapa Cia Song dapat mempertahankan diri bahkan mengimbangi serangan gabungan yang dahsyat itu. Dia sendiri akan kalah dalam waktu pendek kalau harus menandingi pengeroyokan Ngo-heng Kiam-tin itu.

“Hebat, Pangeran. Ngo-heng Kiam-tin memang dahsyat sekali, akan tetapi kepandaian Cia-sicu juga luar biasa sehingga dia mampu mengimbangi pengeroyokan itu,” katanya sambil mengangguk angguk dengan hati kagum.

Pertandingan itu memang hebat bukan main. Semua serangan dari barisan pedang lima orang itu dapat dihindarkan dengan baik oleh Cia Song, biarpun serangan itu datang bergelombang dan bertubi-tubi. Akan tetapi serangan balasan dari Cia Song juga selalu dapat ditangkis. Kalau Cia Song hendak mengandalkan kelebihan tenaganya, diapun gagal karena yang menangkis pedangnya tentu sedikitnya dua orang.

Bahkan kadang tiga-empat pedang samurai sekaligus menyambut pedangnya sehingga kelebihan tenaganya diimbangi tenaga gabungan para pengeroyok. Sampai seratus jurus mereka bertanding dan belum tampak siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

Cia Song merasa sudah cukup menguji jagoan itu dan dia merasa girang. Ternyata Ngo-heng Kiam-tin memang tangguh dan boleh diandalkan. Dibantu lima orang seperti ini, apalagi yang memimpin dua losin perajurit pilihan, dia akan merasa kuat menghadapi Pek Hong Nio-cu dan Souw Thian Liong. Maka dia ingin menyudahi ujian itu.

Akan tetapi dasar dia memiliki watak yang sombong, walaupun disembunyikan di balik sikapnya yang halus dan sopan, maka dia tidak akan merasa puas kalau tidak lebih dulu mengalahkan mereka agar dia memperoleh kesan yang baik dan agar lima orang itu tunduk kepadanya sehingga dapat menjadi pembantu-pembantu yang taat kepadanya.

Diam-diam Cia Song mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan ilmu pukulan jarak jauh bercampur kekuatan sihir yang dipelajarinya dari Ali Ahmed. “Hyaaaattt... ahhhh!”

Tangan kirinya mendorong ke depan dan tubuhnya berputar sehingga sasaran pukulan jarak jauh itu diarahkan kepada lima orang pengeroyok yang mengepungnya. Dari telapak tangan kirinya keluar asap hitam yang menyambar ke arah lima orang itu. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan lima orang itu satu demi satu terhuyung ke belakang.

Cia Song bergerak cepat sekali. Pedangnya menyambar-nyambar dan ketika dia melompat agak ke belakang menjauhi mereka, lima orang itu melihat betapa ujung baju mereka telah terbabat putus oleh sinar pedang Cia Song selagi mereka terhuyung tadi!

Lima orang itu membungkuk sampai dalam dan Con Gu mewakili para rekanrrya berkata, “ilmu pedang Cia-sicu hebat bukan main! Kami mengaku kalah!”

Cia Song menyimpan kembali pedangnya dan berkata, “Ngo-heng Kiam-tin amat tangguh. Aku girang sekali mendapatkan pembantu seperti kalian berlima!”

Mendengar ini, Pangeran Hiu Kit Bong dan Panglima Kiat Kon bertepuk tangan. “Kami girang sekali bahwa mereka berlima lulus ujian, Cia-sicu. Bagaimana pendapat sicu? Apakah ditemani mereka yang akan memimpin dua losin perajurit pilihan dianggap cukup kuat?”

“Lebih dari cukup, Pangeran. Dengan bantuan mereka dan dua losin perajurit pilihan, hamba yakin kami dapat menangkap Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong.”

“Bagus! Duduklah kalian berenam!” kata Pangeran Hiu Kit Bong. “Akan tetapi kalau Puteri Moguhai jangan dibunuh, sebaliknya pemuda lihai yang menjadi temannya itu harus dibunuh karena dia membahayakan kita.”

“Tidak, Pangeran. Souw Thian Liong juga akan hamba tangkap karena dia harus memperhitungkan dosa-dosanya kepada Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai. Dia harus menerima hukumannya,” kata Cia Song.

“Hemm, apa sih yang dilakukannya? Ah, sudahlah, bukan urusan kami. Terserah kepadamu kalau engkau hendak menangkap pemuda itu, Cia-sicu. Yang terpenting bagi kami adalah menawan Puteri Moguhai untuk dijadikan sandera,” kata Pangeran Hiu Kit Bong.

Setelah mengadakan perundingan matang dan membuat persiapan, berangkatlah Cia Song bersama kelima Ngo-heng Kiam-tin, memimpin dua losin perajurit yang terlatih baik dan rata-rata pandai ilmu silat melakukan pengejaran kepada Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong yang menuju ke barat. Mereka menunggang kuda-kuda pilihan sehingga dapat melakukan perjalanan cepat.

* * *

Souw Thian Liong mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hatinya. Setelah melakukan perjalanan dengan Pek Hong Nio-cu selama hampir sebulan lamanya, dia mendapat kenyataan betapa amat menggembirakan perjalanan itu.

Pek Hong Nio-cu ternyata merupakan teman seperjalanan yang amat baik. Wataknya gembira, pandai bicara dan di mana saja pendekar wanita yang sesungguhnya puteri raja ini memperlihatkan watak aselinya yang mengagumkan. Ia ramah terhadap rakyat jelata, murah hati dan siap menolong rakyat yang hidup sengsara. Ringan tangan menghajar orang orang yang mengandalkan kekerasan dan kekuasaan untuk menindas rakyat.

Terutama sekali ia amat keras terhadap para pembesar kecil yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Dan di mana saja, para pembesar itu selalu mati kutu dan ketakutan setelah memperlihatkan pedang bengkok dari emas yang menjadi lambang kekuasaan Kaisar kerajaan Kin. Puteri raja ini selain cantik jelita dan menarik hati, juga gagah perkasa dan memiliki watak yang budiman.

Di lain pihak, diam-diam Pek Hong Nio-cu juga kagum bukan main kepada Thian Liong. Pemuda itu selalu sopan dan penuh perhatian. Tidak pernah sedikitpun mernperlihatkan watak mata keranjang, tidak pernah mencoba untuk merayunya seperti yang banyak ditemui pada diri para pria kalau bertemu dengannya. Sungguh seorang pemuda yang hebat, berjiwa pendekar dan juga pandai bicara dan suka berkelakar dengan sopan.

Seperti kita ketahui, ketika mereka berdua tiba di kota Kiang-cu dan bermalam di sebuah rumah penginapan, Cia Song menemui Thian Liong dan membujuk agar Thian Liong segera meninggalkan kota itu karena Kim Lan dan Ai Yin mencarinya untuk memaksa Thian Liong menikahi Kim Lan atau kalau tidak mau, dua orang gadis itu hendak membunuhnya.

Setelah Cia Song pergi, Pek Hong Nio-cu mendengar dari Thian Liong tentang gadis murid Kun-lun-pai yang hendak memaksa dia mengawini dengan alasan bahwa gadis itu sudah bersumpah akan berjodoh dengan pria yang dapat mengalahkannya. Kalau dia tidak mau, Thian Liong akan dibunuhnya! Mendengar ini, Pek Hong Nio-cu marah sekali.

Malam itu, tanpa setahu Thian Liong, Pek Hong Nio-cu pergi mengunjungi rumah penginapan di mana Kim Lan dan Ai Yin bermalam. Ia melemparkan surat celaannya yang disambitkan ke atas meja dengan sebuah pisau lalu meninggalkan atap rumah penginapan itu karena ia melihat bayangan orang. Dan pada keesokan harinya, Thian Liong mengajaknya segera pergi meninggalkan kota Kiang-cu.

Pemuda ini ingin menghindarkan diri dari kejaran dua orang gadis Kun-lun-pai itu. Pek Hong Nio-cu juga tidak pernah bicara tentang dua orang gadis itu juga tidak pernah menceritakan tentang perbuatannya mengirim surat teguran yang isinya mencela murid wanita Kun-lun-pai sebagai wanita yang tidak tahu malu hendak memaksa seorang pria menjadi suaminya!

Matahari telah naik tinggi dan udara lumayan panasnya. Mereka berdua menjalankan kuda mereka perlahan-lahan, menyusuri sepanjang tepi Sungai Han, yaitu sungai yang menjadi cabang Sungai Yang-ce yang besar. Pemandangan alamnya di lembah sungai itu amat indah. Daerah ini termasuk daerah yang kecil jumlah penduduknya sehingga tempat yang mereka lalui itu sunyi.

Thian Liong menjalankan kudanya di sebelah kiri kuda yang ditunggangi Pek Hong Nio-cu. Dua ekor kuda itu berjalan seenaknya karena dua orang penunggangnya tidak ingin memaksa binatang yang juga sudah tampak kelelahan itu. Thian Liong melamun. Dia melamun tentang keadaan dirinya. Sungguh tak pernah disangkanya sama sekali bahwa dia akan melakukan perjalanan berdua saja dengan puteri Raja Kin!

Dan perjalanan bersama itu sudah dilakukan selama kurang lebih satu bulan! Sungguh amat mengherankan dan tentu banyak yang tidak percaya kalau dia bercerita kepada orang lain. Dia disambut oleh pejabat-pejabat pemerintah Kin di sepanjang jalan dengan sikap hormat sekali karena dia diperkenalkan oleh Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu sebagai sahabatnya.

Dan puteri itu begitu manis, begitu ramah dan akrab dengan dia. Akan tetapi yang menunggang kuda di sisinya ini adalah seorang puteri bangsawan tinggi, Puteri Raja Kin sedangkan dia apa? Seorang pemuda yatim piatu yang bodoh dan miskin, rumahpun tidak punya! Akan tetapi Thian Liong tidak merasa rendah diri. Mengapa rendah diri?

Dia tidak mempunyai pamrih apapun dalam persahabatannya dengan Pek Hong Nio-cu. Memang harus dia akui bahwa dia amat tertarik, kagum dan suka sekali kepada gadis bangsawan ini. Sungguh jauh bedanya gadis ini dibandingkan gadis-gadis yang pernah dia jumpai. Berpikir sampai di sini, terbayang olehnya wajah seorang gadis yang manis.

Wajahnya bulat telur, rambutnya hitam panjang dengan anak rambut melingkar di dahi dan pelipis. Dahinya halus dan putih sekali, dengan alis hitam kecil panjang dan tebal, matanya seperti sepasang bintang, bersinar tajam dan penuh gairah hidup, hidungnya mancung dan mulutnya amat menggairahkan, dengan bibir merah basah dan lesung pipit menghias kanan kiri mulut itu. Dagunya runcing dan kulitnya putih mulus. Tubuhnya padat ranum dengan pinggang ramping.

Gadis yang lincah dan liar, galak penuh semangat, berpakaian merah muda. Gadis yang telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun hoat dari buntalan pakaiannya, kitab yang seharusnya dia serahkan kepada para ketua Kun-lun-pai seperti yang dipesan gurunya. Gadis cantik jelita dan juga gagah perkasa.

Akan tetapi sayang, ia mencuri kitab, dan lebih sayang lagi, dia tidak tahu siapa nama gadis itu dan di mana tempat tinggalnya. Perjalanannya ke barat inipun untuk mencari gadis pencuri itu. Dia hanya menduga bahwa gadis itu tentu berada di daerah barat mengingat bahwa ilmu silatnya seperti ilmu silat aliran Tibet.

Kalau dibuat perbandingan antara gadis baju merah itu dengan Pek Hon g Nio-cu, alangkah jauh bedanya. Memang mereka berdua sama sama cantik menarik, sama-sama gagah perkasa, bahkan sama-sama lincah, agak liar dan galak bersemangat. Akan tetapi gadis baju merah yang liar itu adalah seorang gadis kang-ouw tulen dan seorang pencuri, sebaliknya Pek Hong Nio-cu adalah seorang puteri raja yang baik hati.

Akan tetapi aneh, dia sukar dapat melupakan gadis baju merah itu dan kalau teringat padanya, jantungnya berdebar dan wajahnya berseri. Padahal, dia berjanji kalau dapat menemukan gadis baju merah itu, akan direbahkan gadis itu menelungkup di atas kedua pahanya lalu akan ditamparnya pinggul gadis itu seputuh kali seperti orang mengajar anaknya yang nakal!

Kemudian, bayangan wajah gadis baju merah yang mencuri kitab milik Kun-lun pai itu terganti wajah seorang gadis lain. Wajah yang setelah kini terbayang olehnya, makin tampak betapa wajah itu tidak ada bedanya dengan wajah Pek Hong Nio-cu! Dia mencoba untuk mencari perbedaan antara dua wajah itu.

Namun, seingatnya, tidak ada bedanya sama sekali! Wajah Thio Siang In yang berjuluk Ang-hwa Sian-li, gadis yang suka memakai pakaian serba hijau itu. Ada bunga mawar merah di rambutnya. Cantik jelita dan cerdik sekali. Juga amat lihai ilmu silatnya.

Hebatnya, seingatnya Thio Siang In juga mempunyai setitik tahi lalat di dekat mulutnya, di ujung bibir, sama dengan Puteri Moguhai! Kedua wajah itu serupa benar. Kalau ada perbedaan yang sangat mencolok adalah warna dan bentuk pakaian mereka. Pek Hong Nio-cu berpakaian serba putih dan Ang-hwa Sian-li berpakalan serba hijau.

Akan tetapi, walaupun tidak sampai mencuri seperti yang dilakukan gadis baju merah, Thio Siang In itupun seorang gadis yang ugal-ugalan. Hendak meminjam kitab Sam-jong-cin-keng milik Siauw-lim-pai dengan paksa! Ketika dia tidak mau menyerahkan kitab itu, Ang-hwa Sian-li Thio Siang In marah dan mengajak bertanding!

Sayang sekali, padahal gadis itu gagah perkasa dan tadinya sudah menjadi teman akrab dengannya. Seperti juga bayangan gadis baju merah, bayangan Ang-hwa Sian-li ini selalu muncul dalam ingatannya.

Kemudian teringat dia akan wajah Kim Lan, murid Kun-lun-pai itu, bersama su-moinya (adik seperguruannya) yang bernama Ai Yin. Mereka juga gadis-gadis manis, cantik menarik, gagah perkasa dan sebagai murid-murid Kun-lun-pai, tentu saja kepandaian mereka tinggi dan watak mereka seperti pendekar.

Akan tetapi sayang, terutama sekali Kim Lan, gadis cantik itu diikat sumpah yang aneh sehingga ketika kalah bertanding melawannya, kini mengejarnya untuk memaksa dia mengawininya dan kalau dia menolak, dia akan dibunuhnya! Thian Liong menghela napas panjang. Aneh-aneh saja pengalamannya dengan gadis-gadis itu!

Dan biarpun mereka, yang tiga orang itu, gadis baju merah, Ang-hwa Sian-li, dan Kim Lan tidak dapat disamakan dengan Pek Hong Nio-cu yang anggun, bangsawan tinggi dan tidak ada kesalahan kepadanya, namun tetap saja ada rasa suka pula dalam hatinya terhadap mereka. Dan wajah mereka selalu bermunculan dalam kenangannya.

“Souw Thian Liong, kenapa engkau menghela napas panjang setelah sejak tadi melamun seorang diri?” tiba-tiba suara Pek Hong Nio-cu menyadarkan dan seolah menyeret dia kembali ke alam sadar.

“Eh? Apa maksud paduka, Puteri?” tanya Thian Liong gagap, seperti orang baru bangun tidur.

“Hushh! Berapa kali aku memperingatkan agar engkau jangan menyebut aku paduka dan puteri, kecuali kalau berhadapan dengan para pembesar dan dalam suasana resmi!” tegur Pek Hong Nio-cu dengan alis berkerut. “Dalam percakapan pribadi, aku ini bukan lain adalah Pek Hong Nio-cu, seorang sahabat yang sederajat denganmu.”

“Ah, maafkan, Nio-cu. Aku memang pelupa, akan tetapi apa yang kau maksudkan dengan pertanyaanmu tadi?”

“Hemm, bagaimana sih pertanyaanku tadi, Thian Liong?”

Thian Liong menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, tidak ingat lagi.”

“Nah, itu tandanya bahwa engkau tenggelam ke dalam lamunanmu,” kata Pek Hong Nio-cu sambil menahan dan menghentikan kudanya. Melihat ini, Thian Liong juga menghentikan kudanya. “Thian Liong, sejak tadi aku melihat engkau melamun dengan pandang mata kosong, kadang tersenyum-senyum dan kemudian engkau menghela napas panjang. Nah, tadi aku bertanya mengapa engkau melamun terus dan menghela napas panjang?”

"Ah, itukah yang kau tanyakan? Nio-cu, marilah kita mengaso dan berteduh di bawah pohon itu,” kata Thian Liong.

“Baiklah, memang sinar matahari panas bukan main dan kuda kita juga sudah lelah,” kata Pek Hong Nio-cu.

Mereka menuju ke sebuah pohon besar yang tumbuh di tepi Sungai Han, turun dari kuda dan menambatkan kuda di batang pohon kecil tak jauh dari situ. “Kota Yun-sian berada tidak jauh lagi di depan. Sebelum sore kita sudah dapat memasuki kota itu.”

“Nio-cu, agaknya engkau mengenal betul daerah ini,” kata Thian Liong.

“Tentu saja, sudah beberapa kali aku mengunjungi Paman Kuang yang memimpin pasukan menjaga perbatasan. Tapi, engkau belum menjawab pertanyaan tadi, Thian Liong.”

Pemuda itu duduk di atas batu di bawah pohon yang teduh itu dan Pek Hong Nio-cu juga duduk di atas batu di depannya. Pemandangan di situ amat indah. Di dekat mereka, hanya empat meter jauhnya, tampak Sungai Han mengalirkan airnya yang masih jernih dengan tenang.

Di tepi sungai, kanan kiri, tumbuh subur segala macam pohon dan semak. Sebuah perahu terapung di tepi sungai tak jauh dari tempat mereka duduk. Seorang pengail duduk di atas perahu itu, duduk seperti patung, memegangi tangkai pancingnya, bahkan menengokpun tidak ketika Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berhenti di bawah pohon. Dia tenggelam ke dalam keasyikan memancing ikan.

Pengail itu memakai caping lebar akan tetapi sedikit bagian mukanya kelihatan dan ternyata dia adalah seorang laki-laki yang sudah tua. Thian Liong, dan Pek Hong Nio-cu tidak memperdulikan kakek itu yang dari bentuk capingnya dapat diduga bahwa dia tentu seorang bersuku bangsa Hui.

“Aku harus menjawab bagaimana, Pek Hong Nio-cu? Aku tadi memang sedang melamun. Panasnya sinar matahari dan kuda kita yang berjalan perlahan membuat aku mengantuk lalu melamun.”

“Hemm, melamun sambil cengar-cengir, tersenyum dan menghela napas. Apa saja sih yang kau lamunkan?”

Tentu saja Thian Liong merasa malu untuk menceritakan bahwa tadi dia melamun, membayangkan gadis-gadis yang pernah berurusan dengannya! “Ah, aku melamun tentang masa laluku sampai saat ini.”

“Kenapa senyum-senyum dan menghela napas segala? Seperti orang bergembira kemudian bersedih!” desak puteri itu.

“Aku bergembira ketika teringat ketika aku masih kanak-kanak lalu bersedih kalau mengingat keadaanku sekarang, mengejar pencuri kitab yang tidak kuketahui namanya dan kuketahui tempat tinggalnya. Kitab itu harus kudapatkan kembali untuk kuserahkan kepada yang berhak di Kun-lun-pai, kalau tidak berarti aku gagal melaksanakan perintah suhu.”

Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu penuh perhatian. Agaknya hatinya tertarik sekali. “Souw Thian Liong, maukah engkau menceritakan riwayatmu ketika engkau masih kecil, tentang orang tuamu, tentang gurumu? Aku sudah lama mendengar tentang Tiong Lee Cin-jin yang sangat terkenal sebagai seorang yang sakti berilmu tinggi, juga yang dikenal sebagai Tabib Dewa, suka menolong siapa saja tanpa pilih bulu. Bahkan semua keluarga ayahku di istana mengenal nama itu dan merasa kagum.”

“Tidak ada apa-apa yang menarik tentang diriku, Nio-cu. Aku seorang anak desa yang tinggal di sebuah dusun kecil di lereng Mao-mao-san. Ketika berusia lima tahun, ayah ibuku meninggal dunia karena wabah penyakit perut yang mengamuk di dusun kami.”

“Aduh, kasihan sekali engkau, Thian Liong. Dalam usia lima tahun sudah piatu, ditinggal mati ayah ibu,” kata Pek Hong Nio-cu sambil memandang wajah Thian Liong dengan iba.

“Aku hidup berdua dengan nenekku dan setelah berusia sepuluh tahun aku bekerja kepada Lurah Coa di dusun kami. Pekerjaanku menggembala kerbau.”

Pek Hong Nio-cu tersenyum lebar. “Ah, aku teringat akan dongeng Ibuku. Ketika aku masih kecil ibu mendongeng tentang seorang pemuda penggembala kerbau yang dengan tiupan sulingnya menarik perhatian seorang bidadari sehingga bidadari turun dari langit kemudian menjadi isteri si penggembala kerbau...”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.