03: PENYELAMATAN TURUNAN KELUARGA POUW
ORANG yang karena rambutnya sudah putih sehingga tampak seperti seorang kakek tua dan kini duduk di perahu sambil membaca kitab itu juga seorang pendekar yang mengasingkan diri. Namanya Suma Tiang Bun dan pada jaman Kerajaan Sung masih jaya, namanya cukup terkenal. Suma Tiang Bun adalah seorang Bun-bu-enghiong (Pendekar Sastra dan Silat), akan tetapi sejak dahulu tidak pernah mau terikat oleh kedudukan.
Biarpun tidak suka pangkat, dia adalah seorang patriot sejati yang setiap saat siap menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi negara dan bangsa. Ketika terjadi perang melawan penyerbuan pasukan Mongol, dia membantu Kerajaan Sung melawan musuh. Akan tetapi balatentara Mongol amat kuat, memiliki banyak panglima yang sakti dan pasukannya besar sekali dan lebih celaka lagi, banyak orang pandai yang menjadi pengkhianat bangsa mempergunakan kesempatan untuk menjual negara, membantu bangsa Mongol demi memperoleh kedudukan dan harta benda.
Suma Tiang Bun ikut dengan rombongan pahlawan yang menyelamatkan Pangeran Sung lari ke selatan setelah Kaisar Sung ditawan musuh. Setelah merasa kecewa dan penasaran membuatnya berduka sehingga rambutnya berubah putih, Suma Tiang Bun lalu pergi mengasingkan diri. Sebelum itu, dia membunuh banyak pengkhianat bangsa yang menghambakan diri kepada bangsa Mongol. Bahkan di antara mereka, ada dua orang sutenya (adik seperguruannya) yang dia bunuh karena mereka juga merendahkan diri menjadi antek bangsa Mongol.
Demikianlah, laki-laki berambut putih di atas sampan itu bukan orang sembarangan. Suma Tiang Bun adalah ahli waris terakhir dari ilmu silat keluarga Suma yang semenjak jaman Sam Kok amat terkenal. Setelah kini mengasingkan diri, kegiatannya hanyalah membaca kitab dan hidup sebagai seorang pendekar yang berkelana, setiap saat siap menjulurkan tangan menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas menentang yang kuat jahat.
Sejak siang tadi dia berperahu sambil membaca kitab dengan asyiknya. Tiba-tiba Suma Tiang Bun terkejut dan menghentikan bacaannya. Dia merasa betapa perahunya menyentuh sesuatu, tertumbuk sesuatu. Dia cepat menjulurkan badannya keluar perahu, memandang ke air.
“Siancai (damai)…!” serunya ketika dia melihat bahwa yang menumbuk perahunya itu ternyata adalah tubuh seorang wanita yang agaknya dihanyutkan arus air sungai!
Dengan gerakan yang amat cepat, terlalu cepat dan tak mungkin rasanya dilakukan seorang kutu-buku yang tampak lemah itu, kitab yang tadi dibacanya sudah lenyap ke dalam saku bajunya dan dayung diletakkan dalam perahu. Kemudian sekali kedua tangannya digerakkan ke samping perahu, tubuh wanita itu telah diangkatnya ke dalam perahu.
“Thian Yang Maha Agung...!” Dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa orang itu adalah seorang wanita muda yang sedang mengandung! Cepat dirabanya pergelangan tangan dan leher wanita itu.
“Bagus, masih belum terlambat!” Wajah Suma Tiang Bun berseri dan dengan hati-hati dia menjungkirkan tubuh wanita itu, menotok beberapa jalan darah dan menekan lambung.
Wanita itu muntahkan air. Setelah itu, tubuh wanita itu dibaringkan telentang dan dia menotok dan mengurut kedua pundak, uluhati, telapak tangan dan tengkuk. Kemudian dia meletakkan tangan kanannya di atas dada wanita itu dan mengerahkan tenaga sakti untuk membantu wanita itu mendapatkan kembali kekuatan dan kesadarannya. Perlahan-lahan pernapasan wanita itu mulai membaik, muka yang tadinya pucat seperti mayat mulai merah kembali
“Tertolong...! Thian Yang Maha Kasih...!”
Suma Tiang Bun Inenarik napas panjang, hatinya lega. Kini dia mulai memperhatikan wajah yang sebagian tertutup rambut yang hitam, halus, dan panjang itu. Seorang wanita muda yang cantik sekali, dan melihat pakaian yang basah kuyup itu, Suma Tiang Bun dapat menduga bahwa ia tentu anggauta sebuah keluarga kaya atau bangsawan.
“Mengapa ia hanyut di sungai?” Suma Tiang Bun bertanya dalam hatinya.
Setelah wanita itu terhindar dari maut, Suma Tiang Bun segera mendayung perahunya dengan cepat. Dia tahu bahwa wanita itu perlu mendapatkan perawatan secepatnya. Setelah tiba di sebuah dusun di tepi sungai, dia mendayung perahu ke tepian. Dia lalu memondong tubuh wanita itu dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang ujung perahu, kemudian dia membuat gerakan melompat. Bukan main hebatnya gerakan Suma Tiang Bun!
Dengan beban tubuh wanita dan perahu itu, dia dapat meloncat dengan ringan. Setelah meletakkan perahunya di darat, dia lari memasuki dusun sambil memondong tubuh wanita itu. Mudah diduga siapa adanya wanita muda itu. Ia adalah Tan Bi Lian atau Nyonya Pouw Keng In yang pundaknya terluka oleh anak panah kemudian pingsan dan tubuhnya hanyut terbawa arus air.
Menurut penalaran manusia, ia tentu mati. Akan tetapi penalaran manusia tidak mungkin dapat menembus mujijat Tuhan. Kalau belum menghendaki seseorang mati, betapapun hebatnya maut mengancam, ia akan selamat juga. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang mati, tidak ada kekuasaan apa pun yang dapat mengubahnya.
Ternyata Bi Lian tidak lama pingsan. Ia siuman dengan cepat dan nyonya muda yang pandai berenang itu segera menggerakkan kaki tangannya agar jangan tenggelam. Ia membiarkan dirinya dihanyutkan air dan melihat anak panah yang masih menancap di pundak kirinya dan terasa nyeri sekali apabila anak panah itu digerakkan air, ia lalu nekat mencabutnya dengan tangan kanan. Ia menjerit gagang anak panah patah dan kepala anak panah masih tertinggal dalam daging pundaknya!
Beberapa kali dicobanya untuk berenang ke pinggir, namun tidak pernah berhasil, bahkan membuat ia semakin lemah dalam pergulatannya dengan arus air yang kuat. Akhirnya ia menyerahkan nasibnya kepada Yang Maha Kuasa dan menyimpan tenaga, membiarkan dirinya hanyut dan ia hanya menjaga agar jangan sampai tenggelam. Ia kuat bertahan sampai senja.
Kalau saja rasa dingin tidak menggerogoti tulang-tulangnya dan membuat kulitnya kaku dan urat-uratnya seakan membeku, kiranya ia dapat bertahan lebih lama lagi. Ia pergunakan tenaga terakhir untuk berenang ke tepi, karena maklum bahwa ia sudah tidak kuat bertahan lebih lama lagi. Namun tenaganya habis dan ia pingsan untuk kedua kalinya.
Kita terbiasa menganggap hal yang terjadi secara aneh sebagai hal yang kebetulan saja. Padahal, yang kebetulan itu adalah yang sesuai dengan rencana Tuhan!
Kebetulan sekali tidak terlalu lama setelah Bi Lian pingsan, tubuhnya bertumbuk dengan perahu yang ditunggangi Suma Tiang Bun sehingga ia tertolong dan kini dibawa lari ke dalam dusun. Dusun itu sebuah dusun terpencil dan untuk sementara waktu Suma Tiang Bun tinggal di dusun itu, dalam sebuah pondok sederhana.
Begitu memasuki dusun, dia berseru memanggil beberapa orang wanita yang menjadi tetangganya karena dia merasa kurang enak kalau harus merawat seorang wanita muda seorang diri dalam pondoknya. Apalagi wanita yang sedang dipanggulnya ini sedang mengandung.
Melihat Suma Tiang Bun datang memanggul tubuh seorang wanita yang basah kuyup, tiga orang wanita tetangganya datang berlari-lari. Para tetangga laki-laki hanya berdiri di depan pintu rumah dan ramai membicarakan kejadian itu. Dusun kecil itu hanya dihuni belasan keluarga petani merangkap nelayan.
Suma Tiang Bun merebahkan tubuh Bi Lian di atas tempat tidur kayu sederhana. Seorang wanita tetangga menyalakan lampu. Terdengar mereka bertiga berseru heran dan kagum melihat kecantikan wajah dan keindahan pakaian Bi Lian.
Suma Tiang Bun minta kepada para wanita tetangga itu untuk memberi pinjam seperangkat pakaian kering dan mengganti pakaian Bi Lian yang basah kuyup. Sementara permintaannya itu dilakukan, dia keluar dari kamar. Melihat para tetangga sudah memenuhi ruangan depan pondoknya, dia menghampiri mereka dan menceritakan apa yang telah terjadi.
Ramai penduduk dusun itu saling menyatakan dugaan mereka siapa adanya wanita muda cantik yang ditolong Suma Tiang Bun itu. Seorang wanita tetangga keluar dari kamar memberitahu Suma Tiang Bun bahwa wanita muda itu sudah diganti pakaiannya dengan pakaian kering. Suma Tiang Bun memasuki kamar dan wanita itu bercerita kepada para tetangga yang berkumpul di ruangan depan.
“Wah, Suma Lojin (Orang Tua Suma) telah menolong seorang puteri! Ia pasti puteri bangsawan agung dari kota. Wajahnya cantik seperti dewi dan pakaiannya terbuat dari sutera yang indah dan mahal!”
Suma Tiang Bun kini memeriksa dengan teliti dan dia menghela napas panjang sambil menggeleng kepalanya. Baru sekarang dia melihat adanya sebuah kepala anak panah yang masih mengeram dalam pundak kiri nyonya muda itu. Luka di pundak itu kini menghitam, menandakan bahwa anak panah itu mengandung racun!
“Jahanam rendah manakah yang begitu keji dan berhati iblis memanah seorang wanita yang mengandung tua!” hatinya berbisik penasaran.
Dia lalu minta kepada para wanita tetangga untuk menyiapkan air panas dan kain bersih, juga merebus rempah-rempah yang memang selalu dia sediakan. Setelah semua itu dikerjakan dengan cepat dan sudah disiapkan, Suma Tiang Bun lalu menggunakan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar emas ketika dicabut dari sarungnya.
Kemudian dengan cekatan namun disambut dengan jerit tertahan karena ngeri melihatnya. Suma Tiang Bun mencokel kepala anak panah itu dari pundak Bi Lian dengan ujung pedangnya. Dia lalu menempelkan koyo (obat tempel) pada luka itu setelah luka dicucinya dengan air panas.
Akhirnya Bi Lian bergerak perlahan, pelupuk matanya dan bibirnya gemetar, kemudian kaki tangannya bergerak seperti orang berenang! Suma Tiang Bun memegang pergelangan kedua tangan wanita itu dan memberinya minum air rebusan obat berwarna kecoklatan.
“Koko... kau tunggulah aku...!” Bi Lian mengigau.
Dan Tiang Bun merasa betapa wanita itu makin lama terasa semakin panas. “Hemm, ia terserang demam,” bisik Suma Tiang Bun dan alisnya berkerut karena dia merasa cemas. “Keadaannya lemah dan buruk sekali...”
“Koko... Hong-moi... mari kita lawan anjing Mongol itu... kita lawan sampai mati, nama keluarga Pouw harus dipertahankan...!” Bi Lian mengigau.
Mendengar ini, berubah wajah Suma Tiang Bun dan dia memberi isyarat kepada para wanita tetangga itu untuk meninggalkan kamar. Semua orang tidak ada yang membantah dan sambil ramai membicarakan wanita cantik itu mereka keluar dari kamar. Mereka semua, seluruh penghuni dusun itu, menghormati Suma Tiang Bun yang mereka tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan budiman, selalu siap menolong mereka.
Dengan tekun, penuh kesabaran Suma Tiang Bun menggunakan seluruh kepandaiannya tentang pengobatan untuk merawat dan menjaga Bi Lian semalam suntuk. Dia duduk bersila dan mengerahkan sin-kang (tenaga sakti), disalurkan ke dalam tubuh Bi Lian untuk membantu wanita itu memperkuat daya tahan tubuh dan mengusir hawa beracun yang ditinggalkan anak panah. Luka itulah yang menimbulkan demam. Akhirnya dia berhasil.
Menjelang pagi demam itu turun dan Bi Lan dapat tidur nyenyak. Suma Tiang Bun turun dari pembaringan, membuka daun pintu dan keluar dari pondok memasuki kabut pagi yang dingin. Dia berjalan-jalan di depan rumahnya, kadang-kadang memandang ke arah Sungai Huai, menghela napas panjang berulang-ulang dan melamun.
Ketika dia mendengar igauan nyonya muda tadi, dia menduga-duga siapa adanya wanita yang ditolongnya itu. Jelas bahwa wanita itu adalah mantu dari keluarga Pouw, akan tetapi keluarga Pouw yang manakah?
Sebagai seorang pendekar pejuang, tentu saja dia mengenal riwayat keluarga Pouw yang tinggal di So-couw. Apakah wanita itu mantu keluarga Pouw yang tinggal di So-couw itu? Hatinya merasa bimbang. Kalau saja dia tidak melihat bahwa keadaan nyonya muda itu gawat sekali, ingin rasanya dia lari ke So-couw untuk menyelidiki hal ini.
Tiba-tiba dia mendengar jeritan lirih dari dalam pondoknya. Dengan cepat Suma Tiang Bun melompat dan memasuki kamarnya. Dia melihat nyonya muda itu menggeliat-geliat dan meraba-raba perutnya, mengaduh-aduh dan merintih lemah. Melihat Suma Tiang Bun memasuki kamar, Bi Lian berkata lirih memohon.
“Aduh... tolonglah... panggilkan seorang bidan... aku... aku tidak kuat lagi... akan melahirkan...”
Mendengar ini, Suma Tiang Bun untuk beberapa detik tertegun tak tahu harus berkata dan berbuat apa. Baru sekali ini seumur hidupnya dia merasa bingung dan ngeri. Dia pernah menghadapi keroyokan puluhan orang penjahat, pernah menghadapi perang dahsyat, melihat manusia bergelimpangan menjadi mayat, melihat banjir darah dalam pertempuran dan semua itu tidak membuat hatinya bingung dan ngeri. Akan tetapi sekarang, melihat nyonya muda itu merintih dan menggeliat hendak melahirkan manusia baru, dia merasa bingung dan takut!
Suma Tiang Bun yang selama hidupnya tidak pernah menikah dan tidak pernah menjadi ayah itu, segera melompat dan berlari keluar seperti dikejar setan, lalu mengedor pintu rumah Thio-ma (Ibu Thio), seorang janda yang tinggal di ujung dusun kecil itu. Seperti biasanya penduduk dusun itu, pagi-pagi sekali Thio-ma sudah bangun dan sedang menjarang air. Mendengar pintunya digedor, ia terkejut dan berlari keluar.
“Eh, Suma Lojin, ada apakah...?”
Akan tetapi pendekar itu tidak menjawab. Dengan cepat dia menangkap tangan Thio-ma dan di lain saat wanita itu menjerit ketakutan ketika merasa tubuhnya melayang seperti burung terbang!
Para tetangga berlari keluar dan mereka bengong melihat tubuh Thio-ma berlari cepat sekali, dipegang lengannya oleh Suma Tiang Bun yang berlari seperti terbang menuju ke rumahnya. Otomatis para tetangga ikut berlari mengejar, hendak melihat apa yang terjadi.
Setelah tiba di depan rumahnya, Suma Tiang Bun berhenti dan mendorong Thio-ma memasuki rumahnya. “Cepat... ia mau melahirkan, cepat tolong...” kata pendekar itu.
Thio-ma mengerti dan ia pun cepat memasuki kamar di mana masih terdengar suara Bi Lian merintih dengan lemah.
Ketika para tetangga datang dan mendengar bahwa nyonya muda dalam rumah Suma Tiang Bun itu hendak melahirkan, beberapa orang wanita segera memasuki rumah dan menyiapkan segala keperluan orang melahirkan dan membantu Thio-ma.
Thio-ma adalah seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih. Ia seorang janda yang sudah banyak pengalamannya dalam hal menolong kelahiran. Ia sendiri mempunyai tiga belas orang anak yang sudah berumah tangga dan meninggalkan dusun itu. Akan tetapi Thio-ma tetap tinggal di situ, hidup seorang diri dengan tenang. Para penduduk pedusunan di sekitar situ selalu mengandalkan bantuan Thio-ma kalau ada ibu yang hendak melahirkan.
Akan tetapi sekali ini, Thio-ma sampai mandi keringat ketika menolong nyonya muda yang hendak melahirkan dalam kamar Suma Tiang Bun itu. Ia mengalami kesulitan karena selain tubuh wanita muda itu amat lemah, juga kandungan itu baru delapan bulan dan bayi dalam kandungan itu tidak betul letaknya!
Suma Tiang Bun duduk di luar pintu kamar itu, diam tak bergerak seperti patung dan mukanya pucat sekali. Selama hidupnya dia tidak menikah dan belum pernah dia mendekati orang melahirkan. Bagi yang belum mengenal pendekar ini dengan baik, kegelisahan itu tidak sangat mengherankan.
Akan tetapi bagi mereka yang tahu siapa adanya Suma Tiang Bun, sastrawan pendekar yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi itu, yang tidak gentar menghadapi ancaman maut sekalipun, keadaannya itu tentu saja sangat aneh. Orang akan merasa heran melihat pendekar itu kini duduk dengan muka pucat penuh kegelisahan seperti seorang calon ayah yang untuk pertama kalinya menunggu isterinya melahirkan anak pertama!
Apalagi pendekar ini memiliki pendengaran yang amat tajam, jauh lebih peka daripada pendengaran manusia biasa. Semua suara dalam kamar itu terdengar jelas olehnya. Keluhan dan rintihan nyonya muda itu memasuki telinganya, langsung menusuk-nusuk jantungnya sehingga kadang-kadang dia mempergunakan jari tangannya untuk menutupi telinga.
Setelah melewati waktu yang seolah tidak ada akhirnya itu, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Suma Tiang Bun melompat saking kagetnya. “Bagaimana?” tanyanya cepat.
Wanita janda itu menggeleng kepalanya dan alisnya berkerut.
“Thio-ma, bagaimana?” Suma Tiang Bun mengulang.
“Payah sekali, Suma Lojin. Kandungannya terbalik dan tubuhnya lemah sekali. Kalau dipaksa keluar, ibunya tidak akan kuat bertahan, sebaliknya kalau tidak dipaksa keluar, anaknya yang tidak akan tertolong. Bagaimana baiknya?”
Thio-ma menghadapi keadaan yang amat sulit. Kalau anaknya tertolong, ibunya akan tewas, sebaliknya kalau ibunya ditolong, anaknya yang akan mati!
Suma Tiang Bun tidak perlu berpikir panjang, segera dia menjawab. “Tolong anaknya! Kewajibanmu adalah menolong kelahiran. Engkau bukan ahli pengobatan dan keadaan ibunya memang sudah parah. Selamatkan anaknya!”
Kembali Thio-ma didorong masuk kamar oleh Suma Tiang Bun yang kemudian duduk sambil bersedakap. Dia tampak letih dan prihatin sekali. Para tetangga berkumpul dalam rumah Suma Tiang Bun. Mereka hanya saling pandang, tidak berani bicara.
Keadaan amat menegangkan dan semua orang mencurahkan perhatian mendengarkan setiap suara yang keluar dari dalam kamar. Semenit terasa sehari, sejam terasa sebulan bagi mereka yang berada di luar kamar.
Suma Tiang Bun sudah merasa tidak enak diam. Dia berdiri lalu berjalan hilir mudik seperti seekor harimau dalam kerangkeng. Setiap gerakannya diikuti oleh pandang mata para tetangga yang berkumpul di situ. Tiba-tiba terdengar jerit tangis nyaring sekali.
Tangis seorang bayi, suara pertama yang murni dari seorang manusia begitu dia turun ke dunia ini. Mengapa menangis dan tidak tertawa? Apakah itu pertanda bahwa hidup sebagai manusia di dunia akan lebih banyak diisi tangis daripada tawa? Hanya Tuhan yang mengetahui!
Suma Tiang Bun melompat ke pintu, akan tetapi undur kembali dan menjatuhkan diri di atas bangku, lemas seluruh tubuhnya, akan tetapi mulutnya tersenyum, wajahnya berseri.
Tangis biasanya menyeret orang lain untuk merasa terharu dan ikut menangis. Akan tetapi tangis seorang bayi mendatangkan perasaan gembira bagi mereka yang mendengarnya.
Biarpun tidak suka pangkat, dia adalah seorang patriot sejati yang setiap saat siap menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi negara dan bangsa. Ketika terjadi perang melawan penyerbuan pasukan Mongol, dia membantu Kerajaan Sung melawan musuh. Akan tetapi balatentara Mongol amat kuat, memiliki banyak panglima yang sakti dan pasukannya besar sekali dan lebih celaka lagi, banyak orang pandai yang menjadi pengkhianat bangsa mempergunakan kesempatan untuk menjual negara, membantu bangsa Mongol demi memperoleh kedudukan dan harta benda.
Suma Tiang Bun ikut dengan rombongan pahlawan yang menyelamatkan Pangeran Sung lari ke selatan setelah Kaisar Sung ditawan musuh. Setelah merasa kecewa dan penasaran membuatnya berduka sehingga rambutnya berubah putih, Suma Tiang Bun lalu pergi mengasingkan diri. Sebelum itu, dia membunuh banyak pengkhianat bangsa yang menghambakan diri kepada bangsa Mongol. Bahkan di antara mereka, ada dua orang sutenya (adik seperguruannya) yang dia bunuh karena mereka juga merendahkan diri menjadi antek bangsa Mongol.
Demikianlah, laki-laki berambut putih di atas sampan itu bukan orang sembarangan. Suma Tiang Bun adalah ahli waris terakhir dari ilmu silat keluarga Suma yang semenjak jaman Sam Kok amat terkenal. Setelah kini mengasingkan diri, kegiatannya hanyalah membaca kitab dan hidup sebagai seorang pendekar yang berkelana, setiap saat siap menjulurkan tangan menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas menentang yang kuat jahat.
Sejak siang tadi dia berperahu sambil membaca kitab dengan asyiknya. Tiba-tiba Suma Tiang Bun terkejut dan menghentikan bacaannya. Dia merasa betapa perahunya menyentuh sesuatu, tertumbuk sesuatu. Dia cepat menjulurkan badannya keluar perahu, memandang ke air.
“Siancai (damai)…!” serunya ketika dia melihat bahwa yang menumbuk perahunya itu ternyata adalah tubuh seorang wanita yang agaknya dihanyutkan arus air sungai!
Dengan gerakan yang amat cepat, terlalu cepat dan tak mungkin rasanya dilakukan seorang kutu-buku yang tampak lemah itu, kitab yang tadi dibacanya sudah lenyap ke dalam saku bajunya dan dayung diletakkan dalam perahu. Kemudian sekali kedua tangannya digerakkan ke samping perahu, tubuh wanita itu telah diangkatnya ke dalam perahu.
“Thian Yang Maha Agung...!” Dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa orang itu adalah seorang wanita muda yang sedang mengandung! Cepat dirabanya pergelangan tangan dan leher wanita itu.
“Bagus, masih belum terlambat!” Wajah Suma Tiang Bun berseri dan dengan hati-hati dia menjungkirkan tubuh wanita itu, menotok beberapa jalan darah dan menekan lambung.
Wanita itu muntahkan air. Setelah itu, tubuh wanita itu dibaringkan telentang dan dia menotok dan mengurut kedua pundak, uluhati, telapak tangan dan tengkuk. Kemudian dia meletakkan tangan kanannya di atas dada wanita itu dan mengerahkan tenaga sakti untuk membantu wanita itu mendapatkan kembali kekuatan dan kesadarannya. Perlahan-lahan pernapasan wanita itu mulai membaik, muka yang tadinya pucat seperti mayat mulai merah kembali
“Tertolong...! Thian Yang Maha Kasih...!”
Suma Tiang Bun Inenarik napas panjang, hatinya lega. Kini dia mulai memperhatikan wajah yang sebagian tertutup rambut yang hitam, halus, dan panjang itu. Seorang wanita muda yang cantik sekali, dan melihat pakaian yang basah kuyup itu, Suma Tiang Bun dapat menduga bahwa ia tentu anggauta sebuah keluarga kaya atau bangsawan.
“Mengapa ia hanyut di sungai?” Suma Tiang Bun bertanya dalam hatinya.
Setelah wanita itu terhindar dari maut, Suma Tiang Bun segera mendayung perahunya dengan cepat. Dia tahu bahwa wanita itu perlu mendapatkan perawatan secepatnya. Setelah tiba di sebuah dusun di tepi sungai, dia mendayung perahu ke tepian. Dia lalu memondong tubuh wanita itu dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang ujung perahu, kemudian dia membuat gerakan melompat. Bukan main hebatnya gerakan Suma Tiang Bun!
Dengan beban tubuh wanita dan perahu itu, dia dapat meloncat dengan ringan. Setelah meletakkan perahunya di darat, dia lari memasuki dusun sambil memondong tubuh wanita itu. Mudah diduga siapa adanya wanita muda itu. Ia adalah Tan Bi Lian atau Nyonya Pouw Keng In yang pundaknya terluka oleh anak panah kemudian pingsan dan tubuhnya hanyut terbawa arus air.
Menurut penalaran manusia, ia tentu mati. Akan tetapi penalaran manusia tidak mungkin dapat menembus mujijat Tuhan. Kalau belum menghendaki seseorang mati, betapapun hebatnya maut mengancam, ia akan selamat juga. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang mati, tidak ada kekuasaan apa pun yang dapat mengubahnya.
Ternyata Bi Lian tidak lama pingsan. Ia siuman dengan cepat dan nyonya muda yang pandai berenang itu segera menggerakkan kaki tangannya agar jangan tenggelam. Ia membiarkan dirinya dihanyutkan air dan melihat anak panah yang masih menancap di pundak kirinya dan terasa nyeri sekali apabila anak panah itu digerakkan air, ia lalu nekat mencabutnya dengan tangan kanan. Ia menjerit gagang anak panah patah dan kepala anak panah masih tertinggal dalam daging pundaknya!
Beberapa kali dicobanya untuk berenang ke pinggir, namun tidak pernah berhasil, bahkan membuat ia semakin lemah dalam pergulatannya dengan arus air yang kuat. Akhirnya ia menyerahkan nasibnya kepada Yang Maha Kuasa dan menyimpan tenaga, membiarkan dirinya hanyut dan ia hanya menjaga agar jangan sampai tenggelam. Ia kuat bertahan sampai senja.
Kalau saja rasa dingin tidak menggerogoti tulang-tulangnya dan membuat kulitnya kaku dan urat-uratnya seakan membeku, kiranya ia dapat bertahan lebih lama lagi. Ia pergunakan tenaga terakhir untuk berenang ke tepi, karena maklum bahwa ia sudah tidak kuat bertahan lebih lama lagi. Namun tenaganya habis dan ia pingsan untuk kedua kalinya.
Kita terbiasa menganggap hal yang terjadi secara aneh sebagai hal yang kebetulan saja. Padahal, yang kebetulan itu adalah yang sesuai dengan rencana Tuhan!
Kebetulan sekali tidak terlalu lama setelah Bi Lian pingsan, tubuhnya bertumbuk dengan perahu yang ditunggangi Suma Tiang Bun sehingga ia tertolong dan kini dibawa lari ke dalam dusun. Dusun itu sebuah dusun terpencil dan untuk sementara waktu Suma Tiang Bun tinggal di dusun itu, dalam sebuah pondok sederhana.
Begitu memasuki dusun, dia berseru memanggil beberapa orang wanita yang menjadi tetangganya karena dia merasa kurang enak kalau harus merawat seorang wanita muda seorang diri dalam pondoknya. Apalagi wanita yang sedang dipanggulnya ini sedang mengandung.
Melihat Suma Tiang Bun datang memanggul tubuh seorang wanita yang basah kuyup, tiga orang wanita tetangganya datang berlari-lari. Para tetangga laki-laki hanya berdiri di depan pintu rumah dan ramai membicarakan kejadian itu. Dusun kecil itu hanya dihuni belasan keluarga petani merangkap nelayan.
Suma Tiang Bun merebahkan tubuh Bi Lian di atas tempat tidur kayu sederhana. Seorang wanita tetangga menyalakan lampu. Terdengar mereka bertiga berseru heran dan kagum melihat kecantikan wajah dan keindahan pakaian Bi Lian.
Suma Tiang Bun minta kepada para wanita tetangga itu untuk memberi pinjam seperangkat pakaian kering dan mengganti pakaian Bi Lian yang basah kuyup. Sementara permintaannya itu dilakukan, dia keluar dari kamar. Melihat para tetangga sudah memenuhi ruangan depan pondoknya, dia menghampiri mereka dan menceritakan apa yang telah terjadi.
Ramai penduduk dusun itu saling menyatakan dugaan mereka siapa adanya wanita muda cantik yang ditolong Suma Tiang Bun itu. Seorang wanita tetangga keluar dari kamar memberitahu Suma Tiang Bun bahwa wanita muda itu sudah diganti pakaiannya dengan pakaian kering. Suma Tiang Bun memasuki kamar dan wanita itu bercerita kepada para tetangga yang berkumpul di ruangan depan.
“Wah, Suma Lojin (Orang Tua Suma) telah menolong seorang puteri! Ia pasti puteri bangsawan agung dari kota. Wajahnya cantik seperti dewi dan pakaiannya terbuat dari sutera yang indah dan mahal!”
Suma Tiang Bun kini memeriksa dengan teliti dan dia menghela napas panjang sambil menggeleng kepalanya. Baru sekarang dia melihat adanya sebuah kepala anak panah yang masih mengeram dalam pundak kiri nyonya muda itu. Luka di pundak itu kini menghitam, menandakan bahwa anak panah itu mengandung racun!
“Jahanam rendah manakah yang begitu keji dan berhati iblis memanah seorang wanita yang mengandung tua!” hatinya berbisik penasaran.
Dia lalu minta kepada para wanita tetangga untuk menyiapkan air panas dan kain bersih, juga merebus rempah-rempah yang memang selalu dia sediakan. Setelah semua itu dikerjakan dengan cepat dan sudah disiapkan, Suma Tiang Bun lalu menggunakan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar emas ketika dicabut dari sarungnya.
Kemudian dengan cekatan namun disambut dengan jerit tertahan karena ngeri melihatnya. Suma Tiang Bun mencokel kepala anak panah itu dari pundak Bi Lian dengan ujung pedangnya. Dia lalu menempelkan koyo (obat tempel) pada luka itu setelah luka dicucinya dengan air panas.
Akhirnya Bi Lian bergerak perlahan, pelupuk matanya dan bibirnya gemetar, kemudian kaki tangannya bergerak seperti orang berenang! Suma Tiang Bun memegang pergelangan kedua tangan wanita itu dan memberinya minum air rebusan obat berwarna kecoklatan.
“Koko... kau tunggulah aku...!” Bi Lian mengigau.
Dan Tiang Bun merasa betapa wanita itu makin lama terasa semakin panas. “Hemm, ia terserang demam,” bisik Suma Tiang Bun dan alisnya berkerut karena dia merasa cemas. “Keadaannya lemah dan buruk sekali...”
“Koko... Hong-moi... mari kita lawan anjing Mongol itu... kita lawan sampai mati, nama keluarga Pouw harus dipertahankan...!” Bi Lian mengigau.
Mendengar ini, berubah wajah Suma Tiang Bun dan dia memberi isyarat kepada para wanita tetangga itu untuk meninggalkan kamar. Semua orang tidak ada yang membantah dan sambil ramai membicarakan wanita cantik itu mereka keluar dari kamar. Mereka semua, seluruh penghuni dusun itu, menghormati Suma Tiang Bun yang mereka tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan budiman, selalu siap menolong mereka.
Dengan tekun, penuh kesabaran Suma Tiang Bun menggunakan seluruh kepandaiannya tentang pengobatan untuk merawat dan menjaga Bi Lian semalam suntuk. Dia duduk bersila dan mengerahkan sin-kang (tenaga sakti), disalurkan ke dalam tubuh Bi Lian untuk membantu wanita itu memperkuat daya tahan tubuh dan mengusir hawa beracun yang ditinggalkan anak panah. Luka itulah yang menimbulkan demam. Akhirnya dia berhasil.
Menjelang pagi demam itu turun dan Bi Lan dapat tidur nyenyak. Suma Tiang Bun turun dari pembaringan, membuka daun pintu dan keluar dari pondok memasuki kabut pagi yang dingin. Dia berjalan-jalan di depan rumahnya, kadang-kadang memandang ke arah Sungai Huai, menghela napas panjang berulang-ulang dan melamun.
Ketika dia mendengar igauan nyonya muda tadi, dia menduga-duga siapa adanya wanita yang ditolongnya itu. Jelas bahwa wanita itu adalah mantu dari keluarga Pouw, akan tetapi keluarga Pouw yang manakah?
Sebagai seorang pendekar pejuang, tentu saja dia mengenal riwayat keluarga Pouw yang tinggal di So-couw. Apakah wanita itu mantu keluarga Pouw yang tinggal di So-couw itu? Hatinya merasa bimbang. Kalau saja dia tidak melihat bahwa keadaan nyonya muda itu gawat sekali, ingin rasanya dia lari ke So-couw untuk menyelidiki hal ini.
Tiba-tiba dia mendengar jeritan lirih dari dalam pondoknya. Dengan cepat Suma Tiang Bun melompat dan memasuki kamarnya. Dia melihat nyonya muda itu menggeliat-geliat dan meraba-raba perutnya, mengaduh-aduh dan merintih lemah. Melihat Suma Tiang Bun memasuki kamar, Bi Lian berkata lirih memohon.
“Aduh... tolonglah... panggilkan seorang bidan... aku... aku tidak kuat lagi... akan melahirkan...”
Mendengar ini, Suma Tiang Bun untuk beberapa detik tertegun tak tahu harus berkata dan berbuat apa. Baru sekali ini seumur hidupnya dia merasa bingung dan ngeri. Dia pernah menghadapi keroyokan puluhan orang penjahat, pernah menghadapi perang dahsyat, melihat manusia bergelimpangan menjadi mayat, melihat banjir darah dalam pertempuran dan semua itu tidak membuat hatinya bingung dan ngeri. Akan tetapi sekarang, melihat nyonya muda itu merintih dan menggeliat hendak melahirkan manusia baru, dia merasa bingung dan takut!
Suma Tiang Bun yang selama hidupnya tidak pernah menikah dan tidak pernah menjadi ayah itu, segera melompat dan berlari keluar seperti dikejar setan, lalu mengedor pintu rumah Thio-ma (Ibu Thio), seorang janda yang tinggal di ujung dusun kecil itu. Seperti biasanya penduduk dusun itu, pagi-pagi sekali Thio-ma sudah bangun dan sedang menjarang air. Mendengar pintunya digedor, ia terkejut dan berlari keluar.
“Eh, Suma Lojin, ada apakah...?”
Akan tetapi pendekar itu tidak menjawab. Dengan cepat dia menangkap tangan Thio-ma dan di lain saat wanita itu menjerit ketakutan ketika merasa tubuhnya melayang seperti burung terbang!
Para tetangga berlari keluar dan mereka bengong melihat tubuh Thio-ma berlari cepat sekali, dipegang lengannya oleh Suma Tiang Bun yang berlari seperti terbang menuju ke rumahnya. Otomatis para tetangga ikut berlari mengejar, hendak melihat apa yang terjadi.
Setelah tiba di depan rumahnya, Suma Tiang Bun berhenti dan mendorong Thio-ma memasuki rumahnya. “Cepat... ia mau melahirkan, cepat tolong...” kata pendekar itu.
Thio-ma mengerti dan ia pun cepat memasuki kamar di mana masih terdengar suara Bi Lian merintih dengan lemah.
Ketika para tetangga datang dan mendengar bahwa nyonya muda dalam rumah Suma Tiang Bun itu hendak melahirkan, beberapa orang wanita segera memasuki rumah dan menyiapkan segala keperluan orang melahirkan dan membantu Thio-ma.
Thio-ma adalah seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih. Ia seorang janda yang sudah banyak pengalamannya dalam hal menolong kelahiran. Ia sendiri mempunyai tiga belas orang anak yang sudah berumah tangga dan meninggalkan dusun itu. Akan tetapi Thio-ma tetap tinggal di situ, hidup seorang diri dengan tenang. Para penduduk pedusunan di sekitar situ selalu mengandalkan bantuan Thio-ma kalau ada ibu yang hendak melahirkan.
Akan tetapi sekali ini, Thio-ma sampai mandi keringat ketika menolong nyonya muda yang hendak melahirkan dalam kamar Suma Tiang Bun itu. Ia mengalami kesulitan karena selain tubuh wanita muda itu amat lemah, juga kandungan itu baru delapan bulan dan bayi dalam kandungan itu tidak betul letaknya!
Suma Tiang Bun duduk di luar pintu kamar itu, diam tak bergerak seperti patung dan mukanya pucat sekali. Selama hidupnya dia tidak menikah dan belum pernah dia mendekati orang melahirkan. Bagi yang belum mengenal pendekar ini dengan baik, kegelisahan itu tidak sangat mengherankan.
Akan tetapi bagi mereka yang tahu siapa adanya Suma Tiang Bun, sastrawan pendekar yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi itu, yang tidak gentar menghadapi ancaman maut sekalipun, keadaannya itu tentu saja sangat aneh. Orang akan merasa heran melihat pendekar itu kini duduk dengan muka pucat penuh kegelisahan seperti seorang calon ayah yang untuk pertama kalinya menunggu isterinya melahirkan anak pertama!
Apalagi pendekar ini memiliki pendengaran yang amat tajam, jauh lebih peka daripada pendengaran manusia biasa. Semua suara dalam kamar itu terdengar jelas olehnya. Keluhan dan rintihan nyonya muda itu memasuki telinganya, langsung menusuk-nusuk jantungnya sehingga kadang-kadang dia mempergunakan jari tangannya untuk menutupi telinga.
Setelah melewati waktu yang seolah tidak ada akhirnya itu, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Suma Tiang Bun melompat saking kagetnya. “Bagaimana?” tanyanya cepat.
Wanita janda itu menggeleng kepalanya dan alisnya berkerut.
“Thio-ma, bagaimana?” Suma Tiang Bun mengulang.
“Payah sekali, Suma Lojin. Kandungannya terbalik dan tubuhnya lemah sekali. Kalau dipaksa keluar, ibunya tidak akan kuat bertahan, sebaliknya kalau tidak dipaksa keluar, anaknya yang tidak akan tertolong. Bagaimana baiknya?”
Thio-ma menghadapi keadaan yang amat sulit. Kalau anaknya tertolong, ibunya akan tewas, sebaliknya kalau ibunya ditolong, anaknya yang akan mati!
Suma Tiang Bun tidak perlu berpikir panjang, segera dia menjawab. “Tolong anaknya! Kewajibanmu adalah menolong kelahiran. Engkau bukan ahli pengobatan dan keadaan ibunya memang sudah parah. Selamatkan anaknya!”
Kembali Thio-ma didorong masuk kamar oleh Suma Tiang Bun yang kemudian duduk sambil bersedakap. Dia tampak letih dan prihatin sekali. Para tetangga berkumpul dalam rumah Suma Tiang Bun. Mereka hanya saling pandang, tidak berani bicara.
Keadaan amat menegangkan dan semua orang mencurahkan perhatian mendengarkan setiap suara yang keluar dari dalam kamar. Semenit terasa sehari, sejam terasa sebulan bagi mereka yang berada di luar kamar.
Suma Tiang Bun sudah merasa tidak enak diam. Dia berdiri lalu berjalan hilir mudik seperti seekor harimau dalam kerangkeng. Setiap gerakannya diikuti oleh pandang mata para tetangga yang berkumpul di situ. Tiba-tiba terdengar jerit tangis nyaring sekali.
Tangis seorang bayi, suara pertama yang murni dari seorang manusia begitu dia turun ke dunia ini. Mengapa menangis dan tidak tertawa? Apakah itu pertanda bahwa hidup sebagai manusia di dunia akan lebih banyak diisi tangis daripada tawa? Hanya Tuhan yang mengetahui!
Suma Tiang Bun melompat ke pintu, akan tetapi undur kembali dan menjatuhkan diri di atas bangku, lemas seluruh tubuhnya, akan tetapi mulutnya tersenyum, wajahnya berseri.
Tangis biasanya menyeret orang lain untuk merasa terharu dan ikut menangis. Akan tetapi tangis seorang bayi mendatangkan perasaan gembira bagi mereka yang mendengarnya.
Selanjutnya,