Kisah Si Naga Langit Jilid 18

Sonny Ogawa

Kisah Si Naga Langit Jilid 18 karya Kho Ping Hoo - PADA KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang tinggal di kota raja menjadi geger. Banyak sekali tentara mengepung istana kaisar. Akan tetapi, dari tembok istana muncul pasukan lain yang menghadang. Terjadilah pertempuran hebat di sekeliling luar istana.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Pangeran Hiu Kit Bong terkejut dan marah sekali melihat betapa istana dijaga banyak perajurit. Dia memerintahkan pasukannya bergerak dan menyerbu. Pertempuran hebat terjadi dan rakyat yang menjadi penduduk kota raja berserabutan melarikan diri mengungsi keluar dari kota raja!

Karena merasa penasaran, Pangeran Hiu Kit Bong keluar dan memimpin sendiri pasukannya, yang dipimpin Panglima Kiat Kon dan para perwira sekutunya. Cia Song yang ingin menebus kegagalannya memperlihatkan kepandaiannya. Di depan mata Pangeran Hiu Kit Bong dia mengamuk dengan pedangnya dan banyak tentara pihak pasukan pembela kaisar roboh dan tewas di tangannya.

Biarpun jumlah pasukan pemberontak dua kali lebih banyak dibandingkan pasukan pembela kaisar, namun pasukan yang dipimpin Panglima Muda Ceng dan rekan-rekannya itu melakukan perlawanan mati-matian! Maka, setelah pertempuran berlangsung sampai satu hari lamanya, pasukan pemberontak belum juga dapat menduduki istana.

Pasukan pembela kaisar menutup pintu benteng istana dan biarpun banyak perajurit mereka yang tewas, semangat mereka masih besar dan mereka memperkuat benteng istana dengan balok-balok yang kokoh. Malam itu mereka melakukan penjagaan ketat dengan bergiliran, memberi kesempatan kepada pasukan untuk beristirahat dan merawat luka-luka mereka.

Kaisar dan keluarganya sudah merasa khawatir sekali. Mereka tahu bahwa pasukan yang melindungi mereka kalah besar jumlahnya dibandingkan pasukan para pemberontak. Mereka mendengar pula bahwa kalau siang tadi pertempuran masih terjadi di luar istana.

Maka sekarang semua perajurit pembela kaisar sudah mundur memasuki benteng istana dan pintu gerbang sudah ditutup. Mereka hanya akan mempertahankan benteng istana. Kalau sampai benteng istana bobol, berarti pasukan pembela kaisar kalah dan pasukan pemberontak tentu akan menyerbu istana!

Malam itu gelap sekali, bahkan bintang-bintang di langit juga tak tampak, tertutup mendung tebal. Hawa udaranya dingin. Pasukan kedua pihak mempergunakan kesempatan itu untuk melepas lelah setelah sehari tadi bertempur mati matian. Benteng istana dijaga ketat oleh pasukan pembela kaisar. Ronda berjalan sepanjang malam dan para penjaga itu bergiliran.

Akan tetapi di malam yang gelap dan dingin itu, tampak dua bayangan berkelebat cepat sekali. Ilmu meringankan tubuh mereka sungguh amat hebat karena saking cepatnya mereka bergerak, tidak ada penjaga dalam benteng yang sempat melihat mereka. Tubuh kedua bayangan itu melayang ke atas tembok benteng lalu meluncur turun ke sebelah dalam.

Mereka menyelinap di antara kegelapan yang pekat dan tak lama kemudian tubuh mereka sudah melayang naik ke atas wuwungan istana! Dua orang itu adalah Cia Song dan Panglima Kiat Kon sendiri! Mereka berdua menerima tugas istimewa dari Pangeran Hiu Kit Bong.

Melihat betapa pasukan pembela kaisar melawan mati matian, Pangeran Hiu Kit Bong menjadi tidak sabar. Dia memanggil Cia Song dan mengingatkan pemuda ini akan kegagalannya menangkap Puteri Moguhai.

“Aku mempunyai tugas penting dan kuharap sekali ini engkau akan melaksanakan dengan baik dan berhasil, Cia-sicu, untuk menebus kegagalanmu menangkap Puteri Moguhai,” kata Pangeran itu.

Diam-diam Cia Song mendongkol. Siang tadi dia sudah memperlihatkan jasanya dengan merobohkan banyak perajurit pembela kaisar, namun tetap saja pangeran ini masih penasaran karena kegagalannya menangkap Puteri Moguhai. “Tugas apa yang harus saya lakukan, pangeran?”

“Malam ini mereka tentu sedang beristirahat dan lengah. Karena itu, aku perintahkan engkau dan Panglima Kiat Kon untuk menggunakan kepandaian kalian, menyusup masuk istana dan menawan Sri Baginda dan membawanya ke sini. Kalau kalian berhasil, berarti kita tidak perlu bertempur lagi besok. Juga kalau pasukan Pangeran Kuang datang mereka juga tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak berani menyerang kita yang sudah menyandera Sri Baginda Kaisar.”

“Saya siap melaksanakan perintah itu, pangeran!” kata Panglima Kiat Kon dengan tegas. “Kalau Cia-sicu menemani saya, tugas itu pasti akan dapat kami lakukan dengan berhasil baik!”

“Bagaimana dengan engkau, Cia-sicu?” tanya Pangeran Hiu Kit Bong sambil menatap wajah pemuda itu dengan tajam.

Biarpun di dalam hatinya dia mendongkol sekali, akan tetapi Cia Song tidak dapat menolak. Dia mengangguk dan menjawab, “Saya sanggup, hanya tidak berani memastikan hasilnya karena di istana tentu diadakan penjagaan kuat.”

Demikianlah, malam gelap dingin itu ditempuh Cia Song dan Panglima Kiat Kon. Dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) mereka yang tinggi, mereka berhasil melompati benteng tanpa diketahui perajurit pembela kaisar dan mereka berdua berhasil tiba di wuwungan istana!

Akan tetapi selagi mereka berdua, dengan petunjuk Panglima Kiat Kon yang mengenal daerah itu, meneliti di mana kiranya kamar kaisar berada, tiba-tiba begitu mereka melangkah, kaki mereka terpeleset genteng wuwungan istana yang agaknya bergerak sendiri! Mereka terkejut dan merasa aneh.

Akan tetapi ketika mereka memandang ke sekeliling yang gelap, mereka tidak mendengar apapun. Mereka melangkah lagi. Akan tetapi baru beberapa langkah, kembali genteng yang mereka injak bergerak dan mereka terpeleset, hampir jatuh. Mereka masih mampu bertahan agar tidak terjatuh.

“Eh, apa ini, sicu?”

Cia Song merasa bulu tengkuknya meremang. “Entahlah, ciang-kun, mungkin kebetulan saja….”

Akan tetapi mereka berdua merasa betapa ada benda kecil menyambar ke arah mereka. Mereka cepat mengelak, akan tetapi sungguh luar biasa, benda kecil itu tetap saja mengenai pundak mereka seolah benda hidup yang terbang mengejar ketika mereka mengelak.

Mereka menahan seruan kaget karena pundak yang terkena benda itu terasa nyeri dan lengan di pundak itu untuk beberapa detik lamanya menjadi kesemutan dan lumpuh. Ketika dua buah benda kecil itu terjatuh ke atas genteng, terdengar suara berketikan seperti batu kerikil yang jatuh ke atas genteng. Mereka terkejut bukan main.

Penyambit batu kerikil itu pasti memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga mereka tidak mampu mengelak. Maklumlah keduanya bahwa ada orang sakti yang sengaja mengganggu mereka dan kalau tadi dua kali kaki mereka terpeleset, tentu juga akibat ulah orang yang mengganggu mereka itu.

“Ciang-kun, kita pergi. Cepat!” kata Cia Song yang menjadi ketakutan. Kalau sampai orang sakti itu muncul dan mereka berdua ketahuan lalu dikepung ribuan orang perajurit, akan celakalah mereka!

Keduanya lalu cepat meninggalkan wuwungan istana dan dengan gin-kang mereka yang tinggi, mereka berlompatan dan keluar dari benteng istana itu. Akan tetapi setibanya di luar benteng, dalam kegelapan malam itu Panglima Kiat kon tidak dapat menemukan Cia Song.

Dia memanggil-manggil, akan tetapi Cia Song tidak menjawab. Tahulah panglima itu bahwa Cia Song diam-diam telah meninggalkannya. Dia merasa dongkol sekali. Tentu Cia Song takut bertemu Pangeran Hiu Kit Bong karena lagi-lagi gagal melaksanakan tugasnya malam ini.

Kiat Kon kembali kepada Pangeran Hiu Kit Bong, menceritakan tentang kegagalannya. “Entah siapa yang mengganggu kami berdua, akan tetapi jelas bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Terpaksa kami tidak dapat melanjutkan rencana itu, Pangeran, karena dengan adanya orang yang demikian saktinya, tentu usaha kami akan gagal, bahkan tidak mustahil kalau kami akan tertangkap atau terbunuh. Maka kami segera meninggalkan wuwungan istana.”

Pangeran Hiu Kit Bong mengepal tinju. “Sialan, gagal lagi! Mana orang she Cia itu?”

“Ketika saya melompat keluar dari benteng istana, Cia-sicu tidak ada, Pangeran. Saya kira dia sengaja pergi meninggalkan kota raja karena tidak berani bertemu dengan paduka.”

Pangeran Hiu Kit Bong marah sekali, lalu memerintahkan sekutunya untuk mempersiapkan pasukan dan besok pagi pagi melakukan penyerangan besar-besaran. Dia berpendapat bahwa besok benteng istana harus dapat dibobolkan dan kaisar harus dapat ditangkap. Kalau tidak, dia khawatir pasukan Pangeran Kuang keburu datang dan menyerang mereka.

Akan tetapi Pangeran Hiu Kit Bong masih punya rencana jahat lain yang belum dilaksanakan, akan tetapi yang besar sekali harapannya akan lebih berhasil daripada tugas yang gagal dilaksanakan oleh Cia Song dan Kiat Kon tadi. Diam-diam pangeran yang licik ini telah berhasil memperalat dua orang pengawal pribadi kaisar.

Dengan menyandera keluarga dua orang pengawal pribadi kaisar dan mengancam akan membunuh isteri dan anak-anak mereka, pangeran itu memerintahkan mereka untuk membunuh kaisar malam itu. Kalau hal ini tidak dilakukan, seluruh keluarga mereka yang disandera akan dibunuh!

Malam itu, Kaisar kerajaan Kin berkumpul dengan semua isteri dan anak anaknya di ruangan dalam. Mereka tidak berani tidur di kamar sendiri-sendiri seperti biasa. Mereka semua duduk di dalam ruangan itu dengan wajah membayangkan ketakutan, bahkan di antara para isteri dan puteri istana ada yang terisak perlahan.

Mereka semua maklum bahwa kalau pasukan yang melindungi mereka kalah, mereka akan terjatuh ke tangan pemberontak. Kaisar sendiri berdiri dengan tegar dan sama sekali tidak tampak ketakutan. Hanya penasaran dan kemarahan yang tampak membayang di wajahnya yang gagah dan keren. Dia merasa penasaran sekali mendengar bahwa Pangeran Hiu Kit Bong, kakak tirinya, orang yang telah diberikan kedudukan tinggi, memimpin pemberontakan itu. Sama sekali tidak pernah disangkanya.

Dia kini merasa menyesal mengapa dia tidak mendengarkan peringatan Moguhai, puterinya yang kini tidak berada di istana. Puteri Moguhai pernah memperingatkan agar dia berhati-hati terhadap kakak tirinya itu dan jangan terlalu percaya kepadanya. Akan tetapi dia malah menertawakan puterinya itu yang dia anggap terlalu berprasangka buruk. Sekarang, peringatan puterinya itu menjadi kenyataan!

Dia menghela napas panjang dan ketika dia melayangkan pandang matanya kepada belasan orang selir-selirnya, dia melihat Tan Siang Lin, ibu kandung Moguhai, duduk tak jauh darinya dan hanya selir keturunan pribumi Han ini sajalah yang kelihatan tabah dan tidak membayangkan ketakutan. Ia tetap tenang dan anggun sehingga kaisar teringat kembali kepada puteri mereka.

“Dinda Siang Lin, sayang sekali Moguhai tidak berada di sini. Tahukah engkau ke mana ia pergi?” tanya kaisar dengan suara lembut kepada selirnya tercinta ini.

Tan Siang Lin memandang kepada kaisar. Sejak tadi wanita ini seringkali menengok dan memandang kepada suaminya. Dalam hati ia merasa kagum dan juga bangga melihat pria yang menjadi suaminya itu sama sekali tidak tampak khawatir atau takut menghadapi keadaan yang amat gawat dan berbahaya itu. “Hamba tidak tahu, Sri Baginda. Paduka mengetahui sendiri betapa puteri kita itu suka sekali berkelana.”

Kaisar mengangguk-angguk. “Aku percaya bahwa Moguhai pasti mendengar akan peristiwa di kota raja ini dan ia pasti akan datang untuk menyelamatkan kita semua.”

“Semoga saja demikian, Sri Baginda,” kata Tan Siang Lin.

Dalam ruangan yang luas itu terdapat belasan orang perajurit pengawal pribadi kaisar yang melindungi keluarga istana itu. Mereka berdiri dengan pedang di tangan, menjaga di pintu dan jendela jendela yang terbuka. Wajah mereka ini rata-rata tegang, karena mereka maklum bahwa kalau pertahanan pasukan pembela kaisar bobol, mereka harus melindungi keluarga kaisar dengan taruhan nyawa.

Tiba-tiba, dua orang perajurit pengawal pribadi itu, yang berdiri menjaga di sebelah belakang kaisar, dalam jarak lima meter, bergerak maju sambil mengangkat pedang menyerbu ke arah Kaisar!

“Ampunkan hamba, Sri Baginda!” seru yang seorang.

“Ampunkan hamba, hamba... terpaksa membunuh paduka!” seru orang kedua.

Semua orang terkejut dan tertegun. Para perajurit pengawal lainnya juga terpukau, tidak sempat mencegah karena dua orang itu sudah menyerang kaisar. Seorang membacokkan pedang dari atas, orang kedua menusukkan pedangnya. Akan tetapi, tiba-tiba dua sinar hijau kecil meluncur dari arah jendela dan dua sinar hijau ini menyambar ke arah tangan dua orang perajurit pengawal yang memegang pedang.

Mereka berdua berteriak mengaduh dan pedang mereka terlepas dari pegangan, jatuh berdenting ke atas lantai dan dengan tangan kiri mereka memegangi lengan kanan masing masing di mana menancap sehelai daun hijau! Para perajurit segera berlompatan dan meringkus dua orang perajurit pengawal yang tiba-tiba menyerang kaisar itu.

Tan Siang Lin bangkit berdiri dari kursinya, memandang ke arah jendela dari mana sinar hijau tadi meluncur masuk. Wajahnya berseri, kedua matanya bersinar dan ia berseru girang. “Sie-ko (kanda Sie)......!” Akan tetapi ia sadar dan menahan seruannya sehingga tidak terdengar jelas.

“Jangan bunuh. Seret mereka ke depanku!” kata kaisar dengan tegas, sama sekali tidak menjadi panik oleh peristiwa itu.

Dua orang itu lalu didorong berlutut di depan kaisar di mana mereka menyembah-nyembah dan menangis! “Ampun, Yang Mulia…! Ampunkan hamba berdua yang terpaksa....” mereka mengeluh dalam tangisan mereka.

“Hemm, siapa yang memaksa kalian melakukan pengkhianatan hendak membunuh kami?” bentak kaisar.

Seorang dari mereka menyembah dan berkata ketakutan, “Hamba berdua terpaksa melaksanakan perintah Pangeran Hiu Kit Bong untuk membunuh paduka karena kalau hamba tidak mau, seluruh keluarga hamba berdua yang sudah disandera akan dibunuh.”

Kaisar dan semua orang melihat jelas betapa sehelai daun menancap di pergelangan kedua orang itu dan lengan mereka berdarah. Semua orang merasa takjub. Bagaimana mungkin sehelai daun dapat menancap pada lengan tangan dua orang itu sehingga mereka gagal membunuh kaisar? Padahal daun hijau basah itu lunak dan lentur!

“Jebloskan mereka dalam tahanan, jangan bunuh,” kata kaisar kepada para pengawalnya.

Dua orang itu membentur-benturkan dahi di lantai menghaturkan terima kasih kepada kaisar. Akan tetapi dua orang perajurit memegang lengan mereka dan menarik mereka keluar dari ruangan itu.

Kaisar menoleh kepada Tan Siang Lin, “Dinda Siang Lin, tadi engkau memandang ke arah jendela dan memanggil seseorang. Siapakah yang kau panggil itu? Apakah engkau melihat seseorang?”

Wajah Siang Lin berubah kemerahan. “Hamba tidak melihat seseorang, Sri Baginda, akan tetapi hamba dapat menduga siapa yang telah menyelamatkan paduka. Dia pasti guru puteri kita Moguhai, karena hanya dialah kiranya yang mampu melukai dua orang tadi hanya dengan menggunakan sehelai daun.”

“Luar biasa! Siapakah nama guru Moguhai itu?” tanya kaisar dan sedikit banyak kehadiran seorang manusia sesakti itu membesarkan hatinya dan dia merasa terlindung oleh suatu kekuatan yang hebat.

Jantung dalam dada Siang Lin berdebar. Ia merasa serba salah, akan tetapi harus menjawab pertanyaan kaisar yang menjadi suaminya itu. “Hamba hanya mendengar bahwa guru Moguhai itu bermarga Sie, Sri baginda.”

“Hemm, mengapa dia melindungiku secara diam-diam? Kalau saja dia mau muncul, mungkin dia dapat memberi tahu kami di mana adanya Moguhai sekarang ini.”

Tiba-tiba tampak benda putih melayang masuk dari jendela. Seorang perajurit pengawal cepat menangkapnya dan ternyata benda itu sehelai kertas putih.

“Apa itu?” tanya kaisar.

“Sehelai kertas putih tertulis, Yang Mulia,” kata pengawal itu.

“Cepat bawa ke sini!” perintah Sri Baginda dan perajurit itu segera menyerahkan kertas itu kepada kaisar. Kaisar membacanya dan seketika wajahnya berseri. Dia menengok ke arah jendela dan berkata dengan suara lantang. “Siapapun adanya engkau, orang gagah, kami berterima kasih sekali padamu!”

Dengan wajah berseri Kaisar lalu menyerahkan surat itu kepada Siang Lin yang segera membacanya. Sepasang mata selir kaisar ini menjadi basah saking bahagia dan terharunya membaca isi kertas bertulis itu.

“Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke kota raja dengan pasukannya. Pertahankan istana sampai mereka datang.”

Surat itu lalu berpindah-pindah tangan, mula-mula Siang Lin memberikannya kepada permaisuri yang setelah membacanya menyerahkan kepada para selir. Mereka bergantian membaca dan semua wajah menjadi berseri gembira. Timbul harapan dalam hati mereka. Pasukan penolong yang dipimpin pangeran Kuang dan Pureri Moguhai akan menolong mereka!

“Biar aku sendiri yang memimpin pertahanan istana!” Kaisar timbul semangatnya dan diapun keluar dari ruangan itu menemui para perwira yang setia kepadanya untuk mengawasi sendiri pasukan yang mempertahankan istana.

Dengan munculnya kaisar sendiri ke tengah-tengah mereka, para perajurit yang membela kaisar bersorak gembira dan semangat mereka berkobar, apalagi ketika mereka mendengar bahwa bala bantuan segera datang!

Pada keesokan harinya, diiringi sorak yang gegap gempita dan bunyi terompet, tambur dan canang, pasukan pemberontak menyerbu dan berusaha mendobrak pintu gerbang tebal yang terbuat dari baja itu. Ada pula yang mempergunakan tangga untuk naik ke atas tembok benteng istana. Pasukan pembela kaisar menyambut dari dalam dan terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian.

Anak panah meluncur dari luar dan dari dalam seperti hujan. Bunyi denting beradunya senjata bercampur sorak-sorai dan teriakan-teriakan marah, jerit-jerit kesakitan membubung bersama debu yang mengepul tebal. Darah mulai berceceran membasahi bumi. Perang! Puncak ulah nafsu yang menguasai hati dan pikiran manusia, membuat manusia bahkan lebih ganas daripada binatang.

Karena jumlah pasukan pemberontak hampir tiga kali lebih banyak dibandingkan pasukan pembela kaisar, maka tentu saja pihak pembela kaisar mulai kewalahan dan terdesak hebat. Bahkan pihak penyerang sudah banyak yang dapat naik ke atas tembok benteng dan di sana sudah terjadi pertempuran seru.

Pintu gerbang mulai didekati pasukan pemberontak dan mereka mempergunakan kayu balok besar yang digotong beramai-ramai untuk mendobrak pintu gerbang baja. Suaranya nyaring menggelegar setiap kali ujung balok itu menghantam pintu gerbang. Para perajurit pembela kaisar menggunakan segala daya untuk mempertahankan pintu gerbang itu dengan mengandalkan benda-benda berat.

Namun, mereka kalah kuat karena kalah banyak dan akhirnya, pintu gerbang yang tebal dan besar itu jebol dan roboh ke dalam mengeluarkan suara hiruk-pikuk dan belasan orang perajurit di sebelah dalam yang tadi mempertahankan pintu itu, tertimpa pintu besi yang amat berat itu sehingga tewas terhimpit.

Para perajurit pemberontak menyerbu melalui pintu gerbang yang sudah terbuka itu bagaikan air bah mengamuk. Perajurit pembela kaisar yang berada di sebelah dalam menyambut dan terjadilah pertempuran seru. Karena lubang pintu itu tidak terlalu besar, hanya sekitar tiga tombak lebarnya.

Maka para penyerbu itu tidak dapat masuk terlalu banyak dan hal ini membuat pertahanan sebelah dalam masih kuat. Puluhan orang perajurit penyerbu yang berhasil masuk disambut oleh ratusan orang perajurit pembela kaisar dan yang di luar terhalang oleh yang berada di depan.

Karena itu untuk sementara pertahanan masih kuat. Betapapun juga keadaan sudah sangat gawat karena dapat diramalkan bahwa tidak lama lagi pasti pasukan pemberontak akan dapat menyerbu ke dalam bangunan istana.

Kaisar memimpin sendiri para perajurit yang setia kepadanya. Dia memberi komando. Ada yang menyambut serbuan lewat pintu gapura atau gerbang yang sudah roboh daun pintunya, ada yang diperintahkan tetap menjaga di atas tembok benteng untuk menghalau musuh yang memasuki benteng lewat tembok.

Pada saat yang amat gawat itu, tiba-tiba terdengar sorak-sorai bercampur suara terompet, genderang dan canang. Para perajurit pemberontak terkejut sekali dan tiba-tiba mereka menjadi kacau-balau ketika diserang oleh pasukan yang baru datang, pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Kuang dan Puteri Moguhai bersama Thian Liong!

Puteri Moguhai didampingi Thian Liong mengamuk, membuka jalan berdarah memasuki kerumunan perajurit-perajurit pemberontak, merobohkan siapa saja yang menghalangi mereka. Melihat betapa pintu gerbang yang sudah terbuka itu penuh orang, mereka berdua lalu melompat ke atas tembok benteng.

Para perajurit pembela kaisar yang bertempur di atas tembok benteng melihat datangnya pasukan penolong itu. Ketika mereka melihat dua orang melompat ke atas benteng dan mengenal seorang di antara mereka adalah Puteri Moguhai, mereka bersorak dan semangat mereka berkobar.

Apalagi ketika Puteri Moguhai dan Thian Liong mengamuk, merobohkan banyak perajurit pemberontak yang berhasil naik ke atas benteng, mereka pun bersorak sambil mengamuk. Puteri Moguhai dan Thian Liong segera melompat ke dalam dan Thian Liong mengikuti Pek Hong Nio-cu atau Moguhai itu memasuki istana.

Para perajurit pengawal kaisar yang melihat sang puteri, juga bersorak gembira. Mereka semua telah mendengar bahwa pasukan Pangeran Kuang sudah berada di luar dan sedang menyerang pasukan pemberontak. Moguhai dan Thian Liong memasuki ruangan di mana keluarga istana berkumpul. Melihat puterinya, Tan Siang Lin lari menyambut.

“Moguhai...!”

“Ibu....!” Mereka berangkulan. “Semua keluarga selamat, bukan?”

Tan Siang Lin mengangguk dan tersenyum, gembira sekali melihat puterinya datang bersama pasukan Pangeran Kuang. Ternyata isi surat yang melayang masuk tadi benar. Dan ia tahu siapa yang menulis surat itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang tadi merobohkan dua orang penyerang suaminya dengan sambitan daun?

“Di mana Sri Baginda?” tanya Moguhai ketika tidak melihat ayahnya, di antara mereka.

Permaisuri yang juga menghampiri dan merangkul Moguhai karena lega dan gembira hatinya, berkata, “Moguhai, ayahmu sedang memimpin sendiri pasukan melawan serbuan pemberontak.”

“Ah, mari ikut aku keluar, Thian Liong!” kata Puteri Moguhai kepada pemuda itu. Mereka berdua lalu cepat keluar dan benar saja, gadis itu melihat kaisar sendiri sedang memberi perintah kepada para perwira pasukan yang mempertahankan benteng.

Serbuan Pasukan yang datang membuat kaum pemberontak panik dan yang sedang menyerbu ke dalam juga sudah mendengar akan datangnya pasukan Pangeran Kuang itu. Hal ini melemahkan semangat mereka dan mereka didesak keluar oleh pasukan yang berada di dalam benteng istana.

“Sri Baginda....!” seru Puteri Moguhai dengan hati bangga melihat betapa ayahnya sendiri maju memberi dorongan semangat kepada para perajurit.

Kaisar menengok dan wajahnya yang berkeringat itu berseri melihat puterinya. “Ah, Moguhai! Kedatanganmu bersama Pangeran Kuang membawa pasukan sungguh tepat pada waktunya! Kami semua merasa gembira sekali!”

“Biarlah pasukan Paman Pangeran Kuang menghancurkan pasukan pemberontak, tidak. perlu paduka sendiri bersusah payah. Harap paduka mengaso dan saya bersama sahabat saya Souw Thian Liong ini yang akan membantu pasukan menyerbu keluar!”

Kaisar mengangguk-angguk ketika Thian Liong memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada dan membungkuk sampai dalam. “Baiklah, kukira kini bahaya sudah lewat,” kata Kaisar dan dia lalu kembali ke dalam istana, diikuti lima orang pengawal pribadi yang sejak tadi tidak pernah meninggalkannya dan selalu mengikuti dari jarak dekat ke manapun kaisar pergi.

Puteri Moguhai dan Thian Liong lalu membantu pasukan dan dengan mudah mereka mendesak para pemberontak keluar dari benteng. Kini para pemberontak dihimpit dari dalam dan luar. Mereka menjadi panik dan banyak di antara mereka terluka atau tewas.

Panglima Kiat Kon yang tinggi besar, gagah dan mukanya penuh brewok itu mengamuk seperti seekor harimau terluka. Dia sudah merasa kepalang tanggung. Ambisinya adalah untuk menjadi panglima besar kalau Pangeran Hiu Kit Bong berhasil menduduki singgasana. Tadi penyerbuan mereka sudah hampir berhasil.

Akan tetapi tiba-tiba muncul pasukan yang dipimpin Pangeran Kuang sehingga kini pasukannya terjepit antara pasukan dari luar dan dalam. Dia sendiri mengamuk di tengah-tengah pertempuran dekat benteng istana, tidak mungkin keluar dari pertempuran. Juga dia tidak ingin melarikan diri.

Sudah kepalang karena andaikata dia dapat melarikan diri, keluarganya tentu tidak luput dari hukuman. Maka dia mengamuk dengan pedangnya yang besar dan berat dan sudah banyak perajurit pembela kaisar yang roboh dan tewas terkena babatan pedangnya. Tiba-tiba pedangnya tertangkis ketika dia membabatkan ke arah seorang perajurit musuh berikutnya.

“Trangggg....!” bunga api berpijar dan Kiat Kon merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat. Telapak tangannya yang memegang pedang terasa panas sekali sehingga hampir dia melepaskan pedangnya. Akan tetapi dia masih sempat mempertahankan pedangnya dan cepat memandang ke kanan untuk melihat siapa yang menangkis pedangnya itu.

Ketika dia melihat siapa orang yang memegang pedang bengkok menangkis serangannya, mukanya berubah pucat. Kiranya Puteri Moguhai yang berdiri di depannya dengan mata bersinar penuh kemarahan. “Puteri.... Moguhai….!” dia berseru gagap.

“Panglima Kiat Kon, pengkhianat tak mengenal budi!” bentak Pek Hong Nio-cu atau puteri Moguhai. “Sri Baginda telah memberi kedudukan tinggi kepadamu, akan tetapi apa balasanmu? Engkau malah menjadi pengkhianat dan pembantu pemberontak! Aku tidak dapat mengampunimu lagi?” Setelah berkata demikian, Pek Hong Nio-cu lalu menerjang dengan dahsyat.

Panglima Kiat Kon sudah tahu akan kelihaian puteri ini, maka dia menjadi gugup dan gentar. Akan tetapi tidak ada jalan keluar lagi baginya. Pasukan pembela kaisar sudah berada di mana-mana dan kiranya tidak mungkin melarikan diri dari Puteri Moguhai. Puteri itu memang pernah belajar ilmu silat dari dia sendiri. Akan tetapi itu dulu ketika Puteri Moguhai masih remaja. Sekarang ia telah memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaiannya sendiri. Maka Kiat Kon lalu melawan mati-matian.

Sementara itu, Thian Liong melihat betapa tak jauh dari situ, seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus, berjenggot panjang dan berkumis pendek, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang bangsawan tinggi, sedang berdiri dengan pedang di tangan.

Lima orang pengawal melindunginya, melawan para perajurit istana yang mengepung bangsawan tinggi itu. Ternyata lima orang pengawal itu cukup lihai dan banyak perajurit istana yang roboh oleh amukan lima orang yang memegang golok besar itu.

Ketika melihat bangsawan itu, Thian Liong teringat akan Pangeran Hiu Kit Bong seperti yang pernah digambarkan oleh Pek Hong Nio-cu. Tinggi kurus berjenggot panjang berkumis pendek. Tentu inilah pangeran yang menjadi biang keladi pemberontakan itu. Dia cepat melompat ke arah orang itu. Dua orang pengawal menyambutnya dengan golok mereka.

Akan tetapi dua kali tangan Thian Liong menampar dan dua orang itu terpelanting roboh. Kemudian Thian Liong menerjang ke depan. Pangeran Hiu Kit Bong mencoba untuk membacoknya dengan pedangnya. Akan tetapi sekali menampar dengan tangan kirinya, pedang itu terlepas dari pegangan sang pangeran dan secepat kilat Thian Liong menotoknya sehingga Pangeran Hiu Kit Bong tidak mampu bergerak lagi.

Thian Liong lalu membawa tubuh Pangeran itu melompat ke atas tembok benteng dan dari tempat tinggi itu dia berseru sambil mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya terdengar lantang sampai jauh. “Haiii! Para perajurit pemberontak! Lihatlah ke sini! Pemimpin kalian sudah ditawan, kalian yang tidak ingin mati cepat lempar senjata dan menyerah!!”

Suara itu lantang sekali dan terdengar oleh semua orang. Akan tetapi karena semua perajurit pemberontak tidak mengenal pemuda di atas tembok benteng yang menawan Pangeran Hiu Kit Bong, maka mereka menjadi ragu. Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat, melompat ke atas tembok benteng dan ternyata ia adalah Pek Hong Nio-cu.

Puteri ini telah berhasil merobohkan Panglima Kiat Kon dengan sebuah tusukan yang menewaskan panglima pemberontak itu. Setelah berdiri di dekat Thian Liong, yang merangkul Pangeran Hiu Kit Bong yang sudah tidak mampu bergerak, puteri itu berteriak melengking.

“Semua perajurit pengikut Pangeran Hiu Kit Bong, lepaskan senjata kalian dan menyerahlah. Kalau tidak, kalian akan dibasmi habis! Lihat pemimpin pemberontak telah kami tawan dan Panglima Kiat Kon juga sudah tewas!”

Semua perajurit pemberontak tentu saja mengenal Puteri Moguhai dan melihat betapa Pangeran Hiu Kit Bong benar-benar telah ditawan, mereka menjadi putus asa. Tanpa ragu lagi mereka membuang senjata mereka dan menjatuhkan diri berlutut tanda menyerah.

Melalui para perwira pembantunya, Pangeran Kuang lalu menyerukan agar para perajurit pemberontak tidak dibunuh. Mereka lalu ditawan dan digiring ke benteng pasukan yang tadi membela kaisar.

Pertempuran berhenti. Para tawanan dibawa ke dalam benteng. Para perajurit melakukan penangkapan-penangkapan teradap mereka yang menjadi kaki tangan Pangeran Hiu Kit Bong, di bawah pimpinan para panglima yang setia kepada kaisar. Ada pula yang bertugas membersihkan benteng istana, merawat yang terluka dan mengurus penguburan mereka yang tewas.

Pangeran Hiu Kit Bong dan beberapa orang pembesar yang menjadi anak buah dan sekutunya, dengan kedua tangan diborgol, dihadapkan kepada kaisar, diikuti oleh Pangeran Kuang, Puteri Moguhai dan Thian Liong.

Semula Thian Liong tidak ingin menghadap kaisar karena dia tidak mengharapkan imbalan jasa untuk bantuannya. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu memaksanya. Sambil menarik tangan Thian Liong Puteri Moguhai berkata.

“Hayolah, Thian Liong. Kau ikut denganku menghadap ayahku. Engkau telah membantu kami, sudah sepantasnya kalau ayah bertemu dan mengenalmu. Pula, sekali ini engkau yang membantu aku, nanti aku akan membantumu mencari gadis berpakaian merah yang telah mencuri kitab itu. Marilah!”

Thian Liong merasa tidak enak kalau menolak, maka diapun ikut Puteri Moguhai dan Pangeran Kuang menggiring tawanan yang jumlahnya tujuh orang itu menghadap kaisar kerajaan Kin. Dia merasa janggal. Dia memasuki istana Kaisar Kin yang merupakan kerajaan yang telah mengusir Kerajaan Sung, menjajah tanah air bangsanya. Akan tetapi Thian Liong tidak merasa bersalah.

Dia pasti tidak akan membantu Kerajaan Kin sekiranya kerajaan ini berperang melawan kerajaan Sung. Kalau sekarang dia membantu kerajaan Kin adalah karena dia memihak yang benar dan menentang para pemberontak yang tentu saja merupakan pihak yang tidak benar karena memberontak.

Apalagi kalau diingat bahwa, Pangeran Hiu Kit Bong, pengkhianat dan pemberontak itu bersekongkol dengan Perdana Menteri Chin Kui yang harus ditentangnya karena pembesar itu hendak menguasai dan menanamkan pengaruh buruk kepada Kaisar kerajaan Sung.

Ketika mereka semua memasuki ruangan di mana Kaisar menerima mereka, Puteri Moguhai lalu berlari menghampiri ibunya dan duduk di dekat ibunya. Pangeran Kuang memberi hormat kepada kakak tirinya dengan sikap gagah sebagai seorang panglima. Para tawanan segera didorong dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar.

Thian Liong meragu. Kalau berhadapan dengan kaisar bangsanya sendiri, kaisar kerajaan Sung, dia tidak akan ragu-ragu untuk menjatuhkan diri berlutut sebagai penghorrmatan. Akan tetapi dia berhadapan dengan kaisar kerajaan Kin, kerajaan bangsa Nuchen yang menjajah. Maka dia hanya mengangkat kedua tangan depan dada sambil membungkuk sebagai penghormatan.

Moguhai sudah mendekati kaisar dan berkata lirih. “Sri Baginda, pemuda itu adalah Souw Thian Liong yang membantu kita dan dia pula yang menangkap Pangeran Hiu Kit Bong sehingga perlawanan pasukan pemberontak dapat dihentikan.”

Kaisar telah mendengar akan bantuan seorang pendekar bangsa Han itu. Dia tersenyum dan memandang kepada Thian Liong lalu mengangguk-angguk. “Souw sicu, silakan duduk di kursi itu. Engkau juga, Pangeran Kuang!”

Kemudian Kaisar menjatuhkan hukuman kepada para pimpinan pemberontak. Kaisar kerajaan Kin ini setelah mengambil Tan Siang Lin sebagai selir terkasih banyak mengalami perubahan. Kalau dahulu dia terkenal keras, kini dia berubah menjadi lebih lunak. Banyak nasihat dia terima dari Tan Siang Lin sehingga dia menjadi seorang penguasa yang bijaksana tidak lalim.

Semua orang tentu mengira bahwa kaisar akan menghukum mati pimpinan pemberontak itu. Akan tetapi kenyataannya tidak. Seperti yang diharapkan Siang Lin, Pangeran Hiu Kit Bong dan para sekutunya tidak dijatuhi hukuman mati, melainkan dihukum buang bersama keluarga mereka di daerah utara, hidup dalam pengasingan dengan suku-suku yang masih terbelakang di sana sehingga tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.

Setelah tawanan itu dibawa pergi, Pangeran Kuang melaporkan gerakannya menumpas pemberontak, dimulai dari kunjungan Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong yang membawa tawanan, yaitu Ngo-heng Kiam-tin dan belasan orang perajurit yang diutus Pangeran Hiu Kit Bong untuk membunuh Moguhai, sampai pengerahan pasukan yang dia pimpin ke kota raja dan berhasil membasmi para pemberontak pada saat yang tepat.

Setelah Pangeran Kuang selesai bercerita, tiba giliran Puteri Moguhai untuk menceritakan pengalamannya bersama Souw Thian Liong. Cerita Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai menarik perhatian semua keluarga istana yang hadir di situ. Mereka merasa kagum sekali.

Setelah mendengar betapa Souw Thian Liong, seorang pemuda pribumi Han menolong kerajaan Kin dan berjasa besar, Kaisar segera berkata sambil memandang kepada Thian Liong dengan senyum ramah.

“Souw-sicu, jasamu besar sekali dan kami mengucapkan banyak terima kasih kepadamu. Katakan, apa yang kau inginkan dari kami? Permintaanmu pasti akan kami penuhi demi membalas budi dan jasamu.”

Thian Liong cepat memberi hormat. “Maafkan hamba, Sri Baginda. Harap Paduka tidak salah paham. Hamba sama sekali tidak menginginkan sesuatu. Apa yang hamba lakukan itu sama sekali bukan perbuatan jasa atau pelepasan budi, apalagi berpamrih mendapatkan imbalan, melainkan sudah menjadi kewajiban hamba untuk melakukannya. Bukan sekali-kali hamba menolak anugerah dari Paduka, hanya hamba tidak mengharapkan imbalan apa pun.”

“Sri Baginda harap jangan menghadiahkan apa-apa kepada Souw Thian Liong. Dia seorang pendekar sejati, dan memberi hadiah kepadanya sama saja dengan merendahkan, bahkan menghinanya. Hamba mempunyai cara yang terbaik untuk membalas budinya. Dia sedang mencari seorang gadis berpakaian merah yang telah mencuri sebuah kitab darinya, dan dia juga bertugas untuk menentang Perdana Menteri Chin Kui di kerajaan Sung. Untuk kedua hal itu, hamba akan membantunya, dengan demikian hamba dapat membalas budi kebaikannya,” kata Puteri Moguhai kepada kaisar.

Kaisar mengerutkan alisnya mendengar nama Perdana Menteri Chin Kui dlisebut. Bagaimanapun juga, Chin Kui dahulu merupakan orang yang berjasa bagi kerajaan Kin. Chin Kui yang mencegah balatentara Sung yang dipimpin Jenderal Gak Hui, jenderal yang amat pandai dan ditakuti kerajaan Kin, melanjutkan gerakannya menyerang ke utara untuk menghalau kerajaan Kin yang menguasai setengah dari daratan Cina bagian utara.

Chin Kui yang berhasil membujuk Kaisar Sung untuk berdamai dengan kerajaan Kin, bahkan kerajaan Sung mengirim upeti tahunan kepada kerajaan Kin. Akan tetapi akhir-akhir ini dia melihat kecurangan Perdana Menteri Chin Kui yang mengurangi sebagian dari upeti kerajaan Sung itu untuk dirinya sendiri. Hal ini membuat hubungan mereka merenggang.

“Kenapa Perdana Menteri Chin Kui dari kerajaan Sung hendak ditentang?” tanyanya sambil memandang kepada puterinya.

Puteri Moguhai mengerti jalan pikiran ayahnya. “Sri Baginda, Souw Thian Liong hendak menentangnya karena Chin Kui terkenal sebagai seorang pembesar yang korup dan khianat terhadap kerajaan Sung. Selain itu, ternyata dia juga menjadi sekutu Paman Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak kepada paduka.”

Kaisar mengerutkan alisnya. “Bersekutu dengan pemberontak?” Dia memandang puterinya dengan sinar mata penuh keheranan. “Apa buktinya kalau dia bersekutu dengan pemberontak?”

“Buktinya sudah jelas, Sri Baginda,” kata Puteri Moguhai. “Cin Kui memang diam-diam menjalin persekutuan dengan Pangeran Hiu Kit Bong dan yang paling jelas buktinya, dia mengirim seorang utusan yang bernama Cia Song untuk menangkap hamba. Hamba hendak ditangkap dan dijadikan sandera untuk memaksa paduka menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Hiu Kit Bong.”

Kaisar mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. “Hemm, aku memang sudah tahu bahwa Chin Kui adalah seorang yang licik dan curang, sama sekali tidak boleh dipercaya. Pernah dia minta kepada kami agar kami mengirim pasukan untuk membantu dan merebut tahta kerajaan Sung dari tangan Kaisar Kao Tsu, akan tetapi aku tidak mau mengkhianati perdamaian yang sudah diadakan antara kerajaan Kin dan kerajaan Sung.”

“Kakanda Kaisar, bagaimana kalau hamba membawa pasukan untuk menghukum Chin Kui yang bersekongkol dengan pemberontak itu?” tiba-tiba Pangeran Kuang mengusulkan.

Kaisar menggeleng kepala. “Tidak boleh, adinda pangeran. Kalau engkau membawa pasukan ke selatan, hal itu akan dapat menimbulkan salah paham dengan kerajaan Sung. Kalau di sana Chin Kui hendak mengadakan pemberontakan, biarlah Kaisar Sung Kao Tsu sendiri menghadapinya. Itu adalah urusan dalam negeri kerajaan Sung dan kita tidak berhak mencampurinya.”

“Benar sekali, Sri Baginda. Akan tetapi kalau hamba seorang diri yang pergi membantu Souw Thian Liong, hamba tidak mewakili kerajaan kita, melainkan sebagai tindakan pribadi hamba. Hamba ingin membalas budi kebaikan Souw Thian Liong dan harap paduka tidak melarang hamba.”

“Ha-ha-ha, siapakah yang dapat melarangmu, Moguhai? Apakah ayahmu ini pernah melarangmu selama ini? Engkau merantau ke sana sini sehingga mendapat julukan Pek Hong Nio-cu, dan aku tidak pernah melarangnya. Baiklah, engkau pergilah membantu Souw-sicu, akan tetapi jangan lupa untuk segera pulang. Engkau harus ingat bahwa engkau kini sudah dewasa, usiamu sudah hampir duapuluh tahun dan sudah tiba masanya bagimu untuk menikah!”

“Aihh… paduka…! Hamba… belum ingin menikah,” kata Pek Hong Nio-cu tersipu dan tergagap sehingga ditertawakan semua anggauta keluarga istana.

Atas permintaan Pek Hong Nio-cu, Souw Thian Liong terpaksa tinggal di istana selama beberapa hari karena gadis itu ingin melepaskan kerinduannya kepada keluarganya lebih dulu sebelum meninggalkan mereka untuk melakukan perjalanan dengan Souw Thian Liong menuju ke selatan.

Pada malam hari itu, Puteri Moguhai bercakap-cakap dengan ibunya di dalam kamarnya. Ibunya, Tan Siang Lin, merasa berat dan khawatir mendengar puterinya akan pergi ke selatan membantu Thian Liong menentang Perdana Menteri Chin Kui.

“Moguhai, anakku, aku benar-benar merasa gelisah sekali mendengar engkau akan pergi ke selatan. Kalau orang-orang kerajaan Sung mendengar bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kin, tentu engkau akan dimusuhi dan amatlah berbahaya bagimu.”

Moguhai merangkul ibunya. “Jangan khawatir, ibu. Di dalam istana ini, aku adalah Puteri Moguhai. Akan tetapi di luar sana, aku dikenal sebagai Pek Hong Nio-cu. Di selatan nanti orang-orang akan mengenal aku sebagai Pek Hong Nio-cu dan tak seorangpun akan mengetahui bahwa aku adalah Puteri Moguhai.”

“Akan tetapi pemuda she Souw itu mengetahuinya. Bagaimana kalau dia memberitahukan kepada orang-orang lain?”

“Tidak mungkin, ibu. Dia seorang sahabat yang baik dan setia. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah tertimpa malapetaka. Dia boleh dipercaya, ibu.”

Tan Siang Lin menghela napas panjang. “Bagaimana pun juga, aku tetap merasa khawatir. Biarpun engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan tangguh, namun di selatan sana banyak terdapat penjahat yang sakti.”

Moguhai tersenyum. “Ibu tidak perlu khawatir. Selain aku sendiri mampu membela dan menjaga diri, juga ada Souw Thian Liong yang memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dariku. Dia lihai sekali, ibu. Lihai dan bijaksana. Dan tahukah ibu siapa gurunya? Gurunya adalah seorang sakti yang amat terkenal, yaitu bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin!”

Wajah Tan Siang Lin berubah. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan seruan, “Ahh...!” ketika ia mendengar disebutnya nama itu. Akan tetapi ia lalu menundukkan mukanya dan diam saja.

Moguhai memperhatikan sikap ibunya. “Ibu, ada satu hal yang merupakan kejutan besar.”

“Hemm, apakah itu, anakku?”

“Aku telah bertemu dengan paman Sie!”

“Eh? Benarkah? Bagaimana engkau mengetahui bahwa yang kau temukan itu Paman Sie?”

“Aku tidak lupa akan wajahnya, ibu. Aku pernah melihat dia ketika dia datang menemui ibu di taman beberapa tahun yang lalu itu. Dia benar-benar paman Sie yang telah memberi kitab-kitab dan perhiasan rambut ini kepadaku melalui ibu. Dan dialah yang menyelamatkan kami ketika aku dan Thian Liong tertawan kaki tangan pemberontak.”

“Ah.....!” Selir kaisar itu memandang wajah puterinya. “Dan dia menemuimu, bicara denganmu?”

“Sayang sekali tidak, ibu. Aku hanya melihat dia di kejahuan, lalu dia menghilang setelah menolong aku dan Thian Liong.” Kini gadis itu memandang wajah ibunya dengan tajam. “Dan ada satu lagi kejutan besar, ibu.”

Tan Siang Lin agaknya telah dapat menguasai perasaannya. Ia memandang puterinya sambil tersenyum dan berkata, “Ah, engkau ini penuh dengan kejutan. Apa lagi yang hendak kau ceritakan, Moguhai?”

“Paman Sie itu ternyata adalah Tiong Lee Cin-jin, guru Souw Thian Liong!”

Moguhai melihat betapa kini tidak ada perubahan pada wajah ibunya. Ia tahu bahwa hal ini jelas menunjukkan bahwa ibunya pasti telah tahu bahwa paman Sie adalah Tiong Lee Cin-jin.

Dan Tan Siang Lin masih tersenyum ketika bertanya kepada puterinya. “Bagaimana engkau dapat memastikan bahwa paman Sie itu Tiong Lee Cin-jin?”

“Ketika dia muncul setelah menyelamatkan Thian Liong dan aku, Thian Liong berseru memanggilnya dengan sebutan suhu. Suhunya adalah Tiong Lee Cin-jin, maka jelaslah bahwa paman Sie adalah Tiong Lee Cin-jin. Benarkah itu, ibu? Ibu tentu lebih mengenal dan mengetahui, bukan?”

Tan Siang Lin menghela napas dan diam saja tidak menjawab dan hanya menundukkan mukanya, kemudian malah melamun dan kedua matanya menjadi basah! Puteri Moguhai merangkul ibunya. Ia biasanya manja kepada ibunya, akan tetapi melihat ibunya seperti orang yang berduka, ia merasa gelisah dan ingin sekali menghiburnya. Ia amat menyayang ibunya.

“Ibu, ada apakah, ibu? Ibu agaknya menyimpan rahasia! Ceritakanlah kepadaku, ibu.”

Tan Siang Lin menggeleng kepalanya. “Tidak, tidak ada apa-apa, anakku. Hanya aku merasa terharu mendengar sahabat baikku itu, Paman Sie itu, telah menyelamatkan engkau. Diapun sudah menyelamatkan ayahmu ketika ayahmu terancam oleh dua orang pengawal yang agaknya menjadi kaki tangan Pangeran Hiu Kit Bong.”

“Ah, benarkah ibu? Kenapa Sri Baginda tidak bercerita tentang hal itu!” kata Moguhai, ikut gembira karena bagaimanapun juga, ia merasa dekat dengan “Paman Sie” yang telah memberi tiga kitab pelajaran ilmu silat tinggi dan perhiasan rambut, dan menganggap dia sebagai gurunya walaupun ia belum pernah bertemu dan bercakap-cakap.

“Mungkin ayahmu belum sempat bercerita karena masih banyak persoalan yang harus diurus ayahmu berhubung dengan pemberontakan itu.”

“Ibu saja yang bercerita! Bagaimana terjadinya peristiwa itu, Ibu?”

“Malam kemarin, ketika kami berkumpul di ruangan dalam, dalam keadaan tegang karena pada siang harinya terjadi pertempuran dan pasukan kita terdesak mundur sehingga hanya menjaga di dalam benteng istana dan pintu gerbang ditutup rapat. Malam itu tidak terjadi pertempuran akan tetapi kami semua dapat menduga bahwa besok paginya para pemberontak tentu akan menyerang lagi.

"Tiba-tiba dua orang pengawal pribadi ayahmu, dengan golok di tangan, menyerang ayahmu. Mereka telah menjadi antek Pangeran Hiu Kit Bong. Karena serangan itu dilakukan tiba-tiba maka agaknya tidak ada yang akan dapat menyelamatkan ayahmu, akan tetapi tiba tiba dari luar jendela ada dua sinar hijau meluncur masuk dan mengenai dua orang penyerang itu yang senjata mereka terlepas dan mereka sendiri lalu terpelanting. Mereka ditangkap para pengawal lainnya dan ternyata yang menancap di tangan mereka hanyalah dua helai daun hijau!”

Moguhai memandang ibunya dengan sinar mata kagum. “Hebat! Bukan main! Daun basah dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia! Alangkah saktinya!”

“Aku tahu bahwa hanya paman Sie saja yang mampu melakukan hal itu. Aku memandang keluar jendela dan aku yakin melihat bayangannya berkelebat di luar jendela. Kemudian, selagi ayahmu bertanya-tanya di mana adanya engkau, tiba-tiba dari luar jendela melayang sehelai kertas bersurat.” Tan Siang Lin lalu mengambil sebuah lipatan kertas dari ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Moguhai. “Inilah suratnya, masih kusimpan.”

Moguhai yang sudah merasa kagum sekali cepat menerima surat itu dan membuka lipatan lalu membacanya. “Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke kota raja dengan pasukannya. Pertahankan istana sampai mereka datang.”

"Ibu yakin bahwa surat inipun dilayangkan oleh Paman Sie?” tanya puteri itu.

Ibunya mengangguk. “Aku yakin sekaIi. Aku mengenal tulisannya yang indah itu.”

Diam-diam Moguhai menduga bahwa tentu hubungan antara ibunya dan Paman Sie amat akrab, kalau tidak begitu tentu ibunya tidak akan dapat mengenal tulisan Paman Sie! Apakah mereka itu pernah saling bersurat-suratan? Moguhai tidak berani menanyakan ini karena takut menyinggung perasaan ibunya dengan dugaan yang terlalu jauh itu.

“Ibu menurut cerita Thian Liong, Tiong Lee Cin-jin itu melakukan perantauan jauh ke barat sampai belasan tahun dan ketika dia kembali, dia membawa banyak kitab milik aliran-aliran persilatan yang dulunya hilang. Dia mengembaIikan kitab-kitab itu kepada pemilik aselinya. Paman Sie juga telah memberi tiga jilid kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi kepadaku. Juga ilmu kepandaian mereka berdua itu amat tinggi. Aku kira mereka berdua itu hanya satu orang saja. Benarkah bahwa paman Sie itu adalah Tiong Lee Cin-jin?”

Tan Siang Lin menghela napas. “Mungkin sekali demikian, Moguhai. Dia tidak pernah mengatakan kepadaku bahwa dia juga disebut Tiong Lee Cin-jin walaupun… eh, dia juga telah pergi selama belasan tahun lamanya dan kami tidak pernah saling berjumpa.”

“Hemm, dan ibu baru berjumpa padanya di taman itu setelah belasan tahun saling berpisah?”

Tan Siang Lin mengangguk dan kembali menghela napas. “Sudahlah, Moguhai. Jangan banyak membicarakan dia, tidak enak kalau didengar orang lain, disangkanya nanti ada apa-apa…”

“Jangan khawatir, ibu. Aku selalu merahasiakan Paman Sie seperti yang ibu pesan dulu.”

“Baik sekali kalau begitu, anakku. Ingat saja bahwa Paman Sie itu adalah gurumu dan dulu, dulu sekali dia adalah sahabat baik ibumu.”

Moguhai amat menyayang ibunya. Setelah ibunya berkata demikian iapun membelokkan percakapan tentang hal lain dan tidak menyinggung nama Paman Sie lagi. Setelah melepaskan kerinduannya kepada keluarga istana selama tiga hari, Moguhai lalu ikut Thian Liong melakukan perjalanan ke Selatan.

Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu, lebih tepat kita sebut Pek Hong Nio-cu karena selama melakukan perjalanan bersama Thian Liong ia tidak pernah mengaku sebagai Puteri Moguhai, menunggang kuda di sebelah Thian Liong. Mereka telah melakukan perjalanan jauh dan kini sudah mulai memasuki wilayah kerajaan Sung setelah kemarin mereka menyeberangi Sungat Yang-ce.

Selama perjalanan mereka di wilayah kerajaan Kin, yaitu di seberang utara Sungai Yang-ce, mereka tidak menemui banyak kesulitan. Pek Hong Nio-cu selalu disambut dengan penuh kehormatan setelah para pembesar setempat mengetahui, dari pedang kekuasaannya, bahwa ia adalah puteri kaisar.

Dan perjalanan itu dipergunakan pula oleh Pek Hong Nio-cu menyelidiki para pembesar. Kalau menemukan pembesar yang sewenang-wenang terhadap rakyat, jahat dan korup, seperti raja kecil yang lalim, ia segera turun tangan memberi hajaran dan memperingatkan mereka dengan keras.

Pada suatu pagi mereka memasuki Kota Ciu-siang, kota pertama wilayah kerajaan Sung yang berada di daerah barat. Mereka tidak langsung memasuki wilayah Kerajaan Sung dari timur yang sebetulnya lebih dekat dan mereka dapat langsung tiba di Lin-an (Hang-chouw) yaitu kota raja Sung karena daerah timur itu merupakan tempat yang gawat, perbatasan dijaga kedua pihak sehingga melakukan perjalanan lewat daerah itu akan mengalami banyak gangguan dan bahaya.

Karena malam tadi mereka berdua melakukan perjalanan setengah malam di bawah sinar bulan purnama, mereka dan juga kuda mereka telah lelah. Pek Hong Nio-cu mengajak Thian Liong yang kini menjadi penunjuk jalan di daerah Sung yang lebih dikenalnya, untuk mencari rumah penginapan agar mereka dapat beristirahat.

Sebelum memasuki daerah kerajaan Sung, atas nasihat Thian Liong, Pek Hong Nio-cu mengganti pakaiannya dengan pakaian yang biasa dipakai para gadis pribumi Han. Hal ini amat penting karena kalau ia mengenakan pakaian gadis bangsawan bangsa Nu chen (Yuchen), hal itu akan menimbulkan banyak masalah dan mungkin saja ia akan dimusuhi oleh rakyat pribumi.

Pek Hong Nio-cu yang memang sudah mempersiapkan pakaian pengganti, memakai pakaian gadis Han, akan tetapi tetap saja pakaian itu dari sutera putih dan perhiasan burung Hong di kepalanya masih dipakainya, hanya gelung rambutnya disesuaikan dengan bentuk gelung rambut gadis pribumi Han.

Penampilannya tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali karena wajah puteri itu memang lebih mirip gadis pribumi Han daripada bangsa Nuchen. Hanya saja, karena ia memang amat cantik jelita, maka di mana saja, orang-orang, terutama para pria, yang melihatnya akan memandang dengan kagum.

Mereka berdua turun dari atas punggung kuda mereka di pelataran sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan segera menyambut dan mengurus kuda mereka. Mereka lalu berjalan memasuki ruangan depan rumah penginapan itu dan minta kamar kepada pengurus penginapan yang duduk di belakang meja penerima tamu.

Agaknya memang menjadi peraturan di kota dekat perbatasan itu bahwa para tamu harus memperkenalkan namanya. Ketika ditanya, Thian Liong menjawab tenang. “Namaku Souw Thian Liong dan nona ini adalah adikku, Souw-siocia (Nona Souw). Kami hendak pergi ke kota raja.

Mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Mereka lalu memasuki kamar masing-masing untuk tidur karena merasa lelah dan mengantuk. Setelah matahari naik tinggi, keduanya terbangun dengan tubuh terasa segar kembali. Setelah mandi dan menukar pakaian, mereka berdua pergi ke rumah makan yang berada di samping rumah penginapan dan memesan makanan.

Se!agi mereka minum air teh sehabis makan, tiba-tiba mereka dan semua orang yang sedang makan dalam rumah makan itu dikejutkan oleh masuknya serombongan orang yang ternyata adalah perajurit-perajurit berpakaian seragam dan jumlah mereka ada belasan orang, dipimpin oleh seorang perwira yang bertubuh tinggi besar.

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu bersikap tenang dan memandang kepada perwira yang memimpin pasukan kecil itu. Mereka melihat pula pengurus rumah penginapan yang juga tampak memasuki rumah makan dan orang ini mendekati sang perwira dan menudingkan telunjuknya ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Mengikuti petunjuk pengurus rumah penginapan, perwira itu segera melangkah lebar menghampiri Thian Liong, diikuti belasan orang anak buahnya.

Para tamu rumah makan menjadi ketakutan dan mereka bergegas meninggalkan rumah makan itu setelah cepat-oepat menghentikan makan mereka dan membayar harga makanan di meja pengurus rumah makan. Berdasarkan pengalaman, kalau pasukan datang, tentu terjadi keributan dan mereka tidak ingin tersangkut.

Tak lama kemudian, hanya tinggal Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu yang masih tinggal di rumah makan itu. Para pelayan rumah makan juga sudah keluar dan berkumpul di pelataran, menonton dari kejauhan.

Biarpun maklum bahwa perwira yang diikuti serombongan perajurit itu menghampiri meja mereka, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu masih tenang saja. Bahkan Pek Hong Nio-cu dengan sikap acuh mengangkat cangkir air tehnya dan minum.

Setelah tiba dekat meja, Thian Liong, perwira yang berusia kurang lebih empatpuluh tahun, tinggi besar dan mukanya brewok, matanya lebar itu memandang kepada Thian Liong lalu bertanya dengan suara parau dan sikapnya kasar. “Hei, apakah kamu yang bernama Souw Thian Liong?”

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnys dan merasa tak senang, akan tetapi Thian Liong memberi isyarat kepadanya agar diam, lalu dia sendiri dengan sikap tenang menjawab. “Benar, aku bernama Souw Thian Liong. Ada apakah, ciang-kun (perwira)?”

“Bagus!” Perwira itu mencabut pedangnya, diikuti belasan orang anak buahnya yang juga mencabut golok mereka. “Souw Thian Liong, menyerahlah, kami harus menangkapmu. Jangan melawan agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan!”

Thian Liong masih tetap duduk tenang. Pek Hong Nio-cu bahkan lebih tenang lagi. Tanpa memperdulikan pasukan kecil itu yang mengepung dan semua mata ditujukan kepadanya dengan mata penuh marah dan mulut menyeringai kurang ajar, ia menuangkan air teh dari poci memenuhi cangkirnya.

“Aku tidak mempunyai kesalahan apapun, ciangkun. Kenapa engkau hendak menangkap aku? Katakan dulu apa kesalahanku, kalau aku memang bersalah, tentu aku menyerah dengan senang hati untuk kautangkap,” kata Thian Liong, tidak menunjukkan rasa penasaran di hatinya dalam ucapan atau sikapnya.

Perwira tinggi besar itu tertawa. “Ha-ha-ha, engkau masih pura-pura bertanya? Engkau adalah seorang buruan pemerintah. Engkau seorang pengkhianat yang menjadi antek kerajaan Kin, tentu engkau hendak memata-matai daerah ini, bukan? Nah, menyerahlah kutangkap dan kuhadapkan kepada jaksa! Dan Nona inipun akan kami tangkap karena ia berada bersamamu, apalagi engkau mengaku bahwa ia adikmu, tentu tersangkut dengan pengkhianatan dan kejahatanmu!” Perwira itu lalu menoleh kepada anak buahnya. “Belenggu kedua tangan pengkhianat ini!”

Akan tetapi pada saat itu, Pek Hong Nio-cu sudah menggerakkan cangkir tehnya dan air teh dari cangkir itu menyiram muka si perwira dengan cepat sekali.

“Ah.... aduh....!” Perwira itu meraba mukanya yang terasa perih seperti ditusuki jarum dan matanya pedas tersiram air teh yang masih panas! “Serang mereka!” bentaknya sambil menggosok-gosok matanya yang belum dapat dibuka.

Belasan orang perajurit itu lalu menerjang maju dan menggerakkan golok mereka menyerang Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu!

“Nio-cu, jangan bunuh orang!” Thian Liong berseru kepada gadis itu.

Pek Hong Nio-cu menendang meja didepannya. Meja melayang dan menimpa para perajurit sehingga empat orang kena hantam meja dan roboh. Dua orang muda itu lalu melompat dan kaki tangan mereka bergerak cepat.

Terdengar teriakan-teriakan mengaduh disusul golok beterbangan lepas dari tangan para perajurit dan tubuh mereka berpelantingan menabrak meja kursi dalam ruangan rumah makan itu...!

Jilid selanjutnya,
KISAH SI NAGA LANGIT JILID 19
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.