Kisah Si Naga Langit Jilid 17

Sonny Ogawa

Kisah Si Naga Langit Jilid 17 karya Kho Ping Hoo - THIAN LIONG tertawa. “Ha-ha, kalau meniup suling akupun bisa, akan tetapi mana mungkin ada bidadari memperhatikan aku?”

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

“Hemm, siapa tahu? Engkau juga seorang penggembala kerbau yang istimewa, Thian Liong. Lanjutkan ceritamu yang menarik sekali itu.”

Thian Liong merasa heran. Bagaimana kisah tentang seorang penggembala kerbau saja menarik hati gadis ini? Akan tetapi segera dia teringat bahwa gadis ini adalah seorang puteri raja, tentu saja tertarik mendengar akan kehidupan seorang penggembala seperti juga seorang penggembala akan tertarik mendengar akan kehidupan seorang puteri raja. Setiap orang selalu tertarik akan hal yang baru, akan hal yang tak pernah dialaminya atau keadaan yang berlawanan dengan keadaannya sendiri.

“Ketika aku berusia sepuluh tahun, pada suatu hari aku menggembala kerbau dan kebetulan aku bertemu dengan suhu Tiong Lee Cin-jin. Nenekku yang sudah berusia delapanpuluh tahun, meninggal dunia dan aku lalu ikut dan menjadi murid suhu. Selama sepuluh tahun aku mempelajari ilmu dari suhu. Kemudian, setahun lebih yang lalu, suhu menyuruh aku turun gunung.

"Dan aku diberi tugas untuk menyerahkan kitab-kitab kepada Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai. Sayang sekali, kitab untuk Kun-lun-pai itu dicuri gadis baju merah yang kini sedang kucari itu. Nah, itulah riwayatku, Nio-cu. Sekarang akupun ingin mendengar riwayat seorang puteri raja, kalau saja engkau tidak keberatan untuk menceritakan kepada seorang penggembala kerbau.”

Pek Hong Nio-cu tertawa. “Heh-heh, engkau membalas atau menagih? Riwayatku ketika masih kecil lebih tidak menarik lagi. Aku hidup di dalam istana, serba tertutup, tidak bebas seperti engkau. Ke mana-mana dikawal, sungguh menyebalkan. Akan tetapi untung bagiku, ayahku memberi kebebasan kepadaku setelah aku remaja.

"Bahkan mengijinkan aku mempelajari segala macam ketangkasan. Menunggang kuda sudah bisa kulakukan sejak aku berusia lima tahun. Akan tetapi masih kalah olehmu. Engkau berani menunggang kerbau sejak kecil, sedangkan aku, sampai sekarangpun nanti dulu kalau disuruh menunggang kerbau!”

“Siapakah yang mengajarimu ilmu silat sehingga engkau kini memiliki kepandaian yang tinggi?”

“Guruku banyak sekali. Jagoan istana yang mana saja tentu akan mengajarkan ilmu silatnya kepadaku kalau aku memberitahu ayah. Ayah yang memerintahkan mereka untuk mengajariku dengan baik.”

“Wah, agaknya engkau seorang anak yang manja dan nakal!” kata Thian Liong sambil tertawa.

Pek Hong Nio-cu juga tertawa dan bukan main manisnya kalau puteri ini tertawa. Tawanya bebas sehingga tampak deretan giginya yang putih rapi seperti mutiara dan lidahnya yang kecil merah sehat.

“Memang aku dimanja olah ayahku akan tetapi aku tidak nakal!” katanya. “Dan guruku yang terakhir malah belum pernah berhadapan muka dan belum pernah bicara dengan aku, sungguhpun aku pernah melihatnya satu kali.”

“Lho, bagaimana mungkin? Lalu bagaimana dia kauanggap sebagai gurumu dan bagaimana pula caramu mempelajari ilmunya?” tanya Thian Liong heran.

“Begini ceritanya. Pada suatu waktu, aku melihat ibu... bicara dengan seorang laki-laki dalam taman. Aku tidak berani mengganggu dan ketika aku bertanya kepada ibu, ibu hanya menceritakan bahwa laki-laki itu adalah seorang sahabat lama dan aku disuruh menyebutnya paman Sie. Paman Sie itu menurut ibuku, menjadi guruku juga karena dia telah memberikan tiga buah kitab pelajaran silat seperti yang pernah kuperlihatkan padamu dan sebuah perhiasan rambut yang kupakai ini.” Pek Hong Nio-cu meraba perhiasan rambut berbentuk burung Hong yang berada di kepalanya.

“Hemm, jadi karena engkau memakai perhiasan itu maka engkau mendapat julukan Pek Hong Nio-cu (Nona Burung Hong Putih?”

“Kira-kira begitulah, akan tetapi ibuku memesan agar aku merahasiakan dari siapa juga tentang kunjungan Paman Sie itu. Bahkan kepada ayahpun aku tidak menceritakannya.”

“Akan tetapi kenapa kepadaku engkau menceritakan?”

“Ah, entahlah. Aku percaya padamu, Thian Liong. Dan pula, aku kira ibuku melarang aku bercerita karena ibuku adalah seorang wanita berbangsa Han dan agaknya Paman Sie itu juga berbangsa Han. Aku tidak menceritakan kepada seorangpun dari bangsa Nuchen (Kin) dan aku hanya bercerita kepadamu karena engkau adalah seorang pemuda Han juga dan aku percaya sepenuhnya kepadamu.”

“Terima kasih, Nio-cu. Apakah semenjak itu engkau tidak pernah bertemu atau melihat Paman Sie itu?”

“Tidak pernah. Aku amat berterima kasih kepadanya karena setelah aku mempelajari ilmu-ilmu dari kitabnya, aku memperoleh kemajuan pesat. Aku ingin sekali bertemu dan menghaturkan terima kasih kepadanya, akan tetapi aku tidak tahu di mana dia. Bahkan ketika aku bertanya kepada ibu, Ibu juga tidak mengetahuinya dan hanya mengatakan bahwa Paman Sie adalah seorang perantau besar.”

“Tiga buah kitab pelajaran ilmu silat itu memang mengandung pelajaran ilmu silat yang amat hebat, Nio-cu. Paman Sie itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Oya, kalau Ibumu seorang wanita Han, siapakah namanya?”

“Namanya Tan Siang Lin. Nama yang bagus, bukan? Dan engkau nanti setelah berhasil menemukan gadis pencuri kitab dan merampasnya lalu mengembalikan kepada Kun-lun-pai, lalu apa selanjutnya yang akan kaulakukan, Thian Liong?”

“Suhuku masih memberi sebuah tugas lain yang tidak kalah pentingnya. Aku harus membantu para pendekar yang berusaha menyelamatkan Kerajaan Sung dari cengkeraman kekuasaan Perdana Menteri Chin Kui.”

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. “Ah, aku tahu siapa itu Perdana Menteri Chin Kui. Dia banyak membantu Kerajaan Kin, akan tetapi ibuku seringkali bilang bahwa Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung itu adalah seorang pengkhianat besar dan seorang jahat. Bahkan akhir-akhir ini ayahku, Raja Kerajaan Kin, juga mengecamnya dan pernah bilang kepadaku bahwa Chin Kui adalah seekor ular kepala dua yang berbahaya dan tidak boleh dipercaya.

"Sebagai perantara hubungan Kerajaan Kin dan Kerajaan Sung, Chin Kui itu sering kali menjegal dan telah ketahuan bahwa dia juga mencuri sebagian dari hadiah-hadiah yang dikirimkan oleh Raja Sung untuk Raja Kin. Maka, sekarang ayahku mulai tidak percaya dan merenggangkan hubungannya dengan pembesar Chin Kui itu.”

“Wah, agaknya engkau mengerti banyak tentang keadaan politik kerajaan Kin, Nio-cu!” kata Thian Liong sambil memandang kagum. Ternyata gadis ini memiliki banyak kemampuan dan pengetahuan yang mengejutkan. Biasanya wanita jarang ada yang mau tahu tentang pemerintahan.

“Tentu saja, Thian Liong. Akupun bertanggung jawab atas keselamatan pemerintahan Kerajaan Kin yang dipimpin ayah, bukan? Malah diam-diam akupun melakukan penyelidikan dan selalu menentang dan memberantas para pembesar Kin yang lalim, tidak jujur dan tidak setia. Aku tahu pula bahwa diam-diam ada persekutuan di kota raja dan aku mendengar bahwa persekutuan untuk memberontak itu dibantu pula oleh pembesar Chin Kui dari Kerajaan Sung.”

“Ah, begitukah?”

“Karena itulah aku sekarang pergi ke barat untuk mengunjungi Paman Pangeran Kuang yang menjadi panglima yang memimpin bala tentara yang menjaga perbatasan. Aku akan menceritakan semua itu kepada Paman Pangeran Kuang karena dia adalah seorang ahli yang setia kepada ayah dan menjadi komandan pasukan besar dan kuat. Dia tentu akan datang ke kota raja membawa pasukannya untuk menghancurkan komplotan pemberontak itu.”

“Siapakah yang memimpin persekutuan untuk memberontak, Nio-cu?” Thian Liong merasa heran. Ternyata Kerajaan Kin yang merupakan kerajaan bangsa Nu-chen yang menjajah dan terkenal kuat itupun keadaannya sama saja dengan kerajaan Sung yang karena penyerangan bangsa Nuchen terpaksa pindah ke sebelah selatan Sungai Yang-ce, yaitu ada saja orang-orang yang berkhianat. “Atau, barangkali aku tidak boleh mengetahui?”

“Ah, aku percaya padamu, Thian Liong. Engkaupun tadi sudah bicara blak blakan tentang Perdana Menteri Chin Kui kepadaku. Penggerak persekutuan pemberontak itu adalah seorang pangeran juga, jadi masih pamanku sendiri, paman tiri. Dia bernama Pangeran Hiu Kit Bong. Akan tetapi karena belum mendapatkan bukti bahwa dia akan memberontak dan menyusun kekuatan secara diam-diam.

"Bahkan mungkin sekali mengadakan persekutuan dengan Chin Kui, maka aku tidak dapat berbuat sesuatu. Melapor kepada ayahpun pasti tidak akan dipercaya kalau tidak ada buktinya. Karena itu, jalan satu-satunya adalah menceritakan kepada Paman Pangeran Kuang yang tentu akan dapat membasmi para pemberontak.”

“Hemm, kalau ada kesempatan, aku siap untuk membantumu, Nio-cu,” kata Thian Liong.

Pek Hong Nio-cu menatap wajah Thian Liong, seolah ingin menjenguk isi hati pemuda itu. “Akan tetapi, Thian Liong, engkau seorang pemuda berbangsa Han!”

“Hemm, kalau begitu, kenapa Nio-cu?”

“Bagaimana engkau akan membela kepentingan kerajaan Kin? Bukankah kerajaan Kin telah menyebabkan kerajaan Sung mengungsi ke selatan? Apakah engkau tidak mendendam kepada bangsa Nuchen yang mendirikan kerajaan Kin yang menjajah tanah airmu?”

Thian Liong merasa heran. Bagaimana puteri raja Kin dapat berkata begitu kepadanya? Ini tentu pengaruh ibu puteri itu, yang juga seorang wanita berbangsa pribumi Han.

“Suhu mengajarkan kepadaku agar aku tidak mencampuri urusan antara kerajaan Kin dan kerajaan Sung. Menurut suhu, yang terpenting adalah menyejahterakan kehidupan rakyat, melenyapkan kejahatan dan kebodohan. Karena kalau rakyat hidup sejahtera dan kejahatan dapat dlbasmi atau setidaknya dikurangi, maka negara akan menjadi kuat.

"Kalau para pejabat melakukan tugasnya dengan jujur dan setia, mementingkan kebutuhan rakyat jelata, maka rakyat pasti akan mendukung pemerintah dan pemerintah menjadi kuat. Kalau terjadi sebaliknya, yaitu kalau para pejabat saling berebutan kekuasaan dan harta benda, tanpa memperdulikan rakyat bahkan menindas rakyat, pasti pemerintah yang tidak didukung rakyat akan menjadi lemah dan mudah dikalahkan musuh, seperti halnya kerajaan Sung dahulu.

"Mengingat akan ajaran suhu itu, aku tidak mau mendendam kepada kerajaan Kin, bahkan aku siap membantu selama kerajaan Kin mempunyai pemeritahan yang baik dan yang memperhatikan kepentingan rakyat jelata.”

“Bagus! Akupun berpendirian seperti engkau, Thian Liong. Apalagi aku mempunyai darah campuran, ayahku orang Nuchen dan ibuku orang Han. Kalau engkau mau membantu aku menentang pemberontak di kerajaan Kin, kelak aku pasti akan membantumu untuk menentang kekuasaan Chin Kui yang berkhianat terhadap kerajaan Sung.”

Tiba-tiba terdengar suara derap kaki banyak kuda. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu duduk dengan tetap tenang dan memandang ke arah rombongan berkuda yang mengakibatkan debu mengepul itu. Akan tetapi ketika rombongan itu tiba di dekat mereka, terdengar seruan nyaring.

“Berhenti...!!”

Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong masih duduk dengan tenang walaupun kini mereka memandang kepada rombongan itu dengan penuh perhatian. Mereka melihat bahwa mereka semua terdiri dari sekitar tigapuluh orang akan tetapi tidak dapat dilihat jelas wajah mereka karena debu mengepul dan banyak di antara mereka yang wajahnya tertutup debu seperti dibedaki.

Akan tetapi melihat pakaian seragam pasukan itu, Pek Hong Nio-cu mengenal mereka sebagai pasukan kerajaan Kin. Maka ia cepat bangkit dan melangkah maju menghadapi mereka.

Kembali terdengar aba-aba dan semua perajurit berlompatan turun dari atas kuda mereka. Beberapa orang di antara mereka yang bertugas mengatur kuda segera mengumpulkan kuda-kuda itu agak menjauh dan menambatkannya pada pohon pohon.

Lima orang jagoan yang memimpin pasukan itu cepat maju dan berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu. Tentu saja puteri ini segera mengenal mereka karena dahulu, ketika ia masih remaja dan lima orang itu masih menjadi pengawal-pengawal pribadi Raja Kin, ia pernah juga menerima pelajaran silat dari mereka.

Akan tetapi kemudian lima orang ini melakukan pelanggaran dan dikeluarkan dari istana. Maka, tentu saja Pek Hong Nio-cu tidak lagi menganggap mereka sebagai guru, bahkan memandang mereka sebagai orang-orang yang jahat dan khianat.

Dengan alis berkerut Pek Hong Nio-cu memandang lima orang yang berdiri dengan sikap sungkan itu, lalu ia menegur mereka. “Mau apa kalian datang ke sini? Hayo pergi dan jangan mengganggu aku!”

Bagaimanapun juga, Puteri Moguhai amat terkenal dan disegani segenap orang di kerajaan Kin. Ia memiliki wibawa yang amat kuat sehingga ketika puteri itu membentak mereka, lima orang jagoan itu menjadi gentar dan mereka saling pandang, menjadi salah tingkah.

Con Gu mewakili rekan-rekannya berkata kepada Pek Hong Nio-cu setelah membungkuk dalam-dalam. “Harap paduka maafkan kami kalau kami mengganggu. Kami melaksanakan perintah Sri baginda Kaisar untuk mengajak paduka pulang ke kotaraja.”

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. “Kenapa aku harus pulang? Apa yang terjadi di istana?” terkandung kekhawatiran dalam suaranya.

“Kami tidak tahu, tugas kami hanya mengajak paduka segera kembali ke kota raja,” kata Con Gu.

Pek Hong Nio-cu adalah seorang gadis yang cerdik. Ia berpikir, kalau ayahnya memanggilnya puIang, tidak mungkin ayahnya mengutus lima orang ini. Apa lagi pasukan itu bukan pasukan pengawal istana karena ia tidak mengenal mereka. Ada sesuatu yang ganjil di sini, sesuatu yang agaknya tidak beres.

“Kalau Sribaginda memanggil aku pulang dan memerintahkan kalian menjemputku, perlihatkan padaku surat perintahnya!” katanya sambil menatap tajam wajah Con Gu.

Con Gu menjadi salah tingkah dan kembali dia saling pandang dengan empat orang rekannya dan tampak bingung. “Akan tetapi...” Dia berkata gagap.

“Tidak ada tapi, cepat keluarkan surat perintah Sribaginda Kaisar!” bentak Pek Hong Nio-cu sambil menghunus pedang bengkok dari emas yang menjadi tanda kekuasaannya sebagai wakil Kaisar itu.

Con Gu menjadi semakin bingung. Akan tetapi tiba-tiba Koi Cu, orang kedua dari lima jagoan itu, yang lebih tabah, berkata, “Surat perintahnya berada di tangan Pangeran Hiu Kit Bong dan kami menerima perintah dari beliau. Harap paduka menurut dan ikut saja dengan kami!”

Wajah Pek Hong Nio-cu yang putih itu kini berubah kemerahan, sinar matanya menyambar penuh kemarahan. “Keparat! Kalian tidak melihat pedang kekuasaan ini? Aku tidak mau pulang bersama kalian, habis kalian mau apa?”

Melihat keberanian Koi Cu tadi, kini Con Gu pulih kembali ketabahannya dan dia berkata, “Kalau paduka menolak, terpaksa kami menggunakan kekerasan.”

“Berani kalian melawan aku yang membawa pedang kekuasaan ini? Berarti kalian berani melawan Sribaginda Kaisar, berarti kalian pengkhianat dan pemberontak!”

“Kami hanya melaksanakan perintah Pangeran Hiu Kit Bong!” kata Con Gu.

“Kalau begitu paman Pangeran Hiu Kit Bong itu yang hendak memberontak! Aku tetap tidak mau ikut kalian pulang. Hendak kulihat kalian dapat berbuat apa terhadapku!” Pek Hong Nio-cu membentak marah.

“Kalau begitu, terpaksa kami akan menangkap paduka!” Con Gu berkata dan dia memberi isyarat.

Dua losin perajurit itu lalu bergerak mengepung kanan kiri dan depan Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong yang masih duduk. Di belakang kedua orang muda ini adalah sungai sehingga mereka tidak mendapatkan jalan keluar, sudah terkepung rapat. Thian Liong lalu melompat dan berdiri di sisi Pek Hong Nio-cu.

Tadi dia diam saja karena tidak ingin mencampuri Pek Hong Nio-cu yang bicara dengan pimpinan pasukan kerajaan Kin dan dia merupakan orang luar. Akan tetapi melihat perkembangannya, mau tidak mau harus mencampurinya.

“Hei, apakah kalian berlima ini tidak malu? Yang hendak kalian lawan ini adalah puteri Sri Baginda Kaisar kerajaan Kin, junjungan kalian sendiri! Berarti kalian ini terang-terangan menjadi pengkhianat dan pemberontak!” kata Thian Liong sambil memandang tajam mereka berlima.

Tiba-tiba dari belakang pasukan itu menerobos seorang pemuda yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia bukan anggauta pasukan.

“Souw Thian Liong, engkau harus kutangkap untuk menerima pengadilan di depan para ketua Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai!” bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Cia Song yang tadi memang bersembunyi di belakang pasukan.

Melihat pemuda itu, Thian Liong terbelalak kaget dan heran bukan main. “Cia-suheng (kakak seperguruan Cia)! Engkau di sini, bersama pasukan pengkhianat ini? Apa artinya ini, suheng?”

“Tak usah engkau mengurus hal itu. Menyerahlah engkau untuk kubawa menghadap para ketua Siauw-lim-pai dan Kun lun-pai untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!”

“Perbuatan apakah itu, Cia-suheng?” Thian Liong bertanya, heran dan penasaran.

“Jangan pura-pura bertanya! Menyerah saja dan engkau akan diadili!”

Pek Hong Nio-cu berseru keras, “Ah, sekarang aku tahu, Thian Liong. Orang yang kau sebut suhengmu ini tentulah utusan Perdana Menteri Chin Kui untuk menghubungi pengkhianat Pangeran Hiu Kit Bong itu!”

Thian Liong terbelalak memandang kepada Cia Song. “Ah! Benarkah engkau menjadi anak buah Perdana Menteri Chin Kui dan bersekutu dengan pangeran yang memberontak di kerajaan Kin? Cia-suheng, bagaimana engkau bisa....”

“Tangkap mereka! Keroyok pemuda itu, biar aku yang menangkap Pek Hong Nio-cu!” kata Cia Song dan dia sudah menerjang maju, menyerang Pek Hong Nio-cu dengan pedang beronce merah yang dia cabut dari punggungnya.

“Tranggg....!” Pek Hong Nio-cu menangkis dan keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar, menunjukkan bahwa mereka memiliki tenaga sin-kang yang tidak berselisih jauh kekuatannya.

Sementara itu, lima orang jagoan Kin itu sudah membentuk Ngo-heng Kiam-tin mengeroyok Thian Liong. Melihat hebatnya barisan pedang itu, yang masing masing anggautanya menggerakkan pedang samurai dengan dahsyat sekali, Thian Liong juga mencabut Thian-liong-kiam dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya bertubi-tubi dari lima jurusan itu.

Thian Liong maklum bahwa dia menghadapi orang-orangnya para pengkhianat, baik pengkhianat kerajaan Sung maupun pengkhianat kerajaan Kin dan pasti mereka itu tidak mempunyai niat baik terhadap Pek Hong Nio-cu. Akan tetapi dia merasa heran sekali mengapa Cia Song yang sama sekali tidak diduganya telah menjadi antek Chin Kui dan bersekongkol dangan pengkhianat kerajaan Kin kini hendak menangkapnya untuk dihadapkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk diadili!

Apa yang terjadi? Dia tidak melakukan sesuatu kesalahan terhadap dua perkumpulan besar itu! Karena merasa penasaran, Thian Liong lalu mengamuk. Thian-liong-kiam di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung sehingga Ngo-heng Kiam tin itupun tidak mampu mendesaknya dan serangan mereka selalu terpental apabila bertemu dengan sinar pedang itu.

Akan tetapi Thian Liong juga mendapat kenyataan bahwa barisan pedang yang terdiri dari lima orang itu tak boleh dipandang ringan. Kerja sama mereka rapi sekali, saling melindungi dan saling memperkuat daya serang sehingga dia harus berhati-hati.

Sementara itu, Pek Hong Nio-cu menjadi marah sekali ketika Cia Song berkata dengan suara merayu, “Ah, puteri jelita, sebaiknya engkau menyerah saja daripada kulitmu yang putih mulus itu menjadi lecet. Sayang kalau engkau sampai terluka, manis.”

“Singgg....!” Itulah jawaban Pek Hong Nio-cu. Pedangnya menyambar dahsyat sehingga Cia Song menjadi terkejut sekali dan dia harus cepat mengelak sambil menggerakkan pedangnya menangkis.

“Cringgg....!” Akan tetapi begitu tertangkis, pedang ditangan Pek Hong Nio cu itu telah menyambar lagi, sekali ini dengan babatan seperti kilat menyambar ke arah leher lawan!

Cia Song kembali harus melompat ke belakang untuk menghindarkan diri, kemudian mau tidak mau dia membalas dengan serangannya karena tak mungkin melawan gadis ini hanya dengan bertahan saja. Pek Hong Nio-cu terlalu tangguh untuk dilawan dengan seenaknya. Dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya untuk dapat mengimbangi gadis bangsawan itu.

Bahkan ketika dia mencoba untuk mempergunakan ilmu sihirnya, mengeluarkan bentakan dengan suara yang mengandung sihir dan dayanya melumpuhkan, Pek Hong Nio-cu sama sekali tidak terpengaruh. Hal ini adalah karena dara itu juga telah menghimpun tenaga sakti yang kuat sehingga dapat menolak pengaruh sihir lawan.

Melihat betapa tidak mudah baginya untuk mengalahkan Pek Hong Nio-cu, apalagi menangkapnya, dan melihat pula sekelebatan betapa keadaan Ngo-heng Kiam-tin juga tidak lebih baik karena mereka itu agaknya bahkan kewalahan menghadapi gulungan sinar pedang Thian Liong, Cia Song lalu berseru kepada pasukan yang terdiri dari dua losin perajurit itu. “Pasukan bergerak, serbu......!!”

Dua losin perajurit itu bergerak, terpecah menjadi dua bagian. Selosin perajurit mengeroyok Thian Liong dan yang selosin lagi mengeroyok Pek Hong Nio-cu. Pek Hong Nio-cu yang mendapatkan lawan seimbang, bahkan merasa betapa Cia Song merupakan lawan yang amat tangguh, menjadi marah sekali ketika selosin orang perajurit itu membantu Cia Song mengeroyoknya. Ia berseru melengking dan pedangnya yang membentuk sinar keemasan itu menyambar-nyambar.

Dua orang perajurit mengaduh dan terpelanting roboh. Melihat ini, Cia Song memperhebat desakannya dan para perajurit yang mengeroyok mulai khawatir. Mereka adalah perajurit pilihan, namun dalam beberapa jurus saja gadis itu telah mampu merobohkan dua orang!

Thian Liong juga mempercepat gerakan pedangnya setelah selosin orang perajurit ikut mengeroyok. Menghadapi Ngo heng Kiam-tin dia masih dapat mengatasi mereka, akan tetapi sebelum dapat merobohkan lima orang samurai itu, kini maju selosin perajurit mengeroyoknya. Maka dia segera menerjang dan tiga orang perajurit roboh oleh sambaran sinar pedangnya.

Tiba-tiba Cia Song mengeluarkan aba aba. Memang dialah sebenarnya yang menjadi pemimpin pasukan itu dan Ngo-heng Kiam-tin hanya menjadi pembantu-pembantunya. Setelah dia mengeluarkan aba-aba, sisa perajurit yang masih sembilanbelas orang itu segera mengeluarkan jaring yang memang sudah dlpersiapkan dan mereka adalah perajurit-perajurit yang terlatih menggunakan senjata istimewa ini.

Begitu mereka menyerang maka jaring-jaring ditebarkan ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu! Dua orang muda itu mengelak ke sana-sini dan menggunakan pedang untuk menangkis dan merobek jaring yang menyambar. Akan tetapi mereka terkejut karena ternyata jaring-jaring itu terbuat dari tali istimewa yang tidak mudah dirusak senjata tajam!

Akhirnya tubuh Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu tertangkap jaring! Thian Liong mengerahkan tenaga saktinya, meronta dan menggerakkan pedangnya. Dua orang yang berhasil menangkapnya dengan jaring dan memegangi tali jaring itu, disambar sinar pedangnya yang mencuat keluar dari jaring. Dua orang itu terpelanting roboh. Thian Liong meronta keluar dari selimutan jaring-jaring itu.

Dia melihat betapa Pek Hong Nio-cu juga tertangkap oleh dua jaring dan dara itu meronta-ronta, mengamuk dengan pedangnya namun tidak dapat melepaskan dirinya. Melihat ini, Thian Liong mengeluarkan pekik melengking dan getaran suara pekik yang amat lantang ini membuat pengeroyok mundur beberapa langkah. Dia lalu melompat mendekati Pek Hong Nio-cu. Pedangnya digerakkan menangkis sambaran pedang Cia Song.

"Tranggg......!” Bunga api berpijar dan Cia Song terpental mundur beberapa langkah. Biarpun tubuhnya sudah diselimuti jaring, namun Pek Hong Nio-cu masih dapat melindungi dirinya dengan pedangnya yang dapat keluar dari sela-sela tali jaring.

Thian Liong mendesak maju dan begitu pedangnya berkelebat, dua orang perejurit yang menangkap Pek Hong Nio-cu dengan jaring mereka terpelanting roboh. Thian Liong cepat membuka tali jaring dan menyambar tangan Pek Hong Nio-cu. Keadaannya terlalu berbahaya setelah para perajurit mempergunakan senjata jaring itu.

“Kita pergi!” katanya dan dia mengajak Pek Hong Niocu melompat ke tepi sungai lalu sekali menggerakkan kaki, mereka berdua melompat ke atas perahu di mana kakek tadi masih memegang tangkai pancingnya dengan tenang seolah tidak mendengar atau melihat adanya pertandingan di dekat sungai. Dengan ginkangnya yang tinggi, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu dapat hinggap di atas perahu pengail ikan itu tanpa mengakibatkan perahu itu oleng terlalu kuat.

“Maafkan, paman. Kami menumpang di perahumu...” kata Thian Liong.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pengail ikan yang tua itu tiba-tiba saja menggerakkan kedua tangannya mendorong ke depan, ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Dorongan itu mendatangkan angin yang dahsyat. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berusaha menangkis, namun karena mereka berdiri di atas perahu yang kecil, maka tak dapat dihindarkan lagi tubuh mereka terdorong dan keduanya terjengkang dan terjatuh ke dalam air!

Mereka memang tidak sampai terluka oleh serangan pukulan jarak jauh, akan tetapi mereka terjatuh ke dalam air yang dalam. Keduanya hanya dapat berenang sekadar tidak tenggelam saja. Akan tetapi ketika mereka berusaha berenang, para perajurit berloncatan ke dalam air dan tak lama kemudian, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu merasa betapa kaki mereka dipegang orang dari bawah dan tubuh mereka diseret ke dalam air!

Tentu saja mereka terkejut bukan main dan berusaha melepaskan kaki mereka yang dipegang orang. Akan tetapi, kini yang memegangi kaki mereka bertambah banyak. Di darat boleh jadi mereka merupakan orang-orang yang amat lihai. Akan tetapi dalam air, mereka tak mampu berbuat banyak karena melawan air agar tidak tenggelam saja sudah membutuhkan sebagian besar tenaga mereka.

Karena itu, ketika kaki mereka dipegang banyak orang yang memang merupakan pakar dalam air, mereka tidak berdaya. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berusaha untuk menahan napas, namun mereka menjadi lemas dan akhirnya tak dapat meronta lagi dan mereka berdua dibelit-belit tali yang kuat lalu dinaikkan ke darat dalam keadaan setengah pingsan!

Karena Cia Song tidak menghendaki mereka mati, maka dia lalu memerintahkan para perajurit yang ahli dalam menolong orang yang hanyut dalam air untuk menyelamatkan dua orang tawanan itu. Tubuh Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu ditelungkupkan dan banyak air yang tertelan dapat dikeluarkan melalui mulut. Akhirnya kedua orang tawanan itu sadar betul.

Thian Liong melihat bahwa dia dan Pek Hong Nio-cu sudah terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan tubuh mereka tidak dapat digerakkan karena agaknya telah ditotok secara lihai sekali. Dia menduga bahwa yang menotok jalan darah mereka tentulah Cia Song.

Dia tidak berkata apa-apa hanya memandang mereka yang berdiri menghadapinya. Dia melihat lima orang yang membentuk Ngo-heng Kilam-tin yang tadi mengeroyoknya dan di samping mereka berdiri Cia Song yang memandang kepada Pek Hong Nio-cu dengan mulut menyeringai.

Dan di sebelah murid Siauw-lim-pai yang menjadi antek Chin Kui dan bersekongkol dengan para pengkhianat kerajaan Kin itu berdiri seorang kakek yang bukan lain adalah tukang pancing tadi! Kiranya kakek tukang pancing itu merupakan seorang di antara mereka.

Bahkan yang mengejutkan hati Thian Liong adalah ketika Cia Song bicara kepada kakek itu dan menyebutnya suhu. Jadi, di samping menjadi murid Siauw-lim-pai, diam-diam Cia Song telah berguru kepada kakek ini yang belum dia ketahui siapa orangnya.

“Suhu, sungguh kebetulan sekali suhu berada di sini. Teecu (murid) tadi sama sekali tidak mengenal suhu yang teecu kira seorang pemancing ikan biasa. Maafkan teecu dan terima kasih atas bantuan suhu sehingga mereka berdua ini dapat ditangkap,” kata Cia Song yang membuat Thian Liong keheranan dan kini dia mengamati kakek itu.

Kakek yang memakai caping lebar itu sudah tua, kurang lebih delapanpuluh tahun usianya. Tubuhnya tinggi kurus dan sikapnya lemah lembut. Dia memegang sebatang tongkat bambu. Kakek itu tertawa lirih. “Heh-heh, memang akhir-akhir ini aku sedang suka hidup di atas perahu dan setiap hari memancing ikan. Cia Song, aku dengar tadi semua pembicaraan. Jadi Pek Hong Nio-cu yang namanya terkenal itu adalah puteri Kaisar kerajaan Kin? Bukan main! Dan pemuda ini, ilmu silatnya hebat sekali. Murid siapakah dia?”

“Suhu, dia itu Souw Thian Liong murid Tiong Lee Cin-jin,” jawab Cia Song.

“Eh? Murid Tiong Lee Cin-jin? Kalau begitu mengapa tidak kau bunuh saja dia? Kalau dibiarkan hidup, kelak akan menjadi bahaya besar bagimu. Ilmu kepandaiannya lihai sekali, engkau tidak akan menang melawannya. Kalau tidak dibantu air sungai ini, mustahil engkau dapat menangkapnya.” Kakek itu menggunakan tangan kiri mengelus jenggotnya yang tebal dan sudah berwarna putih.

“Tidak, suhu. Teecu akan membawanya menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang akan mengadili dan menghukumnya.”

“Lalu apa yang hendak kau lakukan dengan puteri ini?” tanya pula kakek itu.

“Ia akan kami bawa kepada Pangeran Hiu Kit Bong untuk dijadikan sandera. Suhu, kalau suhu tidak ada urusan sesuatu, marilah suhu ikut dengan teecu. Sebaiknya kalau suhu membantu Pangeran Hiu Kit Bong agar kelak di hari tua suhu akan mendapatkan kemuliaan dan kehormatan.”

“Ha-ha, baiklah, Cia Song. Akupun sudah mulai bosan memancing ikan setiap hari. Aku ikut denganmu,” kata kakek itu lalu dia membuang pancing dan capingnya. Ternyata di bawah capingnya itu dia memakai sebuah sorban berwarna putih.

Pada saat itu Pek Hong Nio-cu baru sadar betul dan begitu ia sadar, ia lalu mencaci maki. “Jahanam keparat kalian para pengkhianat! Kalau Sribaginda mendengar, kalian tentu akan mendapatkan hukuman siksa sampai mati! Dan kamu, tua bangka keparat, aku tahu siapa kamu! Kamu adalah Ali Ahmed, datuk bangsa Hui yang sudah terkenal jahat dan kejam. Engkau manusia terkutuk, sudah tua bangka mau mati masih tidak mencari jalan terang. Matimu tentu akan tersiksa dan engkau akan masuk neraka jahanam!”

Cia Song memerintah anak buahnya. “Bawa kereta itu ke sini!”

Ternyata rombongan itu sudah mempersiapkan sebuah kereta untuk mengangkut kedua tawanan mereka. Setelah kereta yang ditarik dua ekor kuda itu datang, Cia Song berkata kepada Con Gu. “Paman Con Gu, kau angkat Thian Liong dan aku yang mengangkat sang puteri, kita masukkan mereka dalam kereta. Dan suhu, teecu harap suka duduk dalam kereta agar tidak lelah dalam perjalanan dan sekalian suhu menjaga dua orang tawanan ini agar tidak sampai lolos.”

“Hu-hu-ha-ha, baik, baik. Aku senang naik kereta,” kata kakek itu yang bukan lain adalah Ali Ahmed yang sepuluh tahun lebih yang lalu pernah mencoba untuk merampok kitab-kitab dari Tiong Lee Cin-jin. Dia memang menjadi guru dari Cia Song selama beberapa tahun.

Thian Liong diangkut oleh Con Gu, dibantu oleh Koi Cu, dan memasukkan pemuda itu ke dalam kereta. Cia Song sendiri memondong tubuh Pek Hong Nio-cu dan dia sengaja mendekap tubuh yang lunak hangat itu kuat-kuat ke dadanya, membuat jantungnya berdebar keras dibakar gairah berahinya.

Pek Hong Nio-cu tidak dapat meronta karena seluruh tubuhnya, dari kaki sampai ke dada, dibelit tali dan kaki tangannya diborgol kuat-kuat. Hanya matanya yang memandang kepada Cia Song dengan kebencian yang meluap-luap. Melihat sinar mata ini, kuncup juga hati Cia Song dan dia mencoba mengambil hati.

“Pek Hong Nio-cu, kalau engkau bersikap manis kepadaku, aku jamin engkau akan diperlakukan dengan baik dan tidak akan ada yang berani mengganggumu.”

“Siapa sudi mendengar ocehanmu!” kata sang puteri dengan marah.

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu didudukan di dalam kereta, berdampingan menghadap ke belakang sedangkan Ali Ahmed duduk di bangku di depan mereka. Begitu duduk dan bersandar, kakek tua renta itu segera tertidur sambil memegang tongkat bambunya. Akan tetapi baik Thian Liong maupun Pek Hong Nio cu maklum bahwa kakek itu tidak kehilangan kewaspadaannya dan selalu memperhatikan gerak gerik mereka berdua.

“Nio-cu aku menyesal sekali bahwa engkau sampai menjadi tawanan seperti ini. Semua ini gara-gara orang yang selama ini kuanggap sebagai suhengku (kakak seperguruanku). Tidak tahunya dia seorang murid Siauw-lim-pai yang berkhianat, tidak saja terhadap Siauw-lim-pai, akan tetapi bahkan terhadap bangsa dan negara.”

“Tidak usah menyesal, Thian Liong. Kalau ada yang menyesal, maka akulah orangnya. Kalau engkau tidak melakukan perjalanan bersama aku, engkau tentu tidak akan mengalami seperti sekarang ini.”

“Hemm, aku masih tidak mengerti mengapa jahanam itu menangkap aku. Engkau.... tidak takut, Nio-cu?”

Dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan tidak berdaya seperti puteri yang gagah perkasa itu masih dapat tersenyum manis sekali. “Takut? Bukankah engkau pernah rnengatakan bahwa hidup atau matinya seseorang itu berada di tangan Yang Maha Kuasa? Mengapa mesti takut? Kalau Yang Maha Kuasa menghendaki kita mati, siapa yang akan mampu mencegahnya, dan kalau Dia menghendaki kita hidup, siapa yang akan mampu membunuh kita?”

“Bagus! Engkau benar, Nio-cu. Akan tetapi, apakah engkau tidak putus harapan?”

“Mengapa putus harapan? Selama masih hidup, kita masih dapat berusaha untuk mengatasinya. Putus harapan berarti sudah menyerah sebelum berusaha. Aku tidak akan pernah putus harapan selagi masih hidup.”

Thian Liong merasa kagum akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir bukan main. Bukan khawatir kalau puteri itu akan dibunuh, melainkan khawatir akan bahaya yang lebih mengerikan daripada kematian itu sendiri. Cara Cia Song memandang sang puteri tadi, cara dia memondong dan mendekapnya yang sempat dilihatnya, membuat dia merasa khawatir sekali. Dia dapat merasakan betapa pemuda sesat itu memandang Pek Hong Nio-cu seperti seekor serigala memandang seekor kelinci!

Setelah rombongan itu berjalan sekitar dua jam mereka memasuki sebuah hutan yang cukup lebat. Akan tetapi terdapat sebuah jalan yang cukup lebar dalam hutan itu, jalan yang dibuat oleh pasukan kerajaan Kin untuk membuat hubungan dari daerah perbatasan sampai ke kota raja menjadi lancar. Juga para pedagang yang suka melakukan perjalanan dalam rombongan besar.

Yaitu dalam kafilah, membawa barang-barang dagangan dari timur ke barat dan sebaliknya, amat memerlukan jalan raya ini sehingga merekapun turun tangan mengeluarkan biaya untuk memperbaiki jalan itu sehingga kini jalan itu merupakan jalan yang cukup lebar dan nyaman.

Akan tetapi, baru kurang lebih satu lie (mil) rombongan pasukan yang dipimpin Cia Song itu memasuki hutan, tiba tiba saja terdengar suara berisik di depan dan mereka segera menahan kuda masing-masing. Kereta yang berada di tengah-tengah rombongan itupun dihentikan karena mereka semua melihat sebatang pohon besar tumbang menimbulkan suara berisik dan jatuh berdembum melintang dan menghalangi jalan!

Semua orang merasa heran dan mendekati pohon yang tumbang itu. Pohon itu besar dan cabangnya malang melintang memenuhi jalan. Bagi kuda-kuda tentu dapat mengambil jalan melalui pohon-pohon di tepi jalan, akan tetapi karena pohon-pohon itu berdekatan dan lebat sekali, juga banyak semak belukar, maka tidak mungkin bagi kereta untuk mendapatkan jalan lain kecuali jalan yang terhalang pohon roboh itu.

“Cepat singkirkan pohon itu!” Cia Song memberi perintah.

Para perajurit segera turun tangan dan beramai-ramai mereka memotongi batang pohon dan menariknya ke tepi jalan. Pekerjaan itu memakan waktu satu jam lebih, barulah kereta dapat lewat. Akan tetapi, baru saja kereta bergerak, belum ada duapuluh tombak jauhnya, kembali sebatang pohon di depan mereka roboh melintang di jalan!

Cia Song dan lima orang Ngo-heng Kiam-tin mulai curiga. Robohnya pohon pertama mereka anggap sebagai hal yang kebetulan saja karena mungkin batang pohon itu sudah keropos. Akan tetapi robohnya pohon kedua ini tak mungkin hanya kebetulan saja. Mereka berenam, juga para perajurit, memandang ke sekeliling. Akan tetapi tidak tampak bayangan seorangpun manusia lain di sekitar tempat itu.

Karena tidak dapat ditemukan orang lain yang mungkin menjadi penyebab tumbangnya pohon itu, terpaksa Cia Song kembali memerintahkan para perajurit untuk menyingkirkan pohon kedua yang roboh itu. Dia kini melihat hal yang membuat dia bergidik dan merasa seram.

Kalau pohon pertama itu tumbang dan patah batangnya, pohon kedua ini tumbang dan jebol berikut akar-akarnya! Tenaga apa yang mampu merobohkan pohon sebesar itu sampai jebol berikut akarnya? Seekor gajahpun belum tentu mampu melakukannya!

Kembali waktu lebih dari satu jam dipergunakan untuk menyingkirkan pohon kedua. Akan tetapi baru saja pohon itu disingkirkan, terdengar lagi bunyi berisik dan pohon berikutnya di depan yang lebih besar lagi tumbang melintang di pinggir jalan!

Sekali ini Cia Song tidak merasa ragu lagi. Pasti ada yang merobohkan pohon pohon itu! Akan tetapi, kiranya tidak mungkin ada manusia yang sanggup merobohkannya. Dia cepat menghampiri kereta di mana gurunya masih duduk dan agaknya Ali Ahmed tidak begitu perduli akan robohnya dua batang pohon tadi.

Sementara itu, Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong Nio-cu dan pemuda itu tersenyum, juga sang puteri tersenyum karena mereka berdua merasa yakin bahwa robohnya pohon-pohon secara berturut-turut itu bukan hal kebetulan dan jelas merupakan halangan bagi pasukan itu. Halangan bagi pasukan yang menawan mereka berarti harapan pertolongan bagi mereka.

“Suhu, pasti ada yang merobohkan pohon-pohon itu! Harap suhu suka keluar dan melakukan pemeriksaan,” katanya.

Ali Ahmed yang tua lalu turun dan keluar dari kereta sambil ditopang oleh tongkat bambunya. Dia menggeleng kepalanya yang bersorban lalu berkata, “Memang aneh. Kiranya sukar mencari orang yang kuat merobohkan pohon-pohon itu, dengan tenaga lahir maupun batin, kecuali...”

“Kecuali siapa, suhu?”

“Hemm, kecuali setan itu.”

Mendengar ucapan datuk Hui ini, Cia Song dan lima orang Ngo-heng Kiam-tin merinding. Mereka adalah orang-orang yang percaya sekali akan setan-setan dan ketahyulan semacam itu seperti hampir semua orang pada umumnya di jaman itu. Mendengar ini, Cia Song segera menghadap ke arah depan, ke arah pohon yang tumbang lalu menjatuhkan diri berlutut.

“Paduka yang menjaga dan menguasai hutan, harap maafkan kami kalau melanggar wilayah paduka. Hamba berjanji akan mengirim orang untuk membakar dupa dan bersembahyang di sini kelak. Ijinkanlah kami melewati jalan ini!”

Lima orang Ngo-heng Kiam-tin, bahkan semua perajurit yang juga tahyul ikut pula berlutut di belakang Cia Song. Juga kusir kereta sudah turun dan berlutut menghadap ke arah pohon ke tiga yang tumbang. Hanya Ali Ahmed yang tidak berlutut. Dia berdiri, bertopang pada tongkat bambunya dan sepasang matanya yang masih tajam itu mencari-cari ke depan, kanan dan kiri.

Ketika menyebut setan tadi, dia sama sekali tidak maksudkan hantu. Akan tetapi dia membiarkan saja muridnya dan para perajurit itu keliru menafsirkannya dan menyangka bahwa yang menumbangkan pohon-pohon benar-benar setan atau mahluk halus.

Setelah berlutut dan mengucapkan kata-kata minta maaf dan berjanji akan mengirim orang untuk menghormati “penguasa hutan” itu, Cia Song kembali menyuruh orang-orangnya untuk menyingkirkan pohon ketiga itu. Akan tetapi tiba-tiba saja, mereka terkejut mendengar suara Pek Hong Nio-cu.

“Pengkhianat-pengkhianat jahanam!”

Cia Song dan teman-temannya memutar tubuh mereka dan alangkah kaget dan heran hati mereka melihat Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu sudah berdiri di atas tanah dan telah bebas dari semua belenggu. Bahkan yang membuat Cia Song terkejut sekali adalah ketika melihat betapa dua orang tawanan itu sudah memegang pedang masing-masing!

Padahal, dia sudah merampas kedua pedang mereka itu dan menaruhnya di atas punggung kudanya, menyelipkan di sela kuda. Otomatis dia menoleh ke arah kudanya yang ditambatkan di tepi jalan dan melihat betapa pedang-pedang itu sudah tidak berada di sela kudanya!

Bukan hanya Cia Song dan semua temannya yang merasa heran. Bahkan Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu sendiri merasa terheran-heran. Tadi, ketika Ali Ahmed turun dari kereta, tiba-tiba saja mereka melihat sinar berkelebat menyambar ke dalam kereta dan tahu-tahu ikatan tangan mereka telah putus dan pedang mereka dilempar ke atas pangkuan mereka!

Tentu saja dengan tangan bebas dan pedang di pangkuan mereka, dengan mudah mereka lalu membikin putus semua tali yang mengikat tubuh dan kaki mereka. Kemudian mereka turun dari kereta dengan pedang masing-masing di tangan, lalu Pek Hong Nio-cu mengeluarkan bentakan marah itu.

Dapat dibayangkan kagetnya hati Cia Song melihat betapa dua orang tawanan itu telah lolos bahkan telah memegang pedang mereka kembali. Dia segera berkata dengan gurunya. “Suhu, harap suhu cepat robohkan mereka!”

Tadi ketika semua orang memutar tubuh, kakek itupun ikut memutar tubuh dan diapun merasa terkejut melihat dua orang tawanan itu sudah bebas dari belenggu. Diam-diam dia merasa gentar juga karena sejak pohon pertama tadi dia sudah mempunyai dugaan yang membuat hatinya merasa jerih.

Kini, mendengar permintaan muridnya, dan juga untuk menyelamatkan diri sendiri mengandalkan bantuan banyak orang, dia lalu menudingkan tongkatnya ke arah dua orang muda itu. Tongkatnya terbuat dari Bambu Sisik Naga, semacam bambu yang bentuk kulitnya mirip sisik ikan atau naga. Mulutnya berkemak-kemik membaca mantra dan dia mengerahkan ilmu sihirnya.

“Bummm....!” Tampak asap hitam mengepul dan tiba-tiba saja tongkat itu terlepas dari tangannya, dan dalam pandangan semua orang, tongkat itu telah berubah menjadi seekor naga yang terbang melayang ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Mengerikan sekali naga jadi-jadian itu. Matanya mencorong dan moncongnya terbuka lebar, lidahnya terjulur keluar dan mahluk itu menyemburkan api!

Akan tetapi tiba-tiba dari arah kiri, meluncur sebuah bola api sebesar tangan. Bola api itu tepat menghantam kepala naga jadi-jadian itu. “Darrr…!” Naga itu terpental dan asap hitam mengepul tebal. Naga lenyap dan tongkat bambu sisik naga itu terlempar ke dekat Ali Ahmed.

Semua orang menengok ke kiri dan tampaklah seorang laki-laki berusia enampuluh tahun lebih, tubuhnya sedang, mengenakan pakaian yang hanya terdiri dari kain kuning dilibatkan di tubuhnya, memakai sepatu dari kain yang berlapis besi dan rambutnya diikat pita kuning. Matanya tajam, hidung mancung dan mulut penuh kesabaran. Wajah yang masih tampak tampan itu bulat telur dengan dagu agak runcing, bersih tanpa kumis atau jenggot.

Melihat laki-laki ini, Ali Ahmed marah sekali. Dia lalu berkemak-kemik membaca mantra lalu kedua tangannya didorongkan ke depan. Asap hitam bergulung-gulung menyambar ke arah laki laki itu, membawa angin pukulan yang dahsyat sekali dan berhawa panas.

“Siancai......!” Laki-laki itu berkata lirih dan tangan kirinya didorongkan seperti hendak menahan serangan jarak jauh yang dahsyat dan berbahaya dari Ali Ahmed.

“Blarrrr....!” Hawa pukulan berasap hitam yang dahsyat itu seolah bertemu perisai yang amat kuat dan membalik. Tubuh Ali Ahmed terjengkang roboh dan dia tidak bergerak lagi.

Cia Song melompat, menghampiri gurunya dan alangkah kagetnya melihat gurunya telah tewas! Agaknya kakek yang sudah delapan puluh lebih usianya itu dan sudah lemah daya tahannya, tidak kuat menerima tenaganya sendiri yang membalik.

“Suhu......!” Thian Long berseru ketika melihat laki-laki berpakaian kuning itu.

“Paman Sie...!” Pek Hong Nio-cu juga berseru.

Laki-laki yang bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin itu memandang kepada Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu, lalu mengangguk dan tersenyum lebar, tampaknya bahagia sekali, kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari sana.

Melihat dua orang tawanan itu lolos, Ngo-heng Kiam-tin segera mengerahkan semua perajurit untuk menerjang dan mengeroyok. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mengamuk dengan pedang mereka. Lima orang jagoan dari Pangeran Hiu Kit Bong itu mencari-cari, akan tetapi Cia Song sudah tidak tampak batang hidungnya lagi.

Diam-diam pemuda ini sudah melarikan diri ketika melihat gurunya tewas dan Thian Liong menyebut “suhu” kepada laki-laki setengah tua yang tadi merobohkan gurunya. Tahulah dia bahwa kakek yang amat lihai itu tentulah Tiong Lee Cin-jin dan dia menjadi ketakutan, diam-diam terus kabur dari situ!

Demikianlah memang watak seorang yang berbudi rendah. Paling penting menyelamatkan diri sendiri dan tidak perduli kepada orang-orang yang menjadi sahabat, rekan dan sekutunya. Bahkan dia tidak perduli kepada gurunya yang tewas!

Setelah tahu bahwa Cia Song yang mereka andalkan, bahkan yang menjadi pemimpin mereka itu tidak muncul dan jelas sudah melarikan diri, lima orang Ngo-heng Kiam-tin menjadi panik dan gentar. Tentu saja mereka menjadi “makanan lunak” bagi Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong, walaupun lima orang itu dibantu sembilanbelas orang perajurit berikut seorang perajurit yang tadi menjadi kusir kereta.

“Jangan bunuh mereka, Nio-cu. Kita tawan mereka hidup-hidup untuk dijadikan saksi akan pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong!” Tentu saja Thian Liong berseru begini terutama sekali untuk mencegah puteri itu menyebar maut.

Pek Hong Nio-cu dapat memaklumi kebenaran ucapan Thian Liong, maka ketika ia mengamuk, pedangnya merobohkan para pengeroyok tanpa membunuhnya. Thian Liong juga merobohkan banyak orang dan tak lama kemudian, Ngo-heng Kiam-tin dan duapuluh orang perajurit itu roboh semua oleh tamparan, tendangan, atau terluka oleh pedang.

Thian Liong mempergunakan tali-tali yang dibawa oleh pasukan itu untuk mengikat kedua tangan mereka semua di belakang tubuh. Mereka menurut saja karena sudah terluka dan merasa sudah tidak mungkin dapat melawan dua orang muda sakti itu. Terutama terhadap Pek Hong Nio-cu mereka merasa takut sekali.

Dari sikap puteri itu mereka maklum bahwa kalau tidak dicegah Thian Liong, mereka semua pasti akan dibunuh oleh Puteri Moguhai yang amat marah dan benci kepada mereka yang menjadi kaki tangan pemberontak.

Setelah tangan mereka semua diikat, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu membawa mereka ke markas pasukan penjaga tapal batas yang dipimpin oleh Pangeran Kuang sebagai komandannya. Benteng pasukan itu tidak berapa jauh lagi dari situ sehingga setelah melakukan perjalanan cepat, pada sore harinya mereka tiba di benteng itu.

“Thian Liong, benarkah penolong kita tadi itu suhumu?” tanya Pek Hong Nio-cu dalam perjalanan menggiring para tawanan itu menuju markas pasukan penjaga perbatasan.

“Tidak salah lagi, Nio-cu. Masa aku dapat lupa kepada guruku sendiri? Akan tetapi, mengapa engkau menyebutnya paman Sie? Benarkah itu Paman Sie seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku itu?”

“Benar, Thian Liong. Biarpun dulu ketika aku melihatnya dia berpakaian biasa, akan tetapi aku tidak melupakan wajahnya. Dialah orangnya yang oleh ibu diakui sebagai sahabat baik dan yang disebut Paman Sie. Dia yang memberi perhiasan kepala yang kupakai ini dan memberi tiga buah kitab pelajaran ilmu silat. Akan tetapi mengapa setelah menolong kita, dia pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan kepada kita untuk bertemu dan bicara dengannya?”

“Entahlah, Nio-cu. Akan tetapi, suhu adalah seorang yang arif bijaksana. Mungkin belum saatnya kita dapat berbicara dengan beliau. Kita tunggu saja, kalau sudah tiba saatnya, tentu aku dapat bertemu dengan guruku dan engkau dapat bertemu dengan pamanmu itu. Akan tetapi sungguh aku heran, bagaimana guruku itu menjadi sahabat ibumu dan dikenal sebagai Paman Sie? Sungguh aku tidak mengerti.”

“Apakah engkau tidak mengetahui she (Marga) gurumu itu?” tanya Pek Hong Nio-cu.

Thian Liong menggeleng kepalanya. “Suhu tidak pernah memperkenalkan nama aselinya. Yang aku tahu, beliau disebut Tiong Lee Cin-jin dan berjuluk Yok-sian (Dewa Obat atau Tabib Dewa). Beliau juga tidak pernah menceritakan tentang masa lalunya.”

“Akan kutanyakan nanti kepada ibuku. Aku merasa heran sekali, bagaimana gurumu yang namanya juga sudah sering kudengar itu, Tong Lee Cin-jin, ternyata adalah seorang yang oleh ibuku diaku sebagai sahabatnya dan mengharuskan aku memanggilnya Paman Sie yang juga menjadi guruku.”

“Sudahlah Nio-cu. Kalau tiba saatnya, Suhu pasti akan mau menceritakan tentang hal itu. Sekarang, engkau hendak membawa orang-orang ini ke mana?”

“Akan kuserahkan kepada Paman Kuang yang bentengnya tidak jauh lagi dari sini. Engkau benar, orang-orang ini dapat menjadi saksi penting bagi pengkhianatan Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak. Aku akan minta Paman Kuang secepatnya kembali ke kota raja membawa pasukannya untuk menumpas para pemberontak.”

Setelah mereka tiba di benteng, Pangeran Kuang yang menjadi komandan pasukan penjaga tapal batas menyambut mereka dengan gembira akan tetapi juga heran.

“Moguhai. Lagi-lagi engkau, melakukan perjalanan begitu jauh! Dan sekarang engkau membawa tawanan begini banyak! Apa artinya ini dan siapa pula pemuda ini?” Pangeran Kuang yang berusia empatpuluh tahun lebih, berpakaian sebagai seorang panglima dan berwajah tampan, bertubuh tinggi besar.

Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu tersenyum. “Paman, apakah paman tidak menyuruh kami duduk dulu dan memerintahkan orang-orangmu menahan orang orang yang kutawan itu? Kami lelah sekali, paman.”

Pangeran Kuang baru menyadari kelalaiannya. “Ah, sampai lupa aku karena kunjunganmu yang tiba-tiba ini sungguh mengejutkan aku. Mari, silakan duduk di dalam dan engkau juga, orang muda.” Dia menyuruh para pengawal untuk mengurus tawanan.

Mereka lalu memasuki ruangan dan duduk berhadapan. Pek Hong Nio-cu segera bercerita karena ia tahu bahwa waktunya mendesak sekali. “Paman, orang yang kutawan itu.... oya, aku lupa, ini adalah Souw Thian Liong, sahabat baikku yang membantuku menghadapi para pengkhianat itu! Ketahuilah, paman. Orang-orang yang kami tawan itu adalah anak buah Paman Pangeran Hiu Kit Bong yang berkhianat dan merencanakan pemberontakan!”

Pangeran Kuang membelalakkan matanya. “Apa? Kanda Pangeran Hiu Kit Bong memberontak?”

“Benar, paman. Hal ini memang sudah kucurigai dan kuduga. Akan tetapi sekarang sudah terbukti. Mereka ini diutus oleh Pangeran Hiu Kit Bong untuk menangkap aku, untuk dijadikan sandera dan memaksa sri baginda untuk menyerahkan tahta kepadanya. Orang-orang ini dapat dijadikan saksi. Kalau tidak ada bantuan Souw Thian Liong ini, tentu aku telah tertawan oleh mereka.

"Cepat, paman. Hanya Paman Kuang saja yang dapat menyelamatkan kerajaan dan membasmi para pemberontak. Cepat paman kerahkan pasukan dan kembali ke kota raja bersama kami. Aku khawatir kalau-kalau kita terlambat. Aku khawatir akan keselamatan ayah.”

Mendengar ini, Pangeran Kuang terkejut dan marah bukan main. Pangeran Hiu Kit Bong adalah kakak tirinya, seayah berlainan ibu. Dia diangkat menjadi panglima oleh kaisar, juga kakak tirinya, sesuai dengan kepandaiannya, juga Pangeran Hiu Kit Bong sudah diberi kedudukan sebagai Menteri Kebudayaan merangkap penasihat kaisar. Kalau sekarang Pangeran Hiu Kit Bong hendak memberontak, sungguh dia merupakan seorang yang tidak tahu diri, tidak mengenal budi, angkara murka dan pengkhianat!

“Hemm, sungguh tidak disangka Kanda Pangeran Hiu Kit Bong akan melakukan tindakan terkutuk seperti itu!” kata Pangeran Kuang. “Baiklah, aku akan mempersiapkan pasukan dan kita berangkat sekarang juga!”

Demikianlah, Pangeran Kuang lalu mempersiapkan sebagian dari pasukannya berjumlah limaribu orang dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia memimpin pasukan itu berangkat menuju ke Kota raja. Pek Hong Nio-cu dan Souw Thian Liong mendahului pasukan, membalapkan kuda pilihan yang diberikan Pangeran Kuang kepada mereka berdua.

* * *

Cia Song berhasil melarikan diri sebelum Thian Liong dan Pek Hong Niocu mengamuk. Nyalinya sudah terbang begitu dia melihat munculnya kakek sakti yang membuat gurunya tewas terpukul tenaganya sendiri yang membalik.

Datuk Hui itu saja yang menjadi gurunya, sekali menyerang Tiong Lee Cin-jin roboh sendiri. Apalagi dia. Baru menghadapi Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu saja dia akan sukar mendapatkan kemenangan, apalagi di sana ada manusia setengah dewa yang sakti itu!

Cia Song berlari cepat menuju ke kota raja kerajaan Kin dan menghadap Pangeran Hiu Kit Bong. Melihat malam-malam Cia Song datang menghadapnya dengan muka pucat dan basah keringat, Pengeran Hiu Kit Bong menjadi kaget dan heran. Lalu dia menggebrak meja dengan marah sekali.

“Sialan! Ternyata kepercayaanku kepadamu salah tempat, Cia-sicu! Melakukan tugas begitu saja engkau gagal sama sekali, malah semua anak buahmu terancam bencana. Celaka!”

“Akan tetapi saya sama sekali tidak menduga bahwa di sana akan muncul Tiong Lee Cin-jin, Pangeran! Tadinya kami sudah berhasil menangkap Souw Thian Liong dun Puteri Moguhai, sudah kami belenggu dan hendak kami bawa pulang ke sini. Siapa kira di tengah jalan muncul Tiong Lee Cin-jin yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Bahkan Ali Ahmed, guru saya sendiri, tewas ketika menyerangnya!"

Pangeran Hiu Kit Bong berteriak memanggil pengawal dan memerintahkan pengawal mengundang para panglima sekutunya untuk malam itu juga datang berkumpul. Mereka itu datang satu demi satu. Setelah semua berkumpul lengkap, Pangeran Hiu Kit Bong berkata.

“Saudara-saudara semua, Puteri Moguhai telah pergi ke perbatasan barat mengunjungi Pangeran Kuang. Tentu ia bermaksud mengadu dan minta bantuan pasukan yang berjaga di perbatasan. Karena itu, kita tidak boleh tinggal diam. Malam ini juga kita mempersiapkan pasukan dan besok pagi-pagi kita serbu istana, kita tangkap Kaisar. Jangan sampai kita terlambat. Kalau kaisar sudah kita sandera, biarpun Pangeran Kuang datang bersama pasukannya, dia tidak akan dapat berbuat apa-apa demi keselamatan Kaisar.”

Pangeran Hiu Kit Bong tidak menceritakan kegagalan orang-orangnya menangkap Puteri Moguhai karena hal itu akan membuat sekutunya gentar dan patah semangat. Setelah berunding bagaimana caranya melakukan pengepungan terhadap istana, para Panglima yang dipimpin Panglima Kiat Kon itu lalu meninggalkan gedung Pangeran Hiu Kit Bong untuk mempersiapkan pasukan masing-masing. Mereka terdiri dari empat orang perwira, dikepalai Panglima Kiat Kon.

Sementara itu, Cia Song sendiri bertugas sebagai pengawal pribadi Pangeran Hiu Kit Bong. Sebetulnya Cia Song segan menjadi pengawal pribadi pangeran itu dan dia sudah ingin pulang saja ke selatan untuk melapor kepada Perdana Menteri Chin Kui. Akan tetapi dia merasa sungkan juga karena dia telah gagal menangkap Puteri Moguhai.

Malah semua anak buahnya mungkin tertawan dan hal itu tentu saja membahayakan karena rahasia Pangeran Hiu Kit Bong akan terbongkar. Karena itulah maka Pangeran Hiu Kit Bong hendak melakukan serangan mendadak sebelum terlambat.

Akan tetapi, ketika persekutuan pemberontak itu mengumpulkan pasukan mereka, ada perajurit yang diam-diam masih setia kepada Kaisar dan malam itu juga dia meloloskan diri dari kesatuannya dan pergi melaporkan persiapan pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong itu kepada Panglima Muda Ceng yang setia kepada Kaisar kerajaan Kin.

Panglima Muda Ceng terkejut sekali dan malam hari itu juga dia mengumpulkan teman-teman yang masih setia kepada Kaisar lalu mengerahkan pasukan seadanya untuk ditarik menjaga istana! Juga diam-diam Panglima Muda Ceng melaporkan kepada kaisar yang tentu saja menjadi terkejut, khawatir dan marah sekali...

Selanjutnya,
KISAH SI NAGA LANGIT JILID 18
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.