SATU
GURUN Pasir Thar di barat laut India. Matahari bersinar terik membakar bumi. Tiupan angin bukan mendatangkan kesejukan malah menebar hawa panas. Lautan pasir seolah berubah menjadi bubuk bara api. Namun aneh dan sangat luar biasa dalam keadaan seperti itu seorang tua berselempang kain putih berlari di gurun pasir tanpa alas kaki sama sekali.
Rambut dan janggut putih panjang melambai-lambai ke belakang. Di tangan kanan dia memegang sebuah tongkat besar berbalut emas yang ujung sebelah atas berbentuk bulat dihias batu permata berbagai warna.
Saking cepatnya dia berlari tubuhnya hanya kellhatan berupa bayangan putih dan tongkat di tangan kanan membentuk cahaya kuning. Di satu tempat cahaya putih dan kuning sirna, sosok si orang tua laksana lenyap ditelan bumi. Tak selang berapa lama dia sudah berada di dalam satu lorong panjang di perut gurun.
Orang tua itu baru berhenti berlari setelah dia sampal di hadapan satut embok batu berwarna hitam pekat yang menutupi lorong di bawah gurun. Setelah mengusap wajah beberapa kali, orang tua ini hunjamkan tongkat besi berpalut emas ke tanah. Sinar kuning berkiblat menyapu seantero ruangan. Si orang tua tundukkan kepala lalu keluarkan ucapan.
“Resi Ketua Khandwa Abitar, saya Resi Kepala Mirpur Patel datang menghadap membawa kabar.”
Suara orang tua yang menyebut diri sebagai Resi Kepala Mirpur Patel bergema di dalam lorong. Begitu suara gema lenyap tiba-tiba di tembok ada satu kilatan cahaya biru. Di lain kejap di depan tembok batu hitam itu telah berdiri seorang lelaki tinggi besar, berpakaian selempang kain biru.
Kulitnya agak kehitaman, rambut, alis, janggut serta kumis putih seperti kapas. Di tangan kanan dia memegang sebuah tongkat terbuat dari batu biru, berkeluk pada ujung sebelah atas. Batu tongkat yang merupakan batu mustika ini konon bernilai Iebih dari seratus kali nilai emas murni.
“Resi Kepala, aku sudah ada di hadapanmu. Sampaikan kabar yang kau bawa. Baik atau buruk?”
“Maafkan saya Resi Ketua. Saya datang membawa kabar buruk.” Jawab Resi Kepala Mirpur Patel.
“Aku sudah melihat dari raut wajahmu,” kata Resi Ketua pula dengan mata memandang tak berkesip.
“Saya ingin memberi tahu, Patung Kamasutra yang disimpan di tempat rahasia dalam Goa Binaker lenyap.
Hal ini saya ketahui pagi tadi” Habis berkata begitu Mirpur Patel jatuhkan diri. Dengan menjatuhkan diri, berlutut di depan Resi Ketua, Mirpur Patel memberi tanda bahwa dia mengakui dosa, sangat menyesal dan siap dihukum.
“Resi Kepala, berdirilah.”
Resi Mirpur Patel perlahan-lahan bangkit berdiri. Kepala masih tertunduk seolah tidak berani menatap wajah sang Ketua. Walau ucapan Resi Kepala lebih dahsyat dari gelegar petir di siang bolong namun Resi Ketua masih mampu berlaku tenang. Suaranya bergetar ketika berkata.
“Aku biasa mendapat kabar buruk. Tapi aku sama sekali sangat tidak menyangka bahwa kabar yang kau bawa adalah lenyapnya Patung Kamasutra yang berusia lebih dan lima ribu tahun dan telah disimpan di Goa Binaker selama dua ribu delapan ratus tahun. Ada tujuh pintu rahasia menuju ke goa penyimpanan patung kuno itu. Patung diletakkan di dalam satu keranda kaca. Jangankan sampai keranda Itu disentuh, tertiup angin atau dihinggapi lalat saja alat rahasia akan bekerja. Dua ratus senjata rahasia akan bergerak, lima jenis racun akan menyembur ke dalam goa.”
"Saya juga tidak mengerti namun saya tidak mau mencari alasan. Saya mengakui, semua terjadi atas kelalaian saya.” Ucap Resi Mirpur Patel pula.
Resi Ketua Khandawa Abitar usap janggut, mata terpejam dan benak berpikir. Lalu dia berucap. “Resi Kepala, antarkan aku ke Goa Binaker. Kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri rasanya aku masih kurang percaya”
Mendengar ucapan Rest Ketua, Resi Kepala segera pindahkan tongkat yang dipegangnya ke tangan kiri. Lalu tangan kanan ditempelkan ke lengan Resi Ketua yang memegang tongkat batu. Satu cahaya biru berkiblat menyelubungi seluruh ruangan. Saat itu juga ke dua Resi lenyap dari tempat Itu.
Di lain kejap mereka sudah berada di depan mulut Goa Binaker, sebuah goa rahasia yang terletak di sebelah timur Gurun Pasir Thar. Di dalam goa dua belas orang Resi berselempang kain putih menyambut kedatangan Resi Kepala dan Resi Ketua. Mereka sama tundukkan kepala. Di wajah masing-masing terlihat perasaan takut.
Setelah melewati enam pintu rahasia di pintu ke tujuh Resi Ketua Khandawa Abitar menekan sebuah tonjolan batu. Konon hanya dia dan Resi Kepala yang memliliki ilmu kesaktian untuk mampu menekan tonjolan batu tersebut. Tekanan pada batu yang menonjol bukan saja membuat pintu rahasia ke tujuh terbuka tapi sekaligus membuat dua ratus alat rahasia yang ada di dalam ruangan di balik pintu tidak bekerja lagi, lima jenis racun tak dapat menyembur.
Ketika masuk ke dalam ruangan, Resi Ketua melihat banyak pasir bertebaran di lantai batu. Di tengah ruangan batu yang terletak di balik pintu rahasia ke tujuh, terdapat sebuah gundukan batu yang bagian atas rata licin dan berkliat. di atas batu ini terletak satu keranda kaca yang bagian bawahnya di buat agak tinggi demikian rupa dan ditutup kain beludru biru pekat.
Setelah memperhatikan keranda kaca itu beberapa lama Resi Ketua Khandawa Abitar berkata, “Luar biasa! Sungguh luar biasa Keranda kaca tidak pecah tidak rusak. Tapi Patung Kamasutra yang ada di dalamnya bisa lenyap tak berbekas! Siapa pencurinya, ilmu kesaktian apa yang dipakainya untuk masuk ke sini dan mencuri Patung itu. Resi Ketua berpaling pada Resi Kepala, disampingnya.
“Resi Kepala, satu hal perlu aku beri tahu padamu. Ketika aku menekan tonjolan batu di pintu ke tujuh, aku sudah tahu ada kerusakan pada alat rahasia dan alat penyembur racun.”
Saya juga sudah memperkirakan hal Itu pagi tadi sewaktu memerika,” jawab Resi Mirpur Patel. “Berarti si pencuri masuk melewati tujuh pintu dan…” Resi Kepala hentikan ucapan, memandang pada Resi Khandwa Abitar. “Hanya kita berdua yang mampu menekan tonjolan batu ltu…” Mendadak wajah Resi Kepala berubah pucat.
Resi Ketua gelengkan kepala. “Resi Kepala, tak ada yang akan menuduhmu sebagai pencuri Patung Kamasutra. Walaupun kau mampu masuk ke ruangan ini, kau tak punya kepandaian untuk mengambil Patung Kamasutra, tanpa memecah kaca keranda. Kau lihat atap ruangan sebelah sana?” Resi Kepala memandang ke arah yang ditunjuk Resi Ketua.
“Kalau tidak diperhatikan dengan seksama, tidak akan kelihatan adanya kelainan di atap batu Itu.” Setelah berkata begitu Resi Ketua dongakkan kepala lalu meniup ke arah atap batu.
“Wusss! Braaakkk!”
Tiupan Resi Ketua membuat saat itu juga atap batu berlubang besar. Angin menderu masuk dari luar. Pecahan kepingan batu atap berjatuhan ke lantai bersama tebaran pasir gurun. Dari tempatnya berdiri Resi Kepala dapat melihat jelas langit di luar sana. Hawa panas Gurun Thar ikut menyeruak masuk.
“Dengan kepandaiannya si pencuri lebih dulu merusak semua peralatan rahasia. Itu dilakukannya setelah dia menjebol atap ruangan dari luar. Sebelum kabur dia menutup lobang di atas. Kukira dia berusaha menipu kita dengan membawa sebuah keranda kaca kosong yang sama dengan keranda kaca tempat Patung Kamasutra diletakkan. Keranda kaca berisi patung diambil, keranda kosong diletakkan sebagai pengganti. Sepintas lalu terlihat tidak ada perbedaan Tapi coba kau perhatikan. Keranda kaca ini bukan keranda kaca yang asli!”
Resi Kepala perhatikan keranda kaca yang terletak di atas batu rata. “Resi Ketua, saya mengaku lalai. Keranda kaca ini memang bukan keranda kaca yang asli”
“Resi Kepala, kau tahu malapetaka apa yang akan terjadi jika patung itu berada di dunia luar sana? Aku tak bisa membayangkan.”
“Saya berharap si pencuri tidak mengetahui kekuatan jahat yang tersembunyi di dalam patung,” kata Resi Mirpur Patel lirih. Lalu dia menyambung ucapannya.”Resi Ketua, saya mengaku salah. Saya siap menjalani hukuman.”
Resi Ketua Khandawa Abitar merenung sejurus lalu berkata. “Aku tidak berhak menghukummu. Manusia tidak layak menjatuhkan hukuman atas manusia lain karena belum tentu si penghukum lebih bersih dan lebih suci dari yang terhukum. Biarlah para Dewa yang akan menentukan apa yang bakal terjadi”
Resi Mirpur Patel terdiam. Wajahnya tampak sangat murung menyesali diri. Sejurus kemudian baru dia berkata. “Resi Ketua, kalau begitu ucapan Resi Ketua, berikan kesempatan pada saya untuk menebus dosa.”
“Apa maksudmu Resi Mirpur Patel?"
Sebagat jawaban Resi Kepala berkelebat melompat ke arah tembok ruangan sebelah kanan. Resi Ketua berusaha mencegah tapi terlambat. Kepala Resi Mirpur Patel beradu dengan tembok batu, mengeluarkan suara menggidikkan. Kepala itu rengkah. Sosok sang Resi terkapar jatuh. Nyawanya putus sebelum tubuhnya menyentuh lantai ruangan.
Resi Khandawa Abitar mengusap. wajah, menghela nafas dalam berulang kali, lalu berkata. “Resi Mirpur Patel, itu bukan kehendak para Dewa, tapi kemauan dirimu sendiri”
Resi Ketua hentakkan ujung tongkatnya ke lantal batu. Selarik cahaya biru menebar menutupi seluruh ruangan. Sewaktu cahaya itu sirna. sosok Resi Ketua tak kelihatan lagi di tempat itu.
Angin gurun yang menyapu dan mengikis lobang batu di atap menimbulkan suara aneh berkepanjangan. Pasir gurun semakin banyak yang masuk ke dalam ruangan. Pada saat itu terjadi satu keanehan. Dari sosok mayat Resi Kepala Mirpur Patel yang terkapar di lantai batu tiba-tiba keluar satu sosok samar laki-laki berpakaian hitam. Di tangan kanan dia memegang sebuah patung kecil terbuat dan batu berwarna abu-abu kehitaman. Patung itu memancarkan cahaya merah redup.
“Wuttt!!” Sosok samar berkelebat ke arah lobang di atas atap dan lenyap dari pemandangan. Angin gurun bertiup semakin kencang. Pasir gurun yang masuk ke dalam ruangan bertambah banyak. Lima hari kemudian seluruh ruangan rahasia di Goa Binaker itu telah tertimbun tumpukan pasir gurun.
Desa Manding di utara Sumenep. Sang surya belum lama muncul di ufuk timur, masih belum pupus titik-titik embun di permukaan dedaunan. Sindang, seorang anak lelaki penggembala itik, ketika menyusuri tepian Kali Pasian mendadak melihat sepasang kaki putih mulus tersembul dan balik serumpunan semak belukar.
Diselubungi perasaan heran dan juga takut anak ini melangkah mendekati. Dia jadi terkejut ketika mendapatkan sosok tubuh seorang gadis tergeletak di balik semak-semak tanpa secuil kainpun menutupi auratnya. Sindang memperhatikan wajah cantik pucat, bibir kebiruan. Di kening menempel sekuntum bunga kecil sebesar ujung kuku berwarna putih kekuningan.
Bunga tanjung. Sekujur tubuh anak penggembala ini bergetar. Kakinya goyah bersurut mundur. Dia. rnengenali gadis yang tergeletak di tanah itu.Setelah mengumpulkan keberanian dia berjongkok di tanah. Masih takut-takut, tapi juga tidak tahu pasti apa yang terjadi sebenarnya, Sindang ulurkan tangan menggoyang bahu si gadis.
“Kakak Rui Semanti mengapa tidur di sini? Mengapa tidak pakai baju?”
Setelah berulang kali menegur dan menggoyang bahu orang namun tak ada jawaban tak ada gerakan bocah penggembala jadi bingung. Dia tak dapat lagi menahan rasa takut.
“Kakak Rui Semanti sudah mati. Sudah jadi mayat…“ Sindang berucap terbata-bata lalu melompat bangkit.
Tidak pikir panjang lagi, tanpa perdulikan belasan itik angonannya yang berpencaran kian kemari, anak ini lari ke arah desa sambil berteriak-teriak. Dia tahu rumah gadis benama Rui Semanti itu, tapi dia tidak menuju ke sana karena agak jauh di selatan desa. Sindang lari ke arah barat dimana terletak rumah Kenda Jamitan, pemuda kekasih Rui Semanti.
Semua orang di desa Manding termasuk anak penggembala itu mengetahuli bahwa bulan dimuka Rui Semanti dan Kenda Jamitan akan melangsungkan pernikahan. Sindang kenal baik dengan Kenda Jamitan karena pemuda itu sering mengajaknya main layang-layang. Sampai di rumah Kenda Jamitan, Sindang langsung menggedor pintu depan seraya berteriak-teriak.
“Kakak Kenda! Kakak Kenda!” Si bocah terengah-engah hampir kehabisan nafas.
Beberapa tetangga menjulurkan kepala di jendela ingin mengetahui anak siapa yang pagi-pagi begitu berteriak-teriak, dan apa Yang terjadi. Tak lama kemudian pintu rumah terbuka. Seorang pemuda berkumis tipis, berkulit sawo matang keluar.
“Kakak Kenda…!”
“Sindang? ada apa! Pagi-pagi kau muncul di sini. Bukankah seharusnya kau pergi menggembala?” tanya pemuda berkumis bernama Kenda Jamitan.
“Kakak Kenda…” Sindang menunjukke arah timur. “Saya… saya menemukan kakak Rui Semanti di tepi sungai”
“Hah Kau pasti mengintipnya mandi. Awas, kujewer kupingmu sampai putus” Kenda Jamitan ulurkan tangan.
“Tidak, sumpah saya tidak berbuat nakal. Saya menemukan Kakak Rui tidak mengenakan pakaian. Mukanya pucat, bibirnya biru, dua mata terpejam. Saya…“ Sindang lalu menangis keras.
“Apa?!” Kenda Jamitan terkejut besar.
“Kakak, lekas ikuti saya.”
Kenda Jamitan tatap wajah Sindang beberapa ketika. Tidak salahkah dia mendengar? Rui Semanti calon istrinya ditemui di tepi sungai. Tidak mengenakan pakaian, bibir biru, mata terpejam. Pemuda ini sulit mau percaya tapi si bocah agaknya tidak main-main. Darah Kenda Jamitan mendadak berdesir. Dada berdebar. Dia Iari ke samping rumah mengambil kuda. Sindang dinaikkan di sebelah depan lalu pemuda itu memacu kudanya ke arah timur.
Desa Manding geger besar. Betapa tidak. Rui Semanti, kembang desa cantik jelita yang akan melangsungkan pernikahan tak lama lagi dengan Kenda Jamitan ditemukan tewas dalam keadaan bugil di tepi Kali Pasian. Melihat kepada bibirnya yang kebiruan banyak orang menduga gadis malang ini menemui ajal karena keracunan. Lalu pada bagian tubuhnya yang lain ada tanda-tanda bahwa Rui Semanti telah dirusak kehormatannya. Rui Semanti dirampas kegadisannya lalu dibunuh dan mayatnya dibuang di tepi Kali Pasian.
Yang menimbulkan tanda tanya tak terjawab adalah bunga tanjung yang menempel di kening si gadis. Apa artinya dan siapa yang menempelkan. Sang pembunuh? Jenazah Rui Semanti dibawa ke rumahya. Sementara diratap ditangisi oleh kedua orang tua dan saudara-saudaranya.
Seperti orang kemasukan setan tiba-tiba Kenda Jamitan melompat ke halaman dan berteriak. “Ini pasti pekerjaan keji Legung Antah! Dia tidak bisa mendapatkan Rui lalu memperkosa dan membunuhnya !”
Orang banyak yang berkumpul di tempat itu menjadi heboh. Sebenarnya ada yang sebelumnya juga punya prasangka seperti itu namun tidak berani mengatakan. Ketika Kenda Jamitan menghunus clurit beberapa orang segara mendatangi dan membujuk berusaha menenangkan pemuda itu. Namun semua mereka terpaksa mundur berserabutan ketika pemuda bertubuh kekar itu membabatkan clurit.
Sambil berteriak-teriak menyumpahi Legung Antah, Kenda Jamitan lari ke arah selatan. Orang banyak mengikuti dari belakang. Mereka tahu apa yang dilakukan Kenda Jamitan. Mencari Legung Antah, mendatangi rumahnya! Pasti akan terjadi pertumpahan darah!
DI DEPAN sebuah rumah besar berhalaman luas Kenda Jamitan berdiri dengan muka berapi-api dan dada turun naik, sepasang mata membara. Mulut berteriak lantang. Tangan kanan mengacung-acungkan clurit.
“Legung Antah! Manusia jahanam! Keluar kau! Jangan sembunyi di dalam rumah!”
Tak ada suara tak ada jawaban. Tetangga berdatangan. Sebentar saja halaman besar di depan rumah sudah dipenuhi orang.
“Jahanam Legung Antah! Kalau kau tidak keluar aku bakar rumahmu!” Kenda Jamitan berteriak mengancam.
Pintu depan rumah tiba-tiba terbuka. Dua orang keluar. Di sebelah depan seorang pemuda berambut panjarng sebahu beralis tebal hitam, berkulit kuning. Inilah Legung Antah, pemuda yang konon sejak lama jatuh cinta pada Rui Semanti namun cintanya tak berbalas karena si gadis telah lebih dahulu terpikat pada Kenda Jamitan.
Beberapa waktu lalu dua pemuda itu tak sengaja bertemu dipasar Manding. Entah bagaimana pasal sebab musababnya terjadi perang mulut yang disusul dengan adu jotos. Dalam perkelahian tangan kosong satu lawan satu Kenda Jamitan menghajar lawannya sampai babak belur.
Di belakang Legung Antah melangkah seorang Ielaki tua, agak bungkuk, hanya mengenakan sehelai celana panjang putih, membekal sebilah clurit di pinggang.Orang tua ini adalah Antah Bayana, ayah Legung Antah.
“Kenda Jamitan,” tegur Antah Bayana. Pagi hari kau datang ke rumahku! Berteriak-teriak seperti orang gila! Mengacungkan clurit seperti tukang jagal kesetanan…”
“Diam!” hardik Kenda Jamitan. “Aku memang hendak menabas batang leher anakmu!”
Antah Bayana maju ke samping puteranya. “Pasal apa kau datang membawa kemarahan dan mengancam hendak membunuh anakku?!” tanya si orang tua pada Kenda Jamitan.
“Tua bangka, kau jangan ikut campur! Sekali lagi kau berani bicara kau juga akan kuhabisi!”
“Hebat sekali! Rupanya kau sudah jadi malaikat maut penguasa nyawa manusia!” kata Antah Bayana tanpa ada perasaan takut.
Mendengar kata-kata orang Kenda Jamitan tambah menggelegak amarahnya. “Puteramu pemuda jahanam ini telah memperkosa dan membunuh calon istriku! Mayat Rui Semanti ditemukan di tepi Kali Pasian! Dia menempelkan sebuah kembang tanjung di keningnya! Apa maksudnya berbuat begitu? Jahanam keparat!”
Orang banyak yang mendengar kata-kata Kenda Jamitan, yang tadi masih merasa ragu apa yang sebenarnya terjadi karuan saja menjadi marah. Salah seorang dari mereka malah berteriak agar Legung Antah dicincang saat itu juga.
“Tunggu!” Antah Bayana melangkah ke hadapan Kenda Jamitan. Sepasang mata berkilat dan pelipis bergerak-gerak. “Kau punya bukti anakku yang merusak kehormatan dan membunuh Rui Semanti?! Kapan, dimana kejadiannya! Di desa ini tidak ada pohon tanjung. Bagaimana mungkin kau menuduh anakku menempelkan bunga tanjung dikening Rui Semanti”
“Tua bangka keparat! Dengar baik-baik? Mayat Rui Semanti ditemukan pagi ini oleh seorang penggembala di tepi Kali Pasian! Pasti kejadiannya tadi malam! Kalau kau ingin bukti dan saksi tanyakan pada setan Kali Pasian!” teriak Kenda Jamitan dengan suara keras dan sepasang mata mendelik membara.
“Semalaman tadi anakku Legung Antah ada di rumah. Tidak kemana-mana!” Menerangkan’ ayah Antah Bayana. Lalu dia bertanya. “Sejak kapan kau bersahabat dengan para setan Kali Pasian hingga bisa menjadikannya saksi segala?!"
“Dusta besar! Kau tentu saja mau membela anak jahanammu itu!”
“Kenda Jamitan!” bentak Legung Antah sambil maju dua langkah. “Jaga mulutmu! Jangan kau berani bicara kurang ajar terhadap bapakku!”
“Ayah dan anak sama saja jahanamnya. Biar aku habisi kalian berdua sekaligus!”
Habis berteriak begitu Kenda Jamitan menyerbu Legung Antah dengan clurit besar yang sejak tadi dipegang di tangan kanan. Kalau tidak cepat Legung Antah menghindar. pasti perutnya robek ditambus clurit.
“Legung Antah!” teriak Antah Bayana pada puteranya. “Kita orang Madura! Kehormatan diri dan keluarga adalah pegangan utama! Tidak ada orang boleh menghina dan memfitnah keluarga Antah dan turunannya! Hadapi bangsat edan itu! Carok!”
Antah Bayana kemudian cabut clurit yang tergantung di pinggang lalu diberikan pada Legung Antah. Di Madura carok dikenal sebagai pembelaan harga diri dan keluarga secara jantan, diselesaikan dalam pertarungan satu lawan satu dan biasanya masing-masing pihak bersenjatakan clurit.
Lima jurus perkelahian berlalu. Dua pemuda sama-sama punya gerakan cepat. Dua buah clurit besar berkesiuran di udara mencari sasaran di tubuh lawan. Dalam jurus ke sembilan darah mulai mengucur. Legung Antah kena bacokan di bahu kiri yang segera di balas oleh pemuda itu dengan membabat ke arah kepala lawan, menabas putus telinga kiri Kenda Jamitan. Pertarungan semakin hebat semakin ganas.
Bacokan dibalas bacokan. Sambaran clurit dibalas babatan ganas. Setelah berlalu dua puluh jurus lebih, dua pemuda itu akhirnya terkapar bergelimang darah di tanah dengan tubuh dan muka penuh luka bacokan. Keduanya sama-sama menghembuskan nafas dalam keadaan sangat mengenaskan.
Sebelum meIepas ajal, orang banyak masih sempat mendengar Legung Antah keluarkan ucapan. “Ya Allah ya Tuhanku. Aku rela mati membela kebenaran dan kehormatan diri serta keluargaku. Kau tahu ya Allah, aku tidak membunuh Rui Semanti…”
Orang banyak merasakan kuduk masing-masing jadi dingin bergidik mendengar ucapan menjelang ajal itu. Lalu siapa yang telah merusak kehormatan dan membunuh Rui Semanti?
Perempuan tua berambut putih duduk di bangku bambu di langkan rumah, menatap ke arah halaman becek lalu memandang ke jalan lurus di depan sana. Mulutnya berucap perlahan.
“Hujan sudah lama berhenti. Mengapa anak itu belum juga kembali? Sebentar lagi malam akan turun.”
Kilat menyabung di udara, disusul suara gelegar guntur di kejauhan. Di ujung jalan lurus muncul seorang penunggang kuda. Perempuan tua berdiri dari duduknya, memperhatikan penuh harapan dan merasa lega ketika mengetahui yang datang adalah puteranya seorang pemuda bertubuh tegap, berwajah elok. Bajunya basah kuyup pertanda dia kehujanan dalam perjalanan. Begitu turun perempuan tua langsung menegur.
“Wayan, syukur kau cepat kembali.”
“Udara buruk. Barusan hujan. Ayah sakit di dalam. Mengapa ibu berada di luar?”
“Aku menunggu adikmu. Sejak tadi Ayu pergi ke Pura untuk berdoa memohon kesembuhan ayahmu pada Sang Hyang Widhi. Mungkin terhalang hujan. Tapi hujan sudah lama berhenti…”
“Sebentar lagi dia pasti kembali. Bagaimana keadaan ayah?”
“Panasnya tidak turun-turun. Nafasnya masih sesak..."
“Saya ada membawa ramuan obat pemberian juru obat Mangku Arsana di Besakih. Tolong ibu menggodok dan meminumkan pada ayah. Mudah-mudah ayah lekas sembuh.”
Ni Warda, ibu pemuda bernama, Wayan Arta mengambil bungkusan obat yang diberikan puteranya. Sebelum melangkah masuk ke dalam rumah perempuan ini berkata,
“Wayan, ibu tidak merasa tenteram sebelum adikmu pulang. Cobalah kau pergi ke Pura. Kalau Ayu tidak ada di sana, tanyakan pada penjaga Pura. Mungkin orang di sana tahu kemana perginya anak itu.”
Wayan Mantra turun kembali ke halaman dan naik ke atas kuda. Cukup lama dia pergi, sewaktu kembali hari sudah malam. Ni Warda keluar dan dalam kamar setelah memberi minum obat godokan pada suaminya yang sedang sakit.
“Bertemu?” tanya perempuan berambut putih itu dengan wajah cemas.
“Jadi Ayu belum kembali?” Wayan Mantra balik bertanya yang mengira adiknya, sudah pulang sewaktu dia pergi. Sang ibu gelengkan kepala.
“Orang di Pura memberi tahu Ayu meninggalkan Pura sebelum hujan turun. Kemana perginya anak itu?”
Wayan Mantra menatap ke arah jalan becek. “Mungkin dia berteduh di satu tempat atau pergi ke rumah salah seorang sahabatnya.”
“Sampai malam begini? Dia tahu ayahnya sedang sakit…” Ni Warda semakin cemas. “Ibu kawatir…”
“Saya juga merasa cemas. Tapi kemana saya harus mencari?”
“Desa Bali Aga ini tidak terlalu luas. Kau bisa bertanya pada banyak orang. Ayu banyak temannya. Siapa yang tidak kenal adikmu itu.”
“Baik, Bu. Akan saya cari dia sampai dapat. Ibu tak perlu cemas. Sebelum pergi saya akan melihat ayah dulu.”
“Pakaianmu basah. Gantilah.”
“Tidak apa. Nanti juga kering,” jawab Wayan Arta.
Setelah melihat ayahnya yang tengah sakit dalam keadaan tertidur Wayan Arta meninggalkan rumah. Hampir tengah malam pemuda ini baru kembali. Dia datang bersama empat orang temannya yang sama sama menunggangi kuda. Dia melihat ibunya duduk dekat pintu kamar, setengah tidur setengah jaga. Perempuan ini buka kedua matanya begitu Wayan Arta melangkah mendekati. Sebelum sang ibu bertanya dia mendahului berkata.
“Seluruh desa sudah saya kelilingi bersama teman-teman. Puluhan orang saya tanyai termasuk sahabat Ayu. Tak seorangpun yang melihatnya.”
“Wayan, ibu punya firasat tidak enak. Tadi malam ibu bermimpi…” Perempuan ini mulai terisak.
Wayan Arta jongkok di samping Ni Warda dan memeluk perempuan Itu. “Ibu, harap ibu tenang saja. Saya dan beberapa orang kawan di tambah para penjaga desa akan melakukan pencarian. Ayu pasti kami temukan…”
“Dalam keadaan selamat,” sambung sang ibu.
Wayan Arta gigit bibirnya sendiri. “Tentu, dalam keadan selamat, pemuda itu mengulangi ucapan ibunya. Lalu dia mengambil sepotong kayu yang terletak di sanding pintu sebelah atas. Dengan kayu itu dia kemudian memukul berulang-ulang kentongan yang tergantung di langkan rumah. Dalam waktu singkat suara kentongan terdengar bersahut-sahutan dari berbagai penjuru. Para tetangga dan penduduk Desa Bali Aga berdatangan.
Sebentar saja halaman rumah sudah dipenuhi banyak orang. Tengah malam itu juga pencarian atas diri Ida Ayu Kintani dilakukan ke seluruh pelosok desa bahkan sampai ke desa-desa tetangga. Para pencari dibagi atas dua rombongan. Namun sampai pagi datang dan malam berganti siang gadis jelita berusia delapan belas tahun itu masih belum berhasil ditemukan.
Sore hari sebelum Ida Ayu Kintani diketahui hilang. Suasana di dalam Puri hening sekali. Ida Ayu Kintani berdoa penuh khidmat. Memohon pada Yang Maha Kuasa Sang Hyang Widhi untuk kesembuhan ayahnya yang telah menderita sakit sejak lima hari lalu. Selesai berdoa gadis cantik kembang Desa Bali Aga itu bersiap-siap meninggalkan Pura. Di luar didengarnya suara-suara gelegar guntur dan sesekall kilat menyambar di langit. Suara hujan rintik-rintik terdengar berjatuhan di atap Pura.
Di pintu Pura, seorang penjaga memberi salam. Ida Ayu Kintani membalas salam orang Itu lalu bergegas pulang. Di satu kelokan jalan hujan rintik-rintik tiba-tiba berubah deras. Selagi kebingungan mencari tempat berteduh, tiba-tiba muncul seorang lelaki muda berpayung kertas lebar yang langsung melindungi Ida Ayu Kintani dari curahan hujan hingga si gadis tak sampai kebasahan.
Pemuda yang memayungi Ida Ayu Kintani berwajah tampan, memelihara kumis, cambang serta janggut tipis rapi dan tubuhnya menebar harum bunga. Pakaian bagus mewah berwama hitam berhias bunga-bunga kecil disulam dari benang perak dan emas.
Kening diikat kain merah yang juga bersulam bunga perak dan emas. Ida Ayu Kintani tak pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Dia yakin orang ini bukan penduduk Desa Bali Aga dan dari pakaiannya agaknya dia adalah seorang pemuda bangsawan atau putera keluarga hartawan.
“Peganglah payung ini Jangan sampai adik kehujanan.” Orang tak dikenal berkata. Suara begitu lembut dan senyumnya ramah. Ida Ayu Kintani hentikan Iangkah, terdiam sejenak.
“Apakah saya mengenal…”
“Jangan persoalkan dulu kenal atau tidak. Yang penting adik tak boleh kehujanan...”
“Lalu kakak sendiri bagaimana?” tanya si gadis.
“Saya masih punya satu payung lagi.” Lalu dari balik punggungnya lelaki ini mengambil sebuah payung kertas kecil.
Ida Ayu Kintani akhirnya mengambil juga payung kertas besar yang diberikan orang. Sebelum melangkah gadis ini bertanya. “Kemana nanti saya mengembailkan payung ini?”
“Tak usah dikembalikan. Pulanglah. Bukankah ayah adik sedang sakit dan barusan adik berdoa di Pura?”
Walau heran orang tak dikenal ini mengetahui keadaan ayahnya, Si gadis anggukkan kepala lalu melangkah, diikuti lelaki tadi.
“Kalau adik memberi izin, saya punya sejenis obat. Mudah-mudah bisa menjadi penyembuh penyakit orang tua adik.”
“Terima kasih. Wayan sudah pergi meminta obat pada seorang tabib di Besakih.” Jawab Ida Ayu Kintani.
“Siapa Wayan?"
“Kakak saya,” menerangkan Ida Ayu Kintani.
Sambil berjalan berpayung di samping si gadis, lelaki Itu bertanya. “Apakah adik pernah mendengar kata Kamasutra?”
“Saya pernah mendengar tapi tidak tahu apa artinya.”
“Kamasutra adalah satu mukjizat luar biasa. Jika adik tidak keberatan saya ingin memperlihatkan sesuatu pada adik.”
“Saya harus cepat pulang…”
“Saya mengerti. Tapi kalau adik mau melihat sebentar saja benda itu…“
Ida Ayu Kintani tidak menjawab. Dari balik pakaiannya lelaki berpayung di samping si gadis keluarkan sebuah kantong kain berwarna hitam. Ada sebuah benda di dalam kantong yang memancarkan cahaya merah redup,membuat Ida Ayu Kintani jadi menaruh perhatian. Mengetahui si gadis mulai tertarik, lelaki itu berkata,
“Hujan tambah lebat. Rumah adik masih cukup jauh dan jalanan sangat becek. Saya akan memperlihatkan benda di dalam kantong ini pada adik di satu tempat. Di tepi Danau Batur banyak gubuk kosong. Bagaimana kita pergi ke sana barang sebentar. Di salah satu gubuk saya akan memperlihatkan benda dalam kantong pada adik.”
Ida Ayu Kintani menggeleng. “Saya harus pulang cepat-cepat. Saya tak mau pergi ketempat yang kau katakan itu.”
“Kalau begitu…” Pemuda tampan terdiam.
Melihat orang yang menolongnya kecewa Ida Ayu Kintani lantas berkata. “Mengapa harus pergi ke Danau Batur. Perlihatkan saja di sini. Sambil berjalan.”
Lelaki berkumis dan berjanggut tipis rapi tersenyum. “Kalau itu pinta adik, baiklah…” katanya.
Payung yang dipegangnya dicampakkan begitu saja ke jalan. Dibawah hujan lebat dan dalam kantong kain hitam dikeluarkannya sebuah benda yang memancarkan cahaya merah redup lalu diperlihatkan pada si gadis. Wajah Ida Ayu Kintani Iangsung berubah merah. Dia cepat membuang muka namun telah keburu sempat melihat. Tubuhnya bergetar.
“Adik, kita ke Danau Batur sekarang…?”
Pemuda berkumis, bercambang dan berjanggut tipis bertanya lembut sambil memegang tangan si gadis. Ida Ayu Kintani tidak menyahut. Tapi entah mengapa langkahnya bergerak mengikuti kemana dia diajak.
Menjelang tengah hari Wayan dan teman-teman dibantu penduduk desa melanjutkan pencarian di rimba belantara di kaki Gunung Abang. Pada saat itulah datang seorang penduduk desa menunggang kuda. Dia membawa kabar buruk. Seorang penjala ikan menemukan sesosok Ida Ayu Kintani telah jadi mayat, terapung di tepi Danau Batur. Di keningnya menempel sekuntum bunga tanjung. Bibirnya tampak membiru.
Sebentar saja kabar buruk itu telah menebar luas dan diketahui seluruh penduduk Desa Bali Aga. Hampir semua orang menangis meratapi kematian gadis cantik kembang desa itu.
Pesta perkawinan Sekartaji , puteri Adipati Lumajang dilangsungkan secara besar-besaran. Selama tiga hari tiga malam perhelatan digelar dengan segala kemeriahan. Ratusan tamu datang dari berbagai penjuru termasuk para pejabat tinggi Kerajaan. Sri Baginda sendiri mengutus Patih Kerajaan untuk menghadiri pesta tersebut.
Selain hidangan dan minuman yang lezat berbagai pertunjukan untuk menghibur para tamu disuguhkan silih berganti. Mulai dan hiburan gamelan dengan para penyanyi terkenal, wayang kulit, debus dari Madura sampai rombongan Reog jauh-jauh didatangkan dari Ponorogo.
Selain Sekartaji adalah anak satu-satunya, perhelatan besar itu juga sekaligus merupakan syukuran karena bulandimuka Adipati Lumajang Surogeneng akan dipindah tugas ke Kotaraja. Dia dipercayai Sri Baginda menduduki jabatan baru setingkat dibawah Patih Kerajaan.
Yang menjadi besan Adipati Lumajang adalah Giring Santiko seorang hartawan kaya raya dari Gresik hingga tidak heran kalau pesta perkawinan itu dapat terselenggara secara besar dan mewah.
Malam terakhir pesta besar meriah, sebelum masuk ke kamar, Ageng Sutawijaya, sang pengantin lelaki sementara tampak masih duduk-duduk di wang depan Gedung Kadipaten dengan teman-temannya sambil minum-minum. Ageng Sutawijaya tidak henti-hentinya menjadi bulan-bulanan godaan. Seorang teman berkata,
“Ageng, mengapa kau masih di sini? Masuk ke dalam kamar sana. Jangan biarkan pengantinmu kedinginan menunggu terlalu lama.”
Teman yang lain menyahut. “Kalau kita masih di sini dia tak mau masuk kamar. Takut kita intip!”
Gelak tawa untuk kesekian kalinya pecah di tempat itu. Di dalam rumah besar, seorang pelayan yang sejak kecil mengurus Sekartaji mengantarkan pengantin perempuan itu masuk ke dalam kamar.
“Den ayu, sebentar lagi suamimu akan masuk ke sini. Baiknya mbok keluar saja.” Berkata si pelayan setelah berada dalam kamar itu beberapa saat lamanya.
“Jangan pergi dulu mbok. Temani saya. Nanti kalau dia sudah datang baru mbok pergi.”
Pelayan tua itu tersenyum. Dipegangnya bahu Sekartaji dengan lembut lalu berkata. “Kalau tahu mbok masih di sini, den masmu pasti tidak akan masuk-masuk. Sudah, mbok pergi dulu. Awas jangan sampai ketiduran waktu suami den ayu masuk. ini adalah malam paling bahagia dalam kehidupan den ayu. Yang pasti tidak akan terlupakan selama-lamanya.”
“Mbok, apakah mbok tidak akan menolong saya lebih dulu membuka pakaian pengantin ini?”
Sang pelayan tersenyum. Sambil kedipkan mata dia berkata. Biar suamimu nanti yang membukanya. Itu salah satu hal yang paling indah dalam malam pengantin ini”
“Mbok, kau bisa saja menggodaku..." Walau Sekartaji berusaha mencegah agar pelayan itu jangan pergi dulu, sambil senyum-senyum si pelayan membuka pintu dan keluar dari kamar.
Setelah tinggal sendiri, Sekartaji bingung mau berbuat apa. Sebentar dia duduk di tepi tempattidur besar, berdiri dan melangkah mundar mandir dalam kamar. Lalu berdiri di belakang jendela besar Dia ingin membuka jendela itu memandang keluar tapi tak berani, takut menyalahi adat. Akhirnya sang pengantin perempuan ini duduk di sebuah kursi di sudut kamar.
Pada saat itulah telinganya mendengar, suara di pintu. Memandang ke pintu Sekartaji melihat besi pegangan pintu bergerak ke bawah. Dada pengantin perempuan ini berdebar. Suaminya datang.
Perlahan-lahan pintu kamar terbuka. Yang muncul dan kemudian masuk bukan sosok gagah berpakaian pengantin, bukan sang suami Ageng Sutawijaya, melainkan seorang pemuda yang tidak dikenal Sekartaji. Orang ini mengenakan pakalan hitam bersulam bunga-bunga kecil terbuat dan benang perak dan emas.
Wajahnya yang tampan tertutup cambang, kumis dan janggut tipis rapi. Kening diikat kain merah yang juga bersulam gambar bunga terbuat dan benang perak dan emas. Begitu orang ini berada di dalam kamar, seantero ruangan ditebar bau harumnya kembang tanjung.
Terkejut dan heran Sekartaji segera menegur dengan nada marah. “Kau siapa?. Mengapa berani masuk ke dalam kamar pengantin?!”
Pemuda yang masuk cepat menutup pintu kamar dengan tangan kanan sementara telunjuk tangan kiri disilangkan di depan bibir yang tersenyum. “Jangan takut, aku sahabat yang membawa keberuntungan bagimu.” Pemuda berpakaian hitam berkata. Suaranya lembut.
“Aku tak kenal dirimu. Kau bukan sahabat Ageng Sutawijaya. Keluar atau aku akan berteriak!” Sekartaji mengancam.
“Aku akan keluar. Tapi mohon berikan padaku sedikit waktu. Aku memang tamu tak di undang. Aku juga bukan sahabat suamimu. Tapi diriku adalah sahabatmu. Seperti kataku tadi aku datang membawa keberuntungan. Dengar, Iihat… Apakah kau pernah melihat benda ini sebelumnya?”
Dari dalam saku pakaian di sisi kiri, dengan tangan kirinya pemuda di dalam kamar mengambil sebuah kantong kain wama hitam. Dengan cepat dia mengeluarkan sebuah benda yang memancarkan cahaya merah redup dari dalam kantong kain itu.
“Lihat baik-baik, pandanglah. Bukankah indah sekali?” Si pemuda acungkan benda di tangan kirinya dekat-dekat ke muka Sekartaji. Sang pengantin memperhatikan dengan mata membesar, tubuh bergetar, wajah memerah dan duakaki bersurut mundur, dada turun naik.
“Aku datang membawa berkah untukmu, Sekartaji.” Si pemuda berucap. Tangan kanan diulurkan ke kening si gadis, menempelkan sekuntum bunga tanjung bulat kecil.
Saat itu punggung Sekartaji tertahan di dinding kamar. Sekujur tubuhnya berkeringat. Di depannya ada dua bayangan aneh lelaki perempuan telanjang, membuat gerakan-gerakan seperti menari.
Hampir menjelang pagi, diiringi tepuk tangan sorak sorai teman-temannya yang terus menggoda, Ageng Sutawijaya akhirnya masuk juga ke dalam kamar pengantin. Setelah menutup pintu pengantin lelaki itu berdiri sejenak, mata memandang seputar kamar. Dia mengira akan melihat Sekartaji di atas tempat tidur besar, tapi sangpengantin perempuan itu tak ada di sana. Juga tidak tampak duduk di salah satu dari dua kursi di dalam kamar.
Sekar…”
Tak ada jawaban.
“Mungkln dia menggodaku. Sembunyi atau bagaimana. Mungkin keluar kamar…”
Ageng Sutawijaya merasa ada tiupan angin dingin. Dia berpaling ke arah kanan. Dia heran melihat jendela kamar terbuka labar. Timbul rasa curiga. Pemuda ini lari kebelakang jendela. Halaman samping sunyi sepi. Di dua sudut tampak obor menyaladan seorang pengawal tegak berjaga-jaga. Di kejauhan sana dia bisa mendengar suara gelak tawa teman-temannya yang masih bercanda satu sama lain.
“Sekar...” Ageng Sutawijaya memanggil sekali lag!
Tak ada jawaban. Merasa semakin tidak enak dia memeriksa seuruh kamar Malah sampai-sampai membalik tempat tidur besar. Sekartaji tetap tidak ditemukan.
“Apa yang terjadi? Sekar! Dimana kau?!” Ageng Sutawijaya mulai berteriak. Akhirnya pemuda ini melompat keluar kamar lewat jendela. Ketika dia muncul di bagian depan rumah, teman-temannya yang masih ada di sana karuan saja menjadi heran. Ada yang mulai menggoda.
“Kau seperti ketakutan! Ha ha ha! Kau diapakan sama pengantinmu?"
“Ageng! Kau dari mana?” Salah seorang teman bertanya.
“Teman-teman… Sekartaji hilang!” Ageng Sutawijaya memberi tahu.
Tak ada yang percaya. Ucapannya disambut gelak tawa.
“Saat ini seharusnya kau berada dalam kamar berdua-duaan dengan istrimu! Mengapa mau-mauan membuat lelucon?”
“Aku tidak membuat lelucon Sekartaji benar-benar tak ada di kamar!” ucap Ageng Sutawijaya berteriak.
Malam itu juga Gedung Kadipaten Lumajang yang baru saja mengadakan perhelatan besar tiga hari tiga malam menjadi geger. Kegegeran ini dengan cepat melanda seluruh kota. Menjelang pagi semua penduduk mengetahui apa yang terjadi. Sekartaji entah melarikan diri entah diculik orang. Pencarian besar-besaran segera dilaksanakan, dibagi dua kelompok. Masing-masing dipimpin oleh Adipati Surogeneng dan Ageng Sutawijaya.
Menjelang tengah hari serombongan pengantar jenazah memasuki kawasan pekuburan yang terletak di luar kota sebelah timur Lumajang. Selesai jenazah dimakamkan dan doa dibacakan, pada saat rombongan hendak meninggalkan pekuburan mereka melihat sebuah keranda jenazah tertutup kain hijau terletak di bawah satu pohon rindeng tak jauh di arah jalan menuju pintu gerbang.
“Heran, tadi tidak kulihat keranda itu di sana. Bagaimana tahu-tahu bisa berada di tempat Itu?" seseorang berucap.
Seorang lain menyambung. ”Siapa yang membawa? Tak ada yang menunggui. Mengapa ditinggal begitu saja?”
Penuh rasa ingin tahu semua orang segera mendatangi keranda jenazah itu. Kain hijau penutup keranda disingkapkan. Langaung saja semua mulut keluarkan seruan tertehan dan bersurut mundur!
Di alas keranda terbujur sesosok tubuh perempuan muda mengenakan pakaian pengantin penuh robek dan nyaris tak mampu menutupi aurat. Di keningnya menempel sekuntum kembang tanjung putih kekuningan. Wajah pucat pasi dan bibir tampak membiru.
“Gusti Allah! ini Den Ayu Sekartaji!”
“Ya Tuhan! Siapa yang membawa kuda! Lekas beri tahu Adipati Surogeneng!” seseorang berteriak.
Tak selang berapa lama, setelah ditemukannya Sekartaji dalam keadaan sudah jadi mayat, untuk kedua kalinya Lumajang dilanda kegemparan. Sungguh luar biasa dan sangat mengenaskan kejadian ini. Siapa yang begitu biadab menculik Sekartaji pada malam pengantinnya, merusak kehormatan lalu membunuhnya!
Goa Cadasbiru , Kaliurang. Udara pagi masih terasa sejuk walau sang surya sudah cukup lama menampakkan diri di ufuk timur. Kicau burung masih terdengar bersahut-sahutan di atas pepohonan. Di dalam goa, di atas ranjang batu beralaskan kasur empuk, seorang dara cantik berpakaian tidur warna biru menggeliatkan tubuhnya yang elok, mengangkat ke dua kaki tinggi-tinggi ke atas. Pakaian tiduryang dikenakannya merosot ke bawah, menyingkapkan sepasang betis bagus dan paha putih mulus.
“Malas sekali rasanya pergi mandi ke telaga" Berucap si gadis lalu duduk di tepi ranjang. Rambut yang dikonde di atas kepala digerai lepas, panjang sepinggang. Rambut hitam tebal yang dilepas begitu rupa membuat wajahnya tampak bertambah jelita.
Di atas ranjang batu kedua di dalam goa, seorang gadis berpakalan merah menatap ke langit-langit ruangan. “Kalau kau masih malas mandi, biar aku duluan yang turun ke telaga.” Si baju merah berkata. Lalu bangun, turundan tempat tidur dan tanggalkan pakaiannya. Dalam keadaan bugil begitu rupa dia melangkah ke lorong menuju pintu goa.
“Kau ke telaga bertelanjang bulat seperti itu?” menegur gadis berpakaian biru.
”Apa salahnya? Tak ada orang di tempat ini” jawab si baju merah yang berdiri bertolak pinggang tanpa pakaian sambil menggoyangkan pinggul.
“Gila!” Gadis baju biru mendamprat. Kurasa tempat ini tidak lagi aman. Apa kau lupa kajadian siang kemarin? Ada orang tak dikenal muncul. Mundar mandir di luar goa. Aku merasa pasti dia tengah meyelidiki tempat ini.”
Kalau cuma seorang lelaki, apa lagi masih muda dan berwajah tampan mengapa harus takut? Malah seharusnya kita undang dia datang dan masuk ke dalam goa ini.”
“Ngacok! Kau bicara tolol atau memang sudah gila?! Kita masih menyimpan lima puluh kati madat didalam goa ini! Banyak orang berusaha mendapatkannya, terutama pemiliknya orang-orang dari daratan Cina. Belum lagi sisa orang-orang yang menamakan diri dari Kraton Kaliningrat. Pasti orang kemarin tengah menyelidiki keberadaan madat itu. Jika dia menemukan kita tapi tidak menemukan madat, dia akan membunuh kita!”
Kisah mengenai madat ini terjadi ketika kaum pemberontak yang menamakan diri orangorang Keraton Kaliningrat menjarah lima puluh kati madat dari kapal China yang berlabuh di Moro Damak untuk membiayai perjuangan mereka merebut tahta Kerajaan. Untuk jelasnya baca serial Wiro Sableng Episode Perjanjian Dengan Roh s/d Api Di Puncak Merapi
“Kita berdua, orang itu Cuma sendiri. Nyalimu kecil sekali.”
“Jangan menganggap remeh orang lain. Kau kira apa cuma kita bendua saja yang punya ilmu silat dan kesaktian di dunia ini?”
“Lalu apakah aku tidak bisa mandi ketelaga? Sampai berapa hari kita harus mendekam di dalam goa ini”
Siapakah dua gadis jelita penghuni goa Cadasbiru ini? Mereka bukan lain adalah sepasang kakak adik Liris Merah dan Liris Biru, murid nenek sakti berjuluk Hantu Malam Bergigi Perak. Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Azab Sang Murid Hantu Malam Bergigi Perak menemui ajal tewas di tangan Sinto Gendeng dalam memperebutkan Kitab Seribu Pengobatan.
Liris Merah dan Linis Biru yang punya penyakit tidak tahan panas dengan petunjuk yang ada dalam Kitab Seribu Pengobatan berhasil disembuhkan. Setelah sang guru menemui ajal, Liris Merah mengalami nasib malang, jatuh ke tangan Pangeran Matahari dan dijadikan budak nafsu selama beberapa hari sebelum akhirnya Pangeran Matahari menemui ajal di puncak Gunung Merapi. (Baca serial Wiro Sableng berjudul Api Di Puncak Merapi)
“Kita harus menunggu sampai keadaan aman. Mari kita awasi dulu keadaan diluar sana sebelum pergi ke telaga.” kata Liris Biru.
Liris Merah kenakan pakaian merahnya kembali lalu dua kakak beradik ini memasuki lorong pendek dan sampai di mulut goa yang ditutup dengan sebuah batu besar. Dari luar, mulut goa yang tertutup batu ini tidak kentara sama sekali. Selain sulit dilihat juga terhalang oleh beberapa pohon yang tumbuh rapat serta semak belukar lebat. Di bagian dalam dinding goa sebelah kanan, terdapat dua buah lobang sangat kecil yang bisa dipergunakan untuk mengintai keadaan di luar goa.
“Aku yakin orang kemarin akan muncul lagi di sini. Dia tengah mencari sesuatu. Dia tidak akan berhenti sebelum menemukan…“ Liris Biru berkata sambil mendekatkan mata kanan di lobang pengintai.
“Kemarin aku tak sempat melihatnya. Ketika aku mengintai dia keburu pergi…“
“Orangnya masih muda, berpakaian hitam. Wajah tampan. Gerak geriknya…”
“Wajahnya tampan katamu?! Hik hik hik! Jangan-jangan aku yang tengah dicarinya. Kalau dia datang biar aku keluar menemui.”
“Jangan lakukan perbuatan tolol itu! Sekali orang tahu goa ini kita bisa celaka!”
“Adikku Liris Biru, kau tenang-tenang sajalah. Tak usah kawatir. Kakakmu ini yang akan menangani semua urusan!” kata Liris Merah pula sambil tersenyum. “Cuma, aku merasa bosan, mataku bisa terasa pedas kalau terus-terusan mengintip tanpa kita tahu kapan munculnya pemuda itu.
“Kemarin dia muncul tenga hari. Kurasa kali ini bisa saja dia datang pagi-pagi begini atau sore nanti…”Jawab Liris Biru.
Liris Merah pegang bahu adiknya. Lalu berkata setengah berbisik. “Ssstt. Aku melihat sesuatu bergerak. Arah kiri dibalik deretan pohon bambu di kanan jalan. Agaknya dia datang dari arah telaga.”
Liris Biru mengintai tak berkesip. Dia perhatikan deretan pohon bambu lalu gadis ini menahan nafas.Dari balik pohon bambu, berjalan ditangga batu cadas muncul seorang pemuda berkumis tipis, memelihara janggut dan cambang bawuk rapi. Pakaiannya yang hitam bersulam bunga-bunga kecil dan benang perak dan emas.
“Liris Merah, orang yang kita tunggu sudah muncul. Kau mengenali atau pernah melihat pemuda ini sebelumnya?” Bertanya Liris Biru.
Di luar goa pemuda gagah berpakaian hitam berdiri di satu gundukan batu cadas, memandang berkeliling sambil jari-jari tangan kanannya mempermainkan sebuah benda bulat sebesar ujung jari, berwarna putih kekuningan. Sesekali benda itu didekatkan ke hidung.
“Aku tak kenal orang ini. Tapi kelihatannya dia pemuda baik-baik. Mungkin juga seorang anak bangsawan kaya raya lihat pakaian yang dikenakannya. Bagus dan pasti mahal” Ujar Liris Merah yang diam-diam mulai merasa tertarik akan ketampanan wajah pemuda di luar sana.
“Mungkin dia mahluk jejadian. Bisa saja dia adalah roh Pangeran Matahari yang tengah menyaru gentayangan" ucap Liris Biru pula.
Liris Merah menatap ke arah adiknya lalu kembali mengintal lewat lobang rahasia. “Mahluk jejadian memang ada. Tapi kali ini aku tidak percaya hal begituan. Lihat saja, dua kaki pemuda itu jelas-jelas menginjak bumi, menginjak batu. Mana mungkin dia mahluk jejadian.”
Liris Biru menghela nafas dalam. “Yang kita tunggu Pendekar Dua Satu Dua. Yang muncul malah pemuda tak dikenal.”
“Lupakan dulu pendekar itu. Pemuda yang satu ini pasti turunan bangsawan kaya. Kalau kita bisa berkenalan dengan dia pasti kita bakal mendapat banyak kesenangan. Lihat, pemuda itu sekarang duduk di atas batu. Agaknya dia menunggu sesuatu. Atau tengah berpikir...” Kata Liris Merah pula.
“Aku punya firasat dia sudah menduga ada orang di sekitar sini. Tadi dia mungkln menyelidik di telaga. Kalau dia mengetahui goa rahasia ini dan tahu kita ada di dalam…”
Liris Merah menggeleng. “Dia tidak bakal mampu mengetahui. Walau sudah meninggal, namun hawa kesaktian guru kita masih ada di sekitar tempat ini melindungi goa.”
“Kau tahu benda apa yang berulang kali dicium pemuda itu?” Bertanya Liris Biru namun sebelum mendapat jawaban dia sudah berucap lagi. “Kakak, lihat! Pemuda itu berdiri. Dia melangkah pergi.”
Liris Merah mengintip kembali. “Liris Biru, kita harus tahu kemana perginya orang itu. Apa sebenarnya yang tengah dilakukannya di tempat ini. Kau tetap di dalam goa…”
“Kau mau kemana?” tanya sang adik.
“Aku akan mengikuti pemuda itu. Kita harus tahu apa sebenarnya yang dilakukannya di tempat ini. Kalau nanti ketahuan dia memang berbahaya, aku akan menghabisinya.” Liris Merah rapikan pakaian merahnya.
“Jangan lakukan hal itu. Biarkan saja dia pergi. Dia mungkin tak akan kembali lagi ke sini. Kita sudah aman di dalam sini.”
Liris Merah tidak perdulikan ucapan adiknya. Malah dia menjawab. “Kalau aku tidak kembali dalam waktu sepeminuman teh, kau harus segera keluar goa mencariku.” kata Liris Merah lalu menggeser batu besar penutup goa. Sesaat kemudian gadis itu sudah berada di luar goa.
“Liris Merah…” Liris Biru berucap sendiri di dalam goa. “Aku tahu kau bukan ingin menyelidik, kau tertarik pada pemuda itu. Kau tidak jera-jeranya. Apa pengalaman keji dengan Pangeran Matahari tidak membuatmu kapok?”
Liris Biru kembali masuk ke dalam ruangan tidur dan membaringkan tubuh di atas ranjang batu beralas kasur. Dia coba memicingkan mata. Namun hal ini membuat dia semakin tambah kawatir. Karena takut akan terjadi sesuatu yang tak diingini atas diri kakaknya, akhirnya sebelum seperminuman teh Liris Biru keluar dari dalam goa, berkelebat kearah perginya Liris Merah.
Setelah mencari dan mengejar cukup lama Liris Biru tidak juga menemukan kakaknya, akhirnya gadis ini hentikan lari. Saat itu dia berada di sebelah timur Goa Cadas biru. Dari tempat itu dia bisa melihat telaga dikejauhan. Tiba-tiba gadis ini melihat bayangan seseorang di baik batu di tepian telaga. Dia memperhatikan.
Dia merasa yakin yang tadi dilihatnya sekelebat adalah sosok seorang lelaki. Bukan kakaknya Liris Merah. Liris Biru memperhatikan lagi dengan pandangan ditajamkan. Kali ini dia melihat kepala laki-laki tersembul di balik batu. Kepala yang diikat kain merah.
“Pemuda itu! Dia ada di sana!”
Tidak menunggu Iebih lama Liris Biru segera menghambur lari ke arah telaga. Agar sampai lebih cepat gadis ini tidak lari melewati jalan biasa melainkan melompat dart satu cadas batu ke cadas batu lainnya mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sesaat kemudian dia sudah sampai di tepi telaga, langsung berkelebat ke arah batu besar dimana tadi dia melihat kepala lelaki tersembul. Dia mendengar suara tawa manja perempuan. Tawa Liris Merah. Begitu sampai di balik batu kejut Liris Biru bukan alang kepalang. Gadis ini berteriak keras.
“Jahanam! Kalian tengah berbuat apa! Terkutuk!”
Sosok pemuda telanjang yang tengah meneduhi tubuh Liris Merah tersentak kaget. Secepat kilat tangannya bergerak ke arah dada Liris Merah yang berada dibawah tindihannya lalu menyambar baju dan celana hitam miliknya. Di lain kejap pemuda ini sudah lenyap dari tepi telaga. Liris Biru berusaha mengejar.
Namun dia segera berbalik. Dia lebih mementingkan keselamatan kakaknya. Hanya saja ketika dia memeriksa keadaan sang kakak Liris Merah sudah tidak bernafas lagi. Tubuh tergeletak bugil. Pakaian merahnya entah berada dimana. Di kening menempel sekuntum kembang tanjung. Bibir tampak membiru.
“Kakak!” jerit Liris Biru.
Liris Biru berlari membawa jenazah kakaknya. Sepanjang jalan gadis ini tiada hentinya menangis. Dalam keadaan seperti itu dia tidak menyadani kalau ada seorang pemuda berpakaian hitam berikat kepala kain merah mengikutinya. Di depan goa rahasia si penguntit memperhatikan bagaimana Liris Biru menggeser batu besar penutup mulut goa lalu masuk ke dalam.
“Hebat! Tempat persembunyian luar biasa! Aku berulang kali menyelidik ke sini. Tapi tak berhasil mengetehui jalan masuk. Sekarang si cantik itu sendiri yang menunjukkan jalan padaku. Gadis berbaju biru, apakah kau juga sudah tidak perawan seperti saudara mu itu?”
Pemuda berpakaian hitam segera menyibak semak belukar dan mendekati batu besar penutup goa. Namun sebelum dia sempat mengeser batu besar itu tiba-tiba ada orang berseru.
“Sahabatku muda dan cantik! Liris Merah Liris Biru! Apa kalian ada di dalam goa? Kangennya aku ini pada kalian hingga siang malam beser terus-menerus ha ha ha”
“Kurang ajar! Bangsat pengganggu!” Pemuda berpakaian hitam di depan goa terkejut dan menyumpah marah. Dengan cepat dia melompat ke balik satu pohon besar lalu berkelebat pergi ke arah timur. Sambil lari dia merutuk habis-habisan. Sementara, orang yang barusan berseru berdiri termangu di bawah pohon sambil usap-usap bagian bawah perutnya.
“Aneh, aku sudah pernah ke tempat ini. Tapi tetap saja tidak tahu dimana letaknya mulut goa!” Orang ini berucap dan memandang berkeliling. Dia adalah seorang kakek bermata belok jereng, daun telinga sebeIah kanan lebar terbalik, mengenakan celana gombrong yang lepek basah oleh air kencing! Siapa lagi kalau bukannya Setan Ngompol!
“Liris Merah! Liris Biru! Aku sahabat tua kalian Setan Ngompol! Mana pintu masuk ke dalam goa!”
Menunggu beberapa lama tetap tak ada jawaban. Setan Ngompol punya dugaan mungkin dua kakak adik murid Hantu Malam Bergigi Perak itu tak ada di tempat itu. Namun mendadak dia mendengar suara sesuatu. Si kakek melangkah mundar-mandir. Daun telinga sebelah kanan diputar-putar. Serrr. Si kakek mulai pancarkan air kencing.
“Aku mendengar suara orang menangis. Suara perempuan.” Setan Ngompol memandang ke arah kiri. Dia hanya melihat deretan pohon-pohon, semak belukar dan bukit batu.
“Liris Merah! Liris Biru! Aku Setan Ngompol! Aku mendengar suara orang menangis! Mengapa kalian tidak mau membuka pintu goa?!”
Baru saja Setan Ngompol berteriak tiba-tiba salah satu bagian dinding batu biru disebelah depan sana bergeser. Liris Biru keluar dan dalam goa sambil menangis, Iangsung menghambur ke arah Setan Ngompol.
“Kek, Liris Merah dibunuh orang…” Si gadis memberi tahu.
Setan Ngomol kaget besar, langsung terkencing-kencing. Liris Biru membawanya masuk ke dalam goa. Baik Liris Biru maupun Setan Ngompol tidak menyadari bahwa kemunculan Si kakek secara tidak terduga sebenarnya telah menyelamatkan gadis itu dari perkosaan dan pembunuhan seperti yang terjadi dengan kakaknya. Di dalam goa Setan Ngompol melihat Liris Merah terbujur di atas kasur, ditutup kain panjang sampai sebatas leher.
“Bagaimana kejadiannya!?” tanya si kakek sambil berusaha menahan ngompol.
“Semua berlangsung cepat sekali…”Lalu Liris Biru menuturkan bagaimana dia menemui kakaknya di balik batu besar.
Setelah mendengar cerita si gadis, Setan Ngompol berkata. “Kalau kakakmu tertawa-tawa ketika dirinya disebadani, berarti dia tidak diperkosa. Dia melakukan hal itu suka sama suka…”
“Lalu mengapa dia kemudian di bunuh sekeji ini?! Manusia jahanam itu lebih biadab dari Pangeran Matahari!” Liris Biru lalu menangis keras. Setelah tangisnya reda dia menatap memperhatikan wajah kakaknya. “Apa artinya bunga tanjung yang ditempelkan di kening? Lihat, kek. Bibir Liris Merah biru. Dia mati diracun!”
“Kalau dia diracun, berarti itu dilakukan sebelum kehormatannya dirampas. Tapi mana mungkin dalam waktu sesingkat itu …“
Setan Ngompol perhatikan wajah Liris Merah yang masih tampak segar merah lalu melangkah mundar mandir. Satu saat dia berhenti melangkah dan berkata. “Aku ingin melihat lehernya. Coba kau turunkan kain penutup…”
Liris Biru turunkan kain panjang penutup jenazah kakaknya sampai ke pundak. Setan Ngompol perhatikan leher Liris Merah. Dia tidak melihat tanda-tanda yang mencurigakan.
“Aku menduga kakakmu mati dicekik. Ternyata tidak,” ucap Setan Ngompol. “Masih ada satu tempat lagi yang ingin kulihat. Bagian dadanya. Tolong kau turunkan lagi kain panjang itu.”
“Tidak, aku tidak akan memperlihatkan aurat kakakku padamu,” kata Liris Biru pula.
Si kakek pegang bagian bawah perutnya menahan kencing. “Terserah padamu. Aku hanya ingin mengetahui penyebab kematian kakakmu. Kalau dia memang diracun, dan mana datangnya racun itu dan bagaimana masuknya ke tubuh kakakmu? Melalui hubungan badan itu…?” Serrr! Kencing Setan Ngompol mendadak terpancar.
Setelah menarik nafas panjang berulang kali akhirnya Setan Ngompol berkata. “Kita urus dulu jenazah kakakmu. Ada baiknya dia dimakamkan di samping kubur guru kalian. Setelah itu kau harus berkemas. Kau harus tinggalkan goa ini untuk selama-lamanya. Tempat ini tidak aman lagi bagimu! Pemerkosa dan pembunuh keji itu sewaktu-waktu bisa muncul.
“Aku akan membunuhnya jika dia berani datang ke sini” ucap Liris Biru pula.
“Aku punya dugaan, pemuda berpakaian hitam itu bukan cuma memiliki Ilmu kepandaian tinggi. Tapi mungkin juga memiliki semacam pengasih atau ilmu pelet. Buktinya bagaimana mungkin kakakmu yang aku ketahui galak itu bisa menyerahkan dirinya dalam waktu sesingkat itu. Kenalpun tidak sebelumnya…“
Aku tidak tahu kek,” jawab Liris Biru. “Sejak peristiwa dirinya dengan Pangeran Matahari tempo hari, Liris Merah selalu ingin berhubungan dengan laki-laki. Tapi satu hal kau benar. Aku memang harus menghindar dulu dari goa ini.Hanya saja…” Liris Biru ingat pada madat yang disembunyikan di dalam goa.
“Hanya saja apa?” tanya Setan Ngompol.
“Tidak, tidak apa-apa.” Jawab Liris Biru. Dia tidak mau menceritakan perihal madat dalam kantong kulit seberat 50 kati itu. Malah si gadis merubah pembicaraan. “Kek, kau percaya roh orang yang sudah mati bisa gentayangan menjadi mahluk jejadian?”
“Serrr!” Setan Ngompol delikkan mata dan pegangi bagian bawah perutnya yang kembali lepek basah. “Siang bolong begini rupa kau bicara yang membuat aku mengkirik saja! Mengapa kau bertanya aneh seperti itu?”
“Aku takut Pangeran Matahari yang sudah menemui ajal itu rohnya gentayangan, membentuk diri sebagai pemuda berpakaian serba hitam itu. Gentayangan untuk menuntut balas.”
Setan Ngompol enak saja usap-usap tengkuknya yang terasa dingin dengan tangan basah penuh air kencing. Dia merasa lega sedikit karena air kencing hangat yang ikut tersapu di kuduknya membuat hilang rasa dingin di kuduk itu.
“Aku tidak tahu. Tuhan Maha Kuasa, mampu berbuat sekehendakNya. Tapi aku tidak yakin pemuda berkumis berpakaian hitam itu adalah jejadian Pangeran Matahari. Kalau memang benar dia jejadian Pangeran Matahari, yang dicari dan dibunuhnya bukan Liris Merah, tapi Sinto Gendeng, Wiro Sableng dan para pendekar lain yang ikut urunan membunuhnya di puncak Gunung Merapi. Sudah, sebaiknya kita tidak membicarakan manusia dajal yang sudah mampus itu. Bisa-bisa aku ngompol terus-terusan...”
Hujan lebat yang turun sejak pagi dan mulai berhenti pada siang hari membuat jalan di kaki bukit kecil ditenggara Godean menjadi becek berlumpur. Udara terasa dingin. Langit masih kelihatan agak kelabu.Di beberapa bagian malah tampak awan tebal menggantung hitam. Mungkin saja hujan akan turun lagimenjelang sore atau malam nanti.
Kesunyian di kaki bukit dipecah oleh suara derap lari seekor kuda diseling teriakan-teriakan perempuan. Tak lama kemudian di satu jalan menurun, becek dan penuh batu, seorang gadis berpakaian ringkas warna biru muda yang robek di bagian dada tampak memacu kuda coklat tunggangannya ke arah timur.
Agaknya dia memang cekatan menunggang kuda namun sangat berbahaya memacu kuda secepat itu di jalan yang demikian buruk serta menurun. Sesekali gadis ini menoleh ke belakang. Merapatkan dada pakaiannya yang robek lalu menggigit bibir dan memaki dalam hati.
“Kurang ajar! Ilmu lari setan apa yang dimiliki pemuda jahanam itu!”
Si gadis menepuk pinggul kudanya, berteriak keras agar binatang itu lari lebih cepat. Di wajahnya yang ayu cantik jelas tampak rasa takut amat sangat. Di keningnya, entah dia sadar atau tidak menempel sekuntum bunga tanjung, putih kekuningan, kecil sebulatan kuku jari tangan.
“Kotaraja masih jauh. Bagaimana aku bisa memancing agar manusia jahanam itu diringkus pasukan Kerajaan."
Terpisah sekitar sepuluh tombak dibelakang gadis berkuda kelihatan berlari seorang pemuda berpakaian hitam, berikat kepala merah. Dia berlari luar biasa capat,seolah dua kaki tidak menginjak tanah jalanan. Hanya persoalan waktu. Cepat atau lambat dia akan berhasil mengejar gadis penunggang kuda di depannya.
Di ujung jalan yang menurun terdapat satu tikungan patah. Gadis berpakaian biru tidak berusaha memperlambat lari kuda. Agaknya dia tidak mengenali benar keadaan jalan di kawasan itu. Dia menyangka begitu keluar dari tikungan akan menemui jalan rata. Ternyata keliru.
Justru di balik tikungan terdapat satu jurang batu sedalam dua puluh tombak yang hanya dipagari batu-batu setinggi betis serta semak belukar rendah. Konon tikungan di jalan menurun ini oleh para perampok seringkali dijadikan tempat menunggu mangsa.
Sementara itu di pinggiran jurang batu, tak jauh dan jalan yang menikung, dari arah sebuah goa kecil terdengar merdu suara tiupan seruling. Alunan suara seruling ini seolah berpadu dengan keadaan udara yang perlahan-lahan berubah mulai cerah serta munculnya pelangi di langit sebelah timur. Begitu melewat tikungan dan melihat jurang menghadang, gadis penunggang kuda berteriak kaget.
Dia cepat tarik tali kekang. Namun dalam kecepatan seperti itu sulit untuk dapat menghentikan kuda. Malah setelah meringkik keras, kepala mendongak, dua kaki depan kuda coklat membentur deretan batu di tepi jurang. Patah! Binatang ini tersungkur. Kepala menghantam sebuah batu besar hingga remuk mengerikan.
Gadis berpakaian biru terpental mencelat ke udara. Dia membuat gerakan jungkir balik satu kali, berusaha mencapai pinggiran jurang. Agaknya dia memiliki sedikit ilmu kepandaian silat serta ilmu meringankan tubuh.
Namun ilmu yang secupak itu tidak bisa menahan daya berat tubuhnya, membuat dia tidak mampu selamatkan diri, malah langsung melesat jatuh ke dalam jurang batu! Gadis ini menjenit satu kali lalu pingsan tak sadarkan diri.
Suara tiupan seruling di pinggir jurang mendadak lenyap. Bersamaan dengan itu seorang berpakaian putih berkelebat ke arah melayangnya tubuh gadis berbaju biru. Dengan gerakan luar biasa cepat dan mengagumkan orang berpakaian putih berhasil menyambar pinggang si gadis, lalu melompat ke tepi jurang.
Sosok gadis itu kemudian dibaringkan di atas rerumputan basah. Orang berpakaian putih ternyata adalah seorang pemuda berambut gondrong sebahu. Sebuah suling perak tersisip di pinggang kiri. Pemuda ini agak terkesima ketika melihat bagian dada putih yang tersingkap dibalik robekan baju biru. Mulutnya keluarkan siulan dan tangan kanan menggaruk kepala.
“Tuhan benar-benar adil.” Si pemuda berucap. “Sejak pagi tadi aku kedinginan, kini diberi hadiah pemandangan yang menghangatkan! Ha ha ha!”
Mendadak si pemuda hentikan tawa. Dia berbalik, memandang ke arah jalan mendaki. Walau sangat perlahan namun telinganya yang tajam mampu mendengar suara gerakan. Dia perhatikan kuda coklat yang terkapar di tanah. Binatang Itu telah menemui ajal, tak bergerak lagi. Berarti ada sumber suara lain yang tadi ditangkap pendengarannya.
“Ada orang sembunyi di salah satu lereng batu di atas sana…” ucap pemuda gondrong. Lalu dia berteriak. “Manusia yang sembunyi di balik batu! Keluarlah! Perlihatkan tampangmu!”
Tak ada sahutan tak ada gerakan. “Apa boleh buat,” ucap si gondrong. Dia usapkan kedua tangan sambil mengalirkan tenaga dalam. Tiba-tiba tangan kanan dihantamkan ke arah batu paling besar di kejauhan, di sebelah kanan jalan menurun.
“Wusss!” Selarik angin dahsyat menderu.
“Braakkk!” Batu besar di tepi jalan hancur berantakan. Satu bayangan hitam berkelebat disertai terdengarnya suara teriakan memaki lalu sunyi. Pemuda gondrong menunggu. Orang yang barusan kabur dan balik batu tidak munculkan diri. Si gondrong memandang ke arah kuda yang tergeletak tak benyawa di tepi jurang. Ada yang menarik perhatiannya. Pada pinggul kanan binatang ini terdapat sebuah cap hitam bergambar tombak pendek bermata tiga. Tombak Trisula.
“Setahuku, tanda di pinggul kuda itu salah satu lambang Kerajaan. Berarti gadis ini bukan gadis sembarangan.”
Si pemuda berucap lalu jongkok di samping gadis baju biru. Walau pakaian biru yang dikenakan si gadis berpotongan sederhana namun bahannya adalah kain bagus dan mahal. Ketika dia hendak memeriksa keadaan gadis itu tiba-tiba si pemuda melihat ujung alis sebelah kiri yang hitam tebal bergerak beberapa kali. Si pemuda gosokkan telapak tangannya satu sama lain sampai panas lalu ditempelkan ke pipi gadis yang agaknya mulai siuman.
Sepasang mata bagus bening terbuka, menatap ke langit. Ketika pandangannya membentur wajah tersenyum pemuda rambut gondrong, langsung gadis ini menjerit dan berusaha bangun. Pemuda berpakaian putih cepat memegang bahu si gadis dan berkata,
“Tenang, tak ada yang perlu kau takutkan…”
”Aku… aku sudah mati?”
Si gondrong tertawa. “Kalau kau sudah mati mana bisa bicara?” Si gadis terdiam.
“Tapi… Tadi aku jatuh ke dalam jurang…“ Gadis baju biru memandang ke samping, ke arah jurang. Kuduknya merinding.
“Tidak, kau tidak jadi jatuh ke dalam jurang. Tuhan menyelamatkan dirimu.”
“Tuhan… Gusti Allah menyelamatkan diriku?”
Si gadis tampak bingung. Dia usap tangan kiri ke tangan kanan, lalu tekap wajah. Saat itulah dia melihat pakaiannya yang robek besar di bagian dada. Cepat cepat dia menutupkan. Namun begitu dilepas tersibak kembali. Pemuda di depannya tertawa. Dia mencabut tiga batang rumput yang cukup panjang. Ketika dia hendak menusukkan ujung rumput ke baju biru yang robek, Si gadis langsung mendorong dadanya hingga dia terjengkang.
“Jangan kau berani menyentuh diriku!”
"Dengar, aku tidak bermaksud tidak baik. Dengan rumput ini baju yang robek bisa dijahit…”
“Dusta! Mana ada orang menjahit baju dengan rumput! iya kan?!”
“Namanya juga keadaan terpaksa. Kau mau kutolong…?
Si gadis akhirnya mengangguk namun sambil keluarkan ucapan. “Awas kalau kau berani berlaku kurang ajar!”
Pemuda rambut gondrong cuma tertawa. Tiga ujung rumput ditusukkannya ke bagian baju yang robek lalu satu persatu ujung dengan ujung saling dibuhul. Ketika melakukan hal itu tak sengaja jari-jari tangan si pemuda menyentuh payudara si gadis. Langsung kakinya menendang perut si pemuda. Untuk kedua kalinya pemuda ini jatuh terjengkang.
“Dasar manusia kurang ajar! Kau pergunakan kesempatan. Mengaku! Iya kan?!”
“Aku tak sengaja. Harap dimaafkan. Habis bajumu agak ketat. Lalu anumu itu besar sekali. Mana mungkin…”
“Plaakk!” Satu tamparan melayang ke pipi si gondrong.
“Bukan tanganmu saja yang kurang ajar. Ternyata mulutmu juga kurang ajar!”
Si pemuda meringis pura-pura kesakitan. Sambil pegangi pipi yang tadi ditampar dia berkata. “Sudahlah, yang penting pakaianmu yang robek sudah tertutup. Sekarang ceritakan apa sebabnya kau menunggangi kuda seperti dikejar setan hingga hampir celaka masuk jurang.”
Si gadis tidak menjawab. Dia memandang berkeliling. Lalu menangis ketika melihat kuda coklat miliknya yang tergeletak mati. “Ki Sepuh Ireng” ucap si gadis lirih sesenggukan.
“Siapa Ki Sepuh Ireng?” tanya pemuda gondrong.
“Kudaku… Kuda saja dicemburui...”
“Ee… siapa yang cemburu!” Si pemuda ingin tertawa bergelak namun akhirnya cuma garuk-garuk kepala. Dia kemudian ingat pada tanda Kerajaan yang tertera di pinggul kuda berbentuk Tombak Trisula. Lalu dia bertanya. “Adik, apakah kau seorang kerabat Keraton?”
“Kau sendiri siapa?” Si gadis usap air matanya dan balik bertanya.
Pemuda rambut gondrong tersenyum, menggaruk kepala dan menjawab. “Namaku Wiro…”
“Wiro… Wiro. Banyak orang bernama Wiro. Kau ini Wiro yang mana?”
“Maksudmu?” tanya si gondrong tak mengerti.
“Apa nama panjangmu?!”
”Oh Itu. Aku malu mengatakan. Nama belakangku jelek.” Jawab si pemuda pula.
”Huh, orangnya juga jelek. Jadi pantas kalau punya nama jelek! Iyakan?!”
Si pemuda tertawa gelak-gelak.
“Weh, diejek malah tertawa. Konyol! Aku tanya siapa nama panjangmu!”
“Namaku Wiro… Wiro Sableng.”
“Apa?” Si gadis besarkan mata lalu tertawa panjang. Eh, kau tahu apa artinya sableng?”
Pemuda gondrong yang memang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede sambil senyum-senyum menjawab. “Sableng itu artinya kalau tidak edan ya sinting, bisa juga gila atau gendeng…”
“Hemmm…” si gadis bergumam dan angguk-anggukkan kepala. “Jadi Itulah kau manusianya rupanya. Pantas tadi berani berlaku kurang ajar.”
“Kalau orang gila berlaku kurang ajar kan tidak bisa disalahkan. Iya kan?” ucap Wiro pula meniru logat bicara si gadis.
“Enaknya!”
“Sekarang giliranmu memberi tahu siapa namamu dan mengapa kau bisa sampai disini hampir celaka.”
“Apa perlunya aku memberi tahu namaku padamu!” jawab si gadis.
Wiro menggaruk kepala. Dalam hati dia membatin. “Aneh, ada gadis yang sudah ditolong begini rupa malah bicara galak. Aku tidak meminta tapi berterima kasihpun dia tidak.”
“Kalau kau tidak mau memberi tahu tidak jadi apa.”
“Ya sudah kalau begitu! Iya kan?!” jawab si gadis pula lalu bangkit berdiri.
Wiro mendahului bangun, tertawa dan berkata. “Kalau kau memang kerabat Keraton, kau tentu tahu perjalanan ke Kotaraja dari sini cukup jauh. Kudamu sudah mati. Kalau kau jalan kaki dua kakimu yang bagus itu bisa meleleh begitu kau Sampai di Kotaraja. Lalu, di tengah jalan mungkin saja kau akan kejatuhan hujan. Mungkin kau tidak takut pada air hujan. Tapi ketahuilah kawasan ini sedang digentayangi para perampok. Kalau orang-orang jahat itu menemuimu, nasibmu lebih celaka dari pada mati kecebur jurang! Selain itu aku punya dugaan. Kau tadi membedal kuda luar biasa kencang karena ada orang yang mengejar. Orang itu pasti punya niat jahat padamu. Mungkin dia yang merobek bajumu! Orang Itu berpakaian hitam. Aku sempat melihat bayangannya sewaktu aku menghancurkan batu besar dibalik mana dia sembunyi. Mungkin dia masih ada di sekitar sini! Begitu kau berjalan sendirian pasti dia akan mencekalaimu! Seram kan? Ngeri kan?!”
Habis berkata begitu Pendekar 212 tinggalkan si gadis, melesat kemulut goa di tepi jurang, duduk bersila dan ambil suling yang terselip di pinggang. Ditinggal sendirian si gadis memandang berkeliling. Lalu perlahan-lahan rasa takut mulai mencekam dirinya. Apalagi melihat ke atas, langit yang tadi cerah kini mulai diselimuti awan hitam. Dia memandang ke arah goa di tepi jurang. Saat itu Wiro mulai meniup suling perak.
“Hai Kesinilah!” si gadis berteriak sambil melambaikan tangan.
Wiro terus saja meniup suling.
“Hai! Kesinilah! Aku mau bicara!” teriak gadis baju biru kembali.
Wiro turunkan suling ke bawah bibir lalu menjawab. “Kalau mau bicara kau saja yang datang ke sini!” Wiro lanjutkan meniup suling.
“Kau yang kesini!” teriak si gadis.
“Aku tidak perlu kau! Kau yang perlu aku! Iya kan?!” Wiro terus-terusan menirukan gaya ucapan si gadis yang kalau bicara selalu pakai tambahan kata-kata iya kan. Tidak perduli dia melanjutkan meniup, suling perak. Dari mana dan bagaimana Wiro kini memiIiki sebuah suling perak?
Seperti dituturkan dalam episode sebelumnya Sang Pembunuh suling perak itu adalah milik Loan Nio Nikouw, paderi perempuan dari Tionggoan. Sebelum berpisah sang paderi memberikan suling perak itu sebagai tanda terima kasih pada nenek kembar jejadian (kembaran Eyang Sepuh Kembar Tilu) yang telah memberikan obat untuk menggugurkan kandungannya.
Sang paderi mengandung akibat diperkosa oleh Liok Ong Cun sewaktu berada dalam keadaan pingsan. Tanpa setahu Wiro, si nenek kembar jejadian menyelipkan suling itu di pinggang sang pendekar. Wiro baru menyadari keberadaan suling itu dipinggangnya beberapa waktu kemudian. Karena dia memang pandai meniup suling, jika ada kesempatan Wiro menghibur diri dengan suling perak itu.
“Dasar manusia sableng!” maki gadis baju biru. Tahu kalau pemuda itu tidak akan mau datang menemuinya gadis ini menjadi nekad. “Kau kira aku tidak mampu datang ke tempatmu di goa batu?!”
Wiro berhenti meniup suling lalu menyahut ucapan orang. “Bukan tidak mampu. Tapi tidak berani! Iya kan?!”
“Tunggu! Akan aku perlihatkan padamu kalau aku Raden Ayu Ambarsari bukan gadis pengecut!”
Begitu selesai berucap gadis berpakaian biru dan mengaku bernama Raden Ayu Ambarsari mundur mengambil ancang-ancang. Lalu dibarengi satu teriakan keras dia melompat ke arah goa di tepi jurang dimana Pendekar 212 duduk bersila meniup suling. Celakanya, apapun ilmu yang dimilikinya ternyata gadis ini tidak mampu mencapai mulut goa. Tubuhnya melayang, terapung sesaat hanya dua jengkal dari hadapan Wiro. Dia berusaha menggapai batu pinggiran goa, namun luput.
Sesaat lagi tubuh Raden Ayu Ambarsari akan melayang jatuh amblas menemui ajal di dasar jurang batu berkedalaman dua puluh tombak, tiba-tiba Pendekar 212 ulurkan tangan kiri mencekal pergelangan tangan kanan si gadis yang menggapai-gapai di udara.
"Aduh tubuhmu berat amat! Tanganmu licin. Aku tak bisa menahan!" Wiro berteriak. Tubuhnya merunduk ke depan. Murid Sinto Gendeng hanya berpura-pura. Dia ingin tahu sampai dimana sebenarnya kenekadan gadis itu.
"Pegang lenganku dengan dua tangan!" teriak Ambarsari. Rupanya gadis ini sekarang benar-benar ketakutan setengah mati.
Wiro tersenyum. Dia segera kerahkan tenaga dalam. Sekali menyentakkan tangan kiri tubuh Ambarsari tertarik keras ke atas, melayang ke dalam goa dan jatuh terbujur tepat di atas pangkuan Wiro.
"Ihhh..." Raden Ayu Ambarsari cepat berdiri namun tak bisa karena bahunya ditekan Wiro dengan tangan kiri sementara tangan kanan masih memegang suling perak yang terus ditiup.
"Gila Hentikan meniup suling Aku tidak mau kau pangku seperti ini!" teriak Ambarsari.
"Siapa yang memangku? Kau sendiri yang menjatuhkan tubuhmu ke pangkuanku! Iya kan?!" jawab Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
"Pemuda kurang ajar!"
"Jangan terus-terusan bicara seperti itu. Ingat aku sudah dua kali menyelamatkan nyawamu!"
"Ooo, jadi kau ingin minta balasan? Lalu enak saja memangku dan meraba tubuhku?! Aku tidak takut mati, lihat!"
Entah sungguhan entah pura-pura si gadis lalu hendak melompat kedalam jurang. Wiro tidak mau kesalahan menduga. Cepat dia sambar leher pakaian si gadis lalu menariknya hingga terduduk di dalam goa. Dengan muka pucat keringatan Ambarsari menatap mendelik ke arah Wiro lalu gadis ini mulai menangis.
"Eeh. tadi galak nekad Sekarang mengapa jadi cengeng?" ujar Wiro. Tangis si gadis semakin keras. "Sudah Berhenti menangis!"
"Aku belum pernah menemui orang sejahat dan sekurang ajar seperti dirimu?" ucap Ambarsari yang segera dijawab Pendekar 212.
"Aku belum pernah melihat dara secantikmu tapi tolol dan nekad"
"Mulutmu lancang sekali! Berani menghinaku!" Si gadis pukulkan tangannya ke punggung Wiro.
"Kalau kau terus mewek, terus memukuli, akan aku tinggalkan kau sendirian di dalam goa ini" Wiro berdiri pura-pura hendak melompat ke tepi jurang sana.
"Tunggul Jangan pergi!" teriak Ambarsari. Dia mengusut matanya yang basah berulang kali, hentikan tangis dan tarik tangannya yang memukuli punggung si pemuda.
"Nah begitu lebih baik. Iya kan?!"
"Iya kan Iya kan! Kau benar-benar sableng!" Ambarsari berteriak jengkel. Kembali dia hendak memukul Wiro tapi tak jadi.
"Jadi kau gadis Keraton? Namamu Raden Ayu Ambarsari? Betul?"
"Sudah tahu kenapa masih bertanya?!" si gadis unjukkan wajah sebal. Lalu lanjutkan ucapannya. "Aku cucu Pangeran tua Wirapala."
Wiro menggaruk kepala seolah tidak mendengar kata-kata Ambarsari. Padahal walau belum pernah bertemu muka dia sering-mendengar perihal pangeran itu dari gurunya. Di masa muda Eyang Sinto Gendeng bersahabat dengan Pangeran Sena Wirapala.
"Dengar, tolong aku keluar dari goa ini Aku harus segera kembali ke Kotaraja."
"Aku akan memenuhi apa pintamu asal kau tidak galak. Apa lagi setelah tahu kau puteri Keraton aku harus menaruh hormat padamu. Tapi sebelum meninggalkan tempat ini aku ingin tahu apa yang terjadi dengan dirimu. Puteri Keraton tidak pernah memakai bunga tanjung dikeningnya. Apa arti bunga tanjung yang kau tempelkan dikeningmu itu?"
Raden Ayu Ambarsari Ingat dan terkejut. Dia cepat meraba keningnya, mengambil bunga tanjung yang menempel. Sekali meremas bunga tanjung itu hancur. "Manusia jahanam itu! Dia yang menempelkan bunga tanjung ini di keningku!"
"Manusia jahanam siapa? Orang berpakaian hitam itu?" tanya Wiro.
Ambarsari mengangguk "Apa perlunya dia menempelkan bunga tanjung dikeningmu? Memangnya kau tengah bercinta bermesraan dengannya?"
Ambarsari mengangkat tangan kanannya hendak menampar Wiro tapi kemudian mengurungkan niatnya. "Najis bercinta dan bermesraan dengan jahanam itu. Justru dia hendak merusak kehormatanku. Bunga tanjung ini mungkin sebagian dari alat sirapannya. Dia menyirapku dengan sebuah benda berbentuk..."
Belum selesai Ambarsari berucap tiba-tiba dari pinggir jurang sebelah barat berkiblat satu cahaya hitam, menderu ke arah goa. bilangan kejapan mata sebelum goa batu hancur berantakan Pendekar 212 cepat rangkul pinggang gadis di sampingnya lalu melesat ke tepi jurang. Ambarsari gemetar ketakutan. Wajahnya pucat. Selamat dari bokongan serangan, masih merangkul, pinggang Ambarsari murid Sinto Gendeng lepaskan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung
"Buummmm Braaakkk!" Pinggiran jurang batu di sebelah barat hancur berantakan. Lapat-lapat terdengar suara orang memaki.
"Kabur. Bangsat pembokong itu pasti sudah kabur" ucap Wiro. Dia tak berusaha mengejar. "Pasti dia manusia jahanam yang hendak memperkosamu itu. Dia mau membunuh kita berdua. Dia tak ingin kau bicara untuk selama-lamanya. Ikuti aku, kita cari tempat yang aman"
Wiro lalu pegang lengan Ambarsari. Di satu celah batu pada tempat ke tinggian dimana dia bisa melihat keadaan di sekitarnya dengan jelas Wiro berhenti.
"Tempat ini cukup aman. Sekarang lanjutkan ceritamu. Tadi kau bilang orang itu menyirapmu dengan sebuah benda berbentuk… Berbentuk apa?"
"Patung kecil dari batu. Benda itu memancarkan cahaya merah. Aku ngeri sekali mengingat kejadiannya…"
"Tidak usah takut. Coba kau bercerita mulai pertama kali kau bertemu orang itu. Tidak, jangan dari situ. Tapi mulai dari bagaimana kau bisa berada di tempat yang jauh dari Kotaraja ini."
Ambarsari sandarkan punggungnya ke batu. Dia terdiam cukup lama berusaha menenangkan diri sebelum memulai kisahnya. "Malam tadi, aku menginap di rumah seorang saudara sepupu di Godean. Pagi hari aku pergi ke satu pedataran rumput yang banyak kupu-kupu. Aku senang kupu-kupu."
"Sendirian?" tanya Wiro.
"Sendirian. Pergi kemana-mana aku memang tidak suka ditemani, apa lagi yang namanya dikawal. Ketika aku datang, saudara sepupuku ternyata sedang sakit," menerangkan Ambarsari. "Aku sudah sering pergi ke pedataran berumput itu. Namun karena sejak pagi hujan turun, tidak satu kupu-kupupun yang kelihatan. Aku duduk menunggu di sebuah gubuk tua di tepi pedataran. Berharap hujan akan segera berhenti. Siang hari hujan memang reda tapi kupu-kupu tetap saja tak ada yang muncul. Ketika aku berkemas-kemas hendak meninggalkan gubuk bersama kudaku Ki Sepuh Ireng. tiba-tiba entah dari mana datangnya, tahu-tahu di hadapanku telah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, mengenakan baju dan celana hitam, bersulam bunga dari benang perak dan emas. Keningnya diikat kain merah. Pemuda Ini berkumis tipis, memelihara janggut dan cambang bawuk rapi. Dia menyapaku. Suaranya lembut."
Rambut dan janggut putih panjang melambai-lambai ke belakang. Di tangan kanan dia memegang sebuah tongkat besar berbalut emas yang ujung sebelah atas berbentuk bulat dihias batu permata berbagai warna.
Saking cepatnya dia berlari tubuhnya hanya kellhatan berupa bayangan putih dan tongkat di tangan kanan membentuk cahaya kuning. Di satu tempat cahaya putih dan kuning sirna, sosok si orang tua laksana lenyap ditelan bumi. Tak selang berapa lama dia sudah berada di dalam satu lorong panjang di perut gurun.
Orang tua itu baru berhenti berlari setelah dia sampal di hadapan satut embok batu berwarna hitam pekat yang menutupi lorong di bawah gurun. Setelah mengusap wajah beberapa kali, orang tua ini hunjamkan tongkat besi berpalut emas ke tanah. Sinar kuning berkiblat menyapu seantero ruangan. Si orang tua tundukkan kepala lalu keluarkan ucapan.
“Resi Ketua Khandwa Abitar, saya Resi Kepala Mirpur Patel datang menghadap membawa kabar.”
Suara orang tua yang menyebut diri sebagai Resi Kepala Mirpur Patel bergema di dalam lorong. Begitu suara gema lenyap tiba-tiba di tembok ada satu kilatan cahaya biru. Di lain kejap di depan tembok batu hitam itu telah berdiri seorang lelaki tinggi besar, berpakaian selempang kain biru.
Kulitnya agak kehitaman, rambut, alis, janggut serta kumis putih seperti kapas. Di tangan kanan dia memegang sebuah tongkat terbuat dari batu biru, berkeluk pada ujung sebelah atas. Batu tongkat yang merupakan batu mustika ini konon bernilai Iebih dari seratus kali nilai emas murni.
“Resi Kepala, aku sudah ada di hadapanmu. Sampaikan kabar yang kau bawa. Baik atau buruk?”
“Maafkan saya Resi Ketua. Saya datang membawa kabar buruk.” Jawab Resi Kepala Mirpur Patel.
“Aku sudah melihat dari raut wajahmu,” kata Resi Ketua pula dengan mata memandang tak berkesip.
“Saya ingin memberi tahu, Patung Kamasutra yang disimpan di tempat rahasia dalam Goa Binaker lenyap.
Hal ini saya ketahui pagi tadi” Habis berkata begitu Mirpur Patel jatuhkan diri. Dengan menjatuhkan diri, berlutut di depan Resi Ketua, Mirpur Patel memberi tanda bahwa dia mengakui dosa, sangat menyesal dan siap dihukum.
“Resi Kepala, berdirilah.”
Resi Mirpur Patel perlahan-lahan bangkit berdiri. Kepala masih tertunduk seolah tidak berani menatap wajah sang Ketua. Walau ucapan Resi Kepala lebih dahsyat dari gelegar petir di siang bolong namun Resi Ketua masih mampu berlaku tenang. Suaranya bergetar ketika berkata.
“Aku biasa mendapat kabar buruk. Tapi aku sama sekali sangat tidak menyangka bahwa kabar yang kau bawa adalah lenyapnya Patung Kamasutra yang berusia lebih dan lima ribu tahun dan telah disimpan di Goa Binaker selama dua ribu delapan ratus tahun. Ada tujuh pintu rahasia menuju ke goa penyimpanan patung kuno itu. Patung diletakkan di dalam satu keranda kaca. Jangankan sampai keranda Itu disentuh, tertiup angin atau dihinggapi lalat saja alat rahasia akan bekerja. Dua ratus senjata rahasia akan bergerak, lima jenis racun akan menyembur ke dalam goa.”
"Saya juga tidak mengerti namun saya tidak mau mencari alasan. Saya mengakui, semua terjadi atas kelalaian saya.” Ucap Resi Mirpur Patel pula.
Resi Ketua Khandawa Abitar usap janggut, mata terpejam dan benak berpikir. Lalu dia berucap. “Resi Kepala, antarkan aku ke Goa Binaker. Kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri rasanya aku masih kurang percaya”
Mendengar ucapan Rest Ketua, Resi Kepala segera pindahkan tongkat yang dipegangnya ke tangan kiri. Lalu tangan kanan ditempelkan ke lengan Resi Ketua yang memegang tongkat batu. Satu cahaya biru berkiblat menyelubungi seluruh ruangan. Saat itu juga ke dua Resi lenyap dari tempat Itu.
Di lain kejap mereka sudah berada di depan mulut Goa Binaker, sebuah goa rahasia yang terletak di sebelah timur Gurun Pasir Thar. Di dalam goa dua belas orang Resi berselempang kain putih menyambut kedatangan Resi Kepala dan Resi Ketua. Mereka sama tundukkan kepala. Di wajah masing-masing terlihat perasaan takut.
Setelah melewati enam pintu rahasia di pintu ke tujuh Resi Ketua Khandawa Abitar menekan sebuah tonjolan batu. Konon hanya dia dan Resi Kepala yang memliliki ilmu kesaktian untuk mampu menekan tonjolan batu tersebut. Tekanan pada batu yang menonjol bukan saja membuat pintu rahasia ke tujuh terbuka tapi sekaligus membuat dua ratus alat rahasia yang ada di dalam ruangan di balik pintu tidak bekerja lagi, lima jenis racun tak dapat menyembur.
Ketika masuk ke dalam ruangan, Resi Ketua melihat banyak pasir bertebaran di lantai batu. Di tengah ruangan batu yang terletak di balik pintu rahasia ke tujuh, terdapat sebuah gundukan batu yang bagian atas rata licin dan berkliat. di atas batu ini terletak satu keranda kaca yang bagian bawahnya di buat agak tinggi demikian rupa dan ditutup kain beludru biru pekat.
Setelah memperhatikan keranda kaca itu beberapa lama Resi Ketua Khandawa Abitar berkata, “Luar biasa! Sungguh luar biasa Keranda kaca tidak pecah tidak rusak. Tapi Patung Kamasutra yang ada di dalamnya bisa lenyap tak berbekas! Siapa pencurinya, ilmu kesaktian apa yang dipakainya untuk masuk ke sini dan mencuri Patung itu. Resi Ketua berpaling pada Resi Kepala, disampingnya.
“Resi Kepala, satu hal perlu aku beri tahu padamu. Ketika aku menekan tonjolan batu di pintu ke tujuh, aku sudah tahu ada kerusakan pada alat rahasia dan alat penyembur racun.”
Saya juga sudah memperkirakan hal Itu pagi tadi sewaktu memerika,” jawab Resi Mirpur Patel. “Berarti si pencuri masuk melewati tujuh pintu dan…” Resi Kepala hentikan ucapan, memandang pada Resi Khandwa Abitar. “Hanya kita berdua yang mampu menekan tonjolan batu ltu…” Mendadak wajah Resi Kepala berubah pucat.
Resi Ketua gelengkan kepala. “Resi Kepala, tak ada yang akan menuduhmu sebagai pencuri Patung Kamasutra. Walaupun kau mampu masuk ke ruangan ini, kau tak punya kepandaian untuk mengambil Patung Kamasutra, tanpa memecah kaca keranda. Kau lihat atap ruangan sebelah sana?” Resi Kepala memandang ke arah yang ditunjuk Resi Ketua.
“Kalau tidak diperhatikan dengan seksama, tidak akan kelihatan adanya kelainan di atap batu Itu.” Setelah berkata begitu Resi Ketua dongakkan kepala lalu meniup ke arah atap batu.
“Wusss! Braaakkk!”
Tiupan Resi Ketua membuat saat itu juga atap batu berlubang besar. Angin menderu masuk dari luar. Pecahan kepingan batu atap berjatuhan ke lantai bersama tebaran pasir gurun. Dari tempatnya berdiri Resi Kepala dapat melihat jelas langit di luar sana. Hawa panas Gurun Thar ikut menyeruak masuk.
“Dengan kepandaiannya si pencuri lebih dulu merusak semua peralatan rahasia. Itu dilakukannya setelah dia menjebol atap ruangan dari luar. Sebelum kabur dia menutup lobang di atas. Kukira dia berusaha menipu kita dengan membawa sebuah keranda kaca kosong yang sama dengan keranda kaca tempat Patung Kamasutra diletakkan. Keranda kaca berisi patung diambil, keranda kosong diletakkan sebagai pengganti. Sepintas lalu terlihat tidak ada perbedaan Tapi coba kau perhatikan. Keranda kaca ini bukan keranda kaca yang asli!”
Resi Kepala perhatikan keranda kaca yang terletak di atas batu rata. “Resi Ketua, saya mengaku lalai. Keranda kaca ini memang bukan keranda kaca yang asli”
“Resi Kepala, kau tahu malapetaka apa yang akan terjadi jika patung itu berada di dunia luar sana? Aku tak bisa membayangkan.”
“Saya berharap si pencuri tidak mengetahui kekuatan jahat yang tersembunyi di dalam patung,” kata Resi Mirpur Patel lirih. Lalu dia menyambung ucapannya.”Resi Ketua, saya mengaku salah. Saya siap menjalani hukuman.”
Resi Ketua Khandawa Abitar merenung sejurus lalu berkata. “Aku tidak berhak menghukummu. Manusia tidak layak menjatuhkan hukuman atas manusia lain karena belum tentu si penghukum lebih bersih dan lebih suci dari yang terhukum. Biarlah para Dewa yang akan menentukan apa yang bakal terjadi”
Resi Mirpur Patel terdiam. Wajahnya tampak sangat murung menyesali diri. Sejurus kemudian baru dia berkata. “Resi Ketua, kalau begitu ucapan Resi Ketua, berikan kesempatan pada saya untuk menebus dosa.”
“Apa maksudmu Resi Mirpur Patel?"
Sebagat jawaban Resi Kepala berkelebat melompat ke arah tembok ruangan sebelah kanan. Resi Ketua berusaha mencegah tapi terlambat. Kepala Resi Mirpur Patel beradu dengan tembok batu, mengeluarkan suara menggidikkan. Kepala itu rengkah. Sosok sang Resi terkapar jatuh. Nyawanya putus sebelum tubuhnya menyentuh lantai ruangan.
Resi Khandawa Abitar mengusap. wajah, menghela nafas dalam berulang kali, lalu berkata. “Resi Mirpur Patel, itu bukan kehendak para Dewa, tapi kemauan dirimu sendiri”
Resi Ketua hentakkan ujung tongkatnya ke lantal batu. Selarik cahaya biru menebar menutupi seluruh ruangan. Sewaktu cahaya itu sirna. sosok Resi Ketua tak kelihatan lagi di tempat itu.
Angin gurun yang menyapu dan mengikis lobang batu di atap menimbulkan suara aneh berkepanjangan. Pasir gurun semakin banyak yang masuk ke dalam ruangan. Pada saat itu terjadi satu keanehan. Dari sosok mayat Resi Kepala Mirpur Patel yang terkapar di lantai batu tiba-tiba keluar satu sosok samar laki-laki berpakaian hitam. Di tangan kanan dia memegang sebuah patung kecil terbuat dan batu berwarna abu-abu kehitaman. Patung itu memancarkan cahaya merah redup.
“Wuttt!!” Sosok samar berkelebat ke arah lobang di atas atap dan lenyap dari pemandangan. Angin gurun bertiup semakin kencang. Pasir gurun yang masuk ke dalam ruangan bertambah banyak. Lima hari kemudian seluruh ruangan rahasia di Goa Binaker itu telah tertimbun tumpukan pasir gurun.
********************
DUA
Desa Manding di utara Sumenep. Sang surya belum lama muncul di ufuk timur, masih belum pupus titik-titik embun di permukaan dedaunan. Sindang, seorang anak lelaki penggembala itik, ketika menyusuri tepian Kali Pasian mendadak melihat sepasang kaki putih mulus tersembul dan balik serumpunan semak belukar.
Diselubungi perasaan heran dan juga takut anak ini melangkah mendekati. Dia jadi terkejut ketika mendapatkan sosok tubuh seorang gadis tergeletak di balik semak-semak tanpa secuil kainpun menutupi auratnya. Sindang memperhatikan wajah cantik pucat, bibir kebiruan. Di kening menempel sekuntum bunga kecil sebesar ujung kuku berwarna putih kekuningan.
Bunga tanjung. Sekujur tubuh anak penggembala ini bergetar. Kakinya goyah bersurut mundur. Dia. rnengenali gadis yang tergeletak di tanah itu.Setelah mengumpulkan keberanian dia berjongkok di tanah. Masih takut-takut, tapi juga tidak tahu pasti apa yang terjadi sebenarnya, Sindang ulurkan tangan menggoyang bahu si gadis.
“Kakak Rui Semanti mengapa tidur di sini? Mengapa tidak pakai baju?”
Setelah berulang kali menegur dan menggoyang bahu orang namun tak ada jawaban tak ada gerakan bocah penggembala jadi bingung. Dia tak dapat lagi menahan rasa takut.
“Kakak Rui Semanti sudah mati. Sudah jadi mayat…“ Sindang berucap terbata-bata lalu melompat bangkit.
Tidak pikir panjang lagi, tanpa perdulikan belasan itik angonannya yang berpencaran kian kemari, anak ini lari ke arah desa sambil berteriak-teriak. Dia tahu rumah gadis benama Rui Semanti itu, tapi dia tidak menuju ke sana karena agak jauh di selatan desa. Sindang lari ke arah barat dimana terletak rumah Kenda Jamitan, pemuda kekasih Rui Semanti.
Semua orang di desa Manding termasuk anak penggembala itu mengetahuli bahwa bulan dimuka Rui Semanti dan Kenda Jamitan akan melangsungkan pernikahan. Sindang kenal baik dengan Kenda Jamitan karena pemuda itu sering mengajaknya main layang-layang. Sampai di rumah Kenda Jamitan, Sindang langsung menggedor pintu depan seraya berteriak-teriak.
“Kakak Kenda! Kakak Kenda!” Si bocah terengah-engah hampir kehabisan nafas.
Beberapa tetangga menjulurkan kepala di jendela ingin mengetahui anak siapa yang pagi-pagi begitu berteriak-teriak, dan apa Yang terjadi. Tak lama kemudian pintu rumah terbuka. Seorang pemuda berkumis tipis, berkulit sawo matang keluar.
“Kakak Kenda…!”
“Sindang? ada apa! Pagi-pagi kau muncul di sini. Bukankah seharusnya kau pergi menggembala?” tanya pemuda berkumis bernama Kenda Jamitan.
“Kakak Kenda…” Sindang menunjukke arah timur. “Saya… saya menemukan kakak Rui Semanti di tepi sungai”
“Hah Kau pasti mengintipnya mandi. Awas, kujewer kupingmu sampai putus” Kenda Jamitan ulurkan tangan.
“Tidak, sumpah saya tidak berbuat nakal. Saya menemukan Kakak Rui tidak mengenakan pakaian. Mukanya pucat, bibirnya biru, dua mata terpejam. Saya…“ Sindang lalu menangis keras.
“Apa?!” Kenda Jamitan terkejut besar.
“Kakak, lekas ikuti saya.”
Kenda Jamitan tatap wajah Sindang beberapa ketika. Tidak salahkah dia mendengar? Rui Semanti calon istrinya ditemui di tepi sungai. Tidak mengenakan pakaian, bibir biru, mata terpejam. Pemuda ini sulit mau percaya tapi si bocah agaknya tidak main-main. Darah Kenda Jamitan mendadak berdesir. Dada berdebar. Dia Iari ke samping rumah mengambil kuda. Sindang dinaikkan di sebelah depan lalu pemuda itu memacu kudanya ke arah timur.
********************
Desa Manding geger besar. Betapa tidak. Rui Semanti, kembang desa cantik jelita yang akan melangsungkan pernikahan tak lama lagi dengan Kenda Jamitan ditemukan tewas dalam keadaan bugil di tepi Kali Pasian. Melihat kepada bibirnya yang kebiruan banyak orang menduga gadis malang ini menemui ajal karena keracunan. Lalu pada bagian tubuhnya yang lain ada tanda-tanda bahwa Rui Semanti telah dirusak kehormatannya. Rui Semanti dirampas kegadisannya lalu dibunuh dan mayatnya dibuang di tepi Kali Pasian.
Yang menimbulkan tanda tanya tak terjawab adalah bunga tanjung yang menempel di kening si gadis. Apa artinya dan siapa yang menempelkan. Sang pembunuh? Jenazah Rui Semanti dibawa ke rumahya. Sementara diratap ditangisi oleh kedua orang tua dan saudara-saudaranya.
Seperti orang kemasukan setan tiba-tiba Kenda Jamitan melompat ke halaman dan berteriak. “Ini pasti pekerjaan keji Legung Antah! Dia tidak bisa mendapatkan Rui lalu memperkosa dan membunuhnya !”
Orang banyak yang berkumpul di tempat itu menjadi heboh. Sebenarnya ada yang sebelumnya juga punya prasangka seperti itu namun tidak berani mengatakan. Ketika Kenda Jamitan menghunus clurit beberapa orang segara mendatangi dan membujuk berusaha menenangkan pemuda itu. Namun semua mereka terpaksa mundur berserabutan ketika pemuda bertubuh kekar itu membabatkan clurit.
Sambil berteriak-teriak menyumpahi Legung Antah, Kenda Jamitan lari ke arah selatan. Orang banyak mengikuti dari belakang. Mereka tahu apa yang dilakukan Kenda Jamitan. Mencari Legung Antah, mendatangi rumahnya! Pasti akan terjadi pertumpahan darah!
********************
DI DEPAN sebuah rumah besar berhalaman luas Kenda Jamitan berdiri dengan muka berapi-api dan dada turun naik, sepasang mata membara. Mulut berteriak lantang. Tangan kanan mengacung-acungkan clurit.
“Legung Antah! Manusia jahanam! Keluar kau! Jangan sembunyi di dalam rumah!”
Tak ada suara tak ada jawaban. Tetangga berdatangan. Sebentar saja halaman besar di depan rumah sudah dipenuhi orang.
“Jahanam Legung Antah! Kalau kau tidak keluar aku bakar rumahmu!” Kenda Jamitan berteriak mengancam.
Pintu depan rumah tiba-tiba terbuka. Dua orang keluar. Di sebelah depan seorang pemuda berambut panjarng sebahu beralis tebal hitam, berkulit kuning. Inilah Legung Antah, pemuda yang konon sejak lama jatuh cinta pada Rui Semanti namun cintanya tak berbalas karena si gadis telah lebih dahulu terpikat pada Kenda Jamitan.
Beberapa waktu lalu dua pemuda itu tak sengaja bertemu dipasar Manding. Entah bagaimana pasal sebab musababnya terjadi perang mulut yang disusul dengan adu jotos. Dalam perkelahian tangan kosong satu lawan satu Kenda Jamitan menghajar lawannya sampai babak belur.
Di belakang Legung Antah melangkah seorang Ielaki tua, agak bungkuk, hanya mengenakan sehelai celana panjang putih, membekal sebilah clurit di pinggang.Orang tua ini adalah Antah Bayana, ayah Legung Antah.
“Kenda Jamitan,” tegur Antah Bayana. Pagi hari kau datang ke rumahku! Berteriak-teriak seperti orang gila! Mengacungkan clurit seperti tukang jagal kesetanan…”
“Diam!” hardik Kenda Jamitan. “Aku memang hendak menabas batang leher anakmu!”
Antah Bayana maju ke samping puteranya. “Pasal apa kau datang membawa kemarahan dan mengancam hendak membunuh anakku?!” tanya si orang tua pada Kenda Jamitan.
“Tua bangka, kau jangan ikut campur! Sekali lagi kau berani bicara kau juga akan kuhabisi!”
“Hebat sekali! Rupanya kau sudah jadi malaikat maut penguasa nyawa manusia!” kata Antah Bayana tanpa ada perasaan takut.
Mendengar kata-kata orang Kenda Jamitan tambah menggelegak amarahnya. “Puteramu pemuda jahanam ini telah memperkosa dan membunuh calon istriku! Mayat Rui Semanti ditemukan di tepi Kali Pasian! Dia menempelkan sebuah kembang tanjung di keningnya! Apa maksudnya berbuat begitu? Jahanam keparat!”
Orang banyak yang mendengar kata-kata Kenda Jamitan, yang tadi masih merasa ragu apa yang sebenarnya terjadi karuan saja menjadi marah. Salah seorang dari mereka malah berteriak agar Legung Antah dicincang saat itu juga.
“Tunggu!” Antah Bayana melangkah ke hadapan Kenda Jamitan. Sepasang mata berkilat dan pelipis bergerak-gerak. “Kau punya bukti anakku yang merusak kehormatan dan membunuh Rui Semanti?! Kapan, dimana kejadiannya! Di desa ini tidak ada pohon tanjung. Bagaimana mungkin kau menuduh anakku menempelkan bunga tanjung dikening Rui Semanti”
“Tua bangka keparat! Dengar baik-baik? Mayat Rui Semanti ditemukan pagi ini oleh seorang penggembala di tepi Kali Pasian! Pasti kejadiannya tadi malam! Kalau kau ingin bukti dan saksi tanyakan pada setan Kali Pasian!” teriak Kenda Jamitan dengan suara keras dan sepasang mata mendelik membara.
“Semalaman tadi anakku Legung Antah ada di rumah. Tidak kemana-mana!” Menerangkan’ ayah Antah Bayana. Lalu dia bertanya. “Sejak kapan kau bersahabat dengan para setan Kali Pasian hingga bisa menjadikannya saksi segala?!"
“Dusta besar! Kau tentu saja mau membela anak jahanammu itu!”
“Kenda Jamitan!” bentak Legung Antah sambil maju dua langkah. “Jaga mulutmu! Jangan kau berani bicara kurang ajar terhadap bapakku!”
“Ayah dan anak sama saja jahanamnya. Biar aku habisi kalian berdua sekaligus!”
Habis berteriak begitu Kenda Jamitan menyerbu Legung Antah dengan clurit besar yang sejak tadi dipegang di tangan kanan. Kalau tidak cepat Legung Antah menghindar. pasti perutnya robek ditambus clurit.
“Legung Antah!” teriak Antah Bayana pada puteranya. “Kita orang Madura! Kehormatan diri dan keluarga adalah pegangan utama! Tidak ada orang boleh menghina dan memfitnah keluarga Antah dan turunannya! Hadapi bangsat edan itu! Carok!”
Antah Bayana kemudian cabut clurit yang tergantung di pinggang lalu diberikan pada Legung Antah. Di Madura carok dikenal sebagai pembelaan harga diri dan keluarga secara jantan, diselesaikan dalam pertarungan satu lawan satu dan biasanya masing-masing pihak bersenjatakan clurit.
Lima jurus perkelahian berlalu. Dua pemuda sama-sama punya gerakan cepat. Dua buah clurit besar berkesiuran di udara mencari sasaran di tubuh lawan. Dalam jurus ke sembilan darah mulai mengucur. Legung Antah kena bacokan di bahu kiri yang segera di balas oleh pemuda itu dengan membabat ke arah kepala lawan, menabas putus telinga kiri Kenda Jamitan. Pertarungan semakin hebat semakin ganas.
Bacokan dibalas bacokan. Sambaran clurit dibalas babatan ganas. Setelah berlalu dua puluh jurus lebih, dua pemuda itu akhirnya terkapar bergelimang darah di tanah dengan tubuh dan muka penuh luka bacokan. Keduanya sama-sama menghembuskan nafas dalam keadaan sangat mengenaskan.
Sebelum meIepas ajal, orang banyak masih sempat mendengar Legung Antah keluarkan ucapan. “Ya Allah ya Tuhanku. Aku rela mati membela kebenaran dan kehormatan diri serta keluargaku. Kau tahu ya Allah, aku tidak membunuh Rui Semanti…”
Orang banyak merasakan kuduk masing-masing jadi dingin bergidik mendengar ucapan menjelang ajal itu. Lalu siapa yang telah merusak kehormatan dan membunuh Rui Semanti?
********************
TIGA
Perempuan tua berambut putih duduk di bangku bambu di langkan rumah, menatap ke arah halaman becek lalu memandang ke jalan lurus di depan sana. Mulutnya berucap perlahan.
“Hujan sudah lama berhenti. Mengapa anak itu belum juga kembali? Sebentar lagi malam akan turun.”
Kilat menyabung di udara, disusul suara gelegar guntur di kejauhan. Di ujung jalan lurus muncul seorang penunggang kuda. Perempuan tua berdiri dari duduknya, memperhatikan penuh harapan dan merasa lega ketika mengetahui yang datang adalah puteranya seorang pemuda bertubuh tegap, berwajah elok. Bajunya basah kuyup pertanda dia kehujanan dalam perjalanan. Begitu turun perempuan tua langsung menegur.
“Wayan, syukur kau cepat kembali.”
“Udara buruk. Barusan hujan. Ayah sakit di dalam. Mengapa ibu berada di luar?”
“Aku menunggu adikmu. Sejak tadi Ayu pergi ke Pura untuk berdoa memohon kesembuhan ayahmu pada Sang Hyang Widhi. Mungkin terhalang hujan. Tapi hujan sudah lama berhenti…”
“Sebentar lagi dia pasti kembali. Bagaimana keadaan ayah?”
“Panasnya tidak turun-turun. Nafasnya masih sesak..."
“Saya ada membawa ramuan obat pemberian juru obat Mangku Arsana di Besakih. Tolong ibu menggodok dan meminumkan pada ayah. Mudah-mudah ayah lekas sembuh.”
Ni Warda, ibu pemuda bernama, Wayan Arta mengambil bungkusan obat yang diberikan puteranya. Sebelum melangkah masuk ke dalam rumah perempuan ini berkata,
“Wayan, ibu tidak merasa tenteram sebelum adikmu pulang. Cobalah kau pergi ke Pura. Kalau Ayu tidak ada di sana, tanyakan pada penjaga Pura. Mungkin orang di sana tahu kemana perginya anak itu.”
Wayan Mantra turun kembali ke halaman dan naik ke atas kuda. Cukup lama dia pergi, sewaktu kembali hari sudah malam. Ni Warda keluar dan dalam kamar setelah memberi minum obat godokan pada suaminya yang sedang sakit.
“Bertemu?” tanya perempuan berambut putih itu dengan wajah cemas.
“Jadi Ayu belum kembali?” Wayan Mantra balik bertanya yang mengira adiknya, sudah pulang sewaktu dia pergi. Sang ibu gelengkan kepala.
“Orang di Pura memberi tahu Ayu meninggalkan Pura sebelum hujan turun. Kemana perginya anak itu?”
Wayan Mantra menatap ke arah jalan becek. “Mungkin dia berteduh di satu tempat atau pergi ke rumah salah seorang sahabatnya.”
“Sampai malam begini? Dia tahu ayahnya sedang sakit…” Ni Warda semakin cemas. “Ibu kawatir…”
“Saya juga merasa cemas. Tapi kemana saya harus mencari?”
“Desa Bali Aga ini tidak terlalu luas. Kau bisa bertanya pada banyak orang. Ayu banyak temannya. Siapa yang tidak kenal adikmu itu.”
“Baik, Bu. Akan saya cari dia sampai dapat. Ibu tak perlu cemas. Sebelum pergi saya akan melihat ayah dulu.”
“Pakaianmu basah. Gantilah.”
“Tidak apa. Nanti juga kering,” jawab Wayan Arta.
Setelah melihat ayahnya yang tengah sakit dalam keadaan tertidur Wayan Arta meninggalkan rumah. Hampir tengah malam pemuda ini baru kembali. Dia datang bersama empat orang temannya yang sama sama menunggangi kuda. Dia melihat ibunya duduk dekat pintu kamar, setengah tidur setengah jaga. Perempuan ini buka kedua matanya begitu Wayan Arta melangkah mendekati. Sebelum sang ibu bertanya dia mendahului berkata.
“Seluruh desa sudah saya kelilingi bersama teman-teman. Puluhan orang saya tanyai termasuk sahabat Ayu. Tak seorangpun yang melihatnya.”
“Wayan, ibu punya firasat tidak enak. Tadi malam ibu bermimpi…” Perempuan ini mulai terisak.
Wayan Arta jongkok di samping Ni Warda dan memeluk perempuan Itu. “Ibu, harap ibu tenang saja. Saya dan beberapa orang kawan di tambah para penjaga desa akan melakukan pencarian. Ayu pasti kami temukan…”
“Dalam keadaan selamat,” sambung sang ibu.
Wayan Arta gigit bibirnya sendiri. “Tentu, dalam keadan selamat, pemuda itu mengulangi ucapan ibunya. Lalu dia mengambil sepotong kayu yang terletak di sanding pintu sebelah atas. Dengan kayu itu dia kemudian memukul berulang-ulang kentongan yang tergantung di langkan rumah. Dalam waktu singkat suara kentongan terdengar bersahut-sahutan dari berbagai penjuru. Para tetangga dan penduduk Desa Bali Aga berdatangan.
Sebentar saja halaman rumah sudah dipenuhi banyak orang. Tengah malam itu juga pencarian atas diri Ida Ayu Kintani dilakukan ke seluruh pelosok desa bahkan sampai ke desa-desa tetangga. Para pencari dibagi atas dua rombongan. Namun sampai pagi datang dan malam berganti siang gadis jelita berusia delapan belas tahun itu masih belum berhasil ditemukan.
********************
Sore hari sebelum Ida Ayu Kintani diketahui hilang. Suasana di dalam Puri hening sekali. Ida Ayu Kintani berdoa penuh khidmat. Memohon pada Yang Maha Kuasa Sang Hyang Widhi untuk kesembuhan ayahnya yang telah menderita sakit sejak lima hari lalu. Selesai berdoa gadis cantik kembang Desa Bali Aga itu bersiap-siap meninggalkan Pura. Di luar didengarnya suara-suara gelegar guntur dan sesekall kilat menyambar di langit. Suara hujan rintik-rintik terdengar berjatuhan di atap Pura.
Di pintu Pura, seorang penjaga memberi salam. Ida Ayu Kintani membalas salam orang Itu lalu bergegas pulang. Di satu kelokan jalan hujan rintik-rintik tiba-tiba berubah deras. Selagi kebingungan mencari tempat berteduh, tiba-tiba muncul seorang lelaki muda berpayung kertas lebar yang langsung melindungi Ida Ayu Kintani dari curahan hujan hingga si gadis tak sampai kebasahan.
Pemuda yang memayungi Ida Ayu Kintani berwajah tampan, memelihara kumis, cambang serta janggut tipis rapi dan tubuhnya menebar harum bunga. Pakaian bagus mewah berwama hitam berhias bunga-bunga kecil disulam dari benang perak dan emas.
Kening diikat kain merah yang juga bersulam bunga perak dan emas. Ida Ayu Kintani tak pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Dia yakin orang ini bukan penduduk Desa Bali Aga dan dari pakaiannya agaknya dia adalah seorang pemuda bangsawan atau putera keluarga hartawan.
“Peganglah payung ini Jangan sampai adik kehujanan.” Orang tak dikenal berkata. Suara begitu lembut dan senyumnya ramah. Ida Ayu Kintani hentikan Iangkah, terdiam sejenak.
“Apakah saya mengenal…”
“Jangan persoalkan dulu kenal atau tidak. Yang penting adik tak boleh kehujanan...”
“Lalu kakak sendiri bagaimana?” tanya si gadis.
“Saya masih punya satu payung lagi.” Lalu dari balik punggungnya lelaki ini mengambil sebuah payung kertas kecil.
Ida Ayu Kintani akhirnya mengambil juga payung kertas besar yang diberikan orang. Sebelum melangkah gadis ini bertanya. “Kemana nanti saya mengembailkan payung ini?”
“Tak usah dikembalikan. Pulanglah. Bukankah ayah adik sedang sakit dan barusan adik berdoa di Pura?”
Walau heran orang tak dikenal ini mengetahui keadaan ayahnya, Si gadis anggukkan kepala lalu melangkah, diikuti lelaki tadi.
“Kalau adik memberi izin, saya punya sejenis obat. Mudah-mudah bisa menjadi penyembuh penyakit orang tua adik.”
“Terima kasih. Wayan sudah pergi meminta obat pada seorang tabib di Besakih.” Jawab Ida Ayu Kintani.
“Siapa Wayan?"
“Kakak saya,” menerangkan Ida Ayu Kintani.
Sambil berjalan berpayung di samping si gadis, lelaki Itu bertanya. “Apakah adik pernah mendengar kata Kamasutra?”
“Saya pernah mendengar tapi tidak tahu apa artinya.”
“Kamasutra adalah satu mukjizat luar biasa. Jika adik tidak keberatan saya ingin memperlihatkan sesuatu pada adik.”
“Saya harus cepat pulang…”
“Saya mengerti. Tapi kalau adik mau melihat sebentar saja benda itu…“
Ida Ayu Kintani tidak menjawab. Dari balik pakaiannya lelaki berpayung di samping si gadis keluarkan sebuah kantong kain berwarna hitam. Ada sebuah benda di dalam kantong yang memancarkan cahaya merah redup,membuat Ida Ayu Kintani jadi menaruh perhatian. Mengetahui si gadis mulai tertarik, lelaki itu berkata,
“Hujan tambah lebat. Rumah adik masih cukup jauh dan jalanan sangat becek. Saya akan memperlihatkan benda di dalam kantong ini pada adik di satu tempat. Di tepi Danau Batur banyak gubuk kosong. Bagaimana kita pergi ke sana barang sebentar. Di salah satu gubuk saya akan memperlihatkan benda dalam kantong pada adik.”
Ida Ayu Kintani menggeleng. “Saya harus pulang cepat-cepat. Saya tak mau pergi ketempat yang kau katakan itu.”
“Kalau begitu…” Pemuda tampan terdiam.
Melihat orang yang menolongnya kecewa Ida Ayu Kintani lantas berkata. “Mengapa harus pergi ke Danau Batur. Perlihatkan saja di sini. Sambil berjalan.”
Lelaki berkumis dan berjanggut tipis rapi tersenyum. “Kalau itu pinta adik, baiklah…” katanya.
Payung yang dipegangnya dicampakkan begitu saja ke jalan. Dibawah hujan lebat dan dalam kantong kain hitam dikeluarkannya sebuah benda yang memancarkan cahaya merah redup lalu diperlihatkan pada si gadis. Wajah Ida Ayu Kintani Iangsung berubah merah. Dia cepat membuang muka namun telah keburu sempat melihat. Tubuhnya bergetar.
“Adik, kita ke Danau Batur sekarang…?”
Pemuda berkumis, bercambang dan berjanggut tipis bertanya lembut sambil memegang tangan si gadis. Ida Ayu Kintani tidak menyahut. Tapi entah mengapa langkahnya bergerak mengikuti kemana dia diajak.
********************
Menjelang tengah hari Wayan dan teman-teman dibantu penduduk desa melanjutkan pencarian di rimba belantara di kaki Gunung Abang. Pada saat itulah datang seorang penduduk desa menunggang kuda. Dia membawa kabar buruk. Seorang penjala ikan menemukan sesosok Ida Ayu Kintani telah jadi mayat, terapung di tepi Danau Batur. Di keningnya menempel sekuntum bunga tanjung. Bibirnya tampak membiru.
Sebentar saja kabar buruk itu telah menebar luas dan diketahui seluruh penduduk Desa Bali Aga. Hampir semua orang menangis meratapi kematian gadis cantik kembang desa itu.
********************
EMPAT
Pesta perkawinan Sekartaji , puteri Adipati Lumajang dilangsungkan secara besar-besaran. Selama tiga hari tiga malam perhelatan digelar dengan segala kemeriahan. Ratusan tamu datang dari berbagai penjuru termasuk para pejabat tinggi Kerajaan. Sri Baginda sendiri mengutus Patih Kerajaan untuk menghadiri pesta tersebut.
Selain hidangan dan minuman yang lezat berbagai pertunjukan untuk menghibur para tamu disuguhkan silih berganti. Mulai dan hiburan gamelan dengan para penyanyi terkenal, wayang kulit, debus dari Madura sampai rombongan Reog jauh-jauh didatangkan dari Ponorogo.
Selain Sekartaji adalah anak satu-satunya, perhelatan besar itu juga sekaligus merupakan syukuran karena bulandimuka Adipati Lumajang Surogeneng akan dipindah tugas ke Kotaraja. Dia dipercayai Sri Baginda menduduki jabatan baru setingkat dibawah Patih Kerajaan.
Yang menjadi besan Adipati Lumajang adalah Giring Santiko seorang hartawan kaya raya dari Gresik hingga tidak heran kalau pesta perkawinan itu dapat terselenggara secara besar dan mewah.
Malam terakhir pesta besar meriah, sebelum masuk ke kamar, Ageng Sutawijaya, sang pengantin lelaki sementara tampak masih duduk-duduk di wang depan Gedung Kadipaten dengan teman-temannya sambil minum-minum. Ageng Sutawijaya tidak henti-hentinya menjadi bulan-bulanan godaan. Seorang teman berkata,
“Ageng, mengapa kau masih di sini? Masuk ke dalam kamar sana. Jangan biarkan pengantinmu kedinginan menunggu terlalu lama.”
Teman yang lain menyahut. “Kalau kita masih di sini dia tak mau masuk kamar. Takut kita intip!”
Gelak tawa untuk kesekian kalinya pecah di tempat itu. Di dalam rumah besar, seorang pelayan yang sejak kecil mengurus Sekartaji mengantarkan pengantin perempuan itu masuk ke dalam kamar.
“Den ayu, sebentar lagi suamimu akan masuk ke sini. Baiknya mbok keluar saja.” Berkata si pelayan setelah berada dalam kamar itu beberapa saat lamanya.
“Jangan pergi dulu mbok. Temani saya. Nanti kalau dia sudah datang baru mbok pergi.”
Pelayan tua itu tersenyum. Dipegangnya bahu Sekartaji dengan lembut lalu berkata. “Kalau tahu mbok masih di sini, den masmu pasti tidak akan masuk-masuk. Sudah, mbok pergi dulu. Awas jangan sampai ketiduran waktu suami den ayu masuk. ini adalah malam paling bahagia dalam kehidupan den ayu. Yang pasti tidak akan terlupakan selama-lamanya.”
“Mbok, apakah mbok tidak akan menolong saya lebih dulu membuka pakaian pengantin ini?”
Sang pelayan tersenyum. Sambil kedipkan mata dia berkata. Biar suamimu nanti yang membukanya. Itu salah satu hal yang paling indah dalam malam pengantin ini”
“Mbok, kau bisa saja menggodaku..." Walau Sekartaji berusaha mencegah agar pelayan itu jangan pergi dulu, sambil senyum-senyum si pelayan membuka pintu dan keluar dari kamar.
Setelah tinggal sendiri, Sekartaji bingung mau berbuat apa. Sebentar dia duduk di tepi tempattidur besar, berdiri dan melangkah mundar mandir dalam kamar. Lalu berdiri di belakang jendela besar Dia ingin membuka jendela itu memandang keluar tapi tak berani, takut menyalahi adat. Akhirnya sang pengantin perempuan ini duduk di sebuah kursi di sudut kamar.
Pada saat itulah telinganya mendengar, suara di pintu. Memandang ke pintu Sekartaji melihat besi pegangan pintu bergerak ke bawah. Dada pengantin perempuan ini berdebar. Suaminya datang.
Perlahan-lahan pintu kamar terbuka. Yang muncul dan kemudian masuk bukan sosok gagah berpakaian pengantin, bukan sang suami Ageng Sutawijaya, melainkan seorang pemuda yang tidak dikenal Sekartaji. Orang ini mengenakan pakalan hitam bersulam bunga-bunga kecil terbuat dan benang perak dan emas.
Wajahnya yang tampan tertutup cambang, kumis dan janggut tipis rapi. Kening diikat kain merah yang juga bersulam gambar bunga terbuat dan benang perak dan emas. Begitu orang ini berada di dalam kamar, seantero ruangan ditebar bau harumnya kembang tanjung.
Terkejut dan heran Sekartaji segera menegur dengan nada marah. “Kau siapa?. Mengapa berani masuk ke dalam kamar pengantin?!”
Pemuda yang masuk cepat menutup pintu kamar dengan tangan kanan sementara telunjuk tangan kiri disilangkan di depan bibir yang tersenyum. “Jangan takut, aku sahabat yang membawa keberuntungan bagimu.” Pemuda berpakaian hitam berkata. Suaranya lembut.
“Aku tak kenal dirimu. Kau bukan sahabat Ageng Sutawijaya. Keluar atau aku akan berteriak!” Sekartaji mengancam.
“Aku akan keluar. Tapi mohon berikan padaku sedikit waktu. Aku memang tamu tak di undang. Aku juga bukan sahabat suamimu. Tapi diriku adalah sahabatmu. Seperti kataku tadi aku datang membawa keberuntungan. Dengar, Iihat… Apakah kau pernah melihat benda ini sebelumnya?”
Dari dalam saku pakaian di sisi kiri, dengan tangan kirinya pemuda di dalam kamar mengambil sebuah kantong kain wama hitam. Dengan cepat dia mengeluarkan sebuah benda yang memancarkan cahaya merah redup dari dalam kantong kain itu.
“Lihat baik-baik, pandanglah. Bukankah indah sekali?” Si pemuda acungkan benda di tangan kirinya dekat-dekat ke muka Sekartaji. Sang pengantin memperhatikan dengan mata membesar, tubuh bergetar, wajah memerah dan duakaki bersurut mundur, dada turun naik.
“Aku datang membawa berkah untukmu, Sekartaji.” Si pemuda berucap. Tangan kanan diulurkan ke kening si gadis, menempelkan sekuntum bunga tanjung bulat kecil.
Saat itu punggung Sekartaji tertahan di dinding kamar. Sekujur tubuhnya berkeringat. Di depannya ada dua bayangan aneh lelaki perempuan telanjang, membuat gerakan-gerakan seperti menari.
********************
Hampir menjelang pagi, diiringi tepuk tangan sorak sorai teman-temannya yang terus menggoda, Ageng Sutawijaya akhirnya masuk juga ke dalam kamar pengantin. Setelah menutup pintu pengantin lelaki itu berdiri sejenak, mata memandang seputar kamar. Dia mengira akan melihat Sekartaji di atas tempat tidur besar, tapi sangpengantin perempuan itu tak ada di sana. Juga tidak tampak duduk di salah satu dari dua kursi di dalam kamar.
Sekar…”
Tak ada jawaban.
“Mungkln dia menggodaku. Sembunyi atau bagaimana. Mungkin keluar kamar…”
Ageng Sutawijaya merasa ada tiupan angin dingin. Dia berpaling ke arah kanan. Dia heran melihat jendela kamar terbuka labar. Timbul rasa curiga. Pemuda ini lari kebelakang jendela. Halaman samping sunyi sepi. Di dua sudut tampak obor menyaladan seorang pengawal tegak berjaga-jaga. Di kejauhan sana dia bisa mendengar suara gelak tawa teman-temannya yang masih bercanda satu sama lain.
“Sekar...” Ageng Sutawijaya memanggil sekali lag!
Tak ada jawaban. Merasa semakin tidak enak dia memeriksa seuruh kamar Malah sampai-sampai membalik tempat tidur besar. Sekartaji tetap tidak ditemukan.
“Apa yang terjadi? Sekar! Dimana kau?!” Ageng Sutawijaya mulai berteriak. Akhirnya pemuda ini melompat keluar kamar lewat jendela. Ketika dia muncul di bagian depan rumah, teman-temannya yang masih ada di sana karuan saja menjadi heran. Ada yang mulai menggoda.
“Kau seperti ketakutan! Ha ha ha! Kau diapakan sama pengantinmu?"
“Ageng! Kau dari mana?” Salah seorang teman bertanya.
“Teman-teman… Sekartaji hilang!” Ageng Sutawijaya memberi tahu.
Tak ada yang percaya. Ucapannya disambut gelak tawa.
“Saat ini seharusnya kau berada dalam kamar berdua-duaan dengan istrimu! Mengapa mau-mauan membuat lelucon?”
“Aku tidak membuat lelucon Sekartaji benar-benar tak ada di kamar!” ucap Ageng Sutawijaya berteriak.
Malam itu juga Gedung Kadipaten Lumajang yang baru saja mengadakan perhelatan besar tiga hari tiga malam menjadi geger. Kegegeran ini dengan cepat melanda seluruh kota. Menjelang pagi semua penduduk mengetahui apa yang terjadi. Sekartaji entah melarikan diri entah diculik orang. Pencarian besar-besaran segera dilaksanakan, dibagi dua kelompok. Masing-masing dipimpin oleh Adipati Surogeneng dan Ageng Sutawijaya.
Menjelang tengah hari serombongan pengantar jenazah memasuki kawasan pekuburan yang terletak di luar kota sebelah timur Lumajang. Selesai jenazah dimakamkan dan doa dibacakan, pada saat rombongan hendak meninggalkan pekuburan mereka melihat sebuah keranda jenazah tertutup kain hijau terletak di bawah satu pohon rindeng tak jauh di arah jalan menuju pintu gerbang.
“Heran, tadi tidak kulihat keranda itu di sana. Bagaimana tahu-tahu bisa berada di tempat Itu?" seseorang berucap.
Seorang lain menyambung. ”Siapa yang membawa? Tak ada yang menunggui. Mengapa ditinggal begitu saja?”
Penuh rasa ingin tahu semua orang segera mendatangi keranda jenazah itu. Kain hijau penutup keranda disingkapkan. Langaung saja semua mulut keluarkan seruan tertehan dan bersurut mundur!
Di alas keranda terbujur sesosok tubuh perempuan muda mengenakan pakaian pengantin penuh robek dan nyaris tak mampu menutupi aurat. Di keningnya menempel sekuntum kembang tanjung putih kekuningan. Wajah pucat pasi dan bibir tampak membiru.
“Gusti Allah! ini Den Ayu Sekartaji!”
“Ya Tuhan! Siapa yang membawa kuda! Lekas beri tahu Adipati Surogeneng!” seseorang berteriak.
Tak selang berapa lama, setelah ditemukannya Sekartaji dalam keadaan sudah jadi mayat, untuk kedua kalinya Lumajang dilanda kegemparan. Sungguh luar biasa dan sangat mengenaskan kejadian ini. Siapa yang begitu biadab menculik Sekartaji pada malam pengantinnya, merusak kehormatan lalu membunuhnya!
********************
LIMA
Goa Cadasbiru , Kaliurang. Udara pagi masih terasa sejuk walau sang surya sudah cukup lama menampakkan diri di ufuk timur. Kicau burung masih terdengar bersahut-sahutan di atas pepohonan. Di dalam goa, di atas ranjang batu beralaskan kasur empuk, seorang dara cantik berpakaian tidur warna biru menggeliatkan tubuhnya yang elok, mengangkat ke dua kaki tinggi-tinggi ke atas. Pakaian tiduryang dikenakannya merosot ke bawah, menyingkapkan sepasang betis bagus dan paha putih mulus.
“Malas sekali rasanya pergi mandi ke telaga" Berucap si gadis lalu duduk di tepi ranjang. Rambut yang dikonde di atas kepala digerai lepas, panjang sepinggang. Rambut hitam tebal yang dilepas begitu rupa membuat wajahnya tampak bertambah jelita.
Di atas ranjang batu kedua di dalam goa, seorang gadis berpakalan merah menatap ke langit-langit ruangan. “Kalau kau masih malas mandi, biar aku duluan yang turun ke telaga.” Si baju merah berkata. Lalu bangun, turundan tempat tidur dan tanggalkan pakaiannya. Dalam keadaan bugil begitu rupa dia melangkah ke lorong menuju pintu goa.
“Kau ke telaga bertelanjang bulat seperti itu?” menegur gadis berpakaian biru.
”Apa salahnya? Tak ada orang di tempat ini” jawab si baju merah yang berdiri bertolak pinggang tanpa pakaian sambil menggoyangkan pinggul.
“Gila!” Gadis baju biru mendamprat. Kurasa tempat ini tidak lagi aman. Apa kau lupa kajadian siang kemarin? Ada orang tak dikenal muncul. Mundar mandir di luar goa. Aku merasa pasti dia tengah meyelidiki tempat ini.”
Kalau cuma seorang lelaki, apa lagi masih muda dan berwajah tampan mengapa harus takut? Malah seharusnya kita undang dia datang dan masuk ke dalam goa ini.”
“Ngacok! Kau bicara tolol atau memang sudah gila?! Kita masih menyimpan lima puluh kati madat didalam goa ini! Banyak orang berusaha mendapatkannya, terutama pemiliknya orang-orang dari daratan Cina. Belum lagi sisa orang-orang yang menamakan diri dari Kraton Kaliningrat. Pasti orang kemarin tengah menyelidiki keberadaan madat itu. Jika dia menemukan kita tapi tidak menemukan madat, dia akan membunuh kita!”
Kisah mengenai madat ini terjadi ketika kaum pemberontak yang menamakan diri orangorang Keraton Kaliningrat menjarah lima puluh kati madat dari kapal China yang berlabuh di Moro Damak untuk membiayai perjuangan mereka merebut tahta Kerajaan. Untuk jelasnya baca serial Wiro Sableng Episode Perjanjian Dengan Roh s/d Api Di Puncak Merapi
“Kita berdua, orang itu Cuma sendiri. Nyalimu kecil sekali.”
“Jangan menganggap remeh orang lain. Kau kira apa cuma kita bendua saja yang punya ilmu silat dan kesaktian di dunia ini?”
“Lalu apakah aku tidak bisa mandi ketelaga? Sampai berapa hari kita harus mendekam di dalam goa ini”
Siapakah dua gadis jelita penghuni goa Cadasbiru ini? Mereka bukan lain adalah sepasang kakak adik Liris Merah dan Liris Biru, murid nenek sakti berjuluk Hantu Malam Bergigi Perak. Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Azab Sang Murid Hantu Malam Bergigi Perak menemui ajal tewas di tangan Sinto Gendeng dalam memperebutkan Kitab Seribu Pengobatan.
Liris Merah dan Linis Biru yang punya penyakit tidak tahan panas dengan petunjuk yang ada dalam Kitab Seribu Pengobatan berhasil disembuhkan. Setelah sang guru menemui ajal, Liris Merah mengalami nasib malang, jatuh ke tangan Pangeran Matahari dan dijadikan budak nafsu selama beberapa hari sebelum akhirnya Pangeran Matahari menemui ajal di puncak Gunung Merapi. (Baca serial Wiro Sableng berjudul Api Di Puncak Merapi)
“Kita harus menunggu sampai keadaan aman. Mari kita awasi dulu keadaan diluar sana sebelum pergi ke telaga.” kata Liris Biru.
Liris Merah kenakan pakaian merahnya kembali lalu dua kakak beradik ini memasuki lorong pendek dan sampai di mulut goa yang ditutup dengan sebuah batu besar. Dari luar, mulut goa yang tertutup batu ini tidak kentara sama sekali. Selain sulit dilihat juga terhalang oleh beberapa pohon yang tumbuh rapat serta semak belukar lebat. Di bagian dalam dinding goa sebelah kanan, terdapat dua buah lobang sangat kecil yang bisa dipergunakan untuk mengintai keadaan di luar goa.
“Aku yakin orang kemarin akan muncul lagi di sini. Dia tengah mencari sesuatu. Dia tidak akan berhenti sebelum menemukan…“ Liris Biru berkata sambil mendekatkan mata kanan di lobang pengintai.
“Kemarin aku tak sempat melihatnya. Ketika aku mengintai dia keburu pergi…“
“Orangnya masih muda, berpakaian hitam. Wajah tampan. Gerak geriknya…”
“Wajahnya tampan katamu?! Hik hik hik! Jangan-jangan aku yang tengah dicarinya. Kalau dia datang biar aku keluar menemui.”
“Jangan lakukan perbuatan tolol itu! Sekali orang tahu goa ini kita bisa celaka!”
“Adikku Liris Biru, kau tenang-tenang sajalah. Tak usah kawatir. Kakakmu ini yang akan menangani semua urusan!” kata Liris Merah pula sambil tersenyum. “Cuma, aku merasa bosan, mataku bisa terasa pedas kalau terus-terusan mengintip tanpa kita tahu kapan munculnya pemuda itu.
“Kemarin dia muncul tenga hari. Kurasa kali ini bisa saja dia datang pagi-pagi begini atau sore nanti…”Jawab Liris Biru.
Liris Merah pegang bahu adiknya. Lalu berkata setengah berbisik. “Ssstt. Aku melihat sesuatu bergerak. Arah kiri dibalik deretan pohon bambu di kanan jalan. Agaknya dia datang dari arah telaga.”
Liris Biru mengintai tak berkesip. Dia perhatikan deretan pohon bambu lalu gadis ini menahan nafas.Dari balik pohon bambu, berjalan ditangga batu cadas muncul seorang pemuda berkumis tipis, memelihara janggut dan cambang bawuk rapi. Pakaiannya yang hitam bersulam bunga-bunga kecil dan benang perak dan emas.
“Liris Merah, orang yang kita tunggu sudah muncul. Kau mengenali atau pernah melihat pemuda ini sebelumnya?” Bertanya Liris Biru.
Di luar goa pemuda gagah berpakaian hitam berdiri di satu gundukan batu cadas, memandang berkeliling sambil jari-jari tangan kanannya mempermainkan sebuah benda bulat sebesar ujung jari, berwarna putih kekuningan. Sesekali benda itu didekatkan ke hidung.
“Aku tak kenal orang ini. Tapi kelihatannya dia pemuda baik-baik. Mungkin juga seorang anak bangsawan kaya raya lihat pakaian yang dikenakannya. Bagus dan pasti mahal” Ujar Liris Merah yang diam-diam mulai merasa tertarik akan ketampanan wajah pemuda di luar sana.
“Mungkin dia mahluk jejadian. Bisa saja dia adalah roh Pangeran Matahari yang tengah menyaru gentayangan" ucap Liris Biru pula.
Liris Merah menatap ke arah adiknya lalu kembali mengintal lewat lobang rahasia. “Mahluk jejadian memang ada. Tapi kali ini aku tidak percaya hal begituan. Lihat saja, dua kaki pemuda itu jelas-jelas menginjak bumi, menginjak batu. Mana mungkin dia mahluk jejadian.”
Liris Biru menghela nafas dalam. “Yang kita tunggu Pendekar Dua Satu Dua. Yang muncul malah pemuda tak dikenal.”
“Lupakan dulu pendekar itu. Pemuda yang satu ini pasti turunan bangsawan kaya. Kalau kita bisa berkenalan dengan dia pasti kita bakal mendapat banyak kesenangan. Lihat, pemuda itu sekarang duduk di atas batu. Agaknya dia menunggu sesuatu. Atau tengah berpikir...” Kata Liris Merah pula.
“Aku punya firasat dia sudah menduga ada orang di sekitar sini. Tadi dia mungkln menyelidik di telaga. Kalau dia mengetahui goa rahasia ini dan tahu kita ada di dalam…”
Liris Merah menggeleng. “Dia tidak bakal mampu mengetahui. Walau sudah meninggal, namun hawa kesaktian guru kita masih ada di sekitar tempat ini melindungi goa.”
“Kau tahu benda apa yang berulang kali dicium pemuda itu?” Bertanya Liris Biru namun sebelum mendapat jawaban dia sudah berucap lagi. “Kakak, lihat! Pemuda itu berdiri. Dia melangkah pergi.”
Liris Merah mengintip kembali. “Liris Biru, kita harus tahu kemana perginya orang itu. Apa sebenarnya yang tengah dilakukannya di tempat ini. Kau tetap di dalam goa…”
“Kau mau kemana?” tanya sang adik.
“Aku akan mengikuti pemuda itu. Kita harus tahu apa sebenarnya yang dilakukannya di tempat ini. Kalau nanti ketahuan dia memang berbahaya, aku akan menghabisinya.” Liris Merah rapikan pakaian merahnya.
“Jangan lakukan hal itu. Biarkan saja dia pergi. Dia mungkin tak akan kembali lagi ke sini. Kita sudah aman di dalam sini.”
Liris Merah tidak perdulikan ucapan adiknya. Malah dia menjawab. “Kalau aku tidak kembali dalam waktu sepeminuman teh, kau harus segera keluar goa mencariku.” kata Liris Merah lalu menggeser batu besar penutup goa. Sesaat kemudian gadis itu sudah berada di luar goa.
“Liris Merah…” Liris Biru berucap sendiri di dalam goa. “Aku tahu kau bukan ingin menyelidik, kau tertarik pada pemuda itu. Kau tidak jera-jeranya. Apa pengalaman keji dengan Pangeran Matahari tidak membuatmu kapok?”
Liris Biru kembali masuk ke dalam ruangan tidur dan membaringkan tubuh di atas ranjang batu beralas kasur. Dia coba memicingkan mata. Namun hal ini membuat dia semakin tambah kawatir. Karena takut akan terjadi sesuatu yang tak diingini atas diri kakaknya, akhirnya sebelum seperminuman teh Liris Biru keluar dari dalam goa, berkelebat kearah perginya Liris Merah.
Setelah mencari dan mengejar cukup lama Liris Biru tidak juga menemukan kakaknya, akhirnya gadis ini hentikan lari. Saat itu dia berada di sebelah timur Goa Cadas biru. Dari tempat itu dia bisa melihat telaga dikejauhan. Tiba-tiba gadis ini melihat bayangan seseorang di baik batu di tepian telaga. Dia memperhatikan.
Dia merasa yakin yang tadi dilihatnya sekelebat adalah sosok seorang lelaki. Bukan kakaknya Liris Merah. Liris Biru memperhatikan lagi dengan pandangan ditajamkan. Kali ini dia melihat kepala laki-laki tersembul di balik batu. Kepala yang diikat kain merah.
“Pemuda itu! Dia ada di sana!”
Tidak menunggu Iebih lama Liris Biru segera menghambur lari ke arah telaga. Agar sampai lebih cepat gadis ini tidak lari melewati jalan biasa melainkan melompat dart satu cadas batu ke cadas batu lainnya mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sesaat kemudian dia sudah sampai di tepi telaga, langsung berkelebat ke arah batu besar dimana tadi dia melihat kepala lelaki tersembul. Dia mendengar suara tawa manja perempuan. Tawa Liris Merah. Begitu sampai di balik batu kejut Liris Biru bukan alang kepalang. Gadis ini berteriak keras.
“Jahanam! Kalian tengah berbuat apa! Terkutuk!”
Sosok pemuda telanjang yang tengah meneduhi tubuh Liris Merah tersentak kaget. Secepat kilat tangannya bergerak ke arah dada Liris Merah yang berada dibawah tindihannya lalu menyambar baju dan celana hitam miliknya. Di lain kejap pemuda ini sudah lenyap dari tepi telaga. Liris Biru berusaha mengejar.
Namun dia segera berbalik. Dia lebih mementingkan keselamatan kakaknya. Hanya saja ketika dia memeriksa keadaan sang kakak Liris Merah sudah tidak bernafas lagi. Tubuh tergeletak bugil. Pakaian merahnya entah berada dimana. Di kening menempel sekuntum kembang tanjung. Bibir tampak membiru.
“Kakak!” jerit Liris Biru.
ENAM
Liris Biru berlari membawa jenazah kakaknya. Sepanjang jalan gadis ini tiada hentinya menangis. Dalam keadaan seperti itu dia tidak menyadani kalau ada seorang pemuda berpakaian hitam berikat kepala kain merah mengikutinya. Di depan goa rahasia si penguntit memperhatikan bagaimana Liris Biru menggeser batu besar penutup mulut goa lalu masuk ke dalam.
“Hebat! Tempat persembunyian luar biasa! Aku berulang kali menyelidik ke sini. Tapi tak berhasil mengetehui jalan masuk. Sekarang si cantik itu sendiri yang menunjukkan jalan padaku. Gadis berbaju biru, apakah kau juga sudah tidak perawan seperti saudara mu itu?”
Pemuda berpakaian hitam segera menyibak semak belukar dan mendekati batu besar penutup goa. Namun sebelum dia sempat mengeser batu besar itu tiba-tiba ada orang berseru.
“Sahabatku muda dan cantik! Liris Merah Liris Biru! Apa kalian ada di dalam goa? Kangennya aku ini pada kalian hingga siang malam beser terus-menerus ha ha ha”
“Kurang ajar! Bangsat pengganggu!” Pemuda berpakaian hitam di depan goa terkejut dan menyumpah marah. Dengan cepat dia melompat ke balik satu pohon besar lalu berkelebat pergi ke arah timur. Sambil lari dia merutuk habis-habisan. Sementara, orang yang barusan berseru berdiri termangu di bawah pohon sambil usap-usap bagian bawah perutnya.
“Aneh, aku sudah pernah ke tempat ini. Tapi tetap saja tidak tahu dimana letaknya mulut goa!” Orang ini berucap dan memandang berkeliling. Dia adalah seorang kakek bermata belok jereng, daun telinga sebeIah kanan lebar terbalik, mengenakan celana gombrong yang lepek basah oleh air kencing! Siapa lagi kalau bukannya Setan Ngompol!
“Liris Merah! Liris Biru! Aku sahabat tua kalian Setan Ngompol! Mana pintu masuk ke dalam goa!”
Menunggu beberapa lama tetap tak ada jawaban. Setan Ngompol punya dugaan mungkin dua kakak adik murid Hantu Malam Bergigi Perak itu tak ada di tempat itu. Namun mendadak dia mendengar suara sesuatu. Si kakek melangkah mundar-mandir. Daun telinga sebelah kanan diputar-putar. Serrr. Si kakek mulai pancarkan air kencing.
“Aku mendengar suara orang menangis. Suara perempuan.” Setan Ngompol memandang ke arah kiri. Dia hanya melihat deretan pohon-pohon, semak belukar dan bukit batu.
“Liris Merah! Liris Biru! Aku Setan Ngompol! Aku mendengar suara orang menangis! Mengapa kalian tidak mau membuka pintu goa?!”
Baru saja Setan Ngompol berteriak tiba-tiba salah satu bagian dinding batu biru disebelah depan sana bergeser. Liris Biru keluar dan dalam goa sambil menangis, Iangsung menghambur ke arah Setan Ngompol.
“Kek, Liris Merah dibunuh orang…” Si gadis memberi tahu.
Setan Ngomol kaget besar, langsung terkencing-kencing. Liris Biru membawanya masuk ke dalam goa. Baik Liris Biru maupun Setan Ngompol tidak menyadari bahwa kemunculan Si kakek secara tidak terduga sebenarnya telah menyelamatkan gadis itu dari perkosaan dan pembunuhan seperti yang terjadi dengan kakaknya. Di dalam goa Setan Ngompol melihat Liris Merah terbujur di atas kasur, ditutup kain panjang sampai sebatas leher.
“Bagaimana kejadiannya!?” tanya si kakek sambil berusaha menahan ngompol.
“Semua berlangsung cepat sekali…”Lalu Liris Biru menuturkan bagaimana dia menemui kakaknya di balik batu besar.
Setelah mendengar cerita si gadis, Setan Ngompol berkata. “Kalau kakakmu tertawa-tawa ketika dirinya disebadani, berarti dia tidak diperkosa. Dia melakukan hal itu suka sama suka…”
“Lalu mengapa dia kemudian di bunuh sekeji ini?! Manusia jahanam itu lebih biadab dari Pangeran Matahari!” Liris Biru lalu menangis keras. Setelah tangisnya reda dia menatap memperhatikan wajah kakaknya. “Apa artinya bunga tanjung yang ditempelkan di kening? Lihat, kek. Bibir Liris Merah biru. Dia mati diracun!”
“Kalau dia diracun, berarti itu dilakukan sebelum kehormatannya dirampas. Tapi mana mungkin dalam waktu sesingkat itu …“
Setan Ngompol perhatikan wajah Liris Merah yang masih tampak segar merah lalu melangkah mundar mandir. Satu saat dia berhenti melangkah dan berkata. “Aku ingin melihat lehernya. Coba kau turunkan kain penutup…”
Liris Biru turunkan kain panjang penutup jenazah kakaknya sampai ke pundak. Setan Ngompol perhatikan leher Liris Merah. Dia tidak melihat tanda-tanda yang mencurigakan.
“Aku menduga kakakmu mati dicekik. Ternyata tidak,” ucap Setan Ngompol. “Masih ada satu tempat lagi yang ingin kulihat. Bagian dadanya. Tolong kau turunkan lagi kain panjang itu.”
“Tidak, aku tidak akan memperlihatkan aurat kakakku padamu,” kata Liris Biru pula.
Si kakek pegang bagian bawah perutnya menahan kencing. “Terserah padamu. Aku hanya ingin mengetahui penyebab kematian kakakmu. Kalau dia memang diracun, dan mana datangnya racun itu dan bagaimana masuknya ke tubuh kakakmu? Melalui hubungan badan itu…?” Serrr! Kencing Setan Ngompol mendadak terpancar.
Setelah menarik nafas panjang berulang kali akhirnya Setan Ngompol berkata. “Kita urus dulu jenazah kakakmu. Ada baiknya dia dimakamkan di samping kubur guru kalian. Setelah itu kau harus berkemas. Kau harus tinggalkan goa ini untuk selama-lamanya. Tempat ini tidak aman lagi bagimu! Pemerkosa dan pembunuh keji itu sewaktu-waktu bisa muncul.
“Aku akan membunuhnya jika dia berani datang ke sini” ucap Liris Biru pula.
“Aku punya dugaan, pemuda berpakaian hitam itu bukan cuma memiliki Ilmu kepandaian tinggi. Tapi mungkin juga memiliki semacam pengasih atau ilmu pelet. Buktinya bagaimana mungkin kakakmu yang aku ketahui galak itu bisa menyerahkan dirinya dalam waktu sesingkat itu. Kenalpun tidak sebelumnya…“
Aku tidak tahu kek,” jawab Liris Biru. “Sejak peristiwa dirinya dengan Pangeran Matahari tempo hari, Liris Merah selalu ingin berhubungan dengan laki-laki. Tapi satu hal kau benar. Aku memang harus menghindar dulu dari goa ini.Hanya saja…” Liris Biru ingat pada madat yang disembunyikan di dalam goa.
“Hanya saja apa?” tanya Setan Ngompol.
“Tidak, tidak apa-apa.” Jawab Liris Biru. Dia tidak mau menceritakan perihal madat dalam kantong kulit seberat 50 kati itu. Malah si gadis merubah pembicaraan. “Kek, kau percaya roh orang yang sudah mati bisa gentayangan menjadi mahluk jejadian?”
“Serrr!” Setan Ngompol delikkan mata dan pegangi bagian bawah perutnya yang kembali lepek basah. “Siang bolong begini rupa kau bicara yang membuat aku mengkirik saja! Mengapa kau bertanya aneh seperti itu?”
“Aku takut Pangeran Matahari yang sudah menemui ajal itu rohnya gentayangan, membentuk diri sebagai pemuda berpakaian serba hitam itu. Gentayangan untuk menuntut balas.”
Setan Ngompol enak saja usap-usap tengkuknya yang terasa dingin dengan tangan basah penuh air kencing. Dia merasa lega sedikit karena air kencing hangat yang ikut tersapu di kuduknya membuat hilang rasa dingin di kuduk itu.
“Aku tidak tahu. Tuhan Maha Kuasa, mampu berbuat sekehendakNya. Tapi aku tidak yakin pemuda berkumis berpakaian hitam itu adalah jejadian Pangeran Matahari. Kalau memang benar dia jejadian Pangeran Matahari, yang dicari dan dibunuhnya bukan Liris Merah, tapi Sinto Gendeng, Wiro Sableng dan para pendekar lain yang ikut urunan membunuhnya di puncak Gunung Merapi. Sudah, sebaiknya kita tidak membicarakan manusia dajal yang sudah mampus itu. Bisa-bisa aku ngompol terus-terusan...”
********************
TUJUH
Hujan lebat yang turun sejak pagi dan mulai berhenti pada siang hari membuat jalan di kaki bukit kecil ditenggara Godean menjadi becek berlumpur. Udara terasa dingin. Langit masih kelihatan agak kelabu.Di beberapa bagian malah tampak awan tebal menggantung hitam. Mungkin saja hujan akan turun lagimenjelang sore atau malam nanti.
Kesunyian di kaki bukit dipecah oleh suara derap lari seekor kuda diseling teriakan-teriakan perempuan. Tak lama kemudian di satu jalan menurun, becek dan penuh batu, seorang gadis berpakaian ringkas warna biru muda yang robek di bagian dada tampak memacu kuda coklat tunggangannya ke arah timur.
Agaknya dia memang cekatan menunggang kuda namun sangat berbahaya memacu kuda secepat itu di jalan yang demikian buruk serta menurun. Sesekali gadis ini menoleh ke belakang. Merapatkan dada pakaiannya yang robek lalu menggigit bibir dan memaki dalam hati.
“Kurang ajar! Ilmu lari setan apa yang dimiliki pemuda jahanam itu!”
Si gadis menepuk pinggul kudanya, berteriak keras agar binatang itu lari lebih cepat. Di wajahnya yang ayu cantik jelas tampak rasa takut amat sangat. Di keningnya, entah dia sadar atau tidak menempel sekuntum bunga tanjung, putih kekuningan, kecil sebulatan kuku jari tangan.
“Kotaraja masih jauh. Bagaimana aku bisa memancing agar manusia jahanam itu diringkus pasukan Kerajaan."
Terpisah sekitar sepuluh tombak dibelakang gadis berkuda kelihatan berlari seorang pemuda berpakaian hitam, berikat kepala merah. Dia berlari luar biasa capat,seolah dua kaki tidak menginjak tanah jalanan. Hanya persoalan waktu. Cepat atau lambat dia akan berhasil mengejar gadis penunggang kuda di depannya.
Di ujung jalan yang menurun terdapat satu tikungan patah. Gadis berpakaian biru tidak berusaha memperlambat lari kuda. Agaknya dia tidak mengenali benar keadaan jalan di kawasan itu. Dia menyangka begitu keluar dari tikungan akan menemui jalan rata. Ternyata keliru.
Justru di balik tikungan terdapat satu jurang batu sedalam dua puluh tombak yang hanya dipagari batu-batu setinggi betis serta semak belukar rendah. Konon tikungan di jalan menurun ini oleh para perampok seringkali dijadikan tempat menunggu mangsa.
Sementara itu di pinggiran jurang batu, tak jauh dan jalan yang menikung, dari arah sebuah goa kecil terdengar merdu suara tiupan seruling. Alunan suara seruling ini seolah berpadu dengan keadaan udara yang perlahan-lahan berubah mulai cerah serta munculnya pelangi di langit sebelah timur. Begitu melewat tikungan dan melihat jurang menghadang, gadis penunggang kuda berteriak kaget.
Dia cepat tarik tali kekang. Namun dalam kecepatan seperti itu sulit untuk dapat menghentikan kuda. Malah setelah meringkik keras, kepala mendongak, dua kaki depan kuda coklat membentur deretan batu di tepi jurang. Patah! Binatang ini tersungkur. Kepala menghantam sebuah batu besar hingga remuk mengerikan.
Gadis berpakaian biru terpental mencelat ke udara. Dia membuat gerakan jungkir balik satu kali, berusaha mencapai pinggiran jurang. Agaknya dia memiliki sedikit ilmu kepandaian silat serta ilmu meringankan tubuh.
Namun ilmu yang secupak itu tidak bisa menahan daya berat tubuhnya, membuat dia tidak mampu selamatkan diri, malah langsung melesat jatuh ke dalam jurang batu! Gadis ini menjenit satu kali lalu pingsan tak sadarkan diri.
Suara tiupan seruling di pinggir jurang mendadak lenyap. Bersamaan dengan itu seorang berpakaian putih berkelebat ke arah melayangnya tubuh gadis berbaju biru. Dengan gerakan luar biasa cepat dan mengagumkan orang berpakaian putih berhasil menyambar pinggang si gadis, lalu melompat ke tepi jurang.
Sosok gadis itu kemudian dibaringkan di atas rerumputan basah. Orang berpakaian putih ternyata adalah seorang pemuda berambut gondrong sebahu. Sebuah suling perak tersisip di pinggang kiri. Pemuda ini agak terkesima ketika melihat bagian dada putih yang tersingkap dibalik robekan baju biru. Mulutnya keluarkan siulan dan tangan kanan menggaruk kepala.
“Tuhan benar-benar adil.” Si pemuda berucap. “Sejak pagi tadi aku kedinginan, kini diberi hadiah pemandangan yang menghangatkan! Ha ha ha!”
Mendadak si pemuda hentikan tawa. Dia berbalik, memandang ke arah jalan mendaki. Walau sangat perlahan namun telinganya yang tajam mampu mendengar suara gerakan. Dia perhatikan kuda coklat yang terkapar di tanah. Binatang Itu telah menemui ajal, tak bergerak lagi. Berarti ada sumber suara lain yang tadi ditangkap pendengarannya.
“Ada orang sembunyi di salah satu lereng batu di atas sana…” ucap pemuda gondrong. Lalu dia berteriak. “Manusia yang sembunyi di balik batu! Keluarlah! Perlihatkan tampangmu!”
Tak ada sahutan tak ada gerakan. “Apa boleh buat,” ucap si gondrong. Dia usapkan kedua tangan sambil mengalirkan tenaga dalam. Tiba-tiba tangan kanan dihantamkan ke arah batu paling besar di kejauhan, di sebelah kanan jalan menurun.
“Wusss!” Selarik angin dahsyat menderu.
“Braakkk!” Batu besar di tepi jalan hancur berantakan. Satu bayangan hitam berkelebat disertai terdengarnya suara teriakan memaki lalu sunyi. Pemuda gondrong menunggu. Orang yang barusan kabur dan balik batu tidak munculkan diri. Si gondrong memandang ke arah kuda yang tergeletak tak benyawa di tepi jurang. Ada yang menarik perhatiannya. Pada pinggul kanan binatang ini terdapat sebuah cap hitam bergambar tombak pendek bermata tiga. Tombak Trisula.
“Setahuku, tanda di pinggul kuda itu salah satu lambang Kerajaan. Berarti gadis ini bukan gadis sembarangan.”
Si pemuda berucap lalu jongkok di samping gadis baju biru. Walau pakaian biru yang dikenakan si gadis berpotongan sederhana namun bahannya adalah kain bagus dan mahal. Ketika dia hendak memeriksa keadaan gadis itu tiba-tiba si pemuda melihat ujung alis sebelah kiri yang hitam tebal bergerak beberapa kali. Si pemuda gosokkan telapak tangannya satu sama lain sampai panas lalu ditempelkan ke pipi gadis yang agaknya mulai siuman.
Sepasang mata bagus bening terbuka, menatap ke langit. Ketika pandangannya membentur wajah tersenyum pemuda rambut gondrong, langsung gadis ini menjerit dan berusaha bangun. Pemuda berpakaian putih cepat memegang bahu si gadis dan berkata,
“Tenang, tak ada yang perlu kau takutkan…”
”Aku… aku sudah mati?”
Si gondrong tertawa. “Kalau kau sudah mati mana bisa bicara?” Si gadis terdiam.
“Tapi… Tadi aku jatuh ke dalam jurang…“ Gadis baju biru memandang ke samping, ke arah jurang. Kuduknya merinding.
“Tidak, kau tidak jadi jatuh ke dalam jurang. Tuhan menyelamatkan dirimu.”
“Tuhan… Gusti Allah menyelamatkan diriku?”
Si gadis tampak bingung. Dia usap tangan kiri ke tangan kanan, lalu tekap wajah. Saat itulah dia melihat pakaiannya yang robek besar di bagian dada. Cepat cepat dia menutupkan. Namun begitu dilepas tersibak kembali. Pemuda di depannya tertawa. Dia mencabut tiga batang rumput yang cukup panjang. Ketika dia hendak menusukkan ujung rumput ke baju biru yang robek, Si gadis langsung mendorong dadanya hingga dia terjengkang.
“Jangan kau berani menyentuh diriku!”
"Dengar, aku tidak bermaksud tidak baik. Dengan rumput ini baju yang robek bisa dijahit…”
“Dusta! Mana ada orang menjahit baju dengan rumput! iya kan?!”
“Namanya juga keadaan terpaksa. Kau mau kutolong…?
Si gadis akhirnya mengangguk namun sambil keluarkan ucapan. “Awas kalau kau berani berlaku kurang ajar!”
Pemuda rambut gondrong cuma tertawa. Tiga ujung rumput ditusukkannya ke bagian baju yang robek lalu satu persatu ujung dengan ujung saling dibuhul. Ketika melakukan hal itu tak sengaja jari-jari tangan si pemuda menyentuh payudara si gadis. Langsung kakinya menendang perut si pemuda. Untuk kedua kalinya pemuda ini jatuh terjengkang.
“Dasar manusia kurang ajar! Kau pergunakan kesempatan. Mengaku! Iya kan?!”
“Aku tak sengaja. Harap dimaafkan. Habis bajumu agak ketat. Lalu anumu itu besar sekali. Mana mungkin…”
“Plaakk!” Satu tamparan melayang ke pipi si gondrong.
“Bukan tanganmu saja yang kurang ajar. Ternyata mulutmu juga kurang ajar!”
Si pemuda meringis pura-pura kesakitan. Sambil pegangi pipi yang tadi ditampar dia berkata. “Sudahlah, yang penting pakaianmu yang robek sudah tertutup. Sekarang ceritakan apa sebabnya kau menunggangi kuda seperti dikejar setan hingga hampir celaka masuk jurang.”
Si gadis tidak menjawab. Dia memandang berkeliling. Lalu menangis ketika melihat kuda coklat miliknya yang tergeletak mati. “Ki Sepuh Ireng” ucap si gadis lirih sesenggukan.
“Siapa Ki Sepuh Ireng?” tanya pemuda gondrong.
“Kudaku… Kuda saja dicemburui...”
“Ee… siapa yang cemburu!” Si pemuda ingin tertawa bergelak namun akhirnya cuma garuk-garuk kepala. Dia kemudian ingat pada tanda Kerajaan yang tertera di pinggul kuda berbentuk Tombak Trisula. Lalu dia bertanya. “Adik, apakah kau seorang kerabat Keraton?”
“Kau sendiri siapa?” Si gadis usap air matanya dan balik bertanya.
Pemuda rambut gondrong tersenyum, menggaruk kepala dan menjawab. “Namaku Wiro…”
“Wiro… Wiro. Banyak orang bernama Wiro. Kau ini Wiro yang mana?”
“Maksudmu?” tanya si gondrong tak mengerti.
“Apa nama panjangmu?!”
”Oh Itu. Aku malu mengatakan. Nama belakangku jelek.” Jawab si pemuda pula.
”Huh, orangnya juga jelek. Jadi pantas kalau punya nama jelek! Iyakan?!”
Si pemuda tertawa gelak-gelak.
“Weh, diejek malah tertawa. Konyol! Aku tanya siapa nama panjangmu!”
“Namaku Wiro… Wiro Sableng.”
“Apa?” Si gadis besarkan mata lalu tertawa panjang. Eh, kau tahu apa artinya sableng?”
Pemuda gondrong yang memang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede sambil senyum-senyum menjawab. “Sableng itu artinya kalau tidak edan ya sinting, bisa juga gila atau gendeng…”
“Hemmm…” si gadis bergumam dan angguk-anggukkan kepala. “Jadi Itulah kau manusianya rupanya. Pantas tadi berani berlaku kurang ajar.”
“Kalau orang gila berlaku kurang ajar kan tidak bisa disalahkan. Iya kan?” ucap Wiro pula meniru logat bicara si gadis.
“Enaknya!”
“Sekarang giliranmu memberi tahu siapa namamu dan mengapa kau bisa sampai disini hampir celaka.”
“Apa perlunya aku memberi tahu namaku padamu!” jawab si gadis.
Wiro menggaruk kepala. Dalam hati dia membatin. “Aneh, ada gadis yang sudah ditolong begini rupa malah bicara galak. Aku tidak meminta tapi berterima kasihpun dia tidak.”
“Kalau kau tidak mau memberi tahu tidak jadi apa.”
“Ya sudah kalau begitu! Iya kan?!” jawab si gadis pula lalu bangkit berdiri.
Wiro mendahului bangun, tertawa dan berkata. “Kalau kau memang kerabat Keraton, kau tentu tahu perjalanan ke Kotaraja dari sini cukup jauh. Kudamu sudah mati. Kalau kau jalan kaki dua kakimu yang bagus itu bisa meleleh begitu kau Sampai di Kotaraja. Lalu, di tengah jalan mungkin saja kau akan kejatuhan hujan. Mungkin kau tidak takut pada air hujan. Tapi ketahuilah kawasan ini sedang digentayangi para perampok. Kalau orang-orang jahat itu menemuimu, nasibmu lebih celaka dari pada mati kecebur jurang! Selain itu aku punya dugaan. Kau tadi membedal kuda luar biasa kencang karena ada orang yang mengejar. Orang itu pasti punya niat jahat padamu. Mungkin dia yang merobek bajumu! Orang Itu berpakaian hitam. Aku sempat melihat bayangannya sewaktu aku menghancurkan batu besar dibalik mana dia sembunyi. Mungkin dia masih ada di sekitar sini! Begitu kau berjalan sendirian pasti dia akan mencekalaimu! Seram kan? Ngeri kan?!”
Habis berkata begitu Pendekar 212 tinggalkan si gadis, melesat kemulut goa di tepi jurang, duduk bersila dan ambil suling yang terselip di pinggang. Ditinggal sendirian si gadis memandang berkeliling. Lalu perlahan-lahan rasa takut mulai mencekam dirinya. Apalagi melihat ke atas, langit yang tadi cerah kini mulai diselimuti awan hitam. Dia memandang ke arah goa di tepi jurang. Saat itu Wiro mulai meniup suling perak.
“Hai Kesinilah!” si gadis berteriak sambil melambaikan tangan.
Wiro terus saja meniup suling.
“Hai! Kesinilah! Aku mau bicara!” teriak gadis baju biru kembali.
Wiro turunkan suling ke bawah bibir lalu menjawab. “Kalau mau bicara kau saja yang datang ke sini!” Wiro lanjutkan meniup suling.
“Kau yang kesini!” teriak si gadis.
“Aku tidak perlu kau! Kau yang perlu aku! Iya kan?!” Wiro terus-terusan menirukan gaya ucapan si gadis yang kalau bicara selalu pakai tambahan kata-kata iya kan. Tidak perduli dia melanjutkan meniup, suling perak. Dari mana dan bagaimana Wiro kini memiIiki sebuah suling perak?
Seperti dituturkan dalam episode sebelumnya Sang Pembunuh suling perak itu adalah milik Loan Nio Nikouw, paderi perempuan dari Tionggoan. Sebelum berpisah sang paderi memberikan suling perak itu sebagai tanda terima kasih pada nenek kembar jejadian (kembaran Eyang Sepuh Kembar Tilu) yang telah memberikan obat untuk menggugurkan kandungannya.
Sang paderi mengandung akibat diperkosa oleh Liok Ong Cun sewaktu berada dalam keadaan pingsan. Tanpa setahu Wiro, si nenek kembar jejadian menyelipkan suling itu di pinggang sang pendekar. Wiro baru menyadari keberadaan suling itu dipinggangnya beberapa waktu kemudian. Karena dia memang pandai meniup suling, jika ada kesempatan Wiro menghibur diri dengan suling perak itu.
“Dasar manusia sableng!” maki gadis baju biru. Tahu kalau pemuda itu tidak akan mau datang menemuinya gadis ini menjadi nekad. “Kau kira aku tidak mampu datang ke tempatmu di goa batu?!”
Wiro berhenti meniup suling lalu menyahut ucapan orang. “Bukan tidak mampu. Tapi tidak berani! Iya kan?!”
“Tunggu! Akan aku perlihatkan padamu kalau aku Raden Ayu Ambarsari bukan gadis pengecut!”
Begitu selesai berucap gadis berpakaian biru dan mengaku bernama Raden Ayu Ambarsari mundur mengambil ancang-ancang. Lalu dibarengi satu teriakan keras dia melompat ke arah goa di tepi jurang dimana Pendekar 212 duduk bersila meniup suling. Celakanya, apapun ilmu yang dimilikinya ternyata gadis ini tidak mampu mencapai mulut goa. Tubuhnya melayang, terapung sesaat hanya dua jengkal dari hadapan Wiro. Dia berusaha menggapai batu pinggiran goa, namun luput.
DELAPAN
Sesaat lagi tubuh Raden Ayu Ambarsari akan melayang jatuh amblas menemui ajal di dasar jurang batu berkedalaman dua puluh tombak, tiba-tiba Pendekar 212 ulurkan tangan kiri mencekal pergelangan tangan kanan si gadis yang menggapai-gapai di udara.
"Aduh tubuhmu berat amat! Tanganmu licin. Aku tak bisa menahan!" Wiro berteriak. Tubuhnya merunduk ke depan. Murid Sinto Gendeng hanya berpura-pura. Dia ingin tahu sampai dimana sebenarnya kenekadan gadis itu.
"Pegang lenganku dengan dua tangan!" teriak Ambarsari. Rupanya gadis ini sekarang benar-benar ketakutan setengah mati.
Wiro tersenyum. Dia segera kerahkan tenaga dalam. Sekali menyentakkan tangan kiri tubuh Ambarsari tertarik keras ke atas, melayang ke dalam goa dan jatuh terbujur tepat di atas pangkuan Wiro.
"Ihhh..." Raden Ayu Ambarsari cepat berdiri namun tak bisa karena bahunya ditekan Wiro dengan tangan kiri sementara tangan kanan masih memegang suling perak yang terus ditiup.
"Gila Hentikan meniup suling Aku tidak mau kau pangku seperti ini!" teriak Ambarsari.
"Siapa yang memangku? Kau sendiri yang menjatuhkan tubuhmu ke pangkuanku! Iya kan?!" jawab Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
"Pemuda kurang ajar!"
"Jangan terus-terusan bicara seperti itu. Ingat aku sudah dua kali menyelamatkan nyawamu!"
"Ooo, jadi kau ingin minta balasan? Lalu enak saja memangku dan meraba tubuhku?! Aku tidak takut mati, lihat!"
Entah sungguhan entah pura-pura si gadis lalu hendak melompat kedalam jurang. Wiro tidak mau kesalahan menduga. Cepat dia sambar leher pakaian si gadis lalu menariknya hingga terduduk di dalam goa. Dengan muka pucat keringatan Ambarsari menatap mendelik ke arah Wiro lalu gadis ini mulai menangis.
"Eeh. tadi galak nekad Sekarang mengapa jadi cengeng?" ujar Wiro. Tangis si gadis semakin keras. "Sudah Berhenti menangis!"
"Aku belum pernah menemui orang sejahat dan sekurang ajar seperti dirimu?" ucap Ambarsari yang segera dijawab Pendekar 212.
"Aku belum pernah melihat dara secantikmu tapi tolol dan nekad"
"Mulutmu lancang sekali! Berani menghinaku!" Si gadis pukulkan tangannya ke punggung Wiro.
"Kalau kau terus mewek, terus memukuli, akan aku tinggalkan kau sendirian di dalam goa ini" Wiro berdiri pura-pura hendak melompat ke tepi jurang sana.
"Tunggul Jangan pergi!" teriak Ambarsari. Dia mengusut matanya yang basah berulang kali, hentikan tangis dan tarik tangannya yang memukuli punggung si pemuda.
"Nah begitu lebih baik. Iya kan?!"
"Iya kan Iya kan! Kau benar-benar sableng!" Ambarsari berteriak jengkel. Kembali dia hendak memukul Wiro tapi tak jadi.
"Jadi kau gadis Keraton? Namamu Raden Ayu Ambarsari? Betul?"
"Sudah tahu kenapa masih bertanya?!" si gadis unjukkan wajah sebal. Lalu lanjutkan ucapannya. "Aku cucu Pangeran tua Wirapala."
Wiro menggaruk kepala seolah tidak mendengar kata-kata Ambarsari. Padahal walau belum pernah bertemu muka dia sering-mendengar perihal pangeran itu dari gurunya. Di masa muda Eyang Sinto Gendeng bersahabat dengan Pangeran Sena Wirapala.
"Dengar, tolong aku keluar dari goa ini Aku harus segera kembali ke Kotaraja."
"Aku akan memenuhi apa pintamu asal kau tidak galak. Apa lagi setelah tahu kau puteri Keraton aku harus menaruh hormat padamu. Tapi sebelum meninggalkan tempat ini aku ingin tahu apa yang terjadi dengan dirimu. Puteri Keraton tidak pernah memakai bunga tanjung dikeningnya. Apa arti bunga tanjung yang kau tempelkan dikeningmu itu?"
Raden Ayu Ambarsari Ingat dan terkejut. Dia cepat meraba keningnya, mengambil bunga tanjung yang menempel. Sekali meremas bunga tanjung itu hancur. "Manusia jahanam itu! Dia yang menempelkan bunga tanjung ini di keningku!"
"Manusia jahanam siapa? Orang berpakaian hitam itu?" tanya Wiro.
Ambarsari mengangguk "Apa perlunya dia menempelkan bunga tanjung dikeningmu? Memangnya kau tengah bercinta bermesraan dengannya?"
Ambarsari mengangkat tangan kanannya hendak menampar Wiro tapi kemudian mengurungkan niatnya. "Najis bercinta dan bermesraan dengan jahanam itu. Justru dia hendak merusak kehormatanku. Bunga tanjung ini mungkin sebagian dari alat sirapannya. Dia menyirapku dengan sebuah benda berbentuk..."
Belum selesai Ambarsari berucap tiba-tiba dari pinggir jurang sebelah barat berkiblat satu cahaya hitam, menderu ke arah goa. bilangan kejapan mata sebelum goa batu hancur berantakan Pendekar 212 cepat rangkul pinggang gadis di sampingnya lalu melesat ke tepi jurang. Ambarsari gemetar ketakutan. Wajahnya pucat. Selamat dari bokongan serangan, masih merangkul, pinggang Ambarsari murid Sinto Gendeng lepaskan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung
"Buummmm Braaakkk!" Pinggiran jurang batu di sebelah barat hancur berantakan. Lapat-lapat terdengar suara orang memaki.
"Kabur. Bangsat pembokong itu pasti sudah kabur" ucap Wiro. Dia tak berusaha mengejar. "Pasti dia manusia jahanam yang hendak memperkosamu itu. Dia mau membunuh kita berdua. Dia tak ingin kau bicara untuk selama-lamanya. Ikuti aku, kita cari tempat yang aman"
Wiro lalu pegang lengan Ambarsari. Di satu celah batu pada tempat ke tinggian dimana dia bisa melihat keadaan di sekitarnya dengan jelas Wiro berhenti.
"Tempat ini cukup aman. Sekarang lanjutkan ceritamu. Tadi kau bilang orang itu menyirapmu dengan sebuah benda berbentuk… Berbentuk apa?"
"Patung kecil dari batu. Benda itu memancarkan cahaya merah. Aku ngeri sekali mengingat kejadiannya…"
"Tidak usah takut. Coba kau bercerita mulai pertama kali kau bertemu orang itu. Tidak, jangan dari situ. Tapi mulai dari bagaimana kau bisa berada di tempat yang jauh dari Kotaraja ini."
Ambarsari sandarkan punggungnya ke batu. Dia terdiam cukup lama berusaha menenangkan diri sebelum memulai kisahnya. "Malam tadi, aku menginap di rumah seorang saudara sepupu di Godean. Pagi hari aku pergi ke satu pedataran rumput yang banyak kupu-kupu. Aku senang kupu-kupu."
"Sendirian?" tanya Wiro.
"Sendirian. Pergi kemana-mana aku memang tidak suka ditemani, apa lagi yang namanya dikawal. Ketika aku datang, saudara sepupuku ternyata sedang sakit," menerangkan Ambarsari. "Aku sudah sering pergi ke pedataran berumput itu. Namun karena sejak pagi hujan turun, tidak satu kupu-kupupun yang kelihatan. Aku duduk menunggu di sebuah gubuk tua di tepi pedataran. Berharap hujan akan segera berhenti. Siang hari hujan memang reda tapi kupu-kupu tetap saja tak ada yang muncul. Ketika aku berkemas-kemas hendak meninggalkan gubuk bersama kudaku Ki Sepuh Ireng. tiba-tiba entah dari mana datangnya, tahu-tahu di hadapanku telah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, mengenakan baju dan celana hitam, bersulam bunga dari benang perak dan emas. Keningnya diikat kain merah. Pemuda Ini berkumis tipis, memelihara janggut dan cambang bawuk rapi. Dia menyapaku. Suaranya lembut."
********************
"Adik berbaju biru, di udara begini buruk, di tempat yang begini terpencil, apakah kau tidak takut hanya seorang diri di sini?"
Raden Ayu Ambarsari bukan saja terkejut oleh kedatangan orang yang menyapanya dengan tiba-tiba, tapi juga merasa jengkel. Namun niatnya hendak mendamprat jadi pupus ketika dilihatnya orang yang menegur adalah seorang pemuda gagah, berpakaian bagus dan bersikap sopan. Selain itu tubuh serta pakaiannya.menebar bau wangi harumnya bunga.
"Aku disini aman-aman saja. Memangnya apa yang harus ditakutkan?"
Pemuda tampan tersenyum. "Selain cantik ternyata adik seorang pemberani rupanya. Namun kalau boleh saya memberi nasihat. sebaiknya lekas-lekas pergi dari tempat ini. Kawasan ini adalah tempat malang melintangnya para perampok dan berbagai macam orang jahat."
"Kau sendiri termasuk rampok atau orang jahat atau apa?" Si pemuda kembali tersenyum. "Nama saya Cakra." si pemuda perkenalkan diri. "Kalau adik memang belum berniat pergi apa keberatan kita bercakap-cakap barang beberapa ketika?"
"Bercakap-cakap boleh saja. Tapi awas. Jangan mulai usil atau kurang ajar. Aku Raden Ayu Ambarsari. Cucu Pangeran Tua Sena Wirapala dari Kotaraja..."
Mendengar ucapan si gadis, pemuda berkumis yang berdiri berdekap lengan serta merta membungkuk. "Maafkan saya. Saya tidak tahu adik yang cantik jelita ini adalah seorang puteri Keraton, cucu seorang Pangeran terkenal pula."
Karena pemuda bernama Cakra tetap terus membungkuk Ambarsari berkata sebal. "Sudah, jangan membungkuk terus. Nanti kau benar-benar bungkuk seperti kakek reot! Iya kan?!"
Cakra tertawa. Lalu luruskan tubuhnya. "Kau hendak bercakap-cakap apa denganku?’ tanya Ambarsari pula.
"Tadinya sebelum tahu adik Ini puteri Keraton, banyak yang ingin saya bicarakan. Tapi setelah tahu saya jadi sungkan. Saya tak berani mengganggu lebih lama. Namun sebelum pergi saya ingin menanyakan sesuatu."
"Menanyakan apa?"
"Apakah Raden Ayu Ambarsari pernah melihat benda ini sebelumnya?"
Lalu Cakra mengambil satu kantong kain berwarna hitam dari saku celana panjangnya. Dari dalam kantong kain ini dia kemudian mengeluarkan satu benda yang ternyata adalah sebuah patung batu memancarkan cahaya merah redup. Patung batu itu merupakan kesatuan dari patung laki-laki dan perempuan telanjang, dalam keadaan tengah melakukan hubungan badan. Yang perempuan di sebelah depan, yang lelaki di sebelah belakang. Secara aneh dari dua patung itu keluar dua sosok tubuh berbentuk bayang-bayang yang perlahan-lahan berubah menjadi besar.
"Raden Ayu pernah melihat patung ini sebelumnya?" tanya Cakra.
Ambarsari menggeleng. Dia merasa jengah memperhatikan tapi entah mengapa pandangan matanya tak bisa dialihkan. Si pemuda tersenyum. Sementara dua sosok bayang-bayang merah terus berubah bertambah besar sampai seukuran manusia.
"Raden Ayu tidak pernah melihat dua patung bercinta uni sebelumnya. Tapi apakah mengenali raut wajah mereka?" Cakra bertanya lagi.
Ambarsari memperhatikan. Kening mengerenyit, bola mata membesar.Darahnya tersirap. Ketika dia memperhatikan raut wajah perempuan telanjang ternyata wajah itu adalah wajah dirinya sendiri. Sementara patung lelaki menyerupai pemuda berkumis yang tegak di depannya.
Ambarsari menekap mulut. Dua sosok bayangan merah telanjang yang keluar dari patung melakukan gerakan-gerakan bercinta yang membuat darah puteri Keraton ini jadi berdesir panas. Sekujur tubuhnya gemetar berkeringat. Terlebih ketika Cakra menempelkan sesuatu di keningnya. Gairahnya bangkit tidak tertahankan. Dia merasa seolah dirirnya sendirilah yang benar-benar tengah bercinta dengan pemuda bernama Cakra itu. Dia hanya menurut saja ketika dirinya dibaringkan di lantai gubuk.
"Raden Ayu Ambarsari kau kekasihku dan aku Cakra kekasihmu. Ulangi kata-kataku."
"Aku Ambarsari kekasihmu. Kau Cakra kekasihku…" Ambarsari mengikut saja, berucap sebagaimana yang diperintah.
"Sekarang tanggalkan seluruh pakaianmu." Kata Cakra, memberi perintah dengan suara lembut sambil mengelus kening Raden Ayu Ambarsari.
Sosok bayangan merah lelaki dan perempuan yang keluar dari patung bergerak kian kemari, menggeliat, menggapai serta, mengeluarkan suara-suara mengerang halus. Raden Ayu Ambarsari semakin terangsang. Gairah nafsu menyelubungi sekujur tubuhnya. Diluar sadar ia lakukan apa yang dikatakan Cakra. Dua tangannya bergerak ke dada untuk membuka buhul-buhul kecil pengancing baju biru yang dikenakannya.
Pada saat itulah tiba-tiba Ki Sepuh Ireng, kuda hitam milik Ambarsari yarig berada di samping gubuk meringkik keras. Ambarsari tersentak kaget dan sadar. Dia melompat bangun dan dapatkan dua dari buhul kancing bajunya telah terbuka hingga dadanya tersingkap polos.
"Manusia kurang ajar Apa yang kau lakukan pada diriku!" teriak Ambarsari marah sambil cepat menutupi dada.
"Tenang Ambarsari! Apa kau lupa kau adalah kekasihku dan aku adalah kekasihmu? Lihat dua mahluk merah itu. Mereka adalah kau dan aku. Bukankah kau ingin kita berbuat seperti itu? Tanggalkan pakaianmu, lakukanlah."
Namun apapun bujuk sirapan yang dilakukan si pemuda kini tidak mengena lagi karena Ambarsari telah sempat pulih kesadarannya sementara si pemuda sendiri telah terpecah perhatiannya.
"Manusia jahanam!" Ambarsari dorongkan dua tangannya ke dada Cakra. Dorongan ini bukan dorongan biasa karena merupakan gerak ilmu silat. Cakra terjajar. Ketika Ambarsari hendak melompat keluar gubuk pemuda itu berusaha mencengkeram dadanya tapi luput.
"Breetttt!" Dada baju Ambarsari robek besar. Namun dia berhasil selamatkan diri dari sergapan Cakra. Sampai di luar gubuk dia langsung melompat ke atas punggung kuda hitam dan membedal binatang itu secepat yang bisa dilakukan.
Di dalam gubuk Cakra berteriak marah. Patung batu cepat-cepat dimasukkan ke dalam kantong hitam lalu lari mengejar Ambarsari . Beberapa kali dia punya niat hendak melepaskan pukulan jarak jauh yang bisa merobohkan kuda hitam tunggangan si gadis. Namun dia tidak mau membuat Ambarsari celaka.
"Aku harus mendapatkan gadis satu ini dalam keadaan hidup dan mulus tanpa segores lukapun..." ucap Cakra dalam hati. Dengan ilmu lari yang dimilikinya dia yakin dalam waktu tidak berapa lama lagi dia akan berhasil mengejar dan menangkap Ambarsari.
Sebenarnya ada jalan rata dan baik yang dapat dilalui Ambarsari dalam usahanya menyelamatkan diri. Namun perasaan takut membuat pikirannya kacau hingga dia tidak sadar lagi arah yang ditempuh. Si gadis tersesat melewat jalan sulit di sebelah tenggara Godean di mana dia kemudian mengalami celaka dan diselamatkan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
********************
SEMBILAN
Pangeran Tua Sena Wirapala tidak dapat memicingkan mata. Di dalam kamar dia turuni dari pembaringan melangkah mundar mandir. Di luar hujan lebat mengguyur Kotaraja. Akhirnya dia keluar dari kamar, memanggil pembantu kepercayaannya, seorang Perwira Muda bernama Soma Kowara.
"Sampai saat ini cucuku Ambarsari belum kembali. Kau tahu dia pergi ke Godean sejak kemarin sore. Anak itu memang keras kepala. Kemana-mana tak mau dikawal. Seharusnya saat ini sudah kembali. Aku kawatir terjadi apa-apa dengan dirinya."
"Raden Ayu Ambarsari sudah sering ke Godean Saya rasa dia tidak bakalan tersesat dan aman jika menempuh jalan di sebelah barat. Namun cuaca belakangan Ini tidak begitu baik. Hujan turun terus menerus," kata Soma Kowara. "Mungkin Den Ayu Ambarsari terhalang hujan. Saya menunggu apa perintah Pangeran,"
"Siapkan kuda. Bawa beberapa orang perajurit Kita berangkat ke Godean malam Ini juga Aku tidak bisa tenang sebelum melihat cucuku itu dalam keadaan tak kurang suatu apa."
"Perintah Pangeran akan saya laksanakan. Tapi apakah kita tidak perlu menunggu sampai hujan reda? Selain itu. Apakah Pangeran mau memberi izin, biar saya saja dan anak buah pergi ke Godean. Saya sudah tahu rumah kediaman saudara sepupu Raden Ayu. Saya kawatir cuaca buruk nanti mengganggu kesehatan Pangeran."
"Aku memang sudah tua. Usiaku hampir sembilan puluh. Tapi keselamatan cucuku Ambarsari jauh lebih penting dari kesehatanku. Siapkan semua keperluan. Kita berangkat sekarang juga."
"Baik Pangeran," jawab Soma Kowara.
Perwira Muda ini tahu sekali bagaimana sayangnya Pangeran Tua pada Raden Ayu Ambarsari, cucu satu-satunya. Ketika kedua orang tua gadis itu meninggal beberapa belas tahun lalu akibat penyakit menular yang menyerang Kotaraja, dibantu seorang pelayan setia Pangeran Tua Sena Wirapala-lah yang merawatnya sejak dari gadis cilik sehingga remaja puteri. Pangeran Tua tidak pula mencari istri baru pengganti istrinya yang telah lama meninggal dunia. Tidak heran kalau seluruh kasih sayang dalam kehidupan sang pangeran tertumpah pada Ambarsari.
Sebagai anak tunggal Ambarsari tumbuh menjadi seorang gadis cantik jelita. Namun sayangnya gadis ini memiliki beberapa sifat yang dirasakan orang di sekitarnya kurang berkenan. Antara lain suka bicara ketus, menganggap orang lain tidak perlu dihormati. Boleh dikatakan dia jarang bergaul dengan penghuni Keraton lainnya.
Walau cantik, karena sifat-sifatnya tadi banyak pemuda kalangan atas yang semula tertarik kemudian mengundurkan diri. Termasuk Soma Kowara. Sejak lama Pewira Muda Ini menaruh hati pada cucu Pangeran Tua itu. Namun sifat serta sikap sang puteri yang tidak dapat dimengerti dan terkadang seperti melecehkan dirinya membuat dia terpaksa menjaga jarak.
Selain itu dia juga tidak mau merusak kepercayaan Pangeran Tua terhadapnya. Walau jabatannya di Keraton cukup tinggi namun Soma Kowara merasa belum cukup layak untuk jatuh cinta, apalagi menjadi pendamping Raden Ayu Ambarsari. Jadilah dia seperti seekor burung pungguk merindukan bulan.
Sebagaimana kebiasaan puteri Keraton pada masa itu, Pangeran Tua mendatangkan seorang guru tari untuk mengajar cucunya menari. Tapi Ambarsari tidak suka segala macam tetarian. Dia tidak suka segala bentuk peradatan Keraton yang menurutnya terlalu dibuat-buat dan membatasi gerak serta kemauannya. Malah diam-diam tanpa setahu Pangeran Tua dan orang-orang dalam Keraton sejak beberapa waktu lalu dia belajar ilmu silat dan kesaktian pada seorang tokoh silat di Parangtritis.
Tak selang berapa lama Soma Kowara datang kembali menemui Pangeran Tua. Memberi tahu bahwa mereka siap berangkat. Kepada Pangeran Tua perwira ini menyerahkan sehelai mantel terbuat dari kain tebal. Tengah malam buta dibawah hujan lebat Pangeran Tua dan Perwira Muda Soma Kowara ditemani lima orang perajurit dengan menunggang kuda meninggalkan Kotaraja berangkat menuju Godean di arah barat laut Rombongan itu membawa pula dua ekor kuda cadangan.
********************
Angin bertiup kencang. Ambarsari memeluk dada. Pakaian dan tubuhnya basah kuyup. "Aku kedinginan. Dari pada cuma diam berteduh di bawah pohon ini lebih baik menyeberang saja! Hujan sudah-mulai reda"
"Hujan memang sudah reda. Tapi apa kau tidak melihat arus kali masih sangat deras. Tunggu saja. Sebentar lagi pagi datang. Saat itu kurasa arus sudah mulai reda." Menjawab Pendekar 212 Wiro Sableng.
Saat itu kedua orang ini berteduh dibawah sebuah pohon besar. Dari jurang di tenggara Godean. dalam perjaanan menuju Kotaraja mereka terus menerus didera hujan. Sampai di satu tempat pejalanan tak bisa diteruskan karena di depan mereka menghadang anak Kali Progo yang arus airnya luar biasa deras. Mereka akhirnya terpaksa berteduh dibawah pohon besar Karena tak ada tempat lain yang bisa dipakai untuk berlindung.
"Kalau menunggu pagi perlu apa aku mendesak pergi. Justru karena tak ingin berlama-lama di tempat ini aku minta kita segera menyeberang saat ini juga. Kakekku Pangeran Sena Wirapala pasti saat ini sangat gelisah. Bisa-bisa dia sudah memerintah orang untuk mencariku. Menyusul ke Godean. Aku pasti dapat marah besar."
Wiro menggaruk kepala, seperti tidak mendengar ucapan si gadis. Tidak ditanggapi Ambarsari lantas berdiri. Dia goyangkan kepala ke arah sebuah rakit bambu yang terletak tak jauh dari pohon besar.
"Getek bambu itu bisa kita pakai untuk menyeberang."
"Kau sudah mengatakan beberapa kali. Aku sudah menerangkan banyak sekali. Bukankah aku tadi sudah memeriksa getek itu? Selain lapuk ada beberapa bambu yang patah. Dari sini saja bisa dilihat banyak bagian getek sudah pada patah dan bolong!"
"Alasanmu saja. Aku tahu…" ucap Ambarsari pula.
"Tahu apa?" tanya Wiro.
"Kau sengaja mengulur-ulur waktu. Agar bisa lebih lama bersamaku. Aku rasa dalam benakmu saat ini pasti ada pikiran kotor. Iya kan?!"
"Tololnya aku ini! Kalau memang aku berniat jahat sudah sejak di jurang itu aku lakukan!"
"Lalu mengapa tidak kau lakukan?!" tukas si gadis.
Wiro membelalak akhirnya tertawa tapi tertawa kesal. Sebenarnya dia bisa saja meninggalkan gadis yang punya sifat serta suka bicara menjengkelkan itu. Namun karena sejak semula sudah punya niat menolong, dia merasa tidak tega. Kawasan dimana mereka berada masih merupakan kawasan berbahaya. Apa lagi setelah mengetahui Ambarsari adalah cucu Pangeran Tua Sena Wirapala yang sahabat Eyang Sinto Gendeng.
Belum habis rasa jengkelnya, Wiro kembali mendengar si gadis bicara tidak enak. "Jangan-jangan kau temannya pemuda bernama Cakra itu. Kalian bersekongkol. Kau menjalankan peran sebagai kesatria penolong. Iya kan?"
"Iya kan?!" Wiro menirukan ucapan si gadis lalu tertawa. Dalam hati dia berkata. "Gila benar. Belum pernah aku ketemu gadis seperti ini!"
"Eh, kenapa kau tertawa?!" tanya Ambarsari. “Memangnya hatimu senang melihat aku seperti ini? Edan Puteri Keraton bisa mengalami keadaan seperti ini?"
"Puteri Keraton salah kaprah…" ucap Wiro perlahan antara terdengar dan tidak.
"Kau barusan bilang apa?"
Wiro menjawab dengan pencongkan mulut.
"Kenapa mulutmu? Gigimu ada yang sakit?!"
"Gadis setan!" maki Wiro dalam hati. Ingin dia menjewer atau menarik pipi gadis itu. Bahkan mau rasanya dia menjambak rambut Ambarsari sejak tadi-tadi. Wiro memandang ke arah kali. Arus air masih deras. Dia berpaling ke kiri. ke arah serumpunan pohon bambu. Kepala digaruk, otak berpikir menghitung mengukur ukur. Lalu mulutnya sunggingkan senyum!
"Nah, sekarang kau malah tersenyum. Pasti ada pikiran yang tidak-tidak dalam kepalamu! Iya kan?!"
"Kau masih ingin memaksa menyeberang kali sekarang juga?"
Ambarsari anggukkan kepala.
"Kali Progo banyak buayanya. Bisa saja ada yang terbawa arus sampai ke sini. Kalau terjadi apa-apa waktu menyeberang atau kau sampai jadi santapan buaya jangan salahkan aku."
"Aku tidak takut pada buaya sungai. Aku malah takut pada buaya darat sepertimu!" jawab Ambarsari.
“Bagus" ucap Pendekar 212 geram setengah mati. "Jangan nanti kau menjerit-jerit minta tolong kalau bertemu buaya sungai" Dengan langkah kesal dia berjalan ke arah pohon bambu tinggi. Wiro cabut lima belas batang bambu.
"Kau mau bikin apa?" tanya Ambarsari.
"Lihat saja," jawab Wiro acuh.
"Mau membuat gubuk atau getek baru?" tanya sigadis lagi.
"Lihat saja, sahut Wiro.
"Lihat saja Lihat saja!" Ambarsari mengomel.
Lima belas batang bambu yang rata-rata panjang tiga tombak ditabas dengan pinggiran tangan lalu dibawa ke tepi kali. Dengan mengerahkan tenaga dalam lima buah batang bambu itu dilempar ke dalam kali hingga tegak menancap. Dengan berpijakan pada ujung bambu ke lima, Wiro menancapkan bambu ke enam.
Dengan berdiri di atas ujung bambu ke enam Wiro menancapkan bambu ke tujuh demikian seterusnya hingga seluruh batang bambu yang berjumlah dua belas menancap berjejer dari tepi kail yang satu ketepi kali di seberangnya. Arus air kali yang deras membuat batang bambu bergoyang-goyang.
"Gadis Keraton!" teriak Wiro dari pinggir kali seberang. "Kalau aku mau aku bisa meninggalkanmu saat ini juga!"
"Jangan mengancam. Lakukan saja!" tantang Ambarsari walau hatinya tiba-tiba merasa kecut kalau Wiro memang benar-benar meninggalkannya.
"Si bawel satu ini bicaranya pandai sekali. Aku selalu terpojok!" Wiro menggerutu. Dia melompat ke ujung bambu ke lima belas. Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sesaat kemudian dia sudah berada di hadapan Ambarsari.
"Kau sudah siap menyeberang?"
Ambarsari menatap ke arah deretan tiang bambu di dalam kali. Lalu memandang membelalak pada Wiro.
“Kau akan melompat dari ujung bambu satu ke ujung lainnya.”
“Seperti tadi yang aku lakukan. Dengan cara itu bisa sampai ke seberang. Kau mau mengikuti aku atau mau melompat duluan?" tanya Pendekar 212 pula.
“Kau punya ilmu tapi dipakai untuk kesombongan! Kau bukan hendak menolongku tapi mau pamer ilmu kepandaian! Kau mau menyeberang silahkan saja! Aku biar tetap di bawah pohon sini! Mudah-mudahan kau kecemplung dimakan buaya!"
"Kalau begitu kau mau kita menyeberang sama-sama?"
"Sama-sama bagaimana, maksudmu?" tanya Ambarsari.
"Kau aku dukung di sebelah depan atau aku panggul atau aku gendong belakang! Mana yang enak kau silahkan memilih!"
"Dasar pemuda sableng! Kau pergunakan kesempatan dalam kesempitan!"
Wiro tertawa, panjang.
"Sudah, kau gendong aku di sebelah belakang saja," Ambarsari akhirnya keluarkan ucapan.
Wiro lalu berlutut. Tapi ditunggu-tunggu si gadis tidak naik-naik juga ke punggungnya. "Ayo! Tunggu apa lagi?!" Wiro berteriak.
"Tidak, aku tak mau digendong belakang. Kau pasti keenakan."
"Lalu kugendong di sebelah depan?"
"Tidak. Tanganmu pasti jahil. Aku lebih suka dipanggul saja."
"Kalau begitu jangan banyak omong lagi!" kata Wiro pula. Lalu dia dekati si gadis, bergerak cepat dan tahu-tahu Ambarsari sudah tertelungkup, di bahu kanannya.
"Kau boleh pegang pinggang ku. Tapi awas kalau tanganmu berani turun ke bawah"
Tiba-tiba di dalam arus air yang berkecamuk dahsyat terdengar suara benda bergerak. Wiro memperhatikan. Dalam kegelapan dia melihat dua benda besar mengapung besar menyembul tak jauh dari deretan lima belas batang bambu yang menancap di tengah kail.
"Buaya…" kata Ambarsari dengan suara bergetar.
"Apa kataku. Binatang itu ternyata sudah sampai di sini..."
"Kalau tidak kau sebut-sebut binatang Itu tidak akan muncu!" Ambarsari menyalahi Wiro padahal tadi dia juga menyebut.
Rupanya dua ekor buaya di tengah kali sudah mencium dan melihat Wiro dan Ambarsari. Kedua binatang ini meluncur ke arah tepi kali. Sebelum keduanya mencapai pinggiran kali dan naik ke darat, Wiro telah melesat, melompat ke atas ujung bambu pertama. Ujung bambu bergoyang keras di hantam arus air.
Sebelum tubuhnya oleng Wiro pindah ke bambu ke dua. Ambarsari memagut leher sang pendekar kuat-kuat. Ujung bambu ke tiga dilewati, juga bambu ke empat. Ketika menginjak bambu kelima, dua ekor buaya yang kehilangan mangsa berbalik. Masuk kembali ke dalam air dan berusaha mengejar. Wiro melesat ke ujung bambu ke enam, terus ke tujuh, delapan, sembilan dan sebelas.
Pada ujung bambu ke sebelas salah seekor dari dua buaya berhasil mengejar dan datang membalik dari arah berlawanan. Sambil berusaha menyambar kaki Wiro dengan moncongnya yang panjang binatang ini kibaskan ekornya hingga batang bambu ke dua belas patah. Wiro yang sudah melesat di udara dan sedianya akan menginjakkan kaki di ujung bambu ke dua belas tentu saja jadi terkejut ketika melihat ujung bambu itu tak ada lagi di permukaan air.
Sementara tubuhnya sudah keburu melayang di udara dan di bawah sana dua ekor buaya besar siap menunggu. Pada saat yang menegangkan itu. dalam kegelapan malam Wiro melihat sebuah batang kelapa dihanyutkan arus air ke arahnya.
"Kraak! Kraaak!"
Batang bambu ke tiga belas dan keempat belas hancur berpatahan ditabrak batang kelapa. Dua ekor buaya sesaat lenyap di bawah air namun di lain kejap muncul kembali, badan ditinggikan, moncong menyambar. Wiro melihat cuma ada satu kemungkinan. satu kesempatan. Yaitu pergunakan, batang kelapa sebagai tempat menjejakkan kaki sekaligus melambungkan diri ke udara lalu melesat mencapai ujung batang bambu terakhir yaitu batang bambu ke lima belas.
Namun dua ekor buaya harus mampu disingkirkan terlebih dahului. Kalau tidak, walau dia bisa mencapai batang bambu ke lima belas, di saat bersamaan dua ekor buaya itu pasti telah melahap bagian bawah tubuhnya!
Begitu dirinya mulai melayang turun, Wiro lontarkan tangan kiri dua kali berturut-turut melepas pukulan sakti Tangan Dewa Menghantam Air Bah. Inilah salah satu dari enam pukulan sakti yang ada dalam kitab Putih Wasiat Dewa yang didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh.
Suara gemuruh luapan arus air anak Kali Progo senyap ditelan suara pukulan sakti yang menggelegar laksana kumandang suara guntur. Lapat-lapat terdengar suara jeritan dua ekor buaya sebelum tubuh mereka hancur cerai berai dan dihanyutkan arus. Air kali melambung sampai setinggi dua tombak.
Celakanya batang kelapa yang hendak dijadikan pijakan kaki ikut terangkat ke udara. Untuk menunggu sampai batang kayu kembali turun dan mengambang dipermukaan air terpaksa Wiro membuat satu gerakan jungkir balik yang dalam keadaan seperti itu sulit dilakukan.
Ambarsari menjerit keras. Untung Wiro tidak terpengaruh oleh jeritan itu. Dengan segala, ilmu kepandaian yang dimilikinya serta ketabahan dan kesigapan seorang pendekar dia berhasil melesat ke udara, turun ke bawah tepat pada saat batang kelapa sudah mengambang di atas air kembali.
Sekali menjejakkan kaki kanan di atas batang kelapa Wiro berhasil melesatkan tubuhnya ke udara. Seperti seekor burung elang murid Sinto Gendeng hinggap di ujung batang bambu ke lima belas. Ketika dia siap untuk melompat ke tepi kali tiba-tiba ada suara berkesiuran dan dalam kejapan yang sama dari seberang kali yang gelap melesat lima buah benda aneh. Sebesar ujung ibu jari, berbentuk bulat putih kekuningan.menebar bau harum!
Pendekar 212 cepat kibaskan tangan kiri. Tiga buah benda aneh terpental. Satu melesat lewat di samping kepalanya. Benda kelima menancap telak di pangkal leher sebelah kiri. Meskipun mampu mencapai tepian kali namun begitu menjejakkan kaki di tanah murid Sinto Gendeng langsung ambruk. Ambarsari jatuh dari panggulannya. Si gadis pergunakan ilmu silatnya agar tidak sampai tersungkur di tanah.
Namun dalam bingungnya gadis Ini membuat gerakan yang salah hingga justru kepalanya terjun ke tanah lebih dulu. Sebelum kepala itu membentur tanah becek di tepi kali, satu bayangan hitam berkelebat dari balik pohon, menyambar tubuhnya dan lenyap dalam kegelapan.
********************
SEPULUH
Dalam keadaan mata masih terpejam sayup-sayup Wiro mendengar suara deru berkepanjangan. Udara di sekitarnya terasa dingin. Tubuh lemah menggigil. Pikiran kosong. Untuk menolak hawa dingin dia kerahkan tenaga dalam guna mengalirkan hawa sakti. Tapi tak berhasil. Dia coba gerakkan tangan kanan. Tidak bisa. Tangan kiri juga kaku. Lalu kaki kiri kanan, sama sekali tak mampu diangkat.
Sesaat kemudian murid Sinto Gendeng ini baru menyadari kalau dia sama sekali tidak mengenakan baju sementara celana putih yang masih melekat di tubuhnya merosot sampai ke betis.
"Gila Apa yang terjadi. Aku berada dimana? Sudah berapa lama aku ditempat Ini? Dingin, mulutku kering, haus… lapar."
Dia hendak menggaruk kepala. Tentu saja tidak bisa. Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. Keadaan sekelilingnya agak gelap. Dia tertelungkup di lantai batu yang mengeluarkan hawa dingin Dia coba membuka mulut Kaku mulai dari bibir sampai ke lidah.
"Aku tak bisa bergerak. tak mampu bersuara Aku berada dibawah pengaruh totokan luar biasa hebat…"
Wajah sang pendekar mengerenyit ketika ada rasa perih mencucuk pangkal lehernya sebelah kiri. Hal ini membuat dia mulai ingat akan apa yang telah terjadi sebelumnya.
"Ambarsari… Aku dan gadis Keraton itu berusaha menyeberangi kali yang sedang diamuk arus. Ada buaya… ada batang kelapa. Lalu ada lima benda aneh menyerangku. Satu menancap di leher kiri. Setelah itu…"
Ingatan sang pendekar hanya sampai di situ Wiro berusaha memperhatikan tempat dia berada seluas pandangan yang bisa dilayangkan. Ternyata dia berada dalam satu ruangan batu berhawa dingin. Satu satunya penerangan yang membuat ruangan itu menjadi sedikit terang adalah rambasan cahaya yang masuk melalui celah sangat tipis berbentuk empat persegi panjang.
"Pintu, pasti disitu ada pintu. Cahaya masuk lewat celah pintu." Wiro berkata dalam hati. "Bagaimana aku bisa berada di sini. Tempat celaka apa ini. Dimana gadis itu. Apa yang terjadi? Jangan-jangan yang menyerang tadi malam gerombolan rampok. Berarti Ambarsari diculik. Tapi… kalau memang rampok yang menyerang pasti aku sudah dibunuh. Perlu apa orang jahat itu susah payah membawa aku ke tempat ini…"
Wiro pejamkan mata, berusaha berpikir lebih jernih. "Suara deru itu… Ada sesuatu yang mengalir disamping atau dibagian atas ruangan ini. Apa? Mungkin air. Berarti ada sungai di sekitar sini…"
Tiba-tiba Wiro mendengar suara langkah-langkah kaki. Tak lama kemudian terdengar satu benda berat bergeser lalu ada cahaya memasuki ruangan batu hingga keadaan sekarang menjadi cukup terang. Wiro memandang ke arah dinding batu yang terbuka membentuk pintu. Empat orang melangkah masuk.
Tiga mengenakan pakaian pasukan Kerajaan, satu memakai jubah putih menjela lantai. Karena silau Wiro tidak dapat melihat wajah ke empat orang itu. Namun begitu keempatnya berdiri di samping dinding kiri dan cahaya dari luar menerangi, Wiro kini dapat melihat cukup jelas wajah mereka.
Orang pertama dan kedua adalah perajurit Kerajaan. Yang ketiga seorang pemuda bertubuh tegap yang juga mengenakan pakaian perajurit Kerajaan. Dari tanda-tanda kebesaran serta topi yang dikenakannya Wiro menduga pemuda Ini punya pangkat tinggi, pa ling tidak seorang Perwira Muda. Dugaan Wiro tidak meleset karena orang itu memang adalah Pewira Muda Soma Kowara.
Orang ke empat seorang kakek berwajah panjang. Walau mukanya penuh keriput namun tampak bersih klimis. Dalam usianya yang sudah lanjut sosoknya masih kelihatan kukuh. Rambutnya yang putih di gelung di atas kepala. Pakaiannya sehelai jubah putih Penampilannya seperti seorang Resi Orang tua Ini bukan lain adalah Pangeran Tua Sena Wirapala, kakek Raden Ayu Ambarsari.
"Periksa apakah tawanan sudah sadar atau belum" Perwira Muda Soma Kowara berkata pada dua orang perajurit. Kedua perajurit inisegera laksanakan perintah.
Mendengar dirinya disebut tawanan murid Sinto Gendong jadi terkejut. "Aku tawanan? Tawanan siapa?"
Wiro berpikir. Dia ingat keterangan Ambarsari kalau dirinya adalah cucu Pangeran Sena Wirapala Wiro perhatikan orang tua berjubah putih. "Jangan-jangan dia Pangeran Tua Sena Wirapala. Berarti aku tawanan Kerajaan. Berarti saat ini aku disekap di satu tempat di Kotaraja. Gila! Bagaimana bisa kejadian seperti ini?!"
Dua perajurit yang memeriksa Wiro dan melihat sang pendekar dalam keadaan dua mata nyalang, bola mata bergerak-gerak, segera memberi laporan pada Soma Kowara bahwa tawanan berada dalam keadaan sadar.
"Bagus, berarti kita bisa menanyainya," orang tua berjubah putih keluarkan ucapan lalu memberi tanda pada Soma Kowara dengan anggukan kepala.
Perwira muda itu segera melangkah mendekati Wiro, membungkuk lalu sekali dua tangannya bergerak murid Sinto Gendeng melayang ke dinding seberang dan jatuh terduduk kaku di sebuah gundukan batu rata berbentuk bangku. Pangeran Sena Wirapala, Perwira Muda Soma Kowara dan dua perajurit kemudian melangkah mendekati Wiro. Begitu berada di hadapan sang pendekar Soma Kowara jambak rambut Wiro lalu membentak.
"Kami akan menanyai dirimu! Jika kau tidak menjawab benar dan jujur, kau akan menerima nasib lebih buruk dari ini!" Habis membentak sang Perwira Muda hantamkan satu tamparan ke muka Pendekar 212.
Kepala Wiro sampai tersentak dan ujung bibirnya kucurkan darah saking kerasnya tamparan. Orang tua berjubah putih maju lebih dekat ke arah Wiro. Tiba-tiba dua jari tangan kirinya melesat ke ubun-ubun murid Sinto Gendeng. Asap mengepul dari batok kepala Wiro. Wiro merasa kepalanya seperti terbongkar. Mulutnya terbuka lebar. Ternyata Pangeran Sena Wirapala menusuk ubun-ubun Wiro untuk melepas totokan yang menutup jalan suaranya. Saat itu juga Wiro keluarkan satu jeritan keras.
"Kalian”
Soma Kowara kembali menjambak rambut Wiro. "Manusia bejat Jangan berani membuka mulut kalau tidak ditanya atau disuruh"
"Plaakk" Satu tamparan lagi menghajar muka murid Sinto Gendeng hingga kepalanya tersentak dan telinganya kanannya keluarkan darah. Ternyata Perwira muda itu bukan melancarkan tamparan biasa, tapi tamparan yang dialiri tenaga dalam tinggi! Tanpa perdulikan ancaman orang, darah menggelegak Wiro membuka mulut hendak memaki. Namun Pangeran Tua Sena Wirapala mengangkat tangan kanan seraya berkata,
"Bicaralah jika kau diminta bicara. Buka mulutmu jika kau ditanya…"
"Apa salahku! Mengapa aku diperlakukan seperti ini?" teriak Wiro tanpa perduli.
Kali ini bukan tamparan tapi satu jotosan melabrak pipi kanan Pendekar 212, "Sekali lagi kau berani bersuara kuhancurkan mulutmu, kuremukkan hidungmu!" hardik Soma Kowara.
"Kalian pasti orang-orang Kerajaan. Tapi bukan manusia melainkan anjing biadab!"
Soma Kowara berteriak marah. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan ke tangan kanan yang sudah membentuk tinju. Namun sebelum jotosannya mendarat di mulut Wiro Pangeran Sena Wirapala memegang bahu Perwira Muda ini dan menariknya kebelakang.
"Biarkan aku menanyai dulu. Nanti kalau dia sudah bicara, kau boleh melakukan apa saja atas dirinya. Tapi ingat. Jangan dibikin mati! Hukum Kerajaan harus diberlakukan. Dia harus mati di tiang gantungan.
Pangeran Sena Wirapala lalu maju lagi satu langkah ke hadapan Wiro yang bukan saja heran mendengar kata-kata si orang tua tapi juga terkejut sekali.
"Aku Pangeran Sena Wirapala. Raden Ayu Ambarsari adalah cucuku satu-satunya. Kau kenal dirinya?"
"Ya, aku mengenal cucumu Itu." jawab Wiro.
"Kau telah membuat kebiadaban luar bisa. Kotaraja geger selama dua hari ini. Rakyat minta kau digantung di alun-alun lalu dicincang dan sisa jazadmu dibakar!"
"Apa salahku?" tanya Wiro dengan mata terbelalak.
"Manusia terkutuk! Jangan kau berpura-pura! Kau telah memperkosa Raden Ayu Ambarsari lalu membunuhnya! Dajal sekalipun tidak akan sekeji itu!" Yang membuka mulut keras adalah Soma Kowara.
"Tuduhan busuk! Fitnah keji! Aku justru berusaha menyelamatkannya malam tadi. Namun ada orang jahat membokongku! Melepas lima senjata rahasia. Satu menancap di leherku. Aku kemudian tak sadarkan diri. Sebelum roboh pingsan aku melihat Raden Ayu Ambarsari dalam keadaan masih hidup. Melayang jatuh di tepi anak Kali Progo!"
"Siapa percaya ucapanmu!" hardik Soma Kowara. Perwira Muda ini memang ingin sekali menghabisi Wiro saat itu. Wiro membuat dia kehilangan gadis yang diam-diam dicintainya.
"Apakah kau sudah lama mengenal cucuku?" Pangeran Tua bertanya.
"Aku mengenalnya baru malam tadi. Sewaktu dia hampir celaka masuk jurang karena dikejar seorang lelaki yang menurutnya bernama Cakra. Orang itu menyirapnya dan bermaksud hendak merusak kehormatannya..."
"Pangeran." kata Soma Kowara. "Kita tidak usah mempercayai semua ucapannya. Lebih baik kita seret ia sekarang juga ke alun-alun."
"Saatnya untuk melakukan itu akan tiba. Harap kau bisa bersabar sebentar. Aku masih ingin menanyainya." Lalu Pangeran Tua memerintahkan Pendekar 212 menceritakan apa yang telah terjadi tadi malam. "Bicara yang jujur. Jika kau berdusta mengarang cerita, aku sendiri yang akan mematahkan batang lehermu!"
Wiro pejamkan kedua matanya. Darahnya seperti mau muncrat, dadanya seolah hendak meledak menahan amarah. Sekali lagi dia coba mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Namun dia tidak mampu membuyarkan totokan yang yang membuat kaku kedua tangan dan kakinya.
"Percuma kau mencoba! Totokan yang melumpuhkanmu tak mungkin dimusnahkan. Sekalipun kau punya ilmu setinggi langit sedalam lautan. Lebih baik kau mulai saja menuturkan kejadian malam tadi."
Wiro coba menindih amarahnya. Diasadar tak mungkin bisa membebaskan diri. Dari Eyang Sinto dia pernah mendengar tentang ketinggian ilmu orang tua ini. Mungkin lebih tinggi dari gurunya sendiri. Akhirnya Wiro hanya bisa pasrah dan mulai menuturkan apa yang terjadi malam tadi. Mulai ketika dia menolong Raden Ayu Ambarsari sampai usaha menyeberangi kali. Wiro tutup ceritanya dengan ucapan.
"Pangeran sudah mendengar apa yang aku ceritakan. Di leherku pasti ada bekas serangan senjata gelap itu. Pangeran bisa memeriksa sendiri"
Pangeran Sena Wirapala terdiam beberapa lamanya. Soma Kowara yang tidak ingin orang tua itu mempercayai cerita Pendekar 212 segera membuka mulut. Suaranya tetap keras.
"Pangeran, pemuda terkutuk ini pandai mengarang cerita. Jangan sampai Pangeran tertipu! ingat rakyat seKotaraja masih berkumpul di alun-alun untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman gantung! Selain itu Sri Baginda juga telah memberi petunjuk agar hukuman segera dilakukan siang Ini juga! Jangan ditunggu sampai matahari condong ke barat apa lagi sampai tenggelam di timur"
"Pangeran, aku sudah bicara jujur. Perwira ini agaknya punya kepentingan pribadi, memaksakan kehendak untuk menjatuhkan hukuman! Padahal aku tidak bersalah! Pangeran, kau yang kuasa di sini. Bukan dia!"
"Bangsat, kau mau mengadu domba kami berdua?!" bentak Soma Kowara.
Wiro menyeringai. Pangeran Sena Wirapala menatap wajah Wiro sesaat lalu gelengkan kepala. "Ceritamu cukup bagus dan bisa saja benar. Katamu ada, orang yang menyerangmu dengan benda ini…"
Orang tua itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku jubahnya. Ternyata adalah sekuntum bunga tanjung yang sudah layu, warnanya berubah coklat dan berlapis noda darah yang telah mengering. Pangeran tua letakkan bunga tanjung itu di telapak tangan kirinya lalu diperlihatkan pada Wiro.
"Ini benda yang menancap di lehermu. Bunga tanjung. Aku yang mengeluarkan dari lehermu pertama kali kau dibawa ke sini. Benda ini mengandung racun jahat yang bisa membunuh seekor kerbau. Ternyata kau bisa bertahan dan hanya pingsan selama dua hari dua malam."
"Kalau Pangeran sudah mengetahui, ditambah ada bukti orang menyerang diriku secara gelap, sepatutnya Pangeran membebaskan diriku saat ini juga! Aku akan melupakan semua kejadian, tapi satu hal aku tidak akan melupakan perlakuan kejam dan pengecut Pewira Muda Ini!"
"Bangsat pembunuh! Tidak ada yang akan membebaskan dirimu! Malaikat maut sudah menunggumu. Pintu neraka sudah terbuka lebar!" Teriak Soma Kowara marah besar.
Pendekar 212 menyeringai. "Jika aku bebas, apakah kau masih punya nyali menampar dan memukulku?!"
Perwira Muda angkat tangannya tinggi-tinggi. Siap hendak menghajar Wiro, namun Pangeran tua cepat menghalangi. "Pembicaraan kita belum selesai" kata sang pangeran pada Wiro. "Ceritamu tadi bagus dan masuk akal kedengarannya. Bukti bunga tanjung juga ikut menunjang. Tapi bisakah kau memberi tahu, jika kau punya musuh, atau ada orang pandai jahat di rimba persilatan ini, siapakah diantara mereka yang mempergunakan bunga tanjung sebagai senjata?"
"Aku tidak tahu. Pangeran. Seorang sakti mandraguna bisa saja menjadikan setiap benda sebagai senjata. Jangankan bunga tanjung, kentutpun bisa jadi senjata..."
"Manusia terkutuk! Jangan kau berani bicara kurang ajar pada Pangeran Sena Wirapala!" bentak Soma Kowara sementara sang pangeran tua hanya geleng-geleng kepala. Sesaat kemudian orang tua, ini berkata,
"Anak muda, sayang sekali. Kau tidak pada kedudukan dapat menghindar dari tuduhan atau membuktikan bahwa dirimu benar-benar tidak bersalah. Mayat cucuku ditemui di tepi anak Kali Progo dalam keadaan tanpa pakaian. Ada bunga tanjung menempel di keningnya. Wajah pucat dan bibirnya biru gelap. Kau sendiri terbujur di sebelahnya tanpa baju. Celana panjangmu dalam keadaan tersingkap. Kau kami tawan di tempat ini. Cucuku telah dikebumikan siang hari setelah jenazahnya ditemukan. Jelas semua ceritamu tadi tak ada artinya untuk dipakai menyelamatkan diri."
Wiro kaget bukan kepalang. "Kau memperkosa Raden Ayu Ambarsari. Lalu membunuhnya!" Soma Kowara berkata dengan muka didekatkan ke wajah Pendekar 212.
"Demi Tuhan, aku bersumpah. Aku tidak melakukan hal itu!" Kata Wiro setengah berteriak.
Pangeran tua tersenyum dingin "Siapa yaag mau percaya keberadaan patung laki-laki dan perempuan yang bisa menjelma seperti manusia hidup. Melakukan perbuatan mesum…"
"Hal itu bukan aku yang mengatakan. Tapi cucumu sendiri yang menceritakan padaku."
Perwira Muda Soma Kowara mendengus. "Seribu kali kau bersumpah, nyawamu tidak akan tertolong!" Perwira Muda ini lalu berpaling pada Pangeran Sena Wirapala. "Pangeran, semua sudah jelas. Izinkan saya meninggalkan tempat ini lebih dulu untuk menyiapkan tiang gantungan."
"Tunggu," kata Pangeran Sena Wirapala. Masih ada satu pertanyaanku lagi pada orang ini." Lalu orang tua ini menatap Wiro beberapa jurus. Dalam hati dia berkata. "Aku pernah melihatnya sewaktu masih bocah. Namun suara serta kurang ajarnya tidak ada beda dengan si gondrong ini." Setelah menatap dan membatin. Pangeran Sena Wirapala berkata. "Dari raut wajahmu, panjangnya rambut serta bentuk tubuhmu, aku ingat pada seseorang sahabat lama di puncak Gunung Gede. Pemuda gondrong, apa hubunganmu dengan nenek sakti Sinto Gendeng?"
Wiro diam saja tak mau menjawab.
"Kenapa kau tak mau bicara?" tanya Pangeran Sena Wirapala.
"Aku muridnya…" akhirnya Wiro keluarkan ucapan. Perlahan saja namun terdengar mengejutkan di telinga Sang PAngeran dan Perwira Muda Soma Kowara.
"Berarti kau orangnya yang bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar Kapak Naga Goni Dua Satu Dua?"
Wiro tidak menjawab, cuma sunggingkan senyum. Soma Kowara berubah tampangnya. Pangeran Sena Wirapala pejamkan mata, menarik nafas dalam beberapa kali. Lalu berpaling pada perwira di sebelahnya.
"Soma, kita tidak dapat menggantung orang ini sebelum memberi tahu gurunya. Aku perintahkan saat ini juga kau mengirim utusan ke puncak Gunung Gede. Temui Sinto Gendeng. Ceritakan apa yang terjadi dengan muridnya dan hukuman apa yang akan dijatuhkan Kerajaan atas dirinya!"
Soma Kowara sampai ternganga mendelik, tak percaya mendengar kata-kata Pangeran tua. "Pangeran, saya tidak mengerti…"
"Soma, ini bukan soal mengerti atau tidak mengerti. kemelut besar akan melanda Kerajaan kalau tokoh utama dunia persilatan Sinto Gendeng sampai tidak diberitahu hukuman yang dijatuhkan Kerajaan atas diri muridnya.
"Pangeran…"
"Kalau kau tidak mau melaksanakan perintahku, apakah aku yang harus memerintah langsung para perajurit untuk berangkat ke Gunung Gede…"
“Pangeran, Gunung Gede jauh sekali dari sini. dengan berkuda, paling tidak membutuhkan waktu lebih dari dua minggu pergi pulang. Belum tentu nenek itu ada di sana. Lalu bagaimana dengan rakyat banyak yang begitu mencintai Raden Ayu dan ingin manusia satu ini segera dihukum mati di tiang gantungan? Bagaimana kalau rakyat marah dan bertindak nekad menyerbu kesini lalu menggantung sendiri manusia terkutuk ini?"
"Soal kecintaan rakyat pada cucuku, aku lebih tahu. Dan rakyat juga tahu kalau aku mencintai dan menyayangi Ambarsari lebih dari siapapun di atas dunia ini. Aku merasa lebih baik melepas sepuluh penjahat berdosa dari pada menghukum seorang yang tidak bersalah. Laksanakan perintahku! Berapa lamapun waktunya, aku tetap menunggu sampai Sinto Gendeng ditemukan dan datang kesini!"
Tiba-tiba di luar ruangan batu terdengar suara tawa perempuan cekikikan. Disusui ucapan. "Mengapa susah-susah pergi ke Gunung Gede mencariku. Aku sudah ada disini!"
"Kurang ajar! Bagaimana orang luar bisa masuki Kemana para pengawal?!" Yang berteriak marah adalah Soma Kowara.
Perwira muda ini melompat ke pintu. Pada saat yang sama dari luar berkelebat masuk satu bayangan hitam ke dalam ruangan, langsung menabrak sang perwira. Soma Kowara terpental, menabrak dua perajurit dan pangeran tua hingga ke empat orang itu sama-sama jatuh bergelimpangan di lantai batu! Pangeran tua berseru kaget, Soma Kowara memaki keras.
SEBELAS
Tiga langkah dari ambang pintu ruangan batu dimana Pendekar 212 ditawan dan masih dalam keadaan tertotok tak mampu bergerak, berdiri seorang nenek bungkuk berkulit liat hitam, berbaju serta kain panjang hitam Kepala yang ditumbuhi rambut putih jarang ditancapi lima tusuk konde perak. Mata cekung berputar liar Mulut kempot berkomat kamit. Kalau Pangeran Sena Wirapala, Soma Kowara dan dua perajurit sama-sama terkejut maka Wiro berseru gembira.
"Eyang Sinto!"
Si nenek umbar tawa cekikikan. "Anak setan, kau tetap saja di tempatmu! Biar aku yang menyelesaikan urusan dengan orang-orang keblinger ini!"
Wiro menghela nafas lega namun tiba-tiba dia melihat ada beberapa kelainan pada diri gurunya itu. Sewaktu terakhir bertemu di Gedung Kadipaten Losari (baca episode sebelumnya berjudul Sang Pembunuh)
Eyang Sinto mengenakan pakaian hitam baru dan bagus serta berdandan mencolok. Saat itu dia muncul bersama kakek sakti kekasih dimasa mudanya, kakek berjuluk Tua Gila. Kini si nenek kembali mengenakan pakaian aslinya. Tetapi mengapa kain panjang hitam itu tidak basah dan menebar bau pesingnya air kencing?
Lalu Eyang Sinto juga tidak membekal tongkat kayu butut yang selalu dibawanya kemana-mana. Di tangan kirinya Wiro malah melihat si nenek memegang sebuah benda panjang putih yang bukan lain adalah suling perak milik Loan Nio Nikouw yang tempo hari diberikan sang paderi kepada nenek kembar jejadian dan si nenek kemudian memberikannya pada Wiro.
"Dimana Eyang Sinto mendapatkan suling itu? Mungkin di tepi Kali Progo? pikir Wiro. Kelainan berikutnya yang dilihat sang murid, si nenek tidak mengunyah susur di mulutnya. Lalu suara Eyang Sinto walau tetap melengking keras namun agak besar. Apa telah terjadi perubahan dengan Eyang Sinto sejak pertemuannya dengan Tua Gila?
Pangeran Sena Wirapala, diikuti Soma Kowara dan dua perajurit cepat berdiri. Sang Perwira Muda setelah mendengus segera bergerak mendatangi si nenek. Tapi Pangeran Sena Wirapala menahannya lalu melangkah maju dan menegur.
"Sinto Gendeng, kau masih saja seperti dulul Bicara jorok ceplas ceplos! Selalu kurang ajar dalam bertindak!"
Sinto Gendeng plototkan mata. "Sena. seharusnya kau berterima kasih karena aku sudah muncul di sini. Tak perlu mengirim utusan ke Gunung Gede. menghabiskan tenaga membuang waktu!"
“Itu semua aku lakukan demi persahabatan kita di masa. lalu."
"Weh, apakah sekarang ini kita tidak lagi bersahabat?" Sinto Gendeng memutus ucapan orang. berdiri berkacak pinggang.
"Tentu, tentu saja kita tetap masih bersahabat," jawab Sena Wirapala. "Aku benar-benar bersyukur karena kau datang tepat pada waktunya. Sehingga apapun yang kami lakukan atas diri muridmu dikemudian hari tidak akan membawa salah pengertian…"
"Begitu?" ujar si nenek. Dia menatap ke arah Wiro yang sejak tadi terus menerus memperhatikan dirinya “ Anak setan! Siapa yang menelanjangimu sampai setengah bugil begitu rupa?"
"Aku tidak tahu nek. Waktu sadar keadaanku sudah begini," jawab Wiro Lalu dia menambahkan. "Biar jelas kau tanyakan saja pada orang orang itu."
"Hemmm..." Si nenek bergumam. Dia kedipkan mata lalu berpaling pada Pangeran tua." Aku sempat mendengar pembicaraan kalian. Aku juga tahu semua kejadian! Karena itu perihal muridku aku tidak akan banyak cerita. Aku cuma mengeluarkan satu ucapan. Bebaskan anak setan ini karena dia tidak punya salah tidak punya dosa!"
"Enak sekali bicaramu!" kata Soma Kowara. Walau dia sadar berhadapan dengan seorang tokoh terkenal rimba persilatan namun itu tidak mengurangi kenekatannya untuk bicara keras. Apa lagi dia merasa berada di pihak yang benar dan membela atasannya.
"Muridmu membunuh dan memperkosa Raden Ayu Ambarsari cucu Pangeran Sena Wirapala. Dan kau minta kami membebaskan! Tua bangka edan! Pantas kau disebut nenek gendeng!” Habis membentak dan memaki Perwira Muda itu tertawa gelak-gelak seolah mengejek Sinto Gendeng.
"Perwira jahanam! Jangan kau berani menghina guruku!" teriak Wiro marah.
Tapi Soma Kowara tidak perduli ucapan orang. Dia terus saja tertawa gelak-gelak sampai tubuhnya bergetar dan wajahnya merah keringatan.
Sinto Gendeng berkomat kamit. "Suara tawamu enak didengar!" ucapnya. "Apa aku boleh Ikutan tertawa? Hik hik hik!" Si nenek buka mulutnya lebar-lebar, sepasang mata melesak masuk ke dalam rongga yang cekung.
Sesaat kemudian dari mulut Sinto Gendeng mengumbar suara tawa bergelak luar biasa keras. Suasana mendadak mencekam mengerikan. Suara tawa si nenek seolah terdengar dalam satu rimba belantara, seram menggema. Membuat seantero ruangan batu bergetar, pintu batu berderak. Lengkingan suara tawa membuat semua orang yang ada di situ kecuali Wiro mendenging sakit telinga masing-masing. Luar biasa, suara tawa yang begitu dahsyat mampu diarahkan pada empat dari lima orang yang ada dalam ruangan.
Pangeran tua Sena Wirapala, Soma Kowara dan dua perajurit merasa seperti ada angin panas mencucuk masuk ke liang telinga mereka, menembus sampai ke otak! Empat orang ini cepat tekapkan telapak tangan ke telinga masing-masing. Tapi tak ada gunanya.
Getar lengking tawa Sinto Gendeng terus menembus masuk ke dalam liang telinga membuat mereka kesakitan setengah mati. Dua perajurit yang ada dalam ruangan menjerit keras lalu roboh ke lantai dengan telinga kiri kanan kucurkan darah. Keduanya tewas dengan mata mendelik. Dari tempatnya duduk Pendekar 212 terheran-heran menyaksikan apa yang terjadi.
"Soma! Hentikan tawamu!" teriak Pangeran Sena Wirapala.
"Tidak! Jangan berhenti! Tertawalah terus! Tawamu enak didengar!" Teriak Sinto Gendeng.
Anehnya Perwira Muda itu benar-benar tertawa terus. Sena Wirapala melihat bahaya besar mengancam Soma Kowara cepat bertindak. Dia melompat ke hadapan Perwira Muda itu, lancarkan dua totokan ke arah dada dan tenggorokan.
"Hekkk!" Soma Kowara keluarkan suara seperti orang dicekik. Saat itu juga suara tawanya lenyap. Sekujur tubuh terasa lemas, melosoh jatuh, terduduk di lantai batu. Muka pucat seputih kertas. Secara bersamaan suara tawa Sinto Gendeng juga sirap. Si nenek masih tegak di depan pintu ruangan, tangan berkacak di pinggang.
Pangeran Sena Wirapala turunkan kedua tangannya yang sejak tadi ditekapkan ke telinga. Dia menatap ke arah Sinto Gendeng dengan pandangan heran. Hatinya berucap, "Ilmu Seribu Demit Tertawa Memecah Bumi. Aneh! setahuku Sinto Gendeng tidak memiliki ilmu kesaktian yang sangat berbahaya itu…"
"Sena Wirapala. Aku sudah memberi peringatan. Apakah kau masih belum mau membebaskan muridku?" Sinto Gendeng keluarkan ucapan.
"Aku tidak mungkin melakukan hal itu. Muridmu punya dosa kesalahan besar. Rakyat sudah mengetahui. Tiang gantungan sudah disiapkan" Jawab Pangeran tua pula.
Sinto Gendeng delikkan mata lalu geleng-geleng kepala. "Hukum memang harus dijunjung tinggil. Tapi tuduhan yang tidak beralasan namanya bukan hukum! Satu petunjuk sudah cukup untuk membebaskan muridku anak setan itu! Dia diserang dengan bunga tanjung. Dia tidak membekal senjata gila seperti itu. Lalu di kening cucumu menempel sekuntum bunga yang sama! Apakah kau tidak bisa berpikir. Hanya menurutkan nafsu dendam karena kebetulan cucumu yang dibunuh orang?!"
"Sinto. terserah kau mau bilang apa. Tapi…"
"Dengar. Aku bisa mencari petunjuk lain yang membuktikan anak setan itu tidak memperkosa cucumu, apalagi membunuhnya."
"Petunjuk dan bukti apa?" tanya Sena Wirapala.
"Sewaktu kalian menangkapnya di tepi kali apakah kalian memeriksa anunya anak setan itu? Apakah basah, ada lengket-lengketnya, mungkin juga ada darah. Atau anunya sama sekali kering!"
Wajah Pangeran Tua Sena Wirapala berubah merah. "Ucapanmu menjijikkan sekali!"
"Bisa begitu! Aku yakin saat itu anunya anak setan itu dalam keadaan kering. Berarti dia tidak pernah memperkosa cucumu. Ada orang lain yang melakukan. Orang ini yang membunuh cucumu. Lalu muridku yang dalam keadaan pingsan dijejerkan di samping mayat cucumu. Bajunya ditanggalkan, celananya diperosotkan."
"Kau mengarang cerita busuk untuk menolong murid bejatmu itu!" tukas Sena Wirapala.
Sinto Gendeng menyeringai. "Muridku memang sableng! Tapi seumur hidup dia tidak pernah melakukan perbuatan keji itu. Memperkosa dan membunuh korban yang diperkosanya! Ingat baik-baik Sena. Muridku bukan manusia bejat seperti katamu!"
Dua orang itu saling melotot satu sama lain. Si nenek lanjutkan ucapannya. "Sena Wirapala. Kau bilang kita masih bersahabat. Kurasa tidak lagi. Karena kau tidak mempercayai ucapanku sebagal sahabat. Sekarang aku mengajukan satu usul padamu. Lepaskan muridku, kau boleh memenjarakan aku bahkan menggantung diriku sebagai gantinya!"
"Tidak mungkin Sinto. Siapa yang salah itulah yang dihukum. Siapa yang berdosa dialah yang digantung!" jawab Sena Wirapala.
"Nek, tua bangka ini keras kepala. Otaknya terbuat dari batu hingga tak mampu berpikir jernih! Hatinya terbuat dari tanah lempung hingga tak punya nurani!" Wiro berkata dari tempatnya terduduk kaku.
"Sinto, aku tak bisa melayanimu berlama-lama. Silahkan kau meninggalkan tempat ini." Sena Wirapala memberi Isyarat dengan gerakan tangan agar si nenek meninggalkan ruangan itu.
"Dengan senang hati aku akan pergi. Tapi jika aku pergi, anak setan Itu harus ikut bersamaku!" Ucap Sinto Gendeng pula.
"Lakukanlah jika kau mampu!" tantang Sena Wirapala.
Sinto Gendeng tertawa. "Sena, kau rupanya masih belum tahu siapa sobat lamamu ini. Dengar, sebelum masuk ke sini aku sudah membuat retak bagian luar atap ruangan ini. Sekali aku menghantam atap ruangan akan jebol dan air. Kali Opak akan melanda masuk ke tempat ini. Mudah-mudahan kau bisa menyelamatkan diri."
Pangeran Sena Wirapala tersentak kaget Berteriak marah dan menyerbu ke arah Sinto Gendeng. Didahului tawa panjang bergelak Sinto Gendeng sabetkan suling perak di tangan kiri Satu sinar putih perak menyilaukan menyambar ke arah Pangeran Tua Sena Wirapala. Sambil menghindar sang Pangeran balas menghantam dengan pukulan maut yang disebut Di Dalam Gelap Menggusur Gunung. Selarik angin dahsyat laksana topan menerpa ke arah Sinto Gendeng.
Namun nenek sakti dari Gunung Gede itu telah berkelebat lenyap. Sosoknya melayang menyambar Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu sambil melesat ke arah atap ruangan batu dia tusukkan suling perak ke atas. Selarik cahaya putih perak berkiblat. Atap ruangan batu jebol. Terdengar suara bergemuruh ketika air bah mencurah masuk. Sinto Gendeng berteriak keras lalu melesat ke atas sambil memanggul muridnya. Sesaat tekanan air bah membuat gerakannya menembus ke atas tertahan. Tubuhnya mengapung di udara. Si nenek berteriak sekali lagi dan lipat gandakan tenaga dalamnya.
"Wusss!" Sosok guru dan murid lenyap di lobang besar yang dibanjiri air Kali Opak.
DUA BELAS
Eyang, kita sudah jauh meninggalkan Kotaraja. Mengapa tidak mencari tempat berhenti." Wiro yang berada di atas panggulan Sinto Gendeng berkata.
"Anak setan! Kau diam sajalah. Ada satu tempat yang aman dan bagus di puncak bukit sana!" jawab Sinto Gendeng seraya membelok memasuki sebuah hutan kecil.
Sekeluarnya dari hutan ada sebuah bukit kecil. Di puncak bukit terdapat sebuah candi yang masih baik keadaannya namun penuh diselimuti lumut tanda tidak terawat dan jarang didatangi orang.
"Nek, aku berterima kasih kau telah menolongku dari orang-orang gila itu…”
"Kau juga gila. Kalau tidak gila pasti tidak terlibat segala macam urusan keblinger itu. Pasti cucu Pangeran itu cantik wajahnya. Kalau jelek kau mana bakalan mau menolong. Karena mata keranjang. Sekarang kau rasakan sendiri akibatnya. Digebuki orang. Untung tidak bonyok…"
"Kau tidak tahu asal muasal kejadiannya, nek."
"Sudah! Jangan bicara lagi!" Sinto Gendeng tampak kesal.
“Nek…"
"Apa lagi?! Apa kau tak bisa mengancing mulutmu barang sebentar?!"
"Anu nek. Aku lihat kain panjangmu tidak lepek oleh air kencing. Tubuh dan pakaianmu tidak bau pesing. Apa penyakit ngompolmu sudah sembuh?!" Wiro kembali membuka mulut bertanya.
"Diam saja dulu! Nanti di candi sana kita bicara! Aku sudah capek memanggulmu. Kalau kau terus terusan membuat aku jengkel, aku lempar kau ke tanah, baru rasa!"
Wiro diam. Tapi sejak tadi mulutnya masih gatal mau bertanya. "Nek. kau dapat dari mana suling perak itu?"
"Dasar anak setan. Disuruh diam malah nyerocos bertanya terus!" Sinto Gendeng akhirnya sampai di candi di atas bukit. Wiro didudukkan di anak tangga sebelah atas, disandarkan ke tiang candi. Sang murid pandangi gurunya mulai dari kepala sampai ke kaki.
"Nek…"
"Huss! Apa kau tak bisa menutup mulutmu! Apa perlu aku sumpal dengah tanah?! Aku harus melepaskan totokan di tubuhmu lebih dulu. Agar kau bisa menggerakkan kaki dan tangan…"
"Juga agar bisa kentut" sambung Wiro agak jengkel terus-terusan dibentak. "Aku disekap di tempat celaka di bawah Kali Opak itu sekitar dua hari. Tidak diberi makan tidak diberi minum. Perutku kembung kemasukan angin. Tapi tidak bisa kentut! Aku haus, lapar nek…"
Sinto Gendeng tidak perdulikan ucapan Wiro. Dia meneliti tubuh muridnya namun tak berhasil melihat tanda di mana pemuda itu ditotok.
"Nek. waktu kakek yang dipanggil Pangeran itu melepas totokan yang membuat aku kembali bisa bicara, dia menotok ubun ubunku. Batok kepalaku mengeluarkan asap" Wiro memberi tahu.
"Begitu...? Ilmu totokan apa itu?" ujar Sinto Gendeng sambil berpikir-pikir. "Hemm aku tahu. Kalau untuk melepas totokan yang membungkam suaramu Sena Wirapala menotok ubun-ubun di batok kepalamu, berarti untuk melepas totokan yang membuat kau tak bisa bergerak aku harus menotok ubun-ubun di pantatmu!"
“Nek. apa maksudmu?" tanya Wiro.
“Aku harus menotok lobang anusmu! Kau harus kubuat menungging dulu. Nanti aku totok anusmu dengan ranting kayu! Celanamu harus aku buka…"
"Nek!" Wiro berseru kaget. "Aku tidak pernah mendengar cara memusnah totokan seperti itu. Kau jangan macam-macam nek!"
Sinto Gendeng berdiri di hadapan Wiro lalu tertawa gelak-gelak. Membuat sang murid jadi tambah heran.
"Nek, tingkahmu aneh."
"Apa kau tidak tahu kalau dari dulu aku memang aneh?"
"Aku tahu. Tapi Wiro terdiam, berpikir sejenak. Waktu di dalam ruang batu tempat aku ditawan. Kau mengeluarkan ilmu aneh Tertawa bergelak yang bisa membuat dua perajurit tewas. Perwira Muda pingsan dan Pangeran tua kesakitan setengah mati. Aku tidak tahu kalau kau memiliki ilmu hebat itu. Ilmu apa itu namanya nek?"
"Perlu apa kau bertanya! Rupanya kau minta diajari ilmu itu?" tanya Sinto Gendeng pula.
"Tidak nek. Maksudku kau tidak seperti biasanya…"
Sinto Gendeng kembali tertawa.
"Tongkat bututmu mana nek?"
"Aku kelupaan membawanya."
"Kekasihmu kakek berjuluk Tua Gila Itu kau tinggal dimana?" tanya Wiro lagi.
Sinto Gendeng menyeringai. Akhirnya sambil mengusap muka dia berkata, "Anak setan Kau menyelidiki diriku sambil memancing! Hik hik hik! Aku memang sudah gerah menyamar seperti ini." Si nenek mengusap wajahnya dua kali lalu saat itu juga tubuhnya berubah samar.
Ketika tubuh itu menjadi jelas kembali keadaannya sudah berubah. Yang berdiri di depan Wiro bukan lagi sang guru Eyang Sinto Gendeng. tapi seorang nenek berjubah kuning, rambut kelabu mata merah. Telinganya dicantel anting-anting terbuat dari tulang manusia.
"Kau..." seru Wiro.
"Memangnya kau kira siapa?! Hik hik hik!" ucap si nenek yang bukan lain adalah kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tiiu, lalu tertawa cekikikan.
"Gila. Samaranmu nyaris sempurna, nek! Tapi aku sudah curiga sejak diruangan batu kalau kau bukan guruku benaran. Bagaimana kau bisa sampai ke Kotaraja dan tahu aku ditawan orang, mau digantung. Berarti setelah berpisah dengan Loan Nio Nikouw kau terus-terusan mengikutiku!" Si nenek tertawa lagi.
"Aku memang mengikutimu. Kupikir kau pasti menuju Gunung Gede. Tapi di tengah jalan aku kehilangan jejakmu. Sekitar dua minggu kemudian setelah kita berpisah, pagi dua hari lalu aku menemukan suling perak yang kuberikan padamu tempo hari di tepi anak Kali Progo. Juga kutemui bajumu di sana. Ketika pagi tadi aku memasuki Kotaraja, aku mendengar kabar tentang kematian Raden Ayu Ambarsari. Gadis cucu Pangeran Sena Wirapala itu katanya diperkosa dulu baru dibunuh. Aku ikuti cerita orang banyak. Kabarnya si pembunuh sudah tertangkap dan ditawan di satu tempat. Siap digantung dalam satu dua hari mendatang. Ciri-ciri si pembunuh sama dengan dirimu. Aku berusaha mencari tempat dimana kau ditawan. Aku berhasil menemui tempat itu. Sebuah bangunan batu di bawah Kali Opak Aku coba menyusup. Ternyata memang kau yang ditawan di tempat itu. Aku sempat mendengar semua pertanyaan yang diajukan Pangeran tua. Juga mendengar jawabanmu
"Waktu aku dipukuli, kau juga tahu?" tanya Wiro.
"Ya, aku melihat dari luar pintu."
"Mengapa kau tidak menolong?" tanya Wiro jadi jengkel
"Aku pikir ada baiknya kau digebuki orang begitu rupa. Agar dikemudian hari kau tidak lagi suka usil, tidak mata keranjang. Hik hik hik…!"
"Brengsek!" Wiro memaki, wajah bersungut.
"Aku tahu Pangeran Sena Wirapala berkepandaian tinggi. Aku keluar dulu menyusun siasat. Bagian atap ruangan batu tempat kau ditawan aku buat retak. Lalu aku masuk kembali. Cerita selanjutnya kau sudah tahu."
"Kau hebat nek. Aku benar-benar berterima kasih." Kata Wiro pula. "Nek, apa benar untuk membebaskan totokan ditubuhku kau harus menotok anusku…?"
Mahluk jejadian kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu tertawa cekikikan. Pemuda tolol" ujar si nenek. "Kau mau saja aku kibuli. Hik hik hik. Aku mau periksa lagi dibagian mana kau ditotok pangeran tua itu."
Perempuan tua bermata merah ini memperhatikan kepala, wajah, leher, bahu terus dada danbagian perut Wiro. Lalu meneliti kedua kakinya. Dia menggeleng beberapa kali. "Aku tidak menemukan tanda tanda. Satu-satunya bagian tubuhmu yang belum aku periksa adalah bagian bawah pusar yang tertutup celana."
"Ah, pasti kau mau mempermainkan aku lagi nek!" kata Wiro.
Si nenek menggeleng. "Kali ini aku tidak main-main. Menurut Pangeran Sena, waktu kau ditemukan dalam keadaan pingsan, kau tidak mengenakan baju. Celanamu merosot ke kaki. Aku merasa pasti, totokan itu dilakukan orang di bagian bawah pusarmu. Mungkin totokan Itu di sebelah belakang, tapi aku lebih punya dugaan di sebelah depan Karena di situ terletak jalan darah dan urat-urat serta syaraf paling peka." Si nenek diam sejurus lalu berkata. "Aku harus membuka celanamu!"
"Wah... Jangan nek!" ucap Wiro. "Aku tahu kau orangnya suka jahil. Mungkin sebenarnya bukan di bawah pusar yang di totok. Kau cuma mau melihat anuku! Kau mencari kesempatan dalam kesempitan."
Si nenek tertawa terkekeh-kekeh. "Apa yang sempat? Apa yang sempit? ujarnya. Lalu dia bertanya. "Coba kau katakan, cara bagaimana aku harus menolongmu?"
"Diraba saja dari luar nek," kata Wiro pula.
"Kalau salah meraba, salah menotok Kau mau tanggung akibatnya?"
"Aku tanggung nek!" jawab Pendekar 212.
"Kau tidak takut? Tidak menyesal?!"
"Tidak nek!"
"Bagaimana kalau kantong menyanmu nanti melembung sebesar kelapa?!"
"Biar saja nek. Yang penting totokan ditubuhku bisa musnah dulu."
"Baik. Tapi bagaimana kalau nanti perabotanmu yang lain yang berubah ciut jadi sebesar cacing?!" tanya si nenek lagi.
"Aahhh! Kau menakut-nakuti aku terus-terusan nek!"
Nenek kembar jejadian melangkah mundar mandir. Dia jadi bingung sendiri. Tiba-tiba dia hentikan langkah. "Aku ingat sesuatu!" ucap si nenek.
"Apa?!"
"Bukankah kau punya ilmu kesaktian yang bisa melihat satu benda di kejauhan atau benda yang terhalang benda lain? Kau bisa mempergunakan Ilmu itu. Menembus celana dan melihat bagian auratmu yang tertotok."
"Kalau aku mampu mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan hawa sakti ke mata, sudah sejak tadi tadi aku lakukan. Tapi sialnya totokan celaka itu membuat aku tidak mampu mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan hawa sakti
"Ah, celaka benar nasibmu." Kata sinenek.
Wiro ingat kejadian sewaktu dia harus memperbaiki letak anggota rahasia Pengemis Empat Mata Angin yang pernah dirobahnya dengan mempergunakan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad. (Baca serial Wiro Sableng episode berjudul Sang Pembunuh)
Saat itu dia berada dalam keadaan tiada daya akibat menghirup Racun Inti Bumi yang ditebar oleh Raja Racun Bumi Langit. Untuk mengeluarkan ilmu kesaktian yang didapatnya dari seorang sakti di Latanahsilam itu Wiro harus memiliki tenaga dalam. Untung saat itu Nyi Roro Manggut, nenek sakti dari pantai selatan mau meminjamkan dan mengerahkan tenaga dalamnya masuk ke tubuh Pendekar 212 hingga murid Sinto Gendeng itu berhasil menolong Pengemis Empat Mata Angin.
"Nek, apakah kau bisa mengalirkan tenaga dalammu ke tubuhku. Dengan mengandalkan tenaga dalam itu aku bisa mengerahkan Ilmu Menembus Pandang untuk melihat di bagian mana tubuhku kena totok.”
"Caranya?" balik bertanya si nenek
"Kau bisa memegang dua tanganku, atau yang lebih baik menempelkan dua telapak tangan di punggung lalu mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti."
Lama si nenek terdiam. "Cara seperti itu tak mungkin aku lakukan…"
"Tidak mungkin atau kau tidak mau menolong" tanya Wiro.
"Kalau aku katakan terus terang, kau tidak akan percaya. Kau akan menuduhku jahil. Mencari kesempatan dalam kesempitan."
"Memangnya kenapa? Memangnya cara kau memindahkan tenaga dalam bagaimana?" Wiro merasa heran.
Si nenek menggeleng. "Sudahlah." katanya. "Kita cari saja orang lain yang bisa menolongmu. Kau tinggal menyebutkan orangnya, dimana beradanya dan aku akan membawamu menemuinya."
Wiro heran mengapa mahluk jejadian yang berilmu tinggi itu tidak mau menolongnya. "Aku tidak akan pergi dari tempat Ini sebelum kau memberi tahu mengapa kau tidak mau menolongku."
"Bukan tidak mau menolong. Tapi... Kita sudah lama bersahabat. Aku sudah banyak menerima, budi darimu. Sekarang kau..."
Baik, baik… Aku akan katakan padamu. Tapi jangan kau menuduh yang bukan-bukan. Jangan berpikir yang bukan-bukan"
"Kau ini aneh, nek. Tapi baiklah. Aku berjanji tidak akan menuduhmu yang bukan-bukan. Tidak akan berpikir yang bukan-bukan." kata Wiro pula.
Si nenek mengusap wajahnya beberapa kali baru berkata. "Bagi mahluk biasa tenaga dalam dan aliran hawa sakti berpusat pada pusar. Tapi bagi mahluk jejadian seperti diriku letak pusat tenaga dalam dan kesaktian itu bukan di pusar. Karena kami tidak punya pusar."
Nenek ini lalu membuka bagian tengah jubah kuningnya hingga perutnya tersingkap. Murid Sinto Gendeng jadi melongo melihat perut keriput tak berpusar.
"Kalau begitu, dimana letak pusat kekuatan tenaga dalam dan kesaktianmu, nek?" bertanya Wiro.
Si nenek menatap Wiro. Tanpa berkesip dia menjawab. "Pada dua puting susuku."
"Hah Apa?" Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
"Ingat, kau sudah berjanji tidak akan menuduh dan berpikir yang bukan-bukan."
"Ya… ya Kalau tenaga dalam dan kesaktianmu terletak pada puting susumu, lantas bagaimana caranya kau memindahkan tenaga dalam?"
Si nenek masih menatap tak berkesip. "Asal kau memang ihklas, aku bersedia memegang dua susumu. Dan kau lalu mengalirkan tenaga dalam serta hawa sakti."
"Tidak, aku tidak bisa memindahkan tenaga dalam dan hawa sakti dengan cara seperti itu."
"Jadi?"
"Kau harus menghisap dua pentil susuku sekaligus!" Menerangkan si nenek.
Kalau saja tidak dalam keadaan kaku kedua tangan dan kakinya mungkin saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng telah melompat saking kagetnya. Akhirnya Wiro cuma bisa tertawa. Mula-mula perlahan, makin lama makin keras bergelak. Wiro mungkin belum akan berhenti tertawa kalau tiba-tiba dari dalam candi tidak terdengar suara orang berucap lembut tapi jelas.
"Hidup ini memang satu keanehan. Di dalam susah ada tawa. Di dalam kesulitan ada penghiburan."
Begitu ucapan berakhir di dekat Wiro dan nenek jubah kuning telah berdiri seorang pemuda cakap berbaju dan bercelana hitam. Kening diikat secarik kain merah. Beberapa bagian baju dan celana dihias sulaman benang emas dan perak. Pemuda ini berkumis kecil, memelihara janggut dan cambang bawuk tipis rapi. Belum sempat Wiro dan si nenek menanyakan siapa adanya dia. si pemuda berkata.
"Sahabat yang sedang kesusahan. Jika kau bersedia, dengan ilmuku yang bodoh aku mungkin bisa melepas totokan di tubuhmu. Sejak kalian datang aku sudah ada di dalam candi. Harap dimaafkan kalau aku tak sengaja mendengar semua pembicaraan sahabat dan nenek ini."
"Kau bisa menolong sahabatku ini?" tanya nenek kembar jejadian.
"Jika kau mengizinkan dan yang punya diri mau ditolong."
"Sahabat, kalau kau memang mampu menolong, aku berserah diri." Kata Wiro pula.
"Terima kasih, kau mau mempercayaiku…" Pemuda berpakaian hitam lalu membaringkan Wiro menelentang dilantai candi. Si nenek mengawasi.
"Harap maafkan, aku harus menyentuh auratmu di bagian yang ditotok…" Kata pemuda berpakaian hitam.
Lalu tangan kanannya menyusup ke bawah celana Pendekar 212. Wiro merasa jari-jari tangan mengusap permukaan kulit kira-kira setengah jengkal di bawah pusar. Terasa dingin. Hawa sejuk kemudian menjalar ke seluruh tubuhnya. Pemuda yang menolong menggerakkan tangan dan kaki Wiro beberapa kali.
"Sahabat kau sekarang bisa menggerakkan tangan dan kakimu sendiri. Cobalah."
Wiro gerakkan tangan kiri kanan. Angkat kedua kaki. Ternyata dia benar-benar mampu melakukan. "Luar biasa Sahabat aku berterima kasih padamu!"
"Cobalah bangun dan berdiri." Kata pemuda yang menolong.
Wiro bukannya bangun tapi melompat dan dilain saat dia sudah berdiri di hadapan pemuda berpakaian serba hitam. Membungkuk dalam-dalam dan mengucapkan terima kasih berulang kali. Si nenek tertawa gembira, menepuk-nepuk bahu orang seraya bertanya.
"Pemuda hebat, kalau kami boleh tahu siapakah gerangan kau adanya?"
"Aku hanya seorang yang kebetulan lewat di sini. Karena capai dan matahari bersinar terik, aku masuk ke dalam candi. Aku gembira totokan di tubuhmu sudah musnah. Karena ada keperluan lain, aku mohon diri lebih dulu. Di lain waktu mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi."
"Tunggu, kau belum memberi tahu nama" kata Wiro namun seperti ditelan bumi pemuda tadi lenyap di samping candi. Wiro dan si nenek mengejar. Pemuda itu tak kelihatan lagi.
"Orang sakti berbudi tinggi, selalu merendah diri seperti itu…" ucap si nenek.
"Ilmunya luar biasa. Kalau dia tidak menolong…" Ingin tahu Wiro membelakangi si nenek lalu turunkan celananya di bagian depan untuk melihat bagian tubuhnya di bawah pusar yang tadi disentuh.
Dia terkejut ketika melihat di bawah pusar itu menempel sekuntum bunga tanjung putih kekuningan. Ketika bunga tanjung itu hendak diambilnya tiba-tiba rasa panas menyengat batok kepalanya. Wajah serasa dipanggang api. Sekujur tubuhnya panas membara. Dalam keadaan seperti itu entah bagaimana sekilas Wiro ingat pada Raden Ayu Ambarsari.
"Orang itu…" Wiro menunjuk ke arah lenyapnya pemuda berpakaian hitam tadi sementara dua kakinya tampak goyah dan tubuhnya oleng. "Dia… dia yang mengejar Ambarsari. Dia manusia bernama Cakra yang…"
Murid Sinto Gendeng tidak sanggup menyelesaikan ucapan. Dari mulut menyembur darah kental. Tubuhnya tergelimpang di tanah, menggeliat beberapa kali lalu tak berkutik lagi.
Nenek kembar jejadian menjerit kaget. Dia cepat membalikkan Wiro hingga tertelentang. Dia melihat wajah sang pendekar merah sekali. Bibir membiru.
"Racun jahat!" ucap si nenek. Lalu dua tangannya kiri kanan bergerak cepat menotok dua belas urat besar jalan darah di sekujur tubuh Wiro. Ketika dia menyibakkan celana Wiro dan melihat bunga tanjung yang menempel dibawah pusar, si nenek segera mengambil bunga itu, meremasnya hingga hancur Lalu dengan ibu jari tangan kanannya dia menekan kuat-kuat bagian bawah pusar dimana bunga tanjung tadi menempel.
"Dess… dess… dess!"
Terdengar tiga letupan kecil disertai buntalan asap biru. Si nenek menjerit keras. Dari bagian bawah perut Wiro keluar satu kekuatan hawa aneh, menyambar ke bagian bawah perut si nenek hingga perempuan jejadian itu terpental lalu terbanting jatuh di tanah. Mukanya yang keriput tampak merah sementara bibirnya kebiru-biruan...
********************
Pendekar 212 telah tertipu manusia jahat pembawa Patung Kamasutra. Orang itu tidak ingin membunuh Wiro. Tapi ingin mencelakai sang pendekar seumur-umur dengan melumpuhkan kejantanannya.
Sementara nenek kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu dibuat menjadi perempuan jalang pengumbar nafsu. Ikuti kisah selanjutnya dalam judul Misteri Bunga Noda.
Selanjutnya,
MISTERI BUNGA NODA
MISTERI BUNGA NODA