AJI belum pernah merasa tertarik oleh kecantikan wanita, kecuali ketika dia bertemu dengan Ratu Wandansari yang membuatnya kagum namun penuh hormat, sekali ini merasa tersedot oleh daya tarik yang luar biasa, Baru sekali ini selama hidupnya dia mengalami berkobarnya gairah berahi dalam dirinya dan dengan sendirinya kedua kakinya melangkah, memenuhi panggilan wanita itu!
Pengalaman yang baru sekali dirasakannya itu membuat Aji terkejut dan segera dia menyadari bahwa hal ini adalah tidak wajar! Kesadaran sekilat ini bagaikan sinar menyambarnya dan otomatis dia sudah tenggelam dalam Aji Tirta Bantala yang dia dapatkan dari mendiang Ki Tejobudi. Matanya terpejam, bibirnya bergerak-gerak dan dengan suara berbisik dia menyebut, “Allah... Allah... Allah... “
Pada saat itu, berhentilah semua nafsu hati akal dan pikiran yang tadi mencengkeramnya dan dia merasa dirinya tenang dan bersih kembali. Ketika dia membuka mata memandang ke arah Nyi Maya Dewi yang berdiri dalam jarak tiga meter darinya itu, dia melihat wajah yang tetap cantik akan tetapi mengerikan! Mata itu mencorong penuh nafsu, mulut yang indah bentuknya itu menyeringai sehingga tampak kejam mengerikan. “Ya ampun, Gusti...!” aji berbisik lirih dan kakinya bergerak mundur beberapa langkah menjauhi wanita itu.
Nyi Maya Dewi yang tadinya merasa girang dan hampir yakin bahwa aji pengasihan Pelet Mimi Mintuno yang dikerahkan itu tentu berhasil, menjadi terkejut dan kecewa marah melihat pemuda itu sadar kembali. Ia tahu bahwa pengaruh aji pengasihannya itu telah gagal. dengan marah sekali ia mengeluarkan segenggam daun sirih dan setelah berkemak kemik membaca mantera ia berseru, “Aji, mampuslah engkau diserang barisan ularku!” dan ia lalu membanting segenggam daun sirih itu ke atas tanah.
Seruan itu terdengar pula oleh para pemuda Loano yang menonton dan mereka terbelalak keheranan dan ngeri melihat betapa daun-daun yang dibanting wanita cantik itu benar-benar telah berubah menjadi banyak ular weling yang merayap ke arah Aji dengan sikap buas! Para pemuda Loano ini tadi melihat betapa wanita itu seperti merayu Aji. Akan tetapi mereka tidak tahu apa yang terjadi. Hanya melihat pemuda yang dirayu itu maju beberapa langkah, lalu berhenti dan mundur lagi.
Akan tetapi kini melihat serangan aneh itu mereka menjadi jerih dan mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu. Juga hati mereka merasa takut menghadapi serangan sihir yang mengubah daun-daun menjadi ular-ular weling itu. Mereka semua mengenal ular yang amat berbahaya itu. Sekali tergigit, orang akan tewas seketika!
Namun Aji yang diancam serangan puluhan ekor ular weling itu tampak tenang saja. Dia berjongkok mengambil segenggam tanah dan dilontarkannya tanah itu ke arah ular-ular yang merayap menuju kakinya. “Demi Allah, kembalilah kepada kodratmu!”
Pengalaman yang baru sekali dirasakannya itu membuat Aji terkejut dan segera dia menyadari bahwa hal ini adalah tidak wajar! Kesadaran sekilat ini bagaikan sinar menyambarnya dan otomatis dia sudah tenggelam dalam Aji Tirta Bantala yang dia dapatkan dari mendiang Ki Tejobudi. Matanya terpejam, bibirnya bergerak-gerak dan dengan suara berbisik dia menyebut, “Allah... Allah... Allah... “
Pada saat itu, berhentilah semua nafsu hati akal dan pikiran yang tadi mencengkeramnya dan dia merasa dirinya tenang dan bersih kembali. Ketika dia membuka mata memandang ke arah Nyi Maya Dewi yang berdiri dalam jarak tiga meter darinya itu, dia melihat wajah yang tetap cantik akan tetapi mengerikan! Mata itu mencorong penuh nafsu, mulut yang indah bentuknya itu menyeringai sehingga tampak kejam mengerikan. “Ya ampun, Gusti...!” aji berbisik lirih dan kakinya bergerak mundur beberapa langkah menjauhi wanita itu.
Nyi Maya Dewi yang tadinya merasa girang dan hampir yakin bahwa aji pengasihan Pelet Mimi Mintuno yang dikerahkan itu tentu berhasil, menjadi terkejut dan kecewa marah melihat pemuda itu sadar kembali. Ia tahu bahwa pengaruh aji pengasihannya itu telah gagal. dengan marah sekali ia mengeluarkan segenggam daun sirih dan setelah berkemak kemik membaca mantera ia berseru, “Aji, mampuslah engkau diserang barisan ularku!” dan ia lalu membanting segenggam daun sirih itu ke atas tanah.
Seruan itu terdengar pula oleh para pemuda Loano yang menonton dan mereka terbelalak keheranan dan ngeri melihat betapa daun-daun yang dibanting wanita cantik itu benar-benar telah berubah menjadi banyak ular weling yang merayap ke arah Aji dengan sikap buas! Para pemuda Loano ini tadi melihat betapa wanita itu seperti merayu Aji. Akan tetapi mereka tidak tahu apa yang terjadi. Hanya melihat pemuda yang dirayu itu maju beberapa langkah, lalu berhenti dan mundur lagi.
Akan tetapi kini melihat serangan aneh itu mereka menjadi jerih dan mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu. Juga hati mereka merasa takut menghadapi serangan sihir yang mengubah daun-daun menjadi ular-ular weling itu. Mereka semua mengenal ular yang amat berbahaya itu. Sekali tergigit, orang akan tewas seketika!
Namun Aji yang diancam serangan puluhan ekor ular weling itu tampak tenang saja. Dia berjongkok mengambil segenggam tanah dan dilontarkannya tanah itu ke arah ular-ular yang merayap menuju kakinya. “Demi Allah, kembalilah kepada kodratmu!”
Begitu disambar tanah yang dilontarkan ke arah ular-ular itu, tampak asap mengepul dan ular-ular jadi-jadian itupun kembali dalam ujud semula, yaitu beberapa helai daun sirih yang berserakan di atas tanah!
Melihat ini, para pemuda Loano bertepuk tangan dan bersorak. Sebaliknya, para anak buah Gagak Rodra yang tadinya sudah merasa girang, mengerutkan alis mereka. Nyi Maya Dewi menjadi semakin marah. Tepuk tangan dan sorak sorai itu terdengar oleh telinganya bagaikan suara yang mengejeknya. Ia merangkap kedua tangan itu ke atas, lalu sambil membaca mantera ia menurunkan kedua tangan masih dalam sembah dan tiba-tiba ia mengeluarkan teriakan melengking dan panjang, kedua tangan itu dikembangkan ke arah puluhan orang pemuda Loano.
Tiba-tiba dari kedua telapak tangannya itu muncul asap hitam yang tebal bergulung-gulung, seperti hidup asap itu melayang ke arah puluhan orang pemuda Loano! Tentu saja puluhan orang pemuda Loano itu menjadi gentar dan panik. Mereka bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Hendak maju mereka takut. Kalau melarikan diri mereka malu.
Melihat ini, para pemuda Loano bertepuk tangan dan bersorak. Sebaliknya, para anak buah Gagak Rodra yang tadinya sudah merasa girang, mengerutkan alis mereka. Nyi Maya Dewi menjadi semakin marah. Tepuk tangan dan sorak sorai itu terdengar oleh telinganya bagaikan suara yang mengejeknya. Ia merangkap kedua tangan itu ke atas, lalu sambil membaca mantera ia menurunkan kedua tangan masih dalam sembah dan tiba-tiba ia mengeluarkan teriakan melengking dan panjang, kedua tangan itu dikembangkan ke arah puluhan orang pemuda Loano.
Tiba-tiba dari kedua telapak tangannya itu muncul asap hitam yang tebal bergulung-gulung, seperti hidup asap itu melayang ke arah puluhan orang pemuda Loano! Tentu saja puluhan orang pemuda Loano itu menjadi gentar dan panik. Mereka bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Hendak maju mereka takut. Kalau melarikan diri mereka malu.
Akan tetapi pada saat itu, tampak bayangan berkelebat dan Aji sudah melompat ke depan kelompok pemuda Loano itu. Dia menyambut datangnya asap hitam itu dengan dorongan kedua telapak tangannya sambil mengerahkan tenaga Surya Chandra.
“Wuuussss...!” dari dorongan ini muncul tenaga dahsyat seperti angin yang menerpa gulungan asap hitam itu. Asap hitam itu seperti hidup. Diterjang tenaga dahsyat itu asap membalik, bergulung-gulung seperti bingung, seperti naga yang ketakutan, kemudian asap itu terbang kembali ke arah kedua telapak tangan Nyi Maya Dewi!
Melihat betapa berbagai penyerangannya dengan ilmu sihir dapat dipunahkan Aji, Nyi Maya Dewi memuncak kemarahannya. “Bocah sombong, aku bersumpah untuk membunuhmu!” teriaknya dan ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
“Wuuussss...!” dari dorongan ini muncul tenaga dahsyat seperti angin yang menerpa gulungan asap hitam itu. Asap hitam itu seperti hidup. Diterjang tenaga dahsyat itu asap membalik, bergulung-gulung seperti bingung, seperti naga yang ketakutan, kemudian asap itu terbang kembali ke arah kedua telapak tangan Nyi Maya Dewi!
Melihat betapa berbagai penyerangannya dengan ilmu sihir dapat dipunahkan Aji, Nyi Maya Dewi memuncak kemarahannya. “Bocah sombong, aku bersumpah untuk membunuhmu!” teriaknya dan ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
Tampak asap mengepul di antara kedua telapak tangannya berubah merah seperti berlepotan darah! Inilah Aji Telapak Ludiro yang didapatkannya dengan latihan yang amat keji, yaitu menghisap darah anak-anak yang masih murni lahir batinnya! Kedua telapak tangan yang merah ini mengandung hawa pukulan beracun yang amat jahat.
Semenjak menguasai ilmu sesat ini, belum pernah Nyi Maya Dewi mempergunakannya dalam perkelahian. Akan tetapi beberapa ekor kerbau dan sapi telah menjadi korbannya, tewas seketika begitu terkena tamparan tangannya!
Semenjak menguasai ilmu sesat ini, belum pernah Nyi Maya Dewi mempergunakannya dalam perkelahian. Akan tetapi beberapa ekor kerbau dan sapi telah menjadi korbannya, tewas seketika begitu terkena tamparan tangannya!
Aji tidak mengenal ilmu itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa lawannya tentu mempergunakan aji pukulan yang ampuh. Maka diapun bersikap waspada.
“Mampuslah!” Wanita itu berteriak dan menerjang maju, tangan kirinya menampar. terdengar suara berdesir dan saking cepatnya tangan itu bergerak, yang tampak hanya sinar kemerahan menyambar ke arah kepala Aji.
Akan tetapi pemuda itu sudah memainkan ilmu silat Wanara Sakti. Dengan mudahnya dia mengelak. Ketika tangan kanan yang merah itu menyambar dari lain jurusan, diapun sudah cepat melompat dan mengelak. Wanita itu semakin penasaran dan terus mendesak, namun tubuh Aji dengan cepatnya berloncatan ke sana sini, kadang-kadang melompat dan jungkir balik, namun semua serangan wanita itu hanya mengenai tempat kosong. Aji sendiri belum mau membalas karena bagaimanapun juga, dia tidak ingin memukul orang, apa lagi orang yang dilawannya itu adalah seorang wanita. Rasanya tidak pantas memukul seorang wanita!
Sementara itu perkelahian antara Ki Sumali yang dikeroyok dua oleh Blekok Ireng dan Jalak Uren berlangsung semakin seru. Akan tetapi segera tampak bahwa dua orang pimpinan Gagak Rodra itu kewalahan menghadapi kedigdayaan Ki Sumali. Suling di tangan kiri Ki Sumali bergerak cepat sampai mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup. Hal ini membingungkan dua orang pengeroyoknya itu, apa lagi keris Sarpo Langking yang digerakkan dengan cepat itu merupakan sinar hitam yang menyambar-nyambar ganas.
Beberapa kali dua orang itu terjengkang dan terhuyung terkena sambaran tendangan kaki Pendekar Loano itu. Akan tetapi tubuh mereka kebal sehingga tidak dapat terluka oleh tendangan. Melihat keuletan mereka, Ki Sumali menjadi marah dan penasaran juga. Tiba-tiba Ki Sumali mengeluarkan pekik dahsyat. Itulah Aji Jerit Bairawa yang mengandung tenaga dalam yang ampuh sekali.
Akan tetapi pemuda itu sudah memainkan ilmu silat Wanara Sakti. Dengan mudahnya dia mengelak. Ketika tangan kanan yang merah itu menyambar dari lain jurusan, diapun sudah cepat melompat dan mengelak. Wanita itu semakin penasaran dan terus mendesak, namun tubuh Aji dengan cepatnya berloncatan ke sana sini, kadang-kadang melompat dan jungkir balik, namun semua serangan wanita itu hanya mengenai tempat kosong. Aji sendiri belum mau membalas karena bagaimanapun juga, dia tidak ingin memukul orang, apa lagi orang yang dilawannya itu adalah seorang wanita. Rasanya tidak pantas memukul seorang wanita!
Sementara itu perkelahian antara Ki Sumali yang dikeroyok dua oleh Blekok Ireng dan Jalak Uren berlangsung semakin seru. Akan tetapi segera tampak bahwa dua orang pimpinan Gagak Rodra itu kewalahan menghadapi kedigdayaan Ki Sumali. Suling di tangan kiri Ki Sumali bergerak cepat sampai mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup. Hal ini membingungkan dua orang pengeroyoknya itu, apa lagi keris Sarpo Langking yang digerakkan dengan cepat itu merupakan sinar hitam yang menyambar-nyambar ganas.
Beberapa kali dua orang itu terjengkang dan terhuyung terkena sambaran tendangan kaki Pendekar Loano itu. Akan tetapi tubuh mereka kebal sehingga tidak dapat terluka oleh tendangan. Melihat keuletan mereka, Ki Sumali menjadi marah dan penasaran juga. Tiba-tiba Ki Sumali mengeluarkan pekik dahsyat. Itulah Aji Jerit Bairawa yang mengandung tenaga dalam yang ampuh sekali.
Dua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra itu gemetar terserang pekik dahsyat itu sehingga sejenak mereka seperti lumpuh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ki Sumali. Hampir berbareng keris Sarpo Langking di tangan kanan dan suling bambu di tangan kiri berkelebat dan robohlah Blekok Ireng yang tertembus dadanya oleh keris dan Jalak Uren yang retak pelipisnya oleh hantaman suling bambu!
Para pemuda Loano bersorak gembira melihat betapa Ki Sumali telah dapat merobohkan dua orang pemimpin gerombolan itu. Akan tetapi pada saat itu muncul seorang kakek. Usianya sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus dan agak bongkok karena punggungnya berpunuk. Mukanya memanjang ke depan seperti muka seekor kuda. Matanya sipit. Pakaiannya serba hitam dan dia berkalung sarung. Kedua lengannya memakai gelang akar bahar dan jari-jari tangannya penuh cincin bermata akik besar-besar. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular kering. Itulah Aki Somad!
Melihat betapa Nyi Maya Dewi agaknya tidak mampu mengalahkan Aji, kakek itu merasa penasaran sekali. Nyi Maya Dewi masih terhitung murid keponakannya dan dia tahu bahwa wanita itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Bagaimana sekarang melawan seorang pemuda sederhana seperti itu tidak mampu mengalahkannya bahkan tampak kerepotan?
Para pemuda Loano bersorak gembira melihat betapa Ki Sumali telah dapat merobohkan dua orang pemimpin gerombolan itu. Akan tetapi pada saat itu muncul seorang kakek. Usianya sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus dan agak bongkok karena punggungnya berpunuk. Mukanya memanjang ke depan seperti muka seekor kuda. Matanya sipit. Pakaiannya serba hitam dan dia berkalung sarung. Kedua lengannya memakai gelang akar bahar dan jari-jari tangannya penuh cincin bermata akik besar-besar. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular kering. Itulah Aki Somad!
Melihat betapa Nyi Maya Dewi agaknya tidak mampu mengalahkan Aji, kakek itu merasa penasaran sekali. Nyi Maya Dewi masih terhitung murid keponakannya dan dia tahu bahwa wanita itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Bagaimana sekarang melawan seorang pemuda sederhana seperti itu tidak mampu mengalahkannya bahkan tampak kerepotan?
“Maya Dewi. Minggirlah, biar aku yang akan menghajar bocah itu!” teriak Aki Somad.
Melihat kedatangan paman gurunya yang dalam kedudukannya sebagai telik sandi (mata-mata) Kumpeni Belanda masih berada di bawah kedudukannya sendiri sebagai pengawas umum, Nyi Maya Dewi merasa girang sekali. “Paman, jangan bunuh dia. Tangkap hidup-hidup untukku!” teriaknya sambil melompat ke samping.
“Huh, dasar mata keranjang!” Aki Somad terkekeh dan dia lalu menghadapi Aji.
Sementara itu, melihat betapa dua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra sudah tewas oleh Ki Sumali, Nyi Maya Dewi menjadi marah sekali dan ia sudah meloncat ke depan dan langsung menyerang Pendekar Loano itu dengan ganas. Wanita ini sudah melolos senjatanya, yaitu sabuk Cinde Kencana. Begitu diputar, sabuk itu berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyambar-nyambar ke arah Ki Sumali. Pendekar Loano ini sudah siap, cepat dia menggerakkan keris dan sulingnya untuk menangkis dan balas menyerang. Mereka berdua tanpa banyak cakap lagi, sudah saling serang dengan sengit.
Adapun Aki Somad yang berhadapan dengan Aji, berkemak kemik membaca mantera. kemudian dia menudingkan tongkat ular kering itu ke arah kepala Aji dan berseru, “Terimalah ini dan mati engkau!” Tiba-tiba dari ujung tongkat itu tampak sinar meluncur dibarengi suara menggelegar seperti ada petir menyambar ke arah kepala Aji!
Pemuda ini maklum bahwa lawannya ini memiliki ilmu sihir yang amat kuat dan sambaran petir yang keluar dari tongkat itu berbahaya sekali. Dia lalu berlindung ke dalam Aji Tirta Bantala, dirinya menjadi kosong terisi Kekuasaan Tuhan yang membuat dirinya seolah menjadi seperti bumi atau air. Petir yang keluar dari ujung tongakt ular itu meledak-ledak dahsyat di atas kepalanya, akan tetapi sama sekali tidak menyentuhnya. Yang diserang itu seolah merupakan bumi atau air sehingga sama sekali tidak terpengaruh, bahka tidak meninggalkan bekas!
Aki Somad terbelalak heran melihat serangan petirnya itu sama sekali tidak menyentuh pemuda itu seolah diri pemuda itu terlindung perisai tak tampak yang amat kuat. Dia merasa heran bukan main. Kalau pemuda itu mengeluarkan aji kesaktiannya, menyambut serangannya dengan tenaga sakti untuk menangkis, dia tidak akan merasa heran. Akan tetapi pemuda itu diam saja, seolah menyerah dirinya diserang tanpa melawan, akan tetapi anehnya, tenaga serangannya tidak mampu menyentuhnya!
Aki Somad merasa penasaran. Dia adalah seorang ahli sihir, ahli ilmu hitam yang dikuasainya dengan jalan bertapa di Nusa Kambangan maka tentu saja dia merasa penasaran sekali kalau kekuatan sihirnya itu tidak mampu menyerang seorang pemuda yang masih tampak remaja! Dia berkemak-kemik lagi membaca mantera lain, kemudian dia melontarkan tongkatnya yang sudah tidak mengeluarkan petir lagi itu ke atas.
“Wusss...!” Asap mengepul dan tongkat itu berubah menjadi seekor naga besar yang menyambar turun ke arah Aji dengan moncong terbuka lebar mengeluarkan api berkobar, matanya mencorong berapi-api dan dua kaki depan dengan cakarnya yang runcing melengkung siap menerkam pemuda itu. Seperti tadi ketika menghadapi ilmu sihir Nyi Maya Dewi, Aji dengan tenang berjongkok, mengambil tanah lalu melontarkan tanah itu ke arah naga jadi-jadian sambil berseru, “Demi Allah, kembalilah ke ujud semula!”
“Byarrrr...!” Naga itu seperti terbakar dan runtuh menjadi sebatang tongkat ular kering kembali yang jatuh ke atas tanah!
Melihat kedatangan paman gurunya yang dalam kedudukannya sebagai telik sandi (mata-mata) Kumpeni Belanda masih berada di bawah kedudukannya sendiri sebagai pengawas umum, Nyi Maya Dewi merasa girang sekali. “Paman, jangan bunuh dia. Tangkap hidup-hidup untukku!” teriaknya sambil melompat ke samping.
“Huh, dasar mata keranjang!” Aki Somad terkekeh dan dia lalu menghadapi Aji.
Sementara itu, melihat betapa dua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra sudah tewas oleh Ki Sumali, Nyi Maya Dewi menjadi marah sekali dan ia sudah meloncat ke depan dan langsung menyerang Pendekar Loano itu dengan ganas. Wanita ini sudah melolos senjatanya, yaitu sabuk Cinde Kencana. Begitu diputar, sabuk itu berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyambar-nyambar ke arah Ki Sumali. Pendekar Loano ini sudah siap, cepat dia menggerakkan keris dan sulingnya untuk menangkis dan balas menyerang. Mereka berdua tanpa banyak cakap lagi, sudah saling serang dengan sengit.
Adapun Aki Somad yang berhadapan dengan Aji, berkemak kemik membaca mantera. kemudian dia menudingkan tongkat ular kering itu ke arah kepala Aji dan berseru, “Terimalah ini dan mati engkau!” Tiba-tiba dari ujung tongkat itu tampak sinar meluncur dibarengi suara menggelegar seperti ada petir menyambar ke arah kepala Aji!
Pemuda ini maklum bahwa lawannya ini memiliki ilmu sihir yang amat kuat dan sambaran petir yang keluar dari tongkat itu berbahaya sekali. Dia lalu berlindung ke dalam Aji Tirta Bantala, dirinya menjadi kosong terisi Kekuasaan Tuhan yang membuat dirinya seolah menjadi seperti bumi atau air. Petir yang keluar dari ujung tongakt ular itu meledak-ledak dahsyat di atas kepalanya, akan tetapi sama sekali tidak menyentuhnya. Yang diserang itu seolah merupakan bumi atau air sehingga sama sekali tidak terpengaruh, bahka tidak meninggalkan bekas!
Aki Somad terbelalak heran melihat serangan petirnya itu sama sekali tidak menyentuh pemuda itu seolah diri pemuda itu terlindung perisai tak tampak yang amat kuat. Dia merasa heran bukan main. Kalau pemuda itu mengeluarkan aji kesaktiannya, menyambut serangannya dengan tenaga sakti untuk menangkis, dia tidak akan merasa heran. Akan tetapi pemuda itu diam saja, seolah menyerah dirinya diserang tanpa melawan, akan tetapi anehnya, tenaga serangannya tidak mampu menyentuhnya!
Aki Somad merasa penasaran. Dia adalah seorang ahli sihir, ahli ilmu hitam yang dikuasainya dengan jalan bertapa di Nusa Kambangan maka tentu saja dia merasa penasaran sekali kalau kekuatan sihirnya itu tidak mampu menyerang seorang pemuda yang masih tampak remaja! Dia berkemak-kemik lagi membaca mantera lain, kemudian dia melontarkan tongkatnya yang sudah tidak mengeluarkan petir lagi itu ke atas.
“Wusss...!” Asap mengepul dan tongkat itu berubah menjadi seekor naga besar yang menyambar turun ke arah Aji dengan moncong terbuka lebar mengeluarkan api berkobar, matanya mencorong berapi-api dan dua kaki depan dengan cakarnya yang runcing melengkung siap menerkam pemuda itu. Seperti tadi ketika menghadapi ilmu sihir Nyi Maya Dewi, Aji dengan tenang berjongkok, mengambil tanah lalu melontarkan tanah itu ke arah naga jadi-jadian sambil berseru, “Demi Allah, kembalilah ke ujud semula!”
“Byarrrr...!” Naga itu seperti terbakar dan runtuh menjadi sebatang tongkat ular kering kembali yang jatuh ke atas tanah!
Aki Somad menggerakkan tangan kanannya dan tongkat itu mendadak terbang kembali ke tangannya. “Babo-babo, bocah kemarin sore, yang masih bau pupuk ubun-ubunmu berani menentang aku! Bocah lancang, sudah butakah matamu, tulikah telingamu sehingga engkau tidak tahu bahwa engkau berhadapan dengan Aki Somad yang mbaurekso Nusa Kambangan?”
“Kiranya aku berhadapan dengan Aki Somad yang sudah kudengar bahwa andika menjadi telik sandi Kumpeni Belanda. Aki Somad, maafkan kalau aku yang muda memberi nasihat kepada seorang kakek seperti andika, akan tetapi, tidakkah andika menyadari bahwa menjadi telik sandi Kumpeni Belanda sama saja dengan mengkhianati nusa dan bangsa dan hendak menjual tanah air? Seorang kakek yang sakti mandraguna seperti andika sepatutnya malu melakukan hal seperti itu, Aki Somad!”
“Keparat, bocah sombong! Aku tidak mengabdi kepada Belanda, aku mengabdi kepada daerahku sendiri, ingin membebaskan daerahku sendiri dari kekuasaan Mataram, dengan bantuan Kumpeni Belanda!”
“Sama saja, Aki Somad! Seharusnya andika membantu Mataram menghadapi Kumpeni belanda, berarti membebaskan nusa dan bangsa dari ancaman bangsa Belanda, bukan sebaliknya. Harap andika dapat menyadari kesalahan ini, Aki Somad.”
“Omong kosong! Orang muda, siapakah gurumu yang tidak dapat mengajar adat kepadamu sehingga engkau berani melawan aku?” Dengan harapan kakek ini dapat menyadari kesalahannya, Aji menyebutkan nama gurunya, “Mendiang guruku adalah Ki Tejo Budi.”
“Tejo Budi? Hemmm, tiga bersaudara itu, Tejo Wening, Tejo langit, dan tejo budi! Tiga orang yang melupakan asal usul sendiri, Kerajaan banten juga sudah menganggap mereka sebagai pengkhianat. Orang banten yang setia kepada Mataram! Cuhhh!” Kakek itu meludah. “Dan engkau muridnya? Siapa namamu?”
“Namaku Lindu Aji.”
“Hemmm, sebutlah nama orang tua dan gurumu karena sekarang engkau akan mati di tanganku!” Setelah berkata demikian, kakek itu menyelipkan tongkat ular di ikat pinggangnya, kemudian dia meniup kedua telapak tangannya. Tampak lidah api berkobar di kedua telapak tangannya itu ketika dia meniupnya! “Aji Tapak Geni! Hyaaaaahhhhh!” kakek itu menyerang dengan dorongan kedua telapak tangannya yang bernyala. Hawa yang amat panas menyambar ke arah dada Aji.
Namun Aji sudah menggerakkan tubuhnya dengan lincah, memainkan ilmu silat Wanara Sakti. Aki Somad cepat menyambung serangannya yang luput itu dengan serangan lain, makin lama semakin dahsyat. Namun Aji dapat selalu mengelak dan melihat serangan yang semakin gencar, ketika tangan kiri kakek itu memukul ke arah lambung dari samping untuk menangkis.
“Dukkkk!” Dua lengan bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang dan terhuyung, Hal ini menandakan bahwa keduanya memiliki tenaga sakti yang seimbang. Aki Somad merasa penasaran sekali dan kembali dia memukulkan kedua tangannya dengan pengerahan sepenuh tenaganya.
“Hyaaaaaaaaahhh...!!” kedua telapak tangan bernyala itu mendorong ke depan dan hawa yang amat panas menyambar ke arah Aji. Aji yang juga menekuk kedua lututnya, tubuhnya merendah dan diapun mengerahkan aji tenaga sakti Surya Chandra dan mendorong ke depan menyambut pukulan jarak jauh itu.
“Wuuuuuuuttt... blarrrrr...!!”
“Kiranya aku berhadapan dengan Aki Somad yang sudah kudengar bahwa andika menjadi telik sandi Kumpeni Belanda. Aki Somad, maafkan kalau aku yang muda memberi nasihat kepada seorang kakek seperti andika, akan tetapi, tidakkah andika menyadari bahwa menjadi telik sandi Kumpeni Belanda sama saja dengan mengkhianati nusa dan bangsa dan hendak menjual tanah air? Seorang kakek yang sakti mandraguna seperti andika sepatutnya malu melakukan hal seperti itu, Aki Somad!”
“Keparat, bocah sombong! Aku tidak mengabdi kepada Belanda, aku mengabdi kepada daerahku sendiri, ingin membebaskan daerahku sendiri dari kekuasaan Mataram, dengan bantuan Kumpeni Belanda!”
“Sama saja, Aki Somad! Seharusnya andika membantu Mataram menghadapi Kumpeni belanda, berarti membebaskan nusa dan bangsa dari ancaman bangsa Belanda, bukan sebaliknya. Harap andika dapat menyadari kesalahan ini, Aki Somad.”
“Omong kosong! Orang muda, siapakah gurumu yang tidak dapat mengajar adat kepadamu sehingga engkau berani melawan aku?” Dengan harapan kakek ini dapat menyadari kesalahannya, Aji menyebutkan nama gurunya, “Mendiang guruku adalah Ki Tejo Budi.”
“Tejo Budi? Hemmm, tiga bersaudara itu, Tejo Wening, Tejo langit, dan tejo budi! Tiga orang yang melupakan asal usul sendiri, Kerajaan banten juga sudah menganggap mereka sebagai pengkhianat. Orang banten yang setia kepada Mataram! Cuhhh!” Kakek itu meludah. “Dan engkau muridnya? Siapa namamu?”
“Namaku Lindu Aji.”
“Hemmm, sebutlah nama orang tua dan gurumu karena sekarang engkau akan mati di tanganku!” Setelah berkata demikian, kakek itu menyelipkan tongkat ular di ikat pinggangnya, kemudian dia meniup kedua telapak tangannya. Tampak lidah api berkobar di kedua telapak tangannya itu ketika dia meniupnya! “Aji Tapak Geni! Hyaaaaahhhhh!” kakek itu menyerang dengan dorongan kedua telapak tangannya yang bernyala. Hawa yang amat panas menyambar ke arah dada Aji.
Namun Aji sudah menggerakkan tubuhnya dengan lincah, memainkan ilmu silat Wanara Sakti. Aki Somad cepat menyambung serangannya yang luput itu dengan serangan lain, makin lama semakin dahsyat. Namun Aji dapat selalu mengelak dan melihat serangan yang semakin gencar, ketika tangan kiri kakek itu memukul ke arah lambung dari samping untuk menangkis.
“Dukkkk!” Dua lengan bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang dan terhuyung, Hal ini menandakan bahwa keduanya memiliki tenaga sakti yang seimbang. Aki Somad merasa penasaran sekali dan kembali dia memukulkan kedua tangannya dengan pengerahan sepenuh tenaganya.
“Hyaaaaaaaaahhh...!!” kedua telapak tangan bernyala itu mendorong ke depan dan hawa yang amat panas menyambar ke arah Aji. Aji yang juga menekuk kedua lututnya, tubuhnya merendah dan diapun mengerahkan aji tenaga sakti Surya Chandra dan mendorong ke depan menyambut pukulan jarak jauh itu.
“Wuuuuuuuttt... blarrrrr...!!”
Kini keduanya terdorong ke belakang sampai tujuh langkah. Wajah Aki Somad menjadi pucat dan dia merasa dadanya agak sesak karena tenaga saktinya membalik. Aji hanya terguncang saja dan tidak menderita.
Kemarahan Aki Somad memuncak. Dia lalu mengambil keputusan untuk mengeluarkan aji pamungkasnya yang belum pernah dia pergunakan untuk melawan musuh. Aji ini amat gawat dan hanya kalau terpaksa saja dia keluarkan. Kini, saking marahnya, Aki Somad lupa diri dan menggunakan aji yang teramat dahsyat itu hanya untuk mengalahkan seorang pemuda! Dia berkemak-kemik membaca mantera, kedua tangannya membuat gerakan menyembah ke atas dan dia mengerahkan seluruh aji kesaktiannya ke langit-langit mulutnya karena di sanalah letak sumber kesaktian ini.
“Aji Gineng Soka Weda... uahh...!” Kekek itu membuka mulutnya dan dari dalam mulutnya itu meluncur sinar yang setelah tiba di atas lalu berubah menjadi kepala raksasa yang mengerikan!
Kemarahan Aki Somad memuncak. Dia lalu mengambil keputusan untuk mengeluarkan aji pamungkasnya yang belum pernah dia pergunakan untuk melawan musuh. Aji ini amat gawat dan hanya kalau terpaksa saja dia keluarkan. Kini, saking marahnya, Aki Somad lupa diri dan menggunakan aji yang teramat dahsyat itu hanya untuk mengalahkan seorang pemuda! Dia berkemak-kemik membaca mantera, kedua tangannya membuat gerakan menyembah ke atas dan dia mengerahkan seluruh aji kesaktiannya ke langit-langit mulutnya karena di sanalah letak sumber kesaktian ini.
“Aji Gineng Soka Weda... uahh...!” Kekek itu membuka mulutnya dan dari dalam mulutnya itu meluncur sinar yang setelah tiba di atas lalu berubah menjadi kepala raksasa yang mengerikan!
Kepala itu besar sekali, sebesar kepala gajah, botak akan tetapi disekelilingnya terdapat rambut yang awut-awutan, alisnya tebal, matanya lebar mencorong, hidungnya besar pesek dan mulutnya amat menyeramkan. Mulut itu bercaling, lebar terbuka dan dari dalam mulut itu menjulur lidah panjang yang bernyala-nyala! Kepala ini melayang layang di atas, megelilingi Aji, mulutnya menyemburkan api, matanya beringas penuh ancaman.
Aji pernah mendengar dari mendiang Resi Tejo Budi tentang aji kesaktian yang disebut Aji Geneng Soka Weda ini. Dia maklum bahwa semua ilmu kedigdayaan yang pernah dipelajarinya tidak mungkin mampu melawan aji kesaktian yang amat hebat ini yang konon diturunkan oleh para dewa!
Aji pernah mendengar dari mendiang Resi Tejo Budi tentang aji kesaktian yang disebut Aji Geneng Soka Weda ini. Dia maklum bahwa semua ilmu kedigdayaan yang pernah dipelajarinya tidak mungkin mampu melawan aji kesaktian yang amat hebat ini yang konon diturunkan oleh para dewa!
Akan tetapi dia tidak merasa khawatir sama sekali. Dia tahu benar bahwa dia memiliki Pelindung Yang Maha Sakti, yaitu Kekuasaan Gusti Allah. Cepat dia tenggelam ke dalam Aji Tirta Bantala dan seluruh dirinya berlindung ke dalam kekuasaan Tuhan ketika dia menyerahkan diri, pasrah sepenuhnya kepada Kekuasaan Yang Maha Sakti.
Kemudian, ketika kepala raksasa yang melayang dan menyambar turun hendak menerjangnya, tubuh Aji bergerak, digerakkan oleh kekuasaan di luar kehendaknya, bergeraknya Jiwa yang sudah hidup, kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan dan lututnya ditekuk, mukanya menghadap ke arah kepala raksasa itu, kedua tangannya bergerak sendiri, dengan kedua telapak tangan terbuka seperti mendorong ke arah kepala itu.
“Syuuutttt... darrr...!” terdengar ledakan dan kepala raksasa itu terpental ke atas. Kepala itu terbang berputar-putar, menyambar turun akan tetapi setelah dekat dengan Aji kepala itu naik kembali, agaknya seperti ragu-ragu atau takut, kemudian kepala itu lenyap, berubah menjadi sinar dan meluncur masuk lagi ke dalam mulut Aki Somad yang terbuka lebar. Aki somad terhuyung, mukanya pucat.
Aji memandang dan berkata dengan suara mengandung teguran tegas. “Aki Somad, sungguh sayang sekali selama bertahun-tahun andika mesu-raga (mengendalikan jasmani) dan mesu-brata (mengendalikan hawa nafsu) sehingga andika beruntung dapat menguasai Aji Gineng Soka Weda yang sakti itu. Akan tetapi ternyata engkau menyalah gunakan aji yang ampuh untuk mengumbar nafsu amarah. Engkau tiada beda dengan Prabu Niwotokawoco yang senang menggunakan aji yang agung itu untuk mengumbar nafsu angkara murka sehingga akhirnya aji itu sndiri yang menghancurkannya. Bertaubatlah dan sadarlah akan kesesatanmu, Aki Somad!”
Mendengar ucapan ini, Aki Somad bukan menjadi sadar, bahkan menjadi makin marah. Dia telah dinasehati seorang bocah! “Bocah sombong! Aku belum kalah!” teriaknya dan kini dia sudah menyerang lagi, menggunakan tongkat ular keringnya.
Aji cepat menggunakan kelincahannya untuk menghindar. Dia harus berhati-hati karena kakek ini tidak dapat disamakan dengan Nyi Maya Dewi. Kakek ini jauh lebih sakti dan berbahaya. Kini terjadilah perkelahian adu ketangkasan, tidak lagi menggunakan ilmu hitam atau ilmu sihir.
Sementara itu perkelahian antara Ki Sumali dan Nyi Maya Dewi juga berlangsung seru dan mati-matian. Akan tetapi kini Ki Sumali sudah terdesak hebat oleh sabuk Cinde Kencana di tangan wanita itu yang berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung.
Kemudian, ketika kepala raksasa yang melayang dan menyambar turun hendak menerjangnya, tubuh Aji bergerak, digerakkan oleh kekuasaan di luar kehendaknya, bergeraknya Jiwa yang sudah hidup, kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan dan lututnya ditekuk, mukanya menghadap ke arah kepala raksasa itu, kedua tangannya bergerak sendiri, dengan kedua telapak tangan terbuka seperti mendorong ke arah kepala itu.
“Syuuutttt... darrr...!” terdengar ledakan dan kepala raksasa itu terpental ke atas. Kepala itu terbang berputar-putar, menyambar turun akan tetapi setelah dekat dengan Aji kepala itu naik kembali, agaknya seperti ragu-ragu atau takut, kemudian kepala itu lenyap, berubah menjadi sinar dan meluncur masuk lagi ke dalam mulut Aki Somad yang terbuka lebar. Aki somad terhuyung, mukanya pucat.
Aji memandang dan berkata dengan suara mengandung teguran tegas. “Aki Somad, sungguh sayang sekali selama bertahun-tahun andika mesu-raga (mengendalikan jasmani) dan mesu-brata (mengendalikan hawa nafsu) sehingga andika beruntung dapat menguasai Aji Gineng Soka Weda yang sakti itu. Akan tetapi ternyata engkau menyalah gunakan aji yang ampuh untuk mengumbar nafsu amarah. Engkau tiada beda dengan Prabu Niwotokawoco yang senang menggunakan aji yang agung itu untuk mengumbar nafsu angkara murka sehingga akhirnya aji itu sndiri yang menghancurkannya. Bertaubatlah dan sadarlah akan kesesatanmu, Aki Somad!”
Mendengar ucapan ini, Aki Somad bukan menjadi sadar, bahkan menjadi makin marah. Dia telah dinasehati seorang bocah! “Bocah sombong! Aku belum kalah!” teriaknya dan kini dia sudah menyerang lagi, menggunakan tongkat ular keringnya.
Aji cepat menggunakan kelincahannya untuk menghindar. Dia harus berhati-hati karena kakek ini tidak dapat disamakan dengan Nyi Maya Dewi. Kakek ini jauh lebih sakti dan berbahaya. Kini terjadilah perkelahian adu ketangkasan, tidak lagi menggunakan ilmu hitam atau ilmu sihir.
Sementara itu perkelahian antara Ki Sumali dan Nyi Maya Dewi juga berlangsung seru dan mati-matian. Akan tetapi kini Ki Sumali sudah terdesak hebat oleh sabuk Cinde Kencana di tangan wanita itu yang berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung.
Ki Sumali hanya mampu mengelak dan menangkis saja, sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk membalas serangan lawan. Bahkan dadanya sudah terkena tendangan kaki wanita itu sehingga napasnya terasa agak sesak dan pundak kirinya terkena sabetan ujung sabuk sehingga lengan kirinya terasa ngilu. Akan tetapi dia masih membela diri mati-matian dan pantang menyerah.
Sementara itu, anak buah kedua pihak sudah merasa gatal tangan, akan tetapi karena pimpinan mereka masih bertanding dan belum memberi perintah, merekapun tidak berani lancang bergerak. Tiba-tiba Karto dan Ginah yang nama aslinya Bardo dan Sumi, memegang parang dan pisau belati, maju membantu Nyi Maya Dewi mengeroyok Ki Sumali yang sudah terdesak hebat.
Sementara itu, anak buah kedua pihak sudah merasa gatal tangan, akan tetapi karena pimpinan mereka masih bertanding dan belum memberi perintah, merekapun tidak berani lancang bergerak. Tiba-tiba Karto dan Ginah yang nama aslinya Bardo dan Sumi, memegang parang dan pisau belati, maju membantu Nyi Maya Dewi mengeroyok Ki Sumali yang sudah terdesak hebat.
Dua orang pembantu itu tidak berani membantu Aki Somad karena untuk membantu kakek itu menghadapi Aji, mereka tahu bahwa kepandaian mereka masih terlampau rendah sehingga bantuan mereka tidak akan menolong, bahkan akan merepotkan yang dibantu.
Sebaliknya Ki Sumali sudah terdesak, maka mereka maju mengeroyok agar pendekar Loano itu segera dapat dirobohkan. Tentu saja masuknya dua orang yang membantu Nyi Maya Dewi mengeroyoknya itu membuat Ki Sumali menjadi semakin repot. Dia sudah berusaha untuk balas menyerang dengan pekik Aji Jerit Birowo, akan tetapi pengaruh pekikan ini tidak mempan terhadap Nyi Maya Dewi dan kedua orang pembantu itu agaknya telah melindungi telinga mereka dan menutupnya dengan kapuk sehingga tidak terpengaruh oleh suara pekikan itu.
Ki Sumali memutar suling dan kerisnya dan pada saat yang teramat gawat baginya itu, tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang berkelebat. Segulungan sinar hijau berkeredepan menyambar dan menangkis sinar emas dari sabuk Cinde Kencana di tangan Nyi Maya Dewi yang mengancam Ki Sumali. “Cring...!” Tampak bunga api berpijar dan sabuk itu terpental sehingga Nyi Maya Dewi terkejut dan melompat ke belakang.
“Mengasolah, Pak-de (Uwa), biar aku yang menandingi perempuan genit ini!” kata-kata itu keluar dari mulut yang amat manis. Ia seorang gadis yang masih muda, kurang lebih delapan belas tahun usianya. Wajahnya cantik jelita dan tubuhnya yang segar padat bagaikan buah yang ranum itu tampak gagah dan penuh keberanian. Matanya jeli dan kocak. Mata dan mulutnya yang indah itu membayangkan kejenakaan.
Ki Sumali tertegun, memandang gadis itu dengan heran karena tidak mengenalnya. Akan tetapi gadis itu agaknya tidak melihat keheranannya karena perhatiannya ditujukan kepada Nyi Maya Dewi. Wanita itu marah sekali. Tadi ia sudah hampir berhasil membunuh Ki Sumali, akan tetapi tiba-tiba ada gadis remaja ini yang menggagalkannya. Nyi Maya Dewi memandang rendah gadis muda itu. Ia lalu mengerahkan kekuatan batinnya, menatap mata gadis muda itu dan berkata dengan suara lembut namun penuh wibawa.
“Adik yang manis, andika harus menaati perintahku! Hayo, berlututlah andika!”
Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak berlutut, melainkan tertawa bebas tidak malu-malu dan iapun berkata dengan nada mengejek, “Ih, nenek genit. Engkau ini sedang apa sih? Ngelindur barangkali, ya?”
Nyi Maya Dewi marah sekali. Sihirnya tidak mempan, malah diejek! Dan ia disebut nenek genit. Ia yang biasa dipuji-puji dan digilai pria karena kecantikannya dan semua orang mengatakan ia masih tampak seperti seorang perawan muda, kini disebut nenek genit. Sungguh penghinaan yang tidak dapat dimaafkan. “Bocah gendeng...!” Ia memaki.
“Dan kau nenek edan!” Gadis itu balas memaki.
Nyi Maya Dewi tak dapat menahan lagi kemarahannya. sambil mengeluarkan jerit menyeramkan, sabuk Cinde Kencana di tangannya menyambar dan ia sudah menyerang dengan ganas sekali. Akan tetapi gadis muda itu ternyata memiliki gerakan yang amat lincah dan cekatan. Ia sudah melompat ke kiri sehingga sambaran senjata sabuk itu luput dan kontan keras pedangnya berubah menjadi sinar kehijauan ketika menyambar dengan serangan yang tidak kalah ganasnya. Nyi Maya Dewi juga mengelak dan balas menyerang. Kedua orang wanita cantik itu sudah saling serang dengan hebatnya, dan ternyata keduanya memiliki kelincahan yang seimbang sehingga terjadilah perkelahian yang seru sekali.
Melihat betapa gadis yang tak dikenalnya itu mampu menandingi Nyi Maya Dewi, Ki Sumali walaupun sudah terluka pundaknya sehingga berdarah dan dadanya yang tertendang tadi masih agak nyeri, kini cepat bergerak menyerang dua orang yang tadinya menyelundup sebagai pembantu rumah tangganya. Bardo dan Sumi juga melawan mati-matian. Para pemuda Loano sudah siap siaga, akan tetapi karena sudah dipesan Ki Sumali bahwa mereka tidak boleh turun tangan sebelum diperintah, mereka diam saja dan hanya bersiap-siap, tidak berani melakukan serangan.
Di lain pihak, para anak buah gerombolan Gagak Rodra juga tidak berani menyerbu, apa lagi melihat dua orang pemimpin mereka sudah tewas di tangan Ki Sumali. Bahkan diam-diam beberapa orang di antara mereka telah menyelinap memasuki perkampungan untuk mempersiapkan keluarga mereka kalau-kalau mereka itu terpaksa harus melarikan diri mengungsi.
Sebaliknya Ki Sumali sudah terdesak, maka mereka maju mengeroyok agar pendekar Loano itu segera dapat dirobohkan. Tentu saja masuknya dua orang yang membantu Nyi Maya Dewi mengeroyoknya itu membuat Ki Sumali menjadi semakin repot. Dia sudah berusaha untuk balas menyerang dengan pekik Aji Jerit Birowo, akan tetapi pengaruh pekikan ini tidak mempan terhadap Nyi Maya Dewi dan kedua orang pembantu itu agaknya telah melindungi telinga mereka dan menutupnya dengan kapuk sehingga tidak terpengaruh oleh suara pekikan itu.
Ki Sumali memutar suling dan kerisnya dan pada saat yang teramat gawat baginya itu, tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang berkelebat. Segulungan sinar hijau berkeredepan menyambar dan menangkis sinar emas dari sabuk Cinde Kencana di tangan Nyi Maya Dewi yang mengancam Ki Sumali. “Cring...!” Tampak bunga api berpijar dan sabuk itu terpental sehingga Nyi Maya Dewi terkejut dan melompat ke belakang.
“Mengasolah, Pak-de (Uwa), biar aku yang menandingi perempuan genit ini!” kata-kata itu keluar dari mulut yang amat manis. Ia seorang gadis yang masih muda, kurang lebih delapan belas tahun usianya. Wajahnya cantik jelita dan tubuhnya yang segar padat bagaikan buah yang ranum itu tampak gagah dan penuh keberanian. Matanya jeli dan kocak. Mata dan mulutnya yang indah itu membayangkan kejenakaan.
Ki Sumali tertegun, memandang gadis itu dengan heran karena tidak mengenalnya. Akan tetapi gadis itu agaknya tidak melihat keheranannya karena perhatiannya ditujukan kepada Nyi Maya Dewi. Wanita itu marah sekali. Tadi ia sudah hampir berhasil membunuh Ki Sumali, akan tetapi tiba-tiba ada gadis remaja ini yang menggagalkannya. Nyi Maya Dewi memandang rendah gadis muda itu. Ia lalu mengerahkan kekuatan batinnya, menatap mata gadis muda itu dan berkata dengan suara lembut namun penuh wibawa.
“Adik yang manis, andika harus menaati perintahku! Hayo, berlututlah andika!”
Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak berlutut, melainkan tertawa bebas tidak malu-malu dan iapun berkata dengan nada mengejek, “Ih, nenek genit. Engkau ini sedang apa sih? Ngelindur barangkali, ya?”
Nyi Maya Dewi marah sekali. Sihirnya tidak mempan, malah diejek! Dan ia disebut nenek genit. Ia yang biasa dipuji-puji dan digilai pria karena kecantikannya dan semua orang mengatakan ia masih tampak seperti seorang perawan muda, kini disebut nenek genit. Sungguh penghinaan yang tidak dapat dimaafkan. “Bocah gendeng...!” Ia memaki.
“Dan kau nenek edan!” Gadis itu balas memaki.
Nyi Maya Dewi tak dapat menahan lagi kemarahannya. sambil mengeluarkan jerit menyeramkan, sabuk Cinde Kencana di tangannya menyambar dan ia sudah menyerang dengan ganas sekali. Akan tetapi gadis muda itu ternyata memiliki gerakan yang amat lincah dan cekatan. Ia sudah melompat ke kiri sehingga sambaran senjata sabuk itu luput dan kontan keras pedangnya berubah menjadi sinar kehijauan ketika menyambar dengan serangan yang tidak kalah ganasnya. Nyi Maya Dewi juga mengelak dan balas menyerang. Kedua orang wanita cantik itu sudah saling serang dengan hebatnya, dan ternyata keduanya memiliki kelincahan yang seimbang sehingga terjadilah perkelahian yang seru sekali.
Melihat betapa gadis yang tak dikenalnya itu mampu menandingi Nyi Maya Dewi, Ki Sumali walaupun sudah terluka pundaknya sehingga berdarah dan dadanya yang tertendang tadi masih agak nyeri, kini cepat bergerak menyerang dua orang yang tadinya menyelundup sebagai pembantu rumah tangganya. Bardo dan Sumi juga melawan mati-matian. Para pemuda Loano sudah siap siaga, akan tetapi karena sudah dipesan Ki Sumali bahwa mereka tidak boleh turun tangan sebelum diperintah, mereka diam saja dan hanya bersiap-siap, tidak berani melakukan serangan.
Di lain pihak, para anak buah gerombolan Gagak Rodra juga tidak berani menyerbu, apa lagi melihat dua orang pemimpin mereka sudah tewas di tangan Ki Sumali. Bahkan diam-diam beberapa orang di antara mereka telah menyelinap memasuki perkampungan untuk mempersiapkan keluarga mereka kalau-kalau mereka itu terpaksa harus melarikan diri mengungsi.
Mereka menyuruh para keluarga yang terdiri dari wanita dan kanak-kanak itu untuk keluar dari perkampungan melalui pintu belakang perkampungan, di dekat kali Bogawanta. Juga perahu-perahu mereka telah dipersiapkan untuk dipergunakan menyelamatkan diri.
Perkelahian itu masih berlangsung dengan seru. Nyi Maya Dewi merasa penasaran bukan main karena ternyata gadis remaja itu dapat menandinginya. Ia sudah berusaha memperhebat serangannya dan membantu serangan sabuk Cinde Kencana itu dengan serangan tangan kirinya. Serangan tangan kiri itu tidak kalah dahsyatnya karena jari-jari tangannya memiliki kuku panjang yang mengandung racun, Kuku-kukunya itu dapat menjadi senjata ampuh dan disebut Naka Sarpa (Kuku Ular).
Perkelahian itu masih berlangsung dengan seru. Nyi Maya Dewi merasa penasaran bukan main karena ternyata gadis remaja itu dapat menandinginya. Ia sudah berusaha memperhebat serangannya dan membantu serangan sabuk Cinde Kencana itu dengan serangan tangan kirinya. Serangan tangan kiri itu tidak kalah dahsyatnya karena jari-jari tangannya memiliki kuku panjang yang mengandung racun, Kuku-kukunya itu dapat menjadi senjata ampuh dan disebut Naka Sarpa (Kuku Ular).
Akan tetapi agaknya gadis muda itu sama sekali tidak gentar. Bukan saja ia dapat mengelak bahkan menangkis dengan tangannya yang berkulit halus lembut tanpa takut tergores kuku beracun itu. Ketika sambaran sabuk Cinde Kencana menyerang, gadis itu membabat dengan pedangnya.
“Wuuuutttt... crakkkk...!!” Ujung sabuk itu terpotong! Nyi Maya Dewi terkejut dan marah melihat senjatanya rusak. Ia lalu mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular marah.
“Ssssssshhhhhh!” Membarengi desisannya, ia menghantam dengan tangan kirinya, menggunakan aji pukulan Wisa Sarpa (Bisa Ular). Angin yang membawa bau amis itu menyambar ke arah gadis itu.
Namun gadis itu melompat ke belakang sambil tertawa mengejek. “Engkau memang nenek menjijikkan, seperti ular buduk!” katanya sambil menutup hidungnya dengan pencet telunjuk dan ibu jari tangan kirinya.
Nyi Maya Dewi seperti terbakar hatinya saking marahnya. Ia lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya setelah menenyimpan sabuknya. Kedua tapak tangan itu mengepulkan asap dan berubah menjadi merah seperti berlepotan darah. Dengan kedua tapak tangan merah itu ia lalu mendorong ke arah gadis yang menjadi lawannya sambil berteriak nyaring, “Aji Tapak Ludiro!”
Gadis itu terkejut akan tetapi tidak merasa gentar. “Ih, ilmu siluman!” Ia berseru dan dengan berani iapun menyambut pukulan jarak jauh itu dengan dorongan kedua tangannya. “Aji Sunya Hasta...!” ia berteriak dan biarpun dari kedua tangannya seperti tidak mengeluarkan tenaga apapun, namun daya pukulan dahsyat yang dilontarkan Nyi Maya Dewi itu seolah tertahan di udara dan bertemu dengan dinding yang tak tampak.
“Dessss...!” akibatnya, Nyi Maya Dewi terhuyung ke belakang akan tetapi gadis itu tampaknya tidak bergeming!
Pada saat itu terdengar jerit dua kali dan ternyata Bardo dan Sumi yang mengeroyok Ki Sumali itu telah roboh dan tewas terkena tusukan keris dan pukulan suling di tangan pendekar Loano itu. Melihat betapa gadis remaja itu mampu menyambut aji pukulannya yang ampuh, bahkan membuatnya terhuyung, kemudian melihat dua orang pembantu itupun sudah roboh pula, ditambah lagi keadaan Aki Somad yang bertanding melawan Aji masih berimbang, hati Nyi Maya Dewi menjadi gentar. Nyi Maya Dewi maklum bahwa keadaan pihaknya tidak menguntungkan, apa lagi kedua orang pimpinan Gagak Rodra sudah tewas.
Pemuda yang bernama Aji itu saja sudah merupakan lawan tangguh dan sekarang tiba-tiba muncul gadis remaja yang sakti mandraguna itu. Ia mengambil sesuatu dari pinggangnya dan membantingnya ke atas tanah. Itulah senjata api peledak yang didapatkan Nyi Maya Dewi dari Jenderal Jakuwes, panglima Kumpeni Belanda yang memimpin pasukan Kumpeni di Batavia dan menjadi kepala pula dari jaringan telik sandi.
“Darrrr...!!” tampak api meledak dan disusul asap tebal memenuhi tempat itu. “Aki Somad, kita pergi!” terdengar Nyi Maya Dewi berseru.
“Wuuuutttt... crakkkk...!!” Ujung sabuk itu terpotong! Nyi Maya Dewi terkejut dan marah melihat senjatanya rusak. Ia lalu mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular marah.
“Ssssssshhhhhh!” Membarengi desisannya, ia menghantam dengan tangan kirinya, menggunakan aji pukulan Wisa Sarpa (Bisa Ular). Angin yang membawa bau amis itu menyambar ke arah gadis itu.
Namun gadis itu melompat ke belakang sambil tertawa mengejek. “Engkau memang nenek menjijikkan, seperti ular buduk!” katanya sambil menutup hidungnya dengan pencet telunjuk dan ibu jari tangan kirinya.
Nyi Maya Dewi seperti terbakar hatinya saking marahnya. Ia lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya setelah menenyimpan sabuknya. Kedua tapak tangan itu mengepulkan asap dan berubah menjadi merah seperti berlepotan darah. Dengan kedua tapak tangan merah itu ia lalu mendorong ke arah gadis yang menjadi lawannya sambil berteriak nyaring, “Aji Tapak Ludiro!”
Gadis itu terkejut akan tetapi tidak merasa gentar. “Ih, ilmu siluman!” Ia berseru dan dengan berani iapun menyambut pukulan jarak jauh itu dengan dorongan kedua tangannya. “Aji Sunya Hasta...!” ia berteriak dan biarpun dari kedua tangannya seperti tidak mengeluarkan tenaga apapun, namun daya pukulan dahsyat yang dilontarkan Nyi Maya Dewi itu seolah tertahan di udara dan bertemu dengan dinding yang tak tampak.
“Dessss...!” akibatnya, Nyi Maya Dewi terhuyung ke belakang akan tetapi gadis itu tampaknya tidak bergeming!
Pada saat itu terdengar jerit dua kali dan ternyata Bardo dan Sumi yang mengeroyok Ki Sumali itu telah roboh dan tewas terkena tusukan keris dan pukulan suling di tangan pendekar Loano itu. Melihat betapa gadis remaja itu mampu menyambut aji pukulannya yang ampuh, bahkan membuatnya terhuyung, kemudian melihat dua orang pembantu itupun sudah roboh pula, ditambah lagi keadaan Aki Somad yang bertanding melawan Aji masih berimbang, hati Nyi Maya Dewi menjadi gentar. Nyi Maya Dewi maklum bahwa keadaan pihaknya tidak menguntungkan, apa lagi kedua orang pimpinan Gagak Rodra sudah tewas.
Pemuda yang bernama Aji itu saja sudah merupakan lawan tangguh dan sekarang tiba-tiba muncul gadis remaja yang sakti mandraguna itu. Ia mengambil sesuatu dari pinggangnya dan membantingnya ke atas tanah. Itulah senjata api peledak yang didapatkan Nyi Maya Dewi dari Jenderal Jakuwes, panglima Kumpeni Belanda yang memimpin pasukan Kumpeni di Batavia dan menjadi kepala pula dari jaringan telik sandi.
“Darrrr...!!” tampak api meledak dan disusul asap tebal memenuhi tempat itu. “Aki Somad, kita pergi!” terdengar Nyi Maya Dewi berseru.
Aki Somad mengerti. Dia sendiri sedang bingung karena dia belum juga mampu mengalahkan lawannya. Jangankan mengalahkan, mendesakpun dia belum mampu. Pemuda itu tangguh sekali dan keadaan mereka masih berimbang. Ilmu apapun yang dia kerahkan dan keluarkan untuk menyerang, selalu dapat ditandingi pemuda itu!
Maka, melihat ledakan berasap dan mendengar seruan Nyi Maya Dewi, Aki Somad menggunakan keadaan yang gelap dan lawannya melompat mundur itu untuk melompat jauh dan melarikan diri.
Para anak buah Gagak Rodra menjadi ketakutan. mereka merasa gelisah, hendak menyerang tidak berani dan sudah kehilangan pimpinan, mau lari takut kalau diserbu para pemuda Loano itu. Melihat ini, Ki Sumali lalu mengangkat tangan kanan yang memegang keris ke atas dan berseru dengan suara lantang sambil menahan rasa nyeri di pundak dan dadanya.
Para anak buah Gagak Rodra menjadi ketakutan. mereka merasa gelisah, hendak menyerang tidak berani dan sudah kehilangan pimpinan, mau lari takut kalau diserbu para pemuda Loano itu. Melihat ini, Ki Sumali lalu mengangkat tangan kanan yang memegang keris ke atas dan berseru dengan suara lantang sambil menahan rasa nyeri di pundak dan dadanya.
“Heii, para anggota Gagak Rodra! Pimpinan kalian telah tewas dan kalau kalian semua mau menakluk, melempar senjata dan semua duduk di atas tanah, kami tidak akan membunuh kalian!”
Ucapan Ki Sumali yang lantang itu mendapat sambutan. Mula-mula para anggota yang sudah tua membuang senjata dan duduk di atas tanah, lalu diturut para anggota lain dan akhirnya semua anggota perkumpulan itu membuang senjata dan duduk dengan sikap menyerah.
“Bagus! kalian semua telah menyerah. Sekarang terserah keputusannya kepada anak mas Aji yang dalam hal ini menjadi orang yang mendapat kepercayaan dari Kanjeng sultan agung di mataram!” ki sumali lalu berkata kepada aji. “Anak mas, sekarang berilah keputusan sesuai dengan tugas anak mas yang anak mas bawa dari mataram.”
Aji merasa terpaksa untuk bertindak. Bagaimanapun juga, ucapan Ki Sumali itu benar. Dia telah menjadi seorang abdi Mataram yang dipercaya dan diangkat menjadi telik sandi Mataram untuk mengamati keadaan di sepanjang perjalanan dan kalau perlu membantu Mataram menentang mereka yang menganggap Mataram sebagai musuh. Juga untuk menentang orang-orang yang dipergunakan Kumpeni Belanda untuk memusuhi Mataram dan menggagalkan usaha Mataram untuk mempersatukan semua daerah.
“Saudara-saudara sekalian!” katanya dan Aji mengerahkan tenaga dalamnya sehingga suaranya terdengar lantang berwibawa. “Kita ini sesungguhnya adalah sebangsa, sesaudara, maka tidak semestinya kalau kita saling bermusuhan. Ketahuilah bahwa bangsa dan tanah air kita semua ini terancam oleh Kumpeni Belanda yang hendak memperluas kekuasaan mereka di Nusantara. Karena itu sudah sepatutnya kalau kita bersatu untuk menentangnya. Tindakan mendiang pimpinan kalian, Aki Somad dan Nyi Maya Dewi yang membantu Belanda itu adalah tindakan sesat, mengkhianati bangsa sendiri. Mereka hendak menjual tanah air kepada bangsa asing! Sadarkah kalian bahwa perbuatan itu sungguh hina dan terkutuk?”
Para anak buah Gagak Rodra mengangguk-angguk dan ketika ada beberapa orang berteriak, “Kami sadar...!” maka yang lainpun berteriak riuh rendah.
Baik Ki Sumali maupun Aji maklum bahwa teriakan orang-orang yang sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan sesat itu tidak dapat dipercaya begitu saja. Karena itu Aji berseru lagi dengan lantang.
Ucapan Ki Sumali yang lantang itu mendapat sambutan. Mula-mula para anggota yang sudah tua membuang senjata dan duduk di atas tanah, lalu diturut para anggota lain dan akhirnya semua anggota perkumpulan itu membuang senjata dan duduk dengan sikap menyerah.
“Bagus! kalian semua telah menyerah. Sekarang terserah keputusannya kepada anak mas Aji yang dalam hal ini menjadi orang yang mendapat kepercayaan dari Kanjeng sultan agung di mataram!” ki sumali lalu berkata kepada aji. “Anak mas, sekarang berilah keputusan sesuai dengan tugas anak mas yang anak mas bawa dari mataram.”
Aji merasa terpaksa untuk bertindak. Bagaimanapun juga, ucapan Ki Sumali itu benar. Dia telah menjadi seorang abdi Mataram yang dipercaya dan diangkat menjadi telik sandi Mataram untuk mengamati keadaan di sepanjang perjalanan dan kalau perlu membantu Mataram menentang mereka yang menganggap Mataram sebagai musuh. Juga untuk menentang orang-orang yang dipergunakan Kumpeni Belanda untuk memusuhi Mataram dan menggagalkan usaha Mataram untuk mempersatukan semua daerah.
“Saudara-saudara sekalian!” katanya dan Aji mengerahkan tenaga dalamnya sehingga suaranya terdengar lantang berwibawa. “Kita ini sesungguhnya adalah sebangsa, sesaudara, maka tidak semestinya kalau kita saling bermusuhan. Ketahuilah bahwa bangsa dan tanah air kita semua ini terancam oleh Kumpeni Belanda yang hendak memperluas kekuasaan mereka di Nusantara. Karena itu sudah sepatutnya kalau kita bersatu untuk menentangnya. Tindakan mendiang pimpinan kalian, Aki Somad dan Nyi Maya Dewi yang membantu Belanda itu adalah tindakan sesat, mengkhianati bangsa sendiri. Mereka hendak menjual tanah air kepada bangsa asing! Sadarkah kalian bahwa perbuatan itu sungguh hina dan terkutuk?”
Para anak buah Gagak Rodra mengangguk-angguk dan ketika ada beberapa orang berteriak, “Kami sadar...!” maka yang lainpun berteriak riuh rendah.
Baik Ki Sumali maupun Aji maklum bahwa teriakan orang-orang yang sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan sesat itu tidak dapat dipercaya begitu saja. Karena itu Aji berseru lagi dengan lantang.
“Kami senang bahwa kalian telah menyadari kesalahan! Ketahuilah bahwa Kanjeng Sultan Agung di Mataram sama sekali tidak memusuhi bangsanya sendiri, melainkan mengajak semua daerah untuk bersatu guna menghimpun kekuatan dan menentang Kumpeni Belanda. Karena itu, asal kalian tidak lagi menjadi antek Belanda dan menghentikan perbuatan kalian mengganggu keamanan, tidak lagi mengganggu rakyat dan tidak lagi melakukan kejahatan, kami atas nama Gusti Sultan mengampuni kalian. Kalian boleh terus tinggal di perkampungan itu, bahkan boleh membangun lagi Gagak Rodra dan memilih pimpinan baru. Akan tetapi ingat, perkumpulan ini selanjutnya harus menjadi perkumpulan yang setia kepada Mataram dan tidak melakukan tindak kejahatan. Kalau kelak terbukti kalian kembali menjalankan kejahatan seperti membajak, merampok apalagi menjadi antek Kumpeni Belanda, kami akan kembali membawa pasukan dan membasmi kalian!”
Ki Sumali lalu berkata lantang. “Kalian mengenal aku dan akulah yang menjadi saksi bahwa kalian akan mentaati pesan anak mas Aji tadi!”
Setelah dinyatakan bahwa mereka diampuni, para anggota Gagak Rodra menjadi gembira sekali dan mereka bahkan mengajak anak dan isteri mereka keluar, bersalaman dengan para pemuda Loano, bahkan mengajak para penduduk Loano untuk memasuki perkampungan mereka di mana mereka menyuguhkan hidangan dan beramah tamah. Sebagian ada yang mengurus jenasah Ki Blekok Ireng, Ki Jalak Uren, Bardo dan Sumi.
Ki Sumali, Aji dan gadis perkasa itu tidak memasuki perkampungan dan kini Ki Sumali tidak dapat lagi menahan keheranan dan keinginan tahu hatinya terhadap gadis ayu manis yang sakti mandraguna itu. Mereka bertiga tinggal di luar perkampungan Gagak Rodra, berdiri di bawah pohon dan Ki Sumali menghampiri gadis itu. Setelah berhadapan dia mengamati wajah gadis yang memandang kepadanya dengan senyum manis dan pandang mata tajam bersinar sinar mengandung kejenakaan.
“Nah, sekarang kita dapat bercakap-cakap. Nona, aku masih merasa heran sekali. melihat sikapmu, andika seolah-olah mengenal aku dengan baik. Akan tetapi mengapa aku merasa sama sekali tidak pernah melihat dan mengenalmu?” Pendekar Loano itu mengamati wajah gadis itu dengan penuh perhatian dan dia beusaha keras untuk mengingat.
“Pak-de Sumali, aku sendiripun baru yakin akan diri pakde setelah aku melihat pakde memegang Keris Sarpo Langking dan sebatang suling bambu. Tentu saja pakde lupa kepadaku karena ketika pakde melihat aku, ketika itu aku baru berusia tiga tahun. Hi-hik!”
Ki Sumali lalu berkata lantang. “Kalian mengenal aku dan akulah yang menjadi saksi bahwa kalian akan mentaati pesan anak mas Aji tadi!”
Setelah dinyatakan bahwa mereka diampuni, para anggota Gagak Rodra menjadi gembira sekali dan mereka bahkan mengajak anak dan isteri mereka keluar, bersalaman dengan para pemuda Loano, bahkan mengajak para penduduk Loano untuk memasuki perkampungan mereka di mana mereka menyuguhkan hidangan dan beramah tamah. Sebagian ada yang mengurus jenasah Ki Blekok Ireng, Ki Jalak Uren, Bardo dan Sumi.
Ki Sumali, Aji dan gadis perkasa itu tidak memasuki perkampungan dan kini Ki Sumali tidak dapat lagi menahan keheranan dan keinginan tahu hatinya terhadap gadis ayu manis yang sakti mandraguna itu. Mereka bertiga tinggal di luar perkampungan Gagak Rodra, berdiri di bawah pohon dan Ki Sumali menghampiri gadis itu. Setelah berhadapan dia mengamati wajah gadis yang memandang kepadanya dengan senyum manis dan pandang mata tajam bersinar sinar mengandung kejenakaan.
“Nah, sekarang kita dapat bercakap-cakap. Nona, aku masih merasa heran sekali. melihat sikapmu, andika seolah-olah mengenal aku dengan baik. Akan tetapi mengapa aku merasa sama sekali tidak pernah melihat dan mengenalmu?” Pendekar Loano itu mengamati wajah gadis itu dengan penuh perhatian dan dia beusaha keras untuk mengingat.
“Pak-de Sumali, aku sendiripun baru yakin akan diri pakde setelah aku melihat pakde memegang Keris Sarpo Langking dan sebatang suling bambu. Tentu saja pakde lupa kepadaku karena ketika pakde melihat aku, ketika itu aku baru berusia tiga tahun. Hi-hik!”
Gadis itu terkekeh. Tawanya manis dan terbuka tanpa ditutup-tutupi seperti biasanya gadis tertawa malu-malu. Akan tetapi tawanya sopan, mulutnya terbuka sedikit sehingga hanya tampak deretan giginya yang putih rapi dan ujung lidahnya yang merah.
“Ahhh...? Tiga tahun?” Ki Sumali sadar akan kesalahannya. Dia tadi membayangkan wajah gadis itu seperti sekarang. Tentu saja dia tidak pernah berjumpa. Kini dia mencoba membayangkan bocah perempuan yang menyebut dia pakde. Berarti gadis ini tentu puteri dari adiknya! Dan karena adiknya hanya seorang, maka tidak salah lagi! Teringatlah dia sekarang. Puteri adiknya yang mungil. Dia mengamati wajah itu dengan seksama. Mata itu! Tajam bersinar-sinar dan seolah tersenyum selalu! Mata adiknya, tak salah lagi.
“Duh, Gusti...! Engkau ini... puteri adikku Subali...? Engkau anak perempuan mungil lucu itu? Namamu... nanti dulu... namamu Sulastri! Ya, Sulastri, betul, kan?”
Gadis itu tersenyum lebar, lalu menjabat dan mencium tangan Ki Sumali, “Tepat sekali, Pakde Sumali. Aku Sulastri menghaturkan hormat dan menyampaikan salam hormat dari ayah dan ibu.”
“Lastri...! Ah, matur nuwun, Gusti. Aku dipertemukan dengan keponakanku dan engkau sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa dan... dan... sakti mandraguna. Mengagumkan sekali. Aku sungguh bangga mempunyai keponakan seperti engkau, Lastri!”
“Ihhh... pakde. Jangan memuji setinggi langit, nanti kepalaku bisa membengkak dan membawaku membubung tinggi lalu pecah di udara! Pakde membikin aku malu saja“ katanya dan mata yang tajam itu dengan sembunyi-sembunyi mengerling ke arah Aji yang sejak tadi hanya mendengarkan tanpa berani menatap wajah gadis itu secara langsung.
“O ya, aku sampai lupa saking gembiraku. Lupa memperkenalkan kalian. Anak mas Aji, seperti engkau sudah mendengar sendiri, dara perkasa ini ternyata keponakanku sendiri, puteri dari adikku Subali yang tinggal di Galuh, namanya Sulastri. Lastri, pemuda ini bernama Lindu Aji. Dia datang dari Mataram dan engkau tadipun sudah mendengar. Dia ini seorang kepercayaan dari Gusti Sultan Agung di Mataram.”
Dua orang muda ini saling pandang. Aji hanya menatap wajah itu sekelebatan saja. Dia merasa tidak pantas dan malu kalau harus berlama-lama menatap wajah yang ayu manis itu. Di lain pihak, Sulastri memandang wajah Aji dengan penuh perhatian, bahkan tidak menyembunyikan keheranannya tanpa malu-malu atau rikuh.
“Lindu Aji? Namanya kok lucu...!” kata Sulastri, sikapnya wajar, benar-benar heran, tidak bermaksud mentertawakan.
“Sebut saja aku Aji.” kata Aji perlahan.
“Aji, aku melihat tadi ketika andika menandingi kakek itu. Kepandaianmu hebat!” Sulastri memuji.
“Lastri! Engkau jauh lebih muda, masih remaja. Jangan panggil nama anak mas Aji begitu saja. Sebut dia kakangmas!” Ki Sumali menegur keponakannya.
“Ahhh...? Tiga tahun?” Ki Sumali sadar akan kesalahannya. Dia tadi membayangkan wajah gadis itu seperti sekarang. Tentu saja dia tidak pernah berjumpa. Kini dia mencoba membayangkan bocah perempuan yang menyebut dia pakde. Berarti gadis ini tentu puteri dari adiknya! Dan karena adiknya hanya seorang, maka tidak salah lagi! Teringatlah dia sekarang. Puteri adiknya yang mungil. Dia mengamati wajah itu dengan seksama. Mata itu! Tajam bersinar-sinar dan seolah tersenyum selalu! Mata adiknya, tak salah lagi.
“Duh, Gusti...! Engkau ini... puteri adikku Subali...? Engkau anak perempuan mungil lucu itu? Namamu... nanti dulu... namamu Sulastri! Ya, Sulastri, betul, kan?”
Gadis itu tersenyum lebar, lalu menjabat dan mencium tangan Ki Sumali, “Tepat sekali, Pakde Sumali. Aku Sulastri menghaturkan hormat dan menyampaikan salam hormat dari ayah dan ibu.”
“Lastri...! Ah, matur nuwun, Gusti. Aku dipertemukan dengan keponakanku dan engkau sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa dan... dan... sakti mandraguna. Mengagumkan sekali. Aku sungguh bangga mempunyai keponakan seperti engkau, Lastri!”
“Ihhh... pakde. Jangan memuji setinggi langit, nanti kepalaku bisa membengkak dan membawaku membubung tinggi lalu pecah di udara! Pakde membikin aku malu saja“ katanya dan mata yang tajam itu dengan sembunyi-sembunyi mengerling ke arah Aji yang sejak tadi hanya mendengarkan tanpa berani menatap wajah gadis itu secara langsung.
“O ya, aku sampai lupa saking gembiraku. Lupa memperkenalkan kalian. Anak mas Aji, seperti engkau sudah mendengar sendiri, dara perkasa ini ternyata keponakanku sendiri, puteri dari adikku Subali yang tinggal di Galuh, namanya Sulastri. Lastri, pemuda ini bernama Lindu Aji. Dia datang dari Mataram dan engkau tadipun sudah mendengar. Dia ini seorang kepercayaan dari Gusti Sultan Agung di Mataram.”
Dua orang muda ini saling pandang. Aji hanya menatap wajah itu sekelebatan saja. Dia merasa tidak pantas dan malu kalau harus berlama-lama menatap wajah yang ayu manis itu. Di lain pihak, Sulastri memandang wajah Aji dengan penuh perhatian, bahkan tidak menyembunyikan keheranannya tanpa malu-malu atau rikuh.
“Lindu Aji? Namanya kok lucu...!” kata Sulastri, sikapnya wajar, benar-benar heran, tidak bermaksud mentertawakan.
“Sebut saja aku Aji.” kata Aji perlahan.
“Aji, aku melihat tadi ketika andika menandingi kakek itu. Kepandaianmu hebat!” Sulastri memuji.
“Lastri! Engkau jauh lebih muda, masih remaja. Jangan panggil nama anak mas Aji begitu saja. Sebut dia kakangmas!” Ki Sumali menegur keponakannya.
Gadis itu tersenyum dan mengerling nakal ke arah pakdenya. “Ah, pakde ini! Aku bukan anak kecil lagi, lho. Usiaku sudah delapan belas tahun!”
Ki Sumali tertawa. “Baru delapan belas tahun. Anak mas Aji tentu jauh lebih tua. Bukankah begitu, anak mas Aji?”
“Usia saya dua puluh tahun, paman.”
“Nah, Lastri, kau dengar sendiri! Anak mas Aji ini lebih tua dua tahun dari pada engkau. Sudah sepatutnya engkau menyebut dia kakang mas.”
Lastri tertawa. “ Hi-hik, baiklah, pakde. Eh, kakangmas Aji, engkau masih begini muda sudah menjadi seorang senopati Mataram. Hebat!”
“Ah, Nimas Sulastri, aku sama sekali bukan seorang senopati Mataram. Aku hanya berjanji kepada Gusti Sultan Agung untuk membantu Mataram dalam perjalananku ke barat.”
“Ah, kenapa kita bercakap-cakap di sini? Lastri, mari ikut aku pulang. Engkau tentu ingin bertemu dengan budemu, bukan?”
Gadis itu memandang pakdenya dengan mata terbelalak. “Bude? Wah, pakde, ini merupakan kejutan menggembirakan! Menurut kata ayahku, pakde hidup menyendiri, tidak menikah!”
Ki Sumali tersenyum. “Aku sudah menikah, tiga tahun yang lalu, Lastri.”
“Pakde sudah mempunyai anak?”
Ki Sumali menggeleng kepalanya. “Belum. Mari, Lastri, engkau ikut denganku. Banyak yang harus kauceritakan tentang orang tuamu di sana nanti. Mari, anak mas Aji, kita pulang.”
Mereka bertiga lalu meninggalkan tempat itu, membiarkan orang-orang Loano yang kini menjadi sahabat dan beramah tamah dengan para anggota Gagak Rodra dan keluarga mereka.
Winarsih menyambut pulangnya Ki Sumali dan Aji dengan gembira dan lega bukan main. Wanita yang ditinggalkan di rumah kepala dusun itu selalu merasa gelisah. Maka, ketika ia mendapat kabar dari seorang tetangga yang dimintai tolong oleh Ki Sumali untuk mengabarkan kepada isterinya bahwa dia sudah pulang, Winarsih cepat meninggalkan rumah kepala dusun dan berlari pulang. Melihat suaminya dan Aji berada di beranda rumah, ia menghampiri mereka dan dengan wajah cerah gembira ia berkata.
“Kakang Sumali! Dimas Aji! Kalian pulang dengan selamat! Syukurlah, hatiku menjadi lega dan berbahagia!”
Sulastri yang melihat seorang wanita muda cantik jelita menyambut kedua orang pria itu, tertegun. Ia bangkit dari duduknya, menghampiri pakdenya dan bertanya, “Pakde, siapakah mbak ayu ini?”
“Mbak ayu? Ha-ha-ha! Inilah bu-demu, Lastri. Ini Winarsih, isteriku! Winarsih, gadis ini adalah Sulastri, keponakanku. Ingat akan adikku Subali yang pernah kuceritakan kepadamu dan yang tinggal di Galuh? Nah, ini puterinya!”
Dua orang wanita itu saling pandang dan Sulastri tidak menyembunyikan keheranannya. “Bu-de...? Masih begini muda dan cantik?"
“Memang, muda dan cantik! Pakde mu ini memang seorang laki-laki yang beruntung, Lastri. Budemu muda dan cantik dan amat mencintaiku!”
Sulastri adalah seorang gadis yang sejak kecil memang berwatak terbuka dan jujur, sesuai dengan kegagahannya. “Benarkah itu, Bude Winarsih?”
Winarsih mengangguk dan tersenyum lebar, lalu menoleh memandang suaminya. “Benar, Sulastri. Aku amat mencinta suamiku karena diapun amat sayang kepadaku. Dia seorang suami yang baik dan bijaksana, tiada keduanya di dunia ini dan aku amat berbahagia menjadi isterinya!” Ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang sungguh-sungguh.
Sulastri menjadi terharu dan ia pun maju dan merangkul Winarsih. “Bude Winarsih...!”
Winarsih balas merangkul. Dua orang wanita cantik itu berangkulan dan saling berciuman pipi. Ki Sumali memandang dengan senyum senang. “Hayo, kita masuk dan duduk di dalam agar leluasa dan enak bercakap-cakap.”
Mereka berempat memasuki ruangan dalam dan duduk. Sulastri duduk dekat Winarsih dan selalu menggandeng tangan budenya itu. Mereka tampak akrab sekali. Agaknya Sulastri senang dan kagum melihat bu-denya yang masih muda, cantik dan sikapnya halus lembut itu. sebaliknya Winarsih juga suka dan kagum kepada keponakan suaminya yang tampak demikian lincah dan wajahnya selalu cerah dan riang gembira.
“Bude Winarsih ini pantas menjadi mbakyuku!” kata Sulastri sambil memegang tangan Winarsih dan memangku tangan itu.”Berapa sih usia bude?”
Winarsih tersenyum. “Usiaku sudah dua puluh satu tahun.”
“Ah, kalau begitu bude seusiaku ketika bertemu dan menikah dengan pakde Sumali!”
“Sudahlah, Lastri, jangan bertanya melulu! Engkau sekarang yang harus bercerita tentang keadaan orang tuamu di Galuh. Sudah kurang lebih lima belas tahun aku tidak bertemu dan tidak mendengar kabar tentang mereka. Mereka baik-baik saja, bukan?”
“Ayah dan ibu baik-baik saja, pakde. Mereka titip salam hormat agar kusampaikan kepada pakde.”
“Setahuku, adikku subali hanya menguasai ilmu kanuragan biasa saja. sejak muda dia malas memperdalam ilmu kanuragan, lebih menyukai ilmu sastra. Bagaimana kini engkau anaknya memiliki kesaktian yang demikian hebat? Winarsih, tadi Lastri membantu kami. Kalau tidak ada ia yang membantu, mungkin kami akan menghadapi kesukaran.”
“Ah, pakde ini bisa saja memuji orang. Jangan percaya, Bude Winarsih. Dia melebih-lebihkan!”
Winarsih tersenyum dan mengusap pipinya yang berkulit lembut halus dari gadis itu. “Pak-de mu tidak pernah berbohong, Lastri. Kalau dia memuji, berarti engkau memang sudah sepatutnya dipuji.”
“Wah, bu-de ini setia sekali kepada pak-de, mati-matian membela dan membenarkan. Bisa kalah aku kalau dikeroyok begini!” Sulastri pura-pura cemberut. Sikapnya demikian lucu sehingga semua orang tersenyum.
“Hayo jangan berputar-putar, Lastri. Ceritakan bagaimana engkau dapat menjadi seorang dara yang sakti mandraguna. Bahkan engkau mampu menandingi seorang iblis betina sakti seperti Nyi Maya Dewi. Bukankah ia Nyi Maya dewi, anak mas Aji? Aku baru sekali itu bertemu dengannya, akan tetapi sudah lama mendengar akan namanya yang kesohor!”
“Benar, paman. Ia memang Nyi Maya Dewi.” kata Aji.
“Apa? Jadi wanita itu tadi Nyi Maya Dewi datuk wanita Parahiyangan itu?” Sulastri tampak terheran dan tertegun.
“Sudahkah engkau mengenalnya, Lastri?” yanya Ki Sumali.
“Hanya mendengar namanya saja, pak-de...!” Gadis itu tampak termenung.
“Hayo, Lastri. Ceritakan dari siapa engkau mempelajari semua aji kesaktianmu itu?” Ki Sumali mendesak.
“Memang benar kata Pak-de tadi bahwa ayahku hanya mengenal sedikit ilmu pencak silat. Ayah lebih suka membaca kitab-kitab kuno bertembang mocopat dari pada berlatih silat. Ibu juga seorang wanita yang lembut keibuan seperti bude ini.”
“Apakah engkau mempunyai kakak atau adik, Lastri?” Tanya Winarsih.
“Tidak, Bu-de. Aku anak tunggal, anak manja“ Gadis itu tertawa.
Melihat gerak-gerik dan ucapan gadis itu, mau tidak mau Aji tersenyum. Dia percaya bahwa gadis ini memang manja sekali, akan tetapi harus diakui bahwa Sulastri mempunyai sikap yang keras dan gagah akan tetapi jujur terbuka.
“Hayo lanjutkan ceritamu!” Ki Sumali mendesak.
“Wah, Pak-de Sumali ini orangnya tidak sabaran. Tentu dia pencemburu, ya, bude?” Tanya Sulastri sambil memandang kepada Winarsih.
Wajah Ki Sumali menjadi kemerahan karena merasa tersindir. Akan tetapi Winarsih cepat berkata, “Sama sekali tidak! Pakdemu orangnya penyabar dan penuh kepercayaan. Ceritakanlah, Sulastri, kami semua ingin sekali mendengarnya.”
“Ketika aku berusia delapan tahun, secara kebetulan sekali aku bertemu dengan seorang kakek. Dia berkata bahwa aku berbakat baik dan berjodoh untuk menjadi muridnya. Dia meremas-remas batu sampai hancur menjadi tepung. Aku tertarik sekali dan aku merengek-rengek kepada ayah dan ibu agar diperbolehkan menjadi murid kakek itu. Ayah dan ibu akhirnya menyetujui. Ingat, aku anak manja dan kalau mereka tidak menyetujui, aku dapat menjerit-jerit menangis sampai orang-orang sedusun berdatangan karena kaget!” Gadis itu tertawa dan yang mendengarkan ikut merasa geli dan tertawa. “Demikianlah, selama sepuluh tahun aku digembleng oleh kakek itu yang menjadi guruku.”
“Siapa nama kakek itu, Lastri?”
“Tidak ada yang tahu siapa namanya, pak-de. Dia tidak pernah mau memperkenalkan namanya, bahkan kepada akupun tidak. Dia hanya mengaku disebut Ki Gede Pasisiran dan berasal dari Banten.”
“Tentu kakek yang sakti mandraguna.” kata Ki Sumali. “Jadi engkau telah mewarisi aji kesaktiannya, Lastri? Sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat tiba-tiba muncul di tepi Kali Bogawanta tadi dan menolong kami?”
“Aku memang hendak pergi ke Loano untuk mencarimu, pakde. Ketika melihat seorang laki-laki gagah perkasa, berusia lima puluh tahun lebih, memegang keris berbentuk ular hitam dan sebatang suling, aku segera dapat menduga bahwa orang itu tentu Pakde Sumali seperti sudah digambarkan oleh ayah. Maka aku segera membantumu, pakde.”
“Dan kenapa engkau seorang gadis melakukan perjalanan seorang diri menempuh jarak sedemikian jauhnya, mencariku? apakah engkau diutus oleh ayahmu untuk mencariku?”
Sulastri menggeleng kepalanya, “Tidak, pakde.”
“Kalau begitu kenapa? Engkau bahkan tidak mengenal aku karena ketika aku berkunjung ke rumah orang tuamu engkau baru berusia tiga tahun. Apa maksudmu mencariku, Lastri?”
Sulastri cemberut menatap wajah Ki Sumali. “Apakah aku tidak boleh mencari pakde?”
Winarsih cepat merangkulnya. “Tentu saja boleh dan kami merasa senang dan berbahagia sekali menerima kunjunganmu, Lastri. Akan tetapi pakdemu dan aku juga ingin sekali mengetahui angin apa yang meniup engkau sampai ke sini, keperluan sangat penting apa yang membawamu ke rumah kami?”
“Aku sedang kesal sekali, bude!”
“Kesal sekali? kenapa, lastri?” Tanya Winarsih.
“Pokoknya aku sedang jengkel sekali!” gadis itu cemberut dan alisnya yang hitam melengkung indah itu dikerutkan.
Ki Sumali tersenyum. Keponakannya ini kolokan dan manja sekali, akan tetapi bukan tidak menyenangkan. “Lastri, katakanlah mengapa engkau kesal dan jengkel? Barangkali kami dapat membantumu melenyapkan kekesalan hatimu itu.”
Gadis itu menggeleng kepalanya. “Tidak, pakde. Yang membuat aku kesal merupakan urusan pribadiku yang tak dapat kukatakan kepada siapapun juga, bahkan kepada ayah juga tidak. Pendeknya, aku sedang kesal dan jengkel sekali. Karena itu, aku lalu berpamit kepada ayah dan ibu untuk pergi mengunjungi pakde di Loano. Aku mengetahui alamat pakde dari ayah. Ayah dan ibu seperti biasa, tidak dapat melarangku dan pergilah aku ke sini dan di tengah jalan tadi kebetulan aku melihat pakde sedang berkelahi maka aku lalu membantu Pakde dan bude tentu tidak marah karena aku tidak mau berterus terang tentang persoalan pribadiku itu dan mau menerima aku, bukan?”
“Tentu saja, Lastri! Persoalan pribadi yang dirahasiakan merupakan hak seorang dan kalau engkau tidak mau menceritakan kepada orang lain, jangan ceritakan! Kami menerimamu dengan senang hati.”
“Lastri, engkau boleh tinggal di sini menenteramkan hatimu berapa lamapun kau inginkan.”
“Terima kasih, pakde dan bude. Sekarang giliran pakde, bude dan juga Kakangmas Aji bercerita. Pakde Sumali dulu mendapatkan giliran!” kata Lastri yang kini sudah tersenyum-senyum cerah lagi, sudah lupa akan kekesalan hatinya.
“Aih, keenakan bicara aku sampai lupa pekerjaan di dapur. Bisa hangus nanti nasi yang sedang kumasak.” kata Winarsih sambil bangkit dari tempat duduknya.
“Biar aku membantumu, bude!” Sulastri juga bangkit.
“Eeitt, kalau engkau membantu, lalu bagaimana engkau dapat mendengarkan cerita pakdemu? Tentang diriku, engkau dapat mendengar langsung dari pakdemu juga. Nanti saja engkau membantuku kalau percakapanmu dengan pakdemu sudah selesai, Lastri.” kata Winarsih yang segera pergi ke dapur.
Sulastri terpaksa duduk kembali menghadapi Ki sumali. “Tentang diri kami berdua, tidak banyak yang dapat diceritakan, Lastri. Sejak dulu aku tinggal di Loano, maka ayahmu mengetahui alamatku. Aku bertemu budemu tiga tahun yang lalu ketika aku menentang gerombolan perampok yang mengacau di Loano, juga menolong budemu dari tangan mereka, kami saling jatuh cinta dan karena pada waktu itu aku masih bujangan biarpun usiaku sudah lima puluh satu tahun, kami lalu menikah. Pada suatu hari, beberapa bulan yang lalu, kami kedatangan tamu. Dia adalah Aki Somad, seorang pertapa di nusa Kambangan yang sakti. Kami kenalan lama dan kami menyambutnya dengan baik. Akan tetapi kunjungannya itu bermaksud membujuk agar aku menjadi antek Kumpeni Belanda. Tentu saja kutolak tegas dan dia pergi dengan marah-marah.”
“Pakde maksudkan kakek yang bongkok berpunuk punggungnya, yang bertanding melawan Kakangmas Aji tadi?”
“Benar, dia orangnya. Tak lama kemudian, pada suatu pagi budemu Winarsih lenyap diculik orang!”
"Ahh...!” Sulastri mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. “Siapa jahanam yang berani menculiknya?”
“Yang menculiknya ternyata kemudian adalah gerombolan Gagak Rodra, tentu saja atas perintah Aki Somad. Agaknya dia hendak menggunakan penculikan itu untuk memaksa aku mau menjadi antek Belanda. Sampai dua hari aku mencarinya tanpa hasil. Untung sekali, di tengah perjalanan para penculik itu bertemu dengan Anak mas Aji yang berhasil menolong dan membebaskan Winarsih, membawanya pulang ke sini.”
“Ah, kiranya Kakangmas Aji berjasa besar bagi keluarga pakde!” kata Sulastri sambil memandang wajah Aji. “Aku ikut berterima kasih padamu, kangmas!”
“Ah, Nimas Sulastri, aku hanya memenuhi kewajiban. Kita semua patut bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah.”
“Wah, bicaramu mirip ayahku!” kata Sulastri dengan seruan heran. “Lalu bagaimana, pak-de, bagaimana ceritanya sampai terjadi pertempuran tadi?”
“Setelah Winarsih diantar pulang oleh Anak mas aji dengan selamat, aku dapat yakin bahwa pelakunya adalah para pimpinan Gagak Rodra. malam itu aku mengumpulkan para pemuda Loano dan merencanakan persiapan untuk bedok pagi-pagi menyerbu ke sarang Gagak Rodra bersama Anak mas aji dan para pemuda itu. Akan tetapi malam itu kami bertiga, Anak mas Aji, Winarsih, dan aku sendiri hampir saja menjadi korban, diracuni oleh dua orang pembantu kami sendiri.”
“Ah! Bagaimana dua orang pembantu sendiri hendak meracuni keluarga pak-de sendiri?”
“Ternyata mereka itu adalah orang-orangnya antek Belanda yang sengaja diselundupkan ke sini sebagai pengungsi dan kami terima sebagai pelayan karena merasa kasihan. Sekali lagi, untung ada Anak mas Aji. Dia yang mula-mula menaruh curiga dan membiarkan ayam makan singkong rebus beracun itu sehingga ayam itu mati. Dua orang pelayan itu membuktikan kebersihan mereka dengan berani makan singkong rebus itu sehingga kami terkecoh. Akan tetapi pagi-pagi sekali tadi, dua orang yang mengaku suami isteri itu memasuki kamar Anak mas Aji dan bermaksud membunuhnya. Akan tetapi Anak mas Aji sudah curiga dan siap siaga sehingga usaha pembunuhan itupun dapat digagalkan. Mereka melarikan diri dan ketika kami menyerbu ke sarang Gagak Rodra tadi, ternyata mereka berdua berada pula di sana. Dalam perkelahian, mereka berdua dan dua orang pimpinan Gagak Rodra berhasil kubinasakan.”
“Kalau begitu, pak-de dan Kakangmas Aji bersalah besar sekali!” tiba-tiba Sulastri mencela dan mengerutkan alisnya.
Dua orang laki-laki itu tentu saja terkejut dan heran, saling pandang dan tidak mengerti mengapa gadis itu tiba-tiba menyalahkan mereka! “Lastri, apa maksudmu? Engkau mengatakan kami berdua salah besar? Mengapa?” tanya Ki Sumali heran dan juga penasaran.
“Sudah jelas bahwa gerombolan Gagak Rodra itu terdiri dari orang-orang jahat yang berdosa besar! Kenapa pakde berdua tidak membasmi dan membunuh mereka semua, akan tetapi memaafkan mereka? Itu merupakan kesalahan yang besar sekali!”
Ki Sumali mengerling kepada Aji. Dia sendiri diam-diam dapat menyetujui pendapat gadis itu. Dia tidak akan menolak andaikata Aji tadi mengajak dia membasmi gerombolan itu. buktinya empat orang penting gerombolan itu yang bertanding dengan dia, dia tewaskan semua. “Biarlah Anak-mas Aji yang menjawab pertanyaan itu, Lastri.” Ki Sumali dan Sulastri memandang kepada Aji.
Pemuda itu menghela napas panjang sebelum menjawab, menjernihkan pikirannya lalu berkata dengan tenang. “Nimas Sulastri, jawaban mengapa kami memaafkan para anggota Gagak Rodra itu ada dua. Yang pertama, sesuai dengan kebijaksanaan yang telah dilakukan oleh Gusti Sultan Agung, dan kedua atas pertimbangan prikemanusiaan.”
“Coba jelaskan satu demi satu, kakangmas, agar hatiku tidak merasa penasaran.”
“Gusti Sultan Agung telah mengambil kebijaksanaan terhadap semua daerah yang dulu menentang Mataram. Beliau menganggap bahwa semua daerah itu merupakan bangsa dan saudara sendiri, bukan musuh. Hanya saudara sebangsa yang sedang berselisih paham. Buktinya, ketika Mataram mengalahkan daerah-daerah yang tadinya menentang itu, Gusti Sultan tidak menghukum para bupati dan adipati yang tadinya menentang. Bahkan mereka diberi kedudukan kembali. Ingat saja, Pangeran Pekik dari Surabaya bahkan dinikahkan dengan Gusti Puteri Ratu Wandansari, lalu Raden Praseno putera Bupati Arisbaya malah diangkat menjadi Adipati Madura berjuluk Pangeran Cakraningrat. Kemudian Sunan Giri juga dimaafkan dan diangkat kembali dengan gelar Panembahan, dan masih banyak lagi. Karena itu, kalau sekarang kami memaafkan para anggota Gagak Rodra dan memberi kesempatan kepada mereka untuk bertaubat dan mengubah jalan hidup mereka, hal ini adalah sesuai dengan kebijaksanaan Gusti Sultan Agung.”
“Hemmm, engkau sungguh seorang yang setia dan mencontoh kebijaksanaan Sultan Agung, Kakangmas Aji. Lalu alasan yang kedua? Prikemanusiaan? Apa maksudmu?”
“Nimas, jawablah dulu pertanyaanku ini. Percayakah engkau akan ucapan orang bijak jaman dahulu bahwa di dunia ini, tidak ada seorangpun manusia yang tanpa salah dan tidak berdosa?”
Gadis itu mengangguk. “Aku percaya. Semua manusia pasti mempunyai kesalahan, setiap orang manusia pasti berdosa. Hanya Gusti Allah yang tanpa kesalahan tanpa dosa, serba sempurna.”
“Bagus jawabanmu itu sudah menjawab pertanyaanmu tentang alasan ke dua itu. Engkau, aku, dan Paman Sumali adalah manusia-manusia juga, bukan?”
“Tentu saja...!”
Ki Sumali tertawa. “Baru delapan belas tahun. Anak mas Aji tentu jauh lebih tua. Bukankah begitu, anak mas Aji?”
“Usia saya dua puluh tahun, paman.”
“Nah, Lastri, kau dengar sendiri! Anak mas Aji ini lebih tua dua tahun dari pada engkau. Sudah sepatutnya engkau menyebut dia kakang mas.”
Lastri tertawa. “ Hi-hik, baiklah, pakde. Eh, kakangmas Aji, engkau masih begini muda sudah menjadi seorang senopati Mataram. Hebat!”
“Ah, Nimas Sulastri, aku sama sekali bukan seorang senopati Mataram. Aku hanya berjanji kepada Gusti Sultan Agung untuk membantu Mataram dalam perjalananku ke barat.”
“Ah, kenapa kita bercakap-cakap di sini? Lastri, mari ikut aku pulang. Engkau tentu ingin bertemu dengan budemu, bukan?”
Gadis itu memandang pakdenya dengan mata terbelalak. “Bude? Wah, pakde, ini merupakan kejutan menggembirakan! Menurut kata ayahku, pakde hidup menyendiri, tidak menikah!”
Ki Sumali tersenyum. “Aku sudah menikah, tiga tahun yang lalu, Lastri.”
“Pakde sudah mempunyai anak?”
Ki Sumali menggeleng kepalanya. “Belum. Mari, Lastri, engkau ikut denganku. Banyak yang harus kauceritakan tentang orang tuamu di sana nanti. Mari, anak mas Aji, kita pulang.”
Mereka bertiga lalu meninggalkan tempat itu, membiarkan orang-orang Loano yang kini menjadi sahabat dan beramah tamah dengan para anggota Gagak Rodra dan keluarga mereka.
Winarsih menyambut pulangnya Ki Sumali dan Aji dengan gembira dan lega bukan main. Wanita yang ditinggalkan di rumah kepala dusun itu selalu merasa gelisah. Maka, ketika ia mendapat kabar dari seorang tetangga yang dimintai tolong oleh Ki Sumali untuk mengabarkan kepada isterinya bahwa dia sudah pulang, Winarsih cepat meninggalkan rumah kepala dusun dan berlari pulang. Melihat suaminya dan Aji berada di beranda rumah, ia menghampiri mereka dan dengan wajah cerah gembira ia berkata.
“Kakang Sumali! Dimas Aji! Kalian pulang dengan selamat! Syukurlah, hatiku menjadi lega dan berbahagia!”
Sulastri yang melihat seorang wanita muda cantik jelita menyambut kedua orang pria itu, tertegun. Ia bangkit dari duduknya, menghampiri pakdenya dan bertanya, “Pakde, siapakah mbak ayu ini?”
“Mbak ayu? Ha-ha-ha! Inilah bu-demu, Lastri. Ini Winarsih, isteriku! Winarsih, gadis ini adalah Sulastri, keponakanku. Ingat akan adikku Subali yang pernah kuceritakan kepadamu dan yang tinggal di Galuh? Nah, ini puterinya!”
Dua orang wanita itu saling pandang dan Sulastri tidak menyembunyikan keheranannya. “Bu-de...? Masih begini muda dan cantik?"
“Memang, muda dan cantik! Pakde mu ini memang seorang laki-laki yang beruntung, Lastri. Budemu muda dan cantik dan amat mencintaiku!”
Sulastri adalah seorang gadis yang sejak kecil memang berwatak terbuka dan jujur, sesuai dengan kegagahannya. “Benarkah itu, Bude Winarsih?”
Winarsih mengangguk dan tersenyum lebar, lalu menoleh memandang suaminya. “Benar, Sulastri. Aku amat mencinta suamiku karena diapun amat sayang kepadaku. Dia seorang suami yang baik dan bijaksana, tiada keduanya di dunia ini dan aku amat berbahagia menjadi isterinya!” Ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang sungguh-sungguh.
Sulastri menjadi terharu dan ia pun maju dan merangkul Winarsih. “Bude Winarsih...!”
Winarsih balas merangkul. Dua orang wanita cantik itu berangkulan dan saling berciuman pipi. Ki Sumali memandang dengan senyum senang. “Hayo, kita masuk dan duduk di dalam agar leluasa dan enak bercakap-cakap.”
Mereka berempat memasuki ruangan dalam dan duduk. Sulastri duduk dekat Winarsih dan selalu menggandeng tangan budenya itu. Mereka tampak akrab sekali. Agaknya Sulastri senang dan kagum melihat bu-denya yang masih muda, cantik dan sikapnya halus lembut itu. sebaliknya Winarsih juga suka dan kagum kepada keponakan suaminya yang tampak demikian lincah dan wajahnya selalu cerah dan riang gembira.
“Bude Winarsih ini pantas menjadi mbakyuku!” kata Sulastri sambil memegang tangan Winarsih dan memangku tangan itu.”Berapa sih usia bude?”
Winarsih tersenyum. “Usiaku sudah dua puluh satu tahun.”
“Ah, kalau begitu bude seusiaku ketika bertemu dan menikah dengan pakde Sumali!”
“Sudahlah, Lastri, jangan bertanya melulu! Engkau sekarang yang harus bercerita tentang keadaan orang tuamu di Galuh. Sudah kurang lebih lima belas tahun aku tidak bertemu dan tidak mendengar kabar tentang mereka. Mereka baik-baik saja, bukan?”
“Ayah dan ibu baik-baik saja, pakde. Mereka titip salam hormat agar kusampaikan kepada pakde.”
“Setahuku, adikku subali hanya menguasai ilmu kanuragan biasa saja. sejak muda dia malas memperdalam ilmu kanuragan, lebih menyukai ilmu sastra. Bagaimana kini engkau anaknya memiliki kesaktian yang demikian hebat? Winarsih, tadi Lastri membantu kami. Kalau tidak ada ia yang membantu, mungkin kami akan menghadapi kesukaran.”
“Ah, pakde ini bisa saja memuji orang. Jangan percaya, Bude Winarsih. Dia melebih-lebihkan!”
Winarsih tersenyum dan mengusap pipinya yang berkulit lembut halus dari gadis itu. “Pak-de mu tidak pernah berbohong, Lastri. Kalau dia memuji, berarti engkau memang sudah sepatutnya dipuji.”
“Wah, bu-de ini setia sekali kepada pak-de, mati-matian membela dan membenarkan. Bisa kalah aku kalau dikeroyok begini!” Sulastri pura-pura cemberut. Sikapnya demikian lucu sehingga semua orang tersenyum.
“Hayo jangan berputar-putar, Lastri. Ceritakan bagaimana engkau dapat menjadi seorang dara yang sakti mandraguna. Bahkan engkau mampu menandingi seorang iblis betina sakti seperti Nyi Maya Dewi. Bukankah ia Nyi Maya dewi, anak mas Aji? Aku baru sekali itu bertemu dengannya, akan tetapi sudah lama mendengar akan namanya yang kesohor!”
“Benar, paman. Ia memang Nyi Maya Dewi.” kata Aji.
“Apa? Jadi wanita itu tadi Nyi Maya Dewi datuk wanita Parahiyangan itu?” Sulastri tampak terheran dan tertegun.
“Sudahkah engkau mengenalnya, Lastri?” yanya Ki Sumali.
“Hanya mendengar namanya saja, pak-de...!” Gadis itu tampak termenung.
“Hayo, Lastri. Ceritakan dari siapa engkau mempelajari semua aji kesaktianmu itu?” Ki Sumali mendesak.
“Memang benar kata Pak-de tadi bahwa ayahku hanya mengenal sedikit ilmu pencak silat. Ayah lebih suka membaca kitab-kitab kuno bertembang mocopat dari pada berlatih silat. Ibu juga seorang wanita yang lembut keibuan seperti bude ini.”
“Apakah engkau mempunyai kakak atau adik, Lastri?” Tanya Winarsih.
“Tidak, Bu-de. Aku anak tunggal, anak manja“ Gadis itu tertawa.
Melihat gerak-gerik dan ucapan gadis itu, mau tidak mau Aji tersenyum. Dia percaya bahwa gadis ini memang manja sekali, akan tetapi harus diakui bahwa Sulastri mempunyai sikap yang keras dan gagah akan tetapi jujur terbuka.
“Hayo lanjutkan ceritamu!” Ki Sumali mendesak.
“Wah, Pak-de Sumali ini orangnya tidak sabaran. Tentu dia pencemburu, ya, bude?” Tanya Sulastri sambil memandang kepada Winarsih.
Wajah Ki Sumali menjadi kemerahan karena merasa tersindir. Akan tetapi Winarsih cepat berkata, “Sama sekali tidak! Pakdemu orangnya penyabar dan penuh kepercayaan. Ceritakanlah, Sulastri, kami semua ingin sekali mendengarnya.”
“Ketika aku berusia delapan tahun, secara kebetulan sekali aku bertemu dengan seorang kakek. Dia berkata bahwa aku berbakat baik dan berjodoh untuk menjadi muridnya. Dia meremas-remas batu sampai hancur menjadi tepung. Aku tertarik sekali dan aku merengek-rengek kepada ayah dan ibu agar diperbolehkan menjadi murid kakek itu. Ayah dan ibu akhirnya menyetujui. Ingat, aku anak manja dan kalau mereka tidak menyetujui, aku dapat menjerit-jerit menangis sampai orang-orang sedusun berdatangan karena kaget!” Gadis itu tertawa dan yang mendengarkan ikut merasa geli dan tertawa. “Demikianlah, selama sepuluh tahun aku digembleng oleh kakek itu yang menjadi guruku.”
“Siapa nama kakek itu, Lastri?”
“Tidak ada yang tahu siapa namanya, pak-de. Dia tidak pernah mau memperkenalkan namanya, bahkan kepada akupun tidak. Dia hanya mengaku disebut Ki Gede Pasisiran dan berasal dari Banten.”
“Tentu kakek yang sakti mandraguna.” kata Ki Sumali. “Jadi engkau telah mewarisi aji kesaktiannya, Lastri? Sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat tiba-tiba muncul di tepi Kali Bogawanta tadi dan menolong kami?”
“Aku memang hendak pergi ke Loano untuk mencarimu, pakde. Ketika melihat seorang laki-laki gagah perkasa, berusia lima puluh tahun lebih, memegang keris berbentuk ular hitam dan sebatang suling, aku segera dapat menduga bahwa orang itu tentu Pakde Sumali seperti sudah digambarkan oleh ayah. Maka aku segera membantumu, pakde.”
“Dan kenapa engkau seorang gadis melakukan perjalanan seorang diri menempuh jarak sedemikian jauhnya, mencariku? apakah engkau diutus oleh ayahmu untuk mencariku?”
Sulastri menggeleng kepalanya, “Tidak, pakde.”
“Kalau begitu kenapa? Engkau bahkan tidak mengenal aku karena ketika aku berkunjung ke rumah orang tuamu engkau baru berusia tiga tahun. Apa maksudmu mencariku, Lastri?”
Sulastri cemberut menatap wajah Ki Sumali. “Apakah aku tidak boleh mencari pakde?”
Winarsih cepat merangkulnya. “Tentu saja boleh dan kami merasa senang dan berbahagia sekali menerima kunjunganmu, Lastri. Akan tetapi pakdemu dan aku juga ingin sekali mengetahui angin apa yang meniup engkau sampai ke sini, keperluan sangat penting apa yang membawamu ke rumah kami?”
“Aku sedang kesal sekali, bude!”
“Kesal sekali? kenapa, lastri?” Tanya Winarsih.
“Pokoknya aku sedang jengkel sekali!” gadis itu cemberut dan alisnya yang hitam melengkung indah itu dikerutkan.
Ki Sumali tersenyum. Keponakannya ini kolokan dan manja sekali, akan tetapi bukan tidak menyenangkan. “Lastri, katakanlah mengapa engkau kesal dan jengkel? Barangkali kami dapat membantumu melenyapkan kekesalan hatimu itu.”
Gadis itu menggeleng kepalanya. “Tidak, pakde. Yang membuat aku kesal merupakan urusan pribadiku yang tak dapat kukatakan kepada siapapun juga, bahkan kepada ayah juga tidak. Pendeknya, aku sedang kesal dan jengkel sekali. Karena itu, aku lalu berpamit kepada ayah dan ibu untuk pergi mengunjungi pakde di Loano. Aku mengetahui alamat pakde dari ayah. Ayah dan ibu seperti biasa, tidak dapat melarangku dan pergilah aku ke sini dan di tengah jalan tadi kebetulan aku melihat pakde sedang berkelahi maka aku lalu membantu Pakde dan bude tentu tidak marah karena aku tidak mau berterus terang tentang persoalan pribadiku itu dan mau menerima aku, bukan?”
“Tentu saja, Lastri! Persoalan pribadi yang dirahasiakan merupakan hak seorang dan kalau engkau tidak mau menceritakan kepada orang lain, jangan ceritakan! Kami menerimamu dengan senang hati.”
“Lastri, engkau boleh tinggal di sini menenteramkan hatimu berapa lamapun kau inginkan.”
“Terima kasih, pakde dan bude. Sekarang giliran pakde, bude dan juga Kakangmas Aji bercerita. Pakde Sumali dulu mendapatkan giliran!” kata Lastri yang kini sudah tersenyum-senyum cerah lagi, sudah lupa akan kekesalan hatinya.
“Aih, keenakan bicara aku sampai lupa pekerjaan di dapur. Bisa hangus nanti nasi yang sedang kumasak.” kata Winarsih sambil bangkit dari tempat duduknya.
“Biar aku membantumu, bude!” Sulastri juga bangkit.
“Eeitt, kalau engkau membantu, lalu bagaimana engkau dapat mendengarkan cerita pakdemu? Tentang diriku, engkau dapat mendengar langsung dari pakdemu juga. Nanti saja engkau membantuku kalau percakapanmu dengan pakdemu sudah selesai, Lastri.” kata Winarsih yang segera pergi ke dapur.
Sulastri terpaksa duduk kembali menghadapi Ki sumali. “Tentang diri kami berdua, tidak banyak yang dapat diceritakan, Lastri. Sejak dulu aku tinggal di Loano, maka ayahmu mengetahui alamatku. Aku bertemu budemu tiga tahun yang lalu ketika aku menentang gerombolan perampok yang mengacau di Loano, juga menolong budemu dari tangan mereka, kami saling jatuh cinta dan karena pada waktu itu aku masih bujangan biarpun usiaku sudah lima puluh satu tahun, kami lalu menikah. Pada suatu hari, beberapa bulan yang lalu, kami kedatangan tamu. Dia adalah Aki Somad, seorang pertapa di nusa Kambangan yang sakti. Kami kenalan lama dan kami menyambutnya dengan baik. Akan tetapi kunjungannya itu bermaksud membujuk agar aku menjadi antek Kumpeni Belanda. Tentu saja kutolak tegas dan dia pergi dengan marah-marah.”
“Pakde maksudkan kakek yang bongkok berpunuk punggungnya, yang bertanding melawan Kakangmas Aji tadi?”
“Benar, dia orangnya. Tak lama kemudian, pada suatu pagi budemu Winarsih lenyap diculik orang!”
"Ahh...!” Sulastri mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. “Siapa jahanam yang berani menculiknya?”
“Yang menculiknya ternyata kemudian adalah gerombolan Gagak Rodra, tentu saja atas perintah Aki Somad. Agaknya dia hendak menggunakan penculikan itu untuk memaksa aku mau menjadi antek Belanda. Sampai dua hari aku mencarinya tanpa hasil. Untung sekali, di tengah perjalanan para penculik itu bertemu dengan Anak mas Aji yang berhasil menolong dan membebaskan Winarsih, membawanya pulang ke sini.”
“Ah, kiranya Kakangmas Aji berjasa besar bagi keluarga pakde!” kata Sulastri sambil memandang wajah Aji. “Aku ikut berterima kasih padamu, kangmas!”
“Ah, Nimas Sulastri, aku hanya memenuhi kewajiban. Kita semua patut bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah.”
“Wah, bicaramu mirip ayahku!” kata Sulastri dengan seruan heran. “Lalu bagaimana, pak-de, bagaimana ceritanya sampai terjadi pertempuran tadi?”
“Setelah Winarsih diantar pulang oleh Anak mas aji dengan selamat, aku dapat yakin bahwa pelakunya adalah para pimpinan Gagak Rodra. malam itu aku mengumpulkan para pemuda Loano dan merencanakan persiapan untuk bedok pagi-pagi menyerbu ke sarang Gagak Rodra bersama Anak mas aji dan para pemuda itu. Akan tetapi malam itu kami bertiga, Anak mas Aji, Winarsih, dan aku sendiri hampir saja menjadi korban, diracuni oleh dua orang pembantu kami sendiri.”
“Ah! Bagaimana dua orang pembantu sendiri hendak meracuni keluarga pak-de sendiri?”
“Ternyata mereka itu adalah orang-orangnya antek Belanda yang sengaja diselundupkan ke sini sebagai pengungsi dan kami terima sebagai pelayan karena merasa kasihan. Sekali lagi, untung ada Anak mas Aji. Dia yang mula-mula menaruh curiga dan membiarkan ayam makan singkong rebus beracun itu sehingga ayam itu mati. Dua orang pelayan itu membuktikan kebersihan mereka dengan berani makan singkong rebus itu sehingga kami terkecoh. Akan tetapi pagi-pagi sekali tadi, dua orang yang mengaku suami isteri itu memasuki kamar Anak mas Aji dan bermaksud membunuhnya. Akan tetapi Anak mas Aji sudah curiga dan siap siaga sehingga usaha pembunuhan itupun dapat digagalkan. Mereka melarikan diri dan ketika kami menyerbu ke sarang Gagak Rodra tadi, ternyata mereka berdua berada pula di sana. Dalam perkelahian, mereka berdua dan dua orang pimpinan Gagak Rodra berhasil kubinasakan.”
“Kalau begitu, pak-de dan Kakangmas Aji bersalah besar sekali!” tiba-tiba Sulastri mencela dan mengerutkan alisnya.
Dua orang laki-laki itu tentu saja terkejut dan heran, saling pandang dan tidak mengerti mengapa gadis itu tiba-tiba menyalahkan mereka! “Lastri, apa maksudmu? Engkau mengatakan kami berdua salah besar? Mengapa?” tanya Ki Sumali heran dan juga penasaran.
“Sudah jelas bahwa gerombolan Gagak Rodra itu terdiri dari orang-orang jahat yang berdosa besar! Kenapa pakde berdua tidak membasmi dan membunuh mereka semua, akan tetapi memaafkan mereka? Itu merupakan kesalahan yang besar sekali!”
Ki Sumali mengerling kepada Aji. Dia sendiri diam-diam dapat menyetujui pendapat gadis itu. Dia tidak akan menolak andaikata Aji tadi mengajak dia membasmi gerombolan itu. buktinya empat orang penting gerombolan itu yang bertanding dengan dia, dia tewaskan semua. “Biarlah Anak-mas Aji yang menjawab pertanyaan itu, Lastri.” Ki Sumali dan Sulastri memandang kepada Aji.
Pemuda itu menghela napas panjang sebelum menjawab, menjernihkan pikirannya lalu berkata dengan tenang. “Nimas Sulastri, jawaban mengapa kami memaafkan para anggota Gagak Rodra itu ada dua. Yang pertama, sesuai dengan kebijaksanaan yang telah dilakukan oleh Gusti Sultan Agung, dan kedua atas pertimbangan prikemanusiaan.”
“Coba jelaskan satu demi satu, kakangmas, agar hatiku tidak merasa penasaran.”
“Gusti Sultan Agung telah mengambil kebijaksanaan terhadap semua daerah yang dulu menentang Mataram. Beliau menganggap bahwa semua daerah itu merupakan bangsa dan saudara sendiri, bukan musuh. Hanya saudara sebangsa yang sedang berselisih paham. Buktinya, ketika Mataram mengalahkan daerah-daerah yang tadinya menentang itu, Gusti Sultan tidak menghukum para bupati dan adipati yang tadinya menentang. Bahkan mereka diberi kedudukan kembali. Ingat saja, Pangeran Pekik dari Surabaya bahkan dinikahkan dengan Gusti Puteri Ratu Wandansari, lalu Raden Praseno putera Bupati Arisbaya malah diangkat menjadi Adipati Madura berjuluk Pangeran Cakraningrat. Kemudian Sunan Giri juga dimaafkan dan diangkat kembali dengan gelar Panembahan, dan masih banyak lagi. Karena itu, kalau sekarang kami memaafkan para anggota Gagak Rodra dan memberi kesempatan kepada mereka untuk bertaubat dan mengubah jalan hidup mereka, hal ini adalah sesuai dengan kebijaksanaan Gusti Sultan Agung.”
“Hemmm, engkau sungguh seorang yang setia dan mencontoh kebijaksanaan Sultan Agung, Kakangmas Aji. Lalu alasan yang kedua? Prikemanusiaan? Apa maksudmu?”
“Nimas, jawablah dulu pertanyaanku ini. Percayakah engkau akan ucapan orang bijak jaman dahulu bahwa di dunia ini, tidak ada seorangpun manusia yang tanpa salah dan tidak berdosa?”
Gadis itu mengangguk. “Aku percaya. Semua manusia pasti mempunyai kesalahan, setiap orang manusia pasti berdosa. Hanya Gusti Allah yang tanpa kesalahan tanpa dosa, serba sempurna.”
“Bagus jawabanmu itu sudah menjawab pertanyaanmu tentang alasan ke dua itu. Engkau, aku, dan Paman Sumali adalah manusia-manusia juga, bukan?”
“Tentu saja...!”