TELAPAK tangan yang keras bagai batuan yang menggenggam Singanada masih tetap mencekal kencang.
“Apa maumu, Siladri?”
“Gendhuk Tri dalam keadaan aman untuk sementara,” ulang Siladri berbisik. “Kita harus menemukan Upasara dan Permaisuri Rajapatni. Dengan bersatu kalian bisa melawan Barisan Padatala.”
Siladri melepaskan cekalan dan menjauh. Di luar kori, Singanada tertinggal sendiri. Banyak pertanyaan yang mengganjal.
“Hampir saja kamu kukira musuh terbesarku, Senopati Agung. Cara jalanmu sama.” Dugaan itu terlontar begitu saja. Singanada tak yakin apakah itu dugaan yang tepat atau tidak.
Sejak ia kembali ke tanah Jawa, tak begitu banyak tokoh yang dikenal. Paling hanya beberapa nama. Makanya ia heran sekali kalau ada orang yang mirip dengan yang pernah dikenal. Mestinya ia bisa tahu. Siladri tokoh utama dalam Keraton. Jelas.
Bisa keluar-masuk dan menyamar sebagai prajurit. Peta permasalahannya tahu persis. Bahwa Gendhuk Tri dalam keadaan aman, dan Upasara serta Permaisuri Rajapatni masih belum ditemukan. Agaknya juga cukup sakti, karena memiliki buah pahit yang untuk sementara bisa membuat tawar pengaruh bubuk pagebluk.
Singanada menduga bahwa Siladri tak mengetahui di mana Upasara berada. Apakah berada dalam tawanan, ataukah meloloskan diri. Itu sebabnya ia memberi saran agar segera meninggalkan tempat. Barangkali terpikir bahwa Upasara bisa meloloskan diri, dan berada entah di mana dalam keadaan ngengleng alias linglung.
Saat itu Upasara memang bingung. Gayatri yang tertidur nyenyak, mendadak menarik tubuh Upasara. Merangkul kencang. Mendekatkan kepala Upasara ke dada Gayatri. Seolah seorang ibu yang ingin menyusui anaknya yang sudah kehausan.
“Yayi…”
“Peluk aku, Kakang. Rengkuh aku sepuasmu, Kakang…”
Upasara bergidik. Dalam bayangannya, Gayatri adalah wanita yang suci, dengan sorot mata jernih dan senyum tersembunyi. Tak pernah memperlihatkan perasaan yang sesungguhnya secara wadak. Kalau tadi menggenggam tangan Upasara, diartikan sebagai luapan dari kerinduan yang tak bisa dibendung lagi. Namun hanya sebatas itu. Tidak seperti sekarang ini.
Upasara tidak menduga buruk. Justru akal sehatnya bekerja cepat. Kini ia makin yakin bahwa Gayatri terkena pengaruh bubuk beracun, walau hanya sepersekian hirupan. Pengaruh itu menyebabkan Gayatri berani mengutarakan apa yang terpendam dalam hatinya. Apa yang selama ini disembunyikan bisa muncul secara berlebihan. Dan karena saat-saat terakhir perasaan Gayatri sedang hanyut dalam kerinduan, yang mendesak ke luar adalah nafsu berahi. Desakan berahi yang memanas.
Upasara tak menduga bahwa bubuk beracun itu mengandung bahaya ganda. Dalam dosis kecil mampu membuka simpul-simpul perasaan. Menghilangkan rasa sungkan, rasa malu, rasa yang ditutup-tutupi. Dalam dosis besar keinginan itu sedemikian membesar sehingga bisa membunuh dirinya sendiri.
Anehnya bubuk ini secara langsung tidak menimbulkan luka dalam sebagaimana racun yang lain. Kalau racun atau bisa tertentu, bagian yang terkena dapat segera ditandai. Sehingga untuk mengobati dapat mengerahkan tenaga dalam ke bagian itu. Akan tetapi bubuk putih ini langsung terlarut ke dalam darah. Larut menjadi satu.
“Kakang…”
Upasara berusaha melepaskan pelukan Gayatri.
“Kakang mengemohi aku? Apakah aku menjijikkan?”
Upasara pernah tahu ada semacam dedaunan yang tumbuh di Perguruan Awan, yang bisa membuat mabuk kepayang, bisa menghilangkan ingatan sementara dan membuat orang menjadi lebih berani. Tak jauh berbeda dengan minuman keras. Dedaunan semacam ini banyak digunakan oleh para Petani agar giat menggarap sawah, atau prajurit yang menuju medan perang agar lebih berani, atau mereka yang biasa malu-malu kalau ingin bermain asmara.
Dalam soal mempengaruhi sama persis. Namun bubuk putih ini ternyata diramu lebih dahsyat lagi. Karena selain mengendurkan saraf, sekaligus juga mematikan. Sehingga mereka yang terkena pengaruhnya, mengetahui apa yang diperbuat tapi tidak sepenuhnya sadar. Perbedaan yang kedua ialah bahwa pengaruh dedaunan yang memabukkan itu hanya sebentar, sementara pengaruh bubuk dalam tubuh Gayatri seperti menyentak datang dan pergi berkali-kali.
Kini Upasara merasakan bahwa seluruh tubuh Gayatri basah oleh keringat. Basah dan membanjir, memberikan bau apak yang manis. Bahkan keringat pun terkena pengaruh bubuk putih. Meresap ke seluruh tubuh. Upasara bersila. Kedua tangannya cepat menempel di tengah dada dan perut Gayatri. Tanpa dipengaruhi pikiran-pikiran yang merangsang dirinya.
Perlahan tenaga dalamnya masuk, menerobos pori-pori, mencari hawa nadi yang bergetar. Ke arah itulah Upasara mendorong keras, mencarikan jalan keluar tenaganya. Tujuannya hanya satu. Kalau bubuk itu bisa larut sampai ke keringat, berarti sebagian terserap di situ. Dan bagian itulah yang didorong ke luar. Dalam sekejap saja seluruh tubuh Gayatri benar-benar basah. Cairan dalam tubuh dipompa ke luar dengan dorongan tenaga murni. Bagi Upasara hal ini bukan pekerjaan yang sulit.
Penguasaan tenaga dalamnya untuk dikerahkan dengan perlahan atau cepat, ke bagian mana, bisa dilakukan dengan enteng. Seperti menuntun jalan pikiran atau menggerakkan anggota tubuh. Dan dalam hal ini perlawanan dari tenaga dalam Gayatri boleh dikatakan tidak ada. Tetapi juga tidak berarti bahwa penyembuhan bisa secepat yang dikehendaki. Sebab kalau cairan tubuh Gayatri didorong ke luar semua, tubuhnya akan mengering. Bisa mati bagian-bagian kulit dan sarafnya.
Kalau terus-menerus dilakukan, Gayatri bisa mati kehabisan cairan tubuh. Maka Upasara menempuh jalan aman. Setiap kali mendorong semua keringat Gayatri berhasil, ia berhenti sejenak, mengelap dengan kain yang melekat pada tubuh Gayatri. Tak bisa lain karena tak ada barang lain. Tubuhnya sendiri telanjang dada, tanpa kain.
Setelah itu ia menimba air sumur dengan menggunakan setagen Gayatri. Lalu dengan setengah paksa dijejalkannya air ke bibir Gayatri. Baru kemudian air di dalam tubuh Gayatri didorong ke luar lagi. Dua kali Upasara melakukan, ternyata ada hasilnya. Gayatri seolah mendusin dari kelelapan.
“Kakang…”
“Ya. Yayi…”
“Kakang tidak kurang ajar padaku?”
“Tidak, Yayi. Kakang hanya berusaha menyembuhkan Yayi…”
Kekuatiran Gayatri bisa dimengerti. Kini tubuhnya terbaring di bangku kayu. Setagennya telah lepas. Kain yang rangkap melibat tubuhnya sebagian telah lepas. Hanya ditutupkan begitu saja. Dalam keadaan antara sadar dan tidak, bisa saja muncul pikiran yang tidak-tidak.
“Yayi harus minum banyak sekali. Agar air tubuh Yayi bisa saya dorong ke luar. Ceritanya banyak dan panjang. Nanti akan Kakang ceritakan semua.”
Gayatri mengangguk. Rasa dingin karena keringat kini sepenuhnya terasa. Juga telapak tangan Upasara di belahan dada dan di bagian pusar. Ada hawa enak, nyaman, yang menerobos masuk, mengalir bersama darahnya dan menyebabkan keringatnya bagai disuntakkan ke luar.
“Kakang… Aku tak tahan.”
Upasara menarik kembali tenaganya. Dan mengelap tubuh Gayatri. Mendadak Gayatri merebut kain yang masih menempel di tubuhnya.
“Aku bisa melakukan sendiri.”
Upasara berpaling ke arah lain. Walau sebenarnya tidak perlu. Karena ruangan sangat gelap tanpa cahaya. Tak bisa melihat ujung hidungnya sendiri. Hanya saja irama dan desiran darah yang bergolak serta udara panas dari sela-sela hidung bisa menjadi pertanda bahwa tanpa melihat langsung, gelora berahi itu tak bisa ditutupi secara sempurna.
Kidungan Pamungkas
AKAN tetapi karena batin Upasara bersih dari niatan yang nakal, demikian juga Gayatri, keduanya dengan cepat bisa menguasai diri kembali.
“Kita coba kembali, Yayi?”
“Tubuhku sangat lemas. Tapi kalau Kakang anggap baik, silakan…”
Tangan Upasara bergerak. Kali ini tidak ke pusar atau belahan dada, melainkan menutup bibir Gayatri. Yang hampir saja berteriak karena kaget. Baru kemudian Gayatri sadar bahwa ada langkah kaki menuju ruangan pustaka raja. Ini hebat!
Ketika pintu terbuka, tampak bayangan tubuh seorang wanita memasuki ruangan pustaka raja sambil membawa obor penerangan. Upasara mendelik. Karena yang datang adalah Permaisuri Indreswari. Berbagai pertanyaan serentak mengentak Upasara dan Gayatri.
Ruangan pustaka raja tidaklah luas. Lebih banyak untuk tempat penyimpanan kitab-kitab yang dituliskan pada kain sutra, kulit binatang, maupun dedaunan. Semuanya tersimpan dalam kotak yang dibuat dari kayu cendana. Semua disusun, menyita hampir sebagian besar ruangan. Satu-satunya tempat yang luang hanyalah di bagian bangku kayu di mana Upasara dan Gayatri bersembunyi. Tempat yang biasanya digunakan Baginda untuk membaca atau menembang.
Jika Permaisuri Indreswari melangkah masuk, mereka berdua pasti segera ketahuan. Karena tak mungkin mencari persembunyian lain. Kalaupun Upasara melayang dan menempel di langit-langit, jejak yang ditinggalkan sangat mudah terbaca. Apalagi ada bongkaran tanah dan bangku kayu yang basah oleh keringat.
Bagi Upasara dan Gayatri, bukan masalah utama kalau dianggap mencuri tahu mengenai kitab-kitab yang hanya diperuntukkan Baginda. Akan tetapi diketahui berada dalam ruangan dan berdua-dua, sementara Gayatri hanya mengenakan kain yang mirip selimut, bisa memorak-porandakan cerita yang ada. Apalagi yang mengetahui adalah Permaisuri Indreswari!
Bahwa tanpa melihat langsung cerita yang berkembang di luaran sangat menyakitkan hati, Gayatri sejak awal sudah mengetahui. Apalagi ditangkap basah—dan benar-benar basah seperti sekarang ini. Sebenarnya ada pertanyaan lain yang muncul. Yaitu kenapa Permaisuri Indreswari di tengah malam seperti ini memasuki kamar pustaka raja. Bahkan para emban atau prajurit jaga yang baru masuk mengabdi sudah tahu adalah larangan utama bagi siapa saja untuk masuk ke pustaka raja atau sanggar pamujan.
Selain Baginda sendiri. Barang siapa berani mendekati saja sudah bisa didakwa melanggar tata aturan Keraton. Tapi pertanyaan itu tenggelam dengan sendirinya. Permaisuri Indreswari tak mungkin nantinya akan disalahkan memasuki kamar pustaka raja. Karena bisa saja beralasan mendengar suara di dalam, dan kemudian masuk.
Permaisuri Indreswari dengan mudah mengatakan curiga dengan adanya suara di dalam karena saat itu Baginda sedang berada di sanggar pamujan. Berarti ada orang lain. Para prajurit jaga akan membenarkan semua kalimat Permaisuri Indreswari.
Upasara menarik tubuh Gayatri. Menempel erat di tubuhnya. Tangan kanannya memeluk Gayatri, sementara tangan kirinya menggantung. Satu gerakan tangan kiri akan mampu menyeret Permaisuri Indreswari masuk atau terlontar ke luar melewati halaman. Gayatri bersandar di punggung Upasara. Menunggu. Bayangan tubuh Permaisuri Indreswari bergerak. Cahaya obor yang dibawa tergoyang oleh tubuhnya sendiri.
Berhenti. Mengawasi tumpukan peti kayu cendana. Perlahan membuka salah satu peti, dan tangannya mengambil salah satu gulungan kitab yang ada. Cepat menutup peti kembali. Dan berbalik. Berbalik! Gayatri menutup matanya. Napasnya mendengus lega. Permaisuri Indreswari hanya berada di bagian ujung. Mengambil satu gulungan lalu melangkah ke luar.
“Aku sudah periksa. Di dalam tak ada apa-apa. Lanjutkan penjagaan, karena banyak musuh.”
“Sendika dawuh dalem, sang Prameswari Agung…”
Jawaban para prajurit jaga terdengar serempak dan hormat. Lalu terdengar langkah menjauh. Sunyi lagi.
“Mbakyu Ayu Indreswari sudah tahu keadaan di dalam ruangan ini. Sudah hafal di mana disimpan kitab apa. Sehingga hanya perlu melangkah masuk dan mengambil apa yang diinginkan. Sungguh kurang ajar.”
“Tenang, Yayi…”
Gayatri melepaskan diri dari rangkulan Upasara. “Bagaimana aku bisa tenang? Sudah jelas Mbakyu Ayu Indreswari mengambil kitab pusaka yang tak boleh disentuh oleh siapa pun. Dengan cara sembunyi-sembunyi, seolah ingin memeriksa, sehingga prajurit jaga pun dikelabui. Ini benar-benar keterlaluan. Yang selama ini dianggap permaisuri paling berbakti, paling suci, diam-diam melakukan tindak dursila.”
Gayatri menuju ke arah depan. Ke tumpukan peti kayu cendana. “Yang diambil kitab yang berisi Kidungan Pamungkas.”
Upasara menunggu sampai Gayatri dekat. Dan berbisik. “Bagaimana Yayi tahu?”
“Saya tahu, Kakang.”
“Bukankah ini hanya untuk Baginda?”
Gayatri menghela napas. “Sekarang ini hanya untuk Baginda. Iya. Tapi sebelum ini, kitab-kitab itu milik Sri Baginda Raja. Dan kami semua putri-putrinya diberi izin untuk mempelajari. Aku sendiri yang mengatur kitab mana diletakkan di mana. Semua kitab ini peninggalan dari leluhur sebelum Sri Baginda Raja. Ditambah dengan yang ditulis Sri Baginda Raja. Aku tahu, bukan mencuri tahu, Kakang.”
“Maaf, Yayi… Kalau tidak mengetahui, mana mungkin Yayi bisa mematahkan kidungan Senopati Halayudha…”
Gayatri terdiam. Lama. Lalu, “Kakang, aku benar-benar takut, cemas. Selama ini ruang pustaka raja tak pernah dimasuki siapa pun. Akan tetapi secara diam-diam Halayudha bisa masuk kemari. Dan kini Mbakyu Ayu Indreswari juga leluasa mengambil begitu saja. Aku cemas sekali, Kakang. Keraton kita tak tersisa lagi.”
Upasara mengangguk.
“Pada zaman Ayahanda Sri Baginda Raja, banyak kitab yang diizinkan untuk diketahui para senopati. Bahkan Kitab Bumi disebarkan secara luas. Akan tetapi semua di bawah pengawasan yang ketat. Tidak main curi seperti sekarang ini. Kalau ini bukan pertanda kekacauan, apa lagi?”
Upasara membiarkan Gayatri mengumbar emosinya. Sesaat.
“Maaf, Kakang. Aku tak bisa menahan diri. Betapapun aku putri Keraton dan permaisuri. Aku tak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Maaf, Kakang. Kakang jangan tersinggung kalau kukatakan aku permaisuri Baginda. Adalah kewajibanku untuk menjaga kebesaran Baginda. Bukan karena beliau guru laki yang harus kusembah, tapi beliau adalah raja.”
Suara Upasara serak. “Tak apa, Yayi. Kalau Yayi menghendaki, sekarang ini juga kita ambil kembali.” Upasara memandang Gayatri. “Yayi sudah baik?”
“Lebih baik dari tadi, Kakang.”
“Kalau begitu Yayi tunggu sebentar. Kakang akan merebut kembali.”
“Tunggu dulu! Tunggu, Kakang! Kenapa Mbakyu Ayu Indreswari justru mengambil kitab Kidungan Pamungkas? Itu bukan kitab yang luar biasa. Kenapa bukan Kidungan Para Raja, kalau ia mengharapkan putranya segera memegang takhta?”
Enakkan Hatimu, Adimas
DALAM banyak hal Upasara mendalami berbagai kitab. Sejak kecil dididik dalam tradisi Keraton yang bukan hanya mempelajari kitab kanuragan, melainkan juga kitab-kitab yang berisi tata krama dan cara-cara mengatur pemerintahan.
Akan tetapi sejauh ini, dirinya lebih mendalami kitab ilmu silat, terutama Kitab Bumi. Boleh dikatakan hafal setiap lekuk-liku cara mengidung. Maka tidak bisa segera menghayati kenapa Gayatri mempertanyakan Permaisuri Indreswari yang mengambil Kidungan Pamungkas dan bukan kitab Kidungan Para Raja.
“Pasti ada yang istimewa, Yayi. Kalau tidak, di tengah malam seperti ini Permaisuri Indreswari tak perlu datang kemari.”
“Semua kitab yang ada di sini istimewa, Kakang.”
Upasara tersipu.
“Yang membuat saya bertanya-tanya, kenapa justru Kidungan Pamungkas yang diambil. Kitab itu tak berisi sesuatu yang istimewa mengenai kekuasaan, mengenai asal-usul keturunan, mengenai tata cara menggempur musuh, ataupun mengenai berlatih tenaga dalam. Itulah sebabnya susunannya berada di luar. Kalau hanya datang untuk mengambil itu, sebenarnya bisa kapan saja tanpa diketahui. Ini aneh.”
Upasara merasakan betapa Gayatri tetap bagian dari Keraton yang utuh. Segala kecemasan dan kebanggaannya berhubungan dengan Keraton.
“Kakang…”
“Ya, Yayi…”
“Kakang tidak marah kalau saya minta sesuatu?”
Upasara memberanikan diri menggenggam tangan Gayatri. Gayatri sengaja tak menghindar.
“Kakang tidak marah?”
“Tidak.”
“Kakang, malam ini malam milik kita berdua. Ditakdirkan menjadi milik kita. Hanya saja kita tak bisa berkurung di sini. Kakang tidak marah kalau kita pergi dari sini?”
“Tidak.”
“Saya ingin kembali ke kamar prameswaren. Kakang tidak marah?”
“Tidak.”
Gayatri merapikan kainnya. Mengikat dengan setagen. Lalu berjalan. Upasara mendampingi. Di sisi jendela, Upasara mendorong dengan telapak tangan tanpa menyentuh. Jendela merenggang, dan sesaat kemudian Upasara sudah berada di luar, sementara jendela tertutup kembali. Hanya dengan satu totolan kaki, tubuh Upasara dan Gayatri melesat ke bangunan dalam. Melewati beberapa emban dan penjaga, keduanya menyusup ke dalam kamar.
Untuk pertama kalinya Upasara masuk ke kamar seorang wanita. Yang menampar hidungnya pertama kali adalah bau harum. Dan angin dingin yang masuk dari sela-sela jendela bagian atas. Sebuah ranjang tidur yang indah. Sangat indah. Ditata apik. Resik. Kelambu sutra menutupi seluruhnya.
“Ini kamarku, Kakang. Kamar yang menemani hari-hariku.”
Upasara mengangguk. Berdiri kikuk.
“Kakang tunggu sebentar di sini. Saya akan menjemput Mbakyu Ayu Tribhuana…”
“Barangkali sudah berada di dalam,” jawaban Upasara pendek dan menggeser kakinya ke depan. Siap melindungi Gayatri kalau terjadi segala sesuatu.
Gayatri melengak. Kamarnya hanya satu ruangan. Bagaimana mungkin ada orang di dalamnya, selain mereka berdua? Bagi Upasara terlalu mudah mengetahui ada orang lain. Dari dengus tarikan napas dengan mudah bisa diketahui asalnya dari ranjang peraduan yang tertutup tirai. Benar dugaannya.
Tirai terungkap. Upasara menunduk, bersila, dan menghaturkan sembah. Gayatri hampir tak percaya. Kakaknya yang sulung duduk bersila di ranjang. Pandangannya luruh, tenang, dan bahagia, sementara bibirnya sedikit sekali menyimpan senyuman.
“Baik-baik saja, Adimas Upasara?”
Siraman air suci yang segar seakan mengguyur seluruh badan Upasara. Sambutan yang dirasa begitu hangat, ramah, membuyarkan semua kekuatirannya. Jauh dalam hatinya Upasara merasa sangat tidak enak. Datang ke kamar peraduan Gayatri. Lebih tidak enak lagi karena mengetahui ada Permaisuri Tribhuana di dalam. Jalan pikiran Upasara ialah apa yang dikatakan Permaisuri Tribhuana mengenai hubungan mereka berdua selama ini? Tidak enak sekali, karena justru seakan tidak menghormati sedikit pun bahwa Gayatri masih mempunyai kakak tertua.
“Atas restu Permaisuri Tribhuana…”
“Enakkan hatimu, enakkan dudukmu. Aku tahu bahwa kalian berdua akan datang kemari. Maka aku mendahului kemari. Supaya tidak banyak waktu terbuang. Nimas Ayu, dandanlah yang baik. Rasanya kurang menghormati Adimas Upasara…” Permaisuri Tribhuana turun dari ranjang peraduan. Menutup tirai.
“Maafkan adikmu ini, Mbakyu Ayu…” Gayatri segera masuk ke balik tirai.
Sejenak Permaisuri Tribhuana memandang Upasara yang menunduk. Dari ujung rambut ke ujung kaki. Upasara merasa seperti telanjang di bawah sorot mata Permaisuri Tribhuana. Yang terngiang di telinga Upasara adalah sebutan Adimas Upasara, cara penyebutan yang menerima kehadiran. Menyambut dengan baik. Sangat bersikap kekeluargaan, walaupun tidak berlebihan.
“Aku mendengar begitu banyak berita sejak kemarin. Sejak kalian berdua hilang bersama, aku sudah tahu ke mana kalian akhirnya akan pergi. Menemuiku. Adimas Upasara, kamu kuanggap bukan orang lain. Adalah salah kalau aku memberikan kesempatan pada adik kandungku untuk berduaan denganmu. Sebagai sesama permaisuri, aku tak mengizinkan orang lain menggandeng bayangan tubuh Permaisuri Rajapatni. Tetapi sejauh ini, aku mengerti siapa diri Adimas. Aku percaya penuh kepada Adimas Upasara.”
Upasara mengakui bahwa sebutan mahalalila bagi Permaisuri Tribhuana adalah sebutan yang sangat tepat. Apa yang diucapkan tepat, pas, tanpa basa-basi dan sanjungan atau merendahkan yang diajak bicara.
“Kenapa Rajapatni ingin mencariku? Ingin memperkenalkan ksatria yang telah dikenal jagat?”
Upasara menceritakan secara singkat kejadian terakhir, di mana Permaisuri Indreswari masuk ke pustaka raja dan mengambil kitab Kidungan Pamungkas.
“Memang ganjil. Kidungan Pamungkas tidak berisi sesuatu yang istimewa. Kalau dibaca selintas. Sewaktu Sri Baginda Raja masih memegang kebijakan, hanya Kidung Paminggir yang telah begitu direstui untuk dibaca kerabat Keraton. Adimas Upasara lebih mengetahui kenapa.”
“Serba sedikit, Permaisuri Tribhuana…”
“Serba sedikit? Semua memang serba sedikit. Tak ada yang mengetahui sedalam-dalamnya. Kidung Paminggir ditulis dan disusun oleh Eyang Sepuh, dan membuat Sri Baginda Raja Murka. Karena intinya mengisyaratkan munculnya seorang paminggir, seorang yang tidak mempunyai darah keturunan, bakal memegang kendali Keraton di masa yang akan datang. Itu yang terbaca. Perintah larangan Sri Baginda Raja diketahui secara luas. Namun dalam Kidungan Para Raja, Sri Baginda Raja justru menuliskan bahwa roh raja bisa bersemi dalam dada setiap prajurit dan ksatria. Bukankah sedikit membingungkan? Ah, kenapa kita bicara seperti ini, Adimas?”
Permaisuri Rajapatni membuka tirai. Kini muncul dengan dandanan yang anggun, ayu, membuat Upasara tak berani melirik.
“Karena Mbakyu Ayu paling bijaksana dan mengetahui.”
“Itu anggapan yang keliru. Semakin membaca kidungan, semakin banyak yang tidak diketahui.”
Permaisuri Rajapatni bersila di bawah. Berseberangan dengan Upasara. Permaisuri Tribhuana duduk di pinggir ranjang.
“Mudah-mudahan Baginda menangkap wangsit, menangkap ilham yang sejati di sanggar pamujan.” Akhir kalimatnya benar-benar menggambarkan pengharapan.
Kidung Mahamanusia
PERMASURI TRIBHUANA menunduk, bersama dengan Permaisuri Rajapatni. Lamat, samar, keduanya menembangkan kidungan secara bersamaan.
Atas nama Sri Baginda Raja
yang menguasai tanah Singasari
disusun Kidungan Pamungkas
atas perkenan pribadi Sri Baginda Raja
dan kemurahan hati yang bijak
semata-mata karena Sri Baginda Raja
sebagai manusia
manusia ialah manusia
bukan Dewa, bukan penjelmaan Dewa
manusia mempunyai raga
manusia mempunyai jiwa
keduanya menjelma
menjadi manusia
manusia menjadi mahamanusia
jika mengagungkan manusia
bukan Dewa
bukan gerhana
bukan nirwana
manusia bukan hewan
bukan tumbuhan
bukan cairan
maha manusia bisa berkaca
melihat dirinya
mahamanusia bisa berkata
dan mendengarnya
menghadapi diri
melihat batin yang sejati
dalam hidup sejati
mahamanusia
bertatap muka dengan Dewa
yang sebenarnya entah di mana
mahamanusia
menguasai jagat seisinya
mahamanusia
hidup di akhir peradaban
di zaman pamungkas
zaman yang telah selesai
bagi kehidupan
ketika mahamanusia lahir
mengagungkan manusia
adalah kodrat jagat
menjadi maha manusia
adalah kodrat jagat
mengagungkan manusia
bukan menyatu dengan Dewa
mengagungkan manusia
adalah menjadi maha manusia
atas perkenan Sri Baginda Raja
yang menguasai Keraton seisinya
Kidungan Pamungkas disusun
untuk memuja manusia
bukan Dewa
bukan raja
bukan nirwana
bukan gerhana
bukan raga
bukan jiwa
sebab maha manusia
sudah segalanya…
Kedua permaisuri mengakhiri dengan menyembah. Upasara masih tak bergerak.
“Semoga Sri Baginda Raja mengampuni putrinya yang telah lancang membaca kidungan di depan orang lain.”
Kembali keduanya menyembah.
“Adimas Upasara, apa yang Adimas rasakan?”
“Hamba tak begitu paham tentang tata krama, Permaisuri Tribhuana. Agaknya memang bukan ajaran ilmu silat atau berlatih pernapasan.”
“Kidungan Pamungkas, kalau ditilik dari tembangan yang disajikan, masih dekat dengan saat-saat Kidungan Para Raja. Kalau dilihat dari pilihan kata-kata bukan tidak mungkin ditulis Eyang Mpu Raganata. Kalau pada awalnya ditulis atas perkenan Sri Baginda Raja, berarti Sri Baginda Raja turut membaca sejak huruf pertama. Adimas, saya pernah sowan Kanjeng Rama dan menanyakan dimasukkan ke dalam deretan apa Kidungan Pamungkas ini. Kanjeng Rama mengatakan bisa di mana saja. Bisa di bagian tata cara pemerintahan, ilmu silat, atau tembang dolanan, permainan anak-anak. Memang ganjil. Di saat-saat terakhir Sri Baginda Raja hanya memusatkan pada penulisan Kidungan Para Raja. Sampai akhir hayatnya, sebelum kembali ke keabadian yang sempurna. Akan tetapi kidungan ini juga sempat diperhatikan.”
Permaisuri Tribhuana menggerakkan tangannya.
“Kalau tak banyak yang bisa menangkap isinya, untuk apa Dara Petak mengambilnya? Untuk kitab yang biasa-biasa, Dara Petak tak mampu memahami. Apalagi Gemet…”
Masih terasa kegetiran yang tak terhapuskan. Permaisuri Tribhuana tetap menyebut Dara Petak, dan bukan Permaisuri Indreswari.
“Nimas Ayu, apakah Keraton sedang ketamuan seseorang?”
“Rasanya yang muncul hanyalah para pendeta dari tanah Syangka.”
“Saya tak melihat adanya hubungan dengan tanah Syangka. Ataupun tanah Hindia. Atau tanah Turkana…”
Sampai di sini, Permaisuri Tribhuana memandang Upasara selintas. Cukup bagi Upasara untuk merasakan sesuatu yang mengganjal.
“Rasanya hamba sudah cukup lama. Mohon perkenan Permaisuri Tribhuana dan Permaisuri Rajapatni untuk mengundurkan diri.”
Permaisuri Tribhuana menghela napas. “Malam ini meskipun angin segar, tapi alam seperti bergegas. Dan beringas. Semua memanfaatkan saat-saat Baginda berada di sanggar pamujan. Adimas Upasara Wulung. Adimas ksatria sejati, senopati Keraton. Menjadi tanggung jawab Adimas untuk membantu tegaknya wibawa Keraton, dalam keadaan apa pun. Seperti juga kami semua.”
“Kehormatan bagi hamba, Permaisuri Tribhuana.”
“Terima kasih, Adimas. Nimas Ayu, Kakang-mu akan meninggalkan prameswaren. Apakah ada yang ingin Nimas Ayu katakan tanpa kudengar?”
“Apa bedanya, Mbakyu Ayu? Mbakyu Ayu sudah saya anggap pengganti kedua orangtua sejak masih kanak-kanak. Rasanya tak ada yang bisa saya sembunyikan dari Mbakyu Ayu. Kakang Upasara…”
Udara di dada Upasara tertahan.
“Kakang tahu aku masih keracunan bubuk putih?”
"Dengan dua atau tiga kali pengobatan rasanya akan segera bersih kembali, Yayi. Kakang hanya menunggu kalau Yayi sudah merasa sehat.”
“Sekarang sudah.”
Upasara mengangguk. Bersiap. Permaisuri Rajapatni tersenyum tipis. Permaisuri Tribhuana memandang ke arah lain.
“Saya tak mau Kakang menyembuhkan seketika. Supaya suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi. Supaya Kakang tetap mengingat bahwa saya masih penyakitan, dan Kakang mau datang menolong.”
Kali ini Permaisuri Tribhuana yang tersenyum tipis sekali.
“Kakang berjanji?”
Upasara mengangguk.
“Kakang, aku menyimpan pakaian untuk Kakang. Aku menyambung dengan tanganku sendiri. Sekarang Kakang bisa mengenakan. Maukah, Kakang?”
Busana Kanendran
UPASARA mengangguk. Seperti juga ia mengangguk terhadap semua permintaan Permaisuri Rajapatni. Tapi sekali ini membuatnya terbengong. Melongo. Banyak kejadian yang membuat Upasara kikuk tak bisa berbuat apa-apa. Yang seperti ini sama sekali tak pernah diduga.
Dari peti yang berbau harum, Permaisuri Rajapatni mengeluarkan semua isinya. Semua permata, pakaian kebesaran, sebelum mengambil pakaian Upasara. Saat itu Upasara berpikir bahwa pakaian yang disiapkan untuknya diletakkan di bagian bawah, agar tak mudah diketahui orang lain. Meskipun boleh dikata tak ada emban yang diizinkan menyentuh debu dalam peti busana.
Sewaktu sudah diangkat, Upasara masih menduga bahwa bukan yang disodorkan itu yang harus ia pakai. Pakaian yang luar biasa. Warna dasar hitam, dengan renda-renda emas di ujung lengan, di bagian leher.
“Yayi…”
“Pakai saja… Nimas Ayu sudah menyiapkan sejak puluhan tahun yang lalu.” Permaisuri Tribhuana ikut mendandani Upasara. Menggelung rambutnya, memakaikan kain secara tepat pada goresan kecil-kecil yang ada. Mengenakan sabuk besar yang bertatahkan berlian.
“Yayi…”
“Kakang seperti narendra…”
Seumur hidup, Upasara tak pernah mengenakan pakaian kebesaran seperti sekarang ini. Apalagi busana narendra, busana raja! Mimpi pun tak pernah.
“Ah! Siapa sangka dengan busana kanendran ini Adimas tak kalah gagah dari Gemet atau bahkan Baginda?”
“Yayi…”
“Inilah impian yang mewujud, Kakang. Impianku tentang Kakang.”
“Ya, tapi…”
“Kenakan, Kakang! Sebagai kenangan padaku.”
Upasara menggeleng-geleng. “Yayi…”
“Aku menyimpan pakaian yang sepadan dengan yang Kakang kenakan. Suatu hari nanti kita akan memakai bersama. Sekarang Kakang pakai sendiri.”
“Ya, tapi…”
“Biarlah Kakang melangkah dari kamar ini seperti kenangan yang kumiliki.”
Upasara benar-benar mati kutu. Tak bisa menolak. Tak bisa mengelak. Apalagi Permaisuri Rajapatni begitu bersungguh-sungguh, dan Permaisuri Tribhuana merapikan hampir di semua tempat. Termasuk membetulkan keris yang bertatahkan permata.
“Yayi…”
“Berangkatlah, Kakang. Rembulan sudah hampir tak bersisa lagi.” Air mata Permaisuri Rajapatni menetes. Air mata Permaisuri Tribhuana menggenang.
Upasara menyembah. Berjalan menuju pintu dengan langkah kaku. Gerahamnya beradu.
Permaisuri Rajapatni meneriakkan kata batinnya. Menahan. Mengerem. Menjeritkan agar Upasara kembali. Atau setidaknya menoleh. Tapi Upasara berlalu. Membuka pintu dengan gagah. Dan sebelum pintu betul-betul terbuka lebar, tubuhnya melesat dan pintu tertutup kembali. Melewati bayangan pepohonan, Upasara meloncati dinding bagian belakang. Menyusup di antara prajurit jaga.
“Apa maumu, Siladri?”
“Gendhuk Tri dalam keadaan aman untuk sementara,” ulang Siladri berbisik. “Kita harus menemukan Upasara dan Permaisuri Rajapatni. Dengan bersatu kalian bisa melawan Barisan Padatala.”
Siladri melepaskan cekalan dan menjauh. Di luar kori, Singanada tertinggal sendiri. Banyak pertanyaan yang mengganjal.
“Hampir saja kamu kukira musuh terbesarku, Senopati Agung. Cara jalanmu sama.” Dugaan itu terlontar begitu saja. Singanada tak yakin apakah itu dugaan yang tepat atau tidak.
Sejak ia kembali ke tanah Jawa, tak begitu banyak tokoh yang dikenal. Paling hanya beberapa nama. Makanya ia heran sekali kalau ada orang yang mirip dengan yang pernah dikenal. Mestinya ia bisa tahu. Siladri tokoh utama dalam Keraton. Jelas.
Bisa keluar-masuk dan menyamar sebagai prajurit. Peta permasalahannya tahu persis. Bahwa Gendhuk Tri dalam keadaan aman, dan Upasara serta Permaisuri Rajapatni masih belum ditemukan. Agaknya juga cukup sakti, karena memiliki buah pahit yang untuk sementara bisa membuat tawar pengaruh bubuk pagebluk.
Singanada menduga bahwa Siladri tak mengetahui di mana Upasara berada. Apakah berada dalam tawanan, ataukah meloloskan diri. Itu sebabnya ia memberi saran agar segera meninggalkan tempat. Barangkali terpikir bahwa Upasara bisa meloloskan diri, dan berada entah di mana dalam keadaan ngengleng alias linglung.
Saat itu Upasara memang bingung. Gayatri yang tertidur nyenyak, mendadak menarik tubuh Upasara. Merangkul kencang. Mendekatkan kepala Upasara ke dada Gayatri. Seolah seorang ibu yang ingin menyusui anaknya yang sudah kehausan.
“Yayi…”
“Peluk aku, Kakang. Rengkuh aku sepuasmu, Kakang…”
Upasara bergidik. Dalam bayangannya, Gayatri adalah wanita yang suci, dengan sorot mata jernih dan senyum tersembunyi. Tak pernah memperlihatkan perasaan yang sesungguhnya secara wadak. Kalau tadi menggenggam tangan Upasara, diartikan sebagai luapan dari kerinduan yang tak bisa dibendung lagi. Namun hanya sebatas itu. Tidak seperti sekarang ini.
Upasara tidak menduga buruk. Justru akal sehatnya bekerja cepat. Kini ia makin yakin bahwa Gayatri terkena pengaruh bubuk beracun, walau hanya sepersekian hirupan. Pengaruh itu menyebabkan Gayatri berani mengutarakan apa yang terpendam dalam hatinya. Apa yang selama ini disembunyikan bisa muncul secara berlebihan. Dan karena saat-saat terakhir perasaan Gayatri sedang hanyut dalam kerinduan, yang mendesak ke luar adalah nafsu berahi. Desakan berahi yang memanas.
Upasara tak menduga bahwa bubuk beracun itu mengandung bahaya ganda. Dalam dosis kecil mampu membuka simpul-simpul perasaan. Menghilangkan rasa sungkan, rasa malu, rasa yang ditutup-tutupi. Dalam dosis besar keinginan itu sedemikian membesar sehingga bisa membunuh dirinya sendiri.
Anehnya bubuk ini secara langsung tidak menimbulkan luka dalam sebagaimana racun yang lain. Kalau racun atau bisa tertentu, bagian yang terkena dapat segera ditandai. Sehingga untuk mengobati dapat mengerahkan tenaga dalam ke bagian itu. Akan tetapi bubuk putih ini langsung terlarut ke dalam darah. Larut menjadi satu.
“Kakang…”
Upasara berusaha melepaskan pelukan Gayatri.
“Kakang mengemohi aku? Apakah aku menjijikkan?”
Upasara pernah tahu ada semacam dedaunan yang tumbuh di Perguruan Awan, yang bisa membuat mabuk kepayang, bisa menghilangkan ingatan sementara dan membuat orang menjadi lebih berani. Tak jauh berbeda dengan minuman keras. Dedaunan semacam ini banyak digunakan oleh para Petani agar giat menggarap sawah, atau prajurit yang menuju medan perang agar lebih berani, atau mereka yang biasa malu-malu kalau ingin bermain asmara.
Dalam soal mempengaruhi sama persis. Namun bubuk putih ini ternyata diramu lebih dahsyat lagi. Karena selain mengendurkan saraf, sekaligus juga mematikan. Sehingga mereka yang terkena pengaruhnya, mengetahui apa yang diperbuat tapi tidak sepenuhnya sadar. Perbedaan yang kedua ialah bahwa pengaruh dedaunan yang memabukkan itu hanya sebentar, sementara pengaruh bubuk dalam tubuh Gayatri seperti menyentak datang dan pergi berkali-kali.
Kini Upasara merasakan bahwa seluruh tubuh Gayatri basah oleh keringat. Basah dan membanjir, memberikan bau apak yang manis. Bahkan keringat pun terkena pengaruh bubuk putih. Meresap ke seluruh tubuh. Upasara bersila. Kedua tangannya cepat menempel di tengah dada dan perut Gayatri. Tanpa dipengaruhi pikiran-pikiran yang merangsang dirinya.
Perlahan tenaga dalamnya masuk, menerobos pori-pori, mencari hawa nadi yang bergetar. Ke arah itulah Upasara mendorong keras, mencarikan jalan keluar tenaganya. Tujuannya hanya satu. Kalau bubuk itu bisa larut sampai ke keringat, berarti sebagian terserap di situ. Dan bagian itulah yang didorong ke luar. Dalam sekejap saja seluruh tubuh Gayatri benar-benar basah. Cairan dalam tubuh dipompa ke luar dengan dorongan tenaga murni. Bagi Upasara hal ini bukan pekerjaan yang sulit.
Penguasaan tenaga dalamnya untuk dikerahkan dengan perlahan atau cepat, ke bagian mana, bisa dilakukan dengan enteng. Seperti menuntun jalan pikiran atau menggerakkan anggota tubuh. Dan dalam hal ini perlawanan dari tenaga dalam Gayatri boleh dikatakan tidak ada. Tetapi juga tidak berarti bahwa penyembuhan bisa secepat yang dikehendaki. Sebab kalau cairan tubuh Gayatri didorong ke luar semua, tubuhnya akan mengering. Bisa mati bagian-bagian kulit dan sarafnya.
Kalau terus-menerus dilakukan, Gayatri bisa mati kehabisan cairan tubuh. Maka Upasara menempuh jalan aman. Setiap kali mendorong semua keringat Gayatri berhasil, ia berhenti sejenak, mengelap dengan kain yang melekat pada tubuh Gayatri. Tak bisa lain karena tak ada barang lain. Tubuhnya sendiri telanjang dada, tanpa kain.
Setelah itu ia menimba air sumur dengan menggunakan setagen Gayatri. Lalu dengan setengah paksa dijejalkannya air ke bibir Gayatri. Baru kemudian air di dalam tubuh Gayatri didorong ke luar lagi. Dua kali Upasara melakukan, ternyata ada hasilnya. Gayatri seolah mendusin dari kelelapan.
“Kakang…”
“Ya. Yayi…”
“Kakang tidak kurang ajar padaku?”
“Tidak, Yayi. Kakang hanya berusaha menyembuhkan Yayi…”
Kekuatiran Gayatri bisa dimengerti. Kini tubuhnya terbaring di bangku kayu. Setagennya telah lepas. Kain yang rangkap melibat tubuhnya sebagian telah lepas. Hanya ditutupkan begitu saja. Dalam keadaan antara sadar dan tidak, bisa saja muncul pikiran yang tidak-tidak.
“Yayi harus minum banyak sekali. Agar air tubuh Yayi bisa saya dorong ke luar. Ceritanya banyak dan panjang. Nanti akan Kakang ceritakan semua.”
Gayatri mengangguk. Rasa dingin karena keringat kini sepenuhnya terasa. Juga telapak tangan Upasara di belahan dada dan di bagian pusar. Ada hawa enak, nyaman, yang menerobos masuk, mengalir bersama darahnya dan menyebabkan keringatnya bagai disuntakkan ke luar.
“Kakang… Aku tak tahan.”
Upasara menarik kembali tenaganya. Dan mengelap tubuh Gayatri. Mendadak Gayatri merebut kain yang masih menempel di tubuhnya.
“Aku bisa melakukan sendiri.”
Upasara berpaling ke arah lain. Walau sebenarnya tidak perlu. Karena ruangan sangat gelap tanpa cahaya. Tak bisa melihat ujung hidungnya sendiri. Hanya saja irama dan desiran darah yang bergolak serta udara panas dari sela-sela hidung bisa menjadi pertanda bahwa tanpa melihat langsung, gelora berahi itu tak bisa ditutupi secara sempurna.
Kidungan Pamungkas
AKAN tetapi karena batin Upasara bersih dari niatan yang nakal, demikian juga Gayatri, keduanya dengan cepat bisa menguasai diri kembali.
“Kita coba kembali, Yayi?”
“Tubuhku sangat lemas. Tapi kalau Kakang anggap baik, silakan…”
Tangan Upasara bergerak. Kali ini tidak ke pusar atau belahan dada, melainkan menutup bibir Gayatri. Yang hampir saja berteriak karena kaget. Baru kemudian Gayatri sadar bahwa ada langkah kaki menuju ruangan pustaka raja. Ini hebat!
Ketika pintu terbuka, tampak bayangan tubuh seorang wanita memasuki ruangan pustaka raja sambil membawa obor penerangan. Upasara mendelik. Karena yang datang adalah Permaisuri Indreswari. Berbagai pertanyaan serentak mengentak Upasara dan Gayatri.
Ruangan pustaka raja tidaklah luas. Lebih banyak untuk tempat penyimpanan kitab-kitab yang dituliskan pada kain sutra, kulit binatang, maupun dedaunan. Semuanya tersimpan dalam kotak yang dibuat dari kayu cendana. Semua disusun, menyita hampir sebagian besar ruangan. Satu-satunya tempat yang luang hanyalah di bagian bangku kayu di mana Upasara dan Gayatri bersembunyi. Tempat yang biasanya digunakan Baginda untuk membaca atau menembang.
Jika Permaisuri Indreswari melangkah masuk, mereka berdua pasti segera ketahuan. Karena tak mungkin mencari persembunyian lain. Kalaupun Upasara melayang dan menempel di langit-langit, jejak yang ditinggalkan sangat mudah terbaca. Apalagi ada bongkaran tanah dan bangku kayu yang basah oleh keringat.
Bagi Upasara dan Gayatri, bukan masalah utama kalau dianggap mencuri tahu mengenai kitab-kitab yang hanya diperuntukkan Baginda. Akan tetapi diketahui berada dalam ruangan dan berdua-dua, sementara Gayatri hanya mengenakan kain yang mirip selimut, bisa memorak-porandakan cerita yang ada. Apalagi yang mengetahui adalah Permaisuri Indreswari!
Bahwa tanpa melihat langsung cerita yang berkembang di luaran sangat menyakitkan hati, Gayatri sejak awal sudah mengetahui. Apalagi ditangkap basah—dan benar-benar basah seperti sekarang ini. Sebenarnya ada pertanyaan lain yang muncul. Yaitu kenapa Permaisuri Indreswari di tengah malam seperti ini memasuki kamar pustaka raja. Bahkan para emban atau prajurit jaga yang baru masuk mengabdi sudah tahu adalah larangan utama bagi siapa saja untuk masuk ke pustaka raja atau sanggar pamujan.
Selain Baginda sendiri. Barang siapa berani mendekati saja sudah bisa didakwa melanggar tata aturan Keraton. Tapi pertanyaan itu tenggelam dengan sendirinya. Permaisuri Indreswari tak mungkin nantinya akan disalahkan memasuki kamar pustaka raja. Karena bisa saja beralasan mendengar suara di dalam, dan kemudian masuk.
Permaisuri Indreswari dengan mudah mengatakan curiga dengan adanya suara di dalam karena saat itu Baginda sedang berada di sanggar pamujan. Berarti ada orang lain. Para prajurit jaga akan membenarkan semua kalimat Permaisuri Indreswari.
Upasara menarik tubuh Gayatri. Menempel erat di tubuhnya. Tangan kanannya memeluk Gayatri, sementara tangan kirinya menggantung. Satu gerakan tangan kiri akan mampu menyeret Permaisuri Indreswari masuk atau terlontar ke luar melewati halaman. Gayatri bersandar di punggung Upasara. Menunggu. Bayangan tubuh Permaisuri Indreswari bergerak. Cahaya obor yang dibawa tergoyang oleh tubuhnya sendiri.
Berhenti. Mengawasi tumpukan peti kayu cendana. Perlahan membuka salah satu peti, dan tangannya mengambil salah satu gulungan kitab yang ada. Cepat menutup peti kembali. Dan berbalik. Berbalik! Gayatri menutup matanya. Napasnya mendengus lega. Permaisuri Indreswari hanya berada di bagian ujung. Mengambil satu gulungan lalu melangkah ke luar.
“Aku sudah periksa. Di dalam tak ada apa-apa. Lanjutkan penjagaan, karena banyak musuh.”
“Sendika dawuh dalem, sang Prameswari Agung…”
Jawaban para prajurit jaga terdengar serempak dan hormat. Lalu terdengar langkah menjauh. Sunyi lagi.
“Mbakyu Ayu Indreswari sudah tahu keadaan di dalam ruangan ini. Sudah hafal di mana disimpan kitab apa. Sehingga hanya perlu melangkah masuk dan mengambil apa yang diinginkan. Sungguh kurang ajar.”
“Tenang, Yayi…”
Gayatri melepaskan diri dari rangkulan Upasara. “Bagaimana aku bisa tenang? Sudah jelas Mbakyu Ayu Indreswari mengambil kitab pusaka yang tak boleh disentuh oleh siapa pun. Dengan cara sembunyi-sembunyi, seolah ingin memeriksa, sehingga prajurit jaga pun dikelabui. Ini benar-benar keterlaluan. Yang selama ini dianggap permaisuri paling berbakti, paling suci, diam-diam melakukan tindak dursila.”
Gayatri menuju ke arah depan. Ke tumpukan peti kayu cendana. “Yang diambil kitab yang berisi Kidungan Pamungkas.”
Upasara menunggu sampai Gayatri dekat. Dan berbisik. “Bagaimana Yayi tahu?”
“Saya tahu, Kakang.”
“Bukankah ini hanya untuk Baginda?”
Gayatri menghela napas. “Sekarang ini hanya untuk Baginda. Iya. Tapi sebelum ini, kitab-kitab itu milik Sri Baginda Raja. Dan kami semua putri-putrinya diberi izin untuk mempelajari. Aku sendiri yang mengatur kitab mana diletakkan di mana. Semua kitab ini peninggalan dari leluhur sebelum Sri Baginda Raja. Ditambah dengan yang ditulis Sri Baginda Raja. Aku tahu, bukan mencuri tahu, Kakang.”
“Maaf, Yayi… Kalau tidak mengetahui, mana mungkin Yayi bisa mematahkan kidungan Senopati Halayudha…”
Gayatri terdiam. Lama. Lalu, “Kakang, aku benar-benar takut, cemas. Selama ini ruang pustaka raja tak pernah dimasuki siapa pun. Akan tetapi secara diam-diam Halayudha bisa masuk kemari. Dan kini Mbakyu Ayu Indreswari juga leluasa mengambil begitu saja. Aku cemas sekali, Kakang. Keraton kita tak tersisa lagi.”
Upasara mengangguk.
“Pada zaman Ayahanda Sri Baginda Raja, banyak kitab yang diizinkan untuk diketahui para senopati. Bahkan Kitab Bumi disebarkan secara luas. Akan tetapi semua di bawah pengawasan yang ketat. Tidak main curi seperti sekarang ini. Kalau ini bukan pertanda kekacauan, apa lagi?”
Upasara membiarkan Gayatri mengumbar emosinya. Sesaat.
“Maaf, Kakang. Aku tak bisa menahan diri. Betapapun aku putri Keraton dan permaisuri. Aku tak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Maaf, Kakang. Kakang jangan tersinggung kalau kukatakan aku permaisuri Baginda. Adalah kewajibanku untuk menjaga kebesaran Baginda. Bukan karena beliau guru laki yang harus kusembah, tapi beliau adalah raja.”
Suara Upasara serak. “Tak apa, Yayi. Kalau Yayi menghendaki, sekarang ini juga kita ambil kembali.” Upasara memandang Gayatri. “Yayi sudah baik?”
“Lebih baik dari tadi, Kakang.”
“Kalau begitu Yayi tunggu sebentar. Kakang akan merebut kembali.”
“Tunggu dulu! Tunggu, Kakang! Kenapa Mbakyu Ayu Indreswari justru mengambil kitab Kidungan Pamungkas? Itu bukan kitab yang luar biasa. Kenapa bukan Kidungan Para Raja, kalau ia mengharapkan putranya segera memegang takhta?”
Enakkan Hatimu, Adimas
DALAM banyak hal Upasara mendalami berbagai kitab. Sejak kecil dididik dalam tradisi Keraton yang bukan hanya mempelajari kitab kanuragan, melainkan juga kitab-kitab yang berisi tata krama dan cara-cara mengatur pemerintahan.
Akan tetapi sejauh ini, dirinya lebih mendalami kitab ilmu silat, terutama Kitab Bumi. Boleh dikatakan hafal setiap lekuk-liku cara mengidung. Maka tidak bisa segera menghayati kenapa Gayatri mempertanyakan Permaisuri Indreswari yang mengambil Kidungan Pamungkas dan bukan kitab Kidungan Para Raja.
“Pasti ada yang istimewa, Yayi. Kalau tidak, di tengah malam seperti ini Permaisuri Indreswari tak perlu datang kemari.”
“Semua kitab yang ada di sini istimewa, Kakang.”
Upasara tersipu.
“Yang membuat saya bertanya-tanya, kenapa justru Kidungan Pamungkas yang diambil. Kitab itu tak berisi sesuatu yang istimewa mengenai kekuasaan, mengenai asal-usul keturunan, mengenai tata cara menggempur musuh, ataupun mengenai berlatih tenaga dalam. Itulah sebabnya susunannya berada di luar. Kalau hanya datang untuk mengambil itu, sebenarnya bisa kapan saja tanpa diketahui. Ini aneh.”
Upasara merasakan betapa Gayatri tetap bagian dari Keraton yang utuh. Segala kecemasan dan kebanggaannya berhubungan dengan Keraton.
“Kakang…”
“Ya, Yayi…”
“Kakang tidak marah kalau saya minta sesuatu?”
Upasara memberanikan diri menggenggam tangan Gayatri. Gayatri sengaja tak menghindar.
“Kakang tidak marah?”
“Tidak.”
“Kakang, malam ini malam milik kita berdua. Ditakdirkan menjadi milik kita. Hanya saja kita tak bisa berkurung di sini. Kakang tidak marah kalau kita pergi dari sini?”
“Tidak.”
“Saya ingin kembali ke kamar prameswaren. Kakang tidak marah?”
“Tidak.”
Gayatri merapikan kainnya. Mengikat dengan setagen. Lalu berjalan. Upasara mendampingi. Di sisi jendela, Upasara mendorong dengan telapak tangan tanpa menyentuh. Jendela merenggang, dan sesaat kemudian Upasara sudah berada di luar, sementara jendela tertutup kembali. Hanya dengan satu totolan kaki, tubuh Upasara dan Gayatri melesat ke bangunan dalam. Melewati beberapa emban dan penjaga, keduanya menyusup ke dalam kamar.
Untuk pertama kalinya Upasara masuk ke kamar seorang wanita. Yang menampar hidungnya pertama kali adalah bau harum. Dan angin dingin yang masuk dari sela-sela jendela bagian atas. Sebuah ranjang tidur yang indah. Sangat indah. Ditata apik. Resik. Kelambu sutra menutupi seluruhnya.
“Ini kamarku, Kakang. Kamar yang menemani hari-hariku.”
Upasara mengangguk. Berdiri kikuk.
“Kakang tunggu sebentar di sini. Saya akan menjemput Mbakyu Ayu Tribhuana…”
“Barangkali sudah berada di dalam,” jawaban Upasara pendek dan menggeser kakinya ke depan. Siap melindungi Gayatri kalau terjadi segala sesuatu.
Gayatri melengak. Kamarnya hanya satu ruangan. Bagaimana mungkin ada orang di dalamnya, selain mereka berdua? Bagi Upasara terlalu mudah mengetahui ada orang lain. Dari dengus tarikan napas dengan mudah bisa diketahui asalnya dari ranjang peraduan yang tertutup tirai. Benar dugaannya.
Tirai terungkap. Upasara menunduk, bersila, dan menghaturkan sembah. Gayatri hampir tak percaya. Kakaknya yang sulung duduk bersila di ranjang. Pandangannya luruh, tenang, dan bahagia, sementara bibirnya sedikit sekali menyimpan senyuman.
“Baik-baik saja, Adimas Upasara?”
Siraman air suci yang segar seakan mengguyur seluruh badan Upasara. Sambutan yang dirasa begitu hangat, ramah, membuyarkan semua kekuatirannya. Jauh dalam hatinya Upasara merasa sangat tidak enak. Datang ke kamar peraduan Gayatri. Lebih tidak enak lagi karena mengetahui ada Permaisuri Tribhuana di dalam. Jalan pikiran Upasara ialah apa yang dikatakan Permaisuri Tribhuana mengenai hubungan mereka berdua selama ini? Tidak enak sekali, karena justru seakan tidak menghormati sedikit pun bahwa Gayatri masih mempunyai kakak tertua.
“Atas restu Permaisuri Tribhuana…”
“Enakkan hatimu, enakkan dudukmu. Aku tahu bahwa kalian berdua akan datang kemari. Maka aku mendahului kemari. Supaya tidak banyak waktu terbuang. Nimas Ayu, dandanlah yang baik. Rasanya kurang menghormati Adimas Upasara…” Permaisuri Tribhuana turun dari ranjang peraduan. Menutup tirai.
“Maafkan adikmu ini, Mbakyu Ayu…” Gayatri segera masuk ke balik tirai.
Sejenak Permaisuri Tribhuana memandang Upasara yang menunduk. Dari ujung rambut ke ujung kaki. Upasara merasa seperti telanjang di bawah sorot mata Permaisuri Tribhuana. Yang terngiang di telinga Upasara adalah sebutan Adimas Upasara, cara penyebutan yang menerima kehadiran. Menyambut dengan baik. Sangat bersikap kekeluargaan, walaupun tidak berlebihan.
“Aku mendengar begitu banyak berita sejak kemarin. Sejak kalian berdua hilang bersama, aku sudah tahu ke mana kalian akhirnya akan pergi. Menemuiku. Adimas Upasara, kamu kuanggap bukan orang lain. Adalah salah kalau aku memberikan kesempatan pada adik kandungku untuk berduaan denganmu. Sebagai sesama permaisuri, aku tak mengizinkan orang lain menggandeng bayangan tubuh Permaisuri Rajapatni. Tetapi sejauh ini, aku mengerti siapa diri Adimas. Aku percaya penuh kepada Adimas Upasara.”
Upasara mengakui bahwa sebutan mahalalila bagi Permaisuri Tribhuana adalah sebutan yang sangat tepat. Apa yang diucapkan tepat, pas, tanpa basa-basi dan sanjungan atau merendahkan yang diajak bicara.
“Kenapa Rajapatni ingin mencariku? Ingin memperkenalkan ksatria yang telah dikenal jagat?”
Upasara menceritakan secara singkat kejadian terakhir, di mana Permaisuri Indreswari masuk ke pustaka raja dan mengambil kitab Kidungan Pamungkas.
“Memang ganjil. Kidungan Pamungkas tidak berisi sesuatu yang istimewa. Kalau dibaca selintas. Sewaktu Sri Baginda Raja masih memegang kebijakan, hanya Kidung Paminggir yang telah begitu direstui untuk dibaca kerabat Keraton. Adimas Upasara lebih mengetahui kenapa.”
“Serba sedikit, Permaisuri Tribhuana…”
“Serba sedikit? Semua memang serba sedikit. Tak ada yang mengetahui sedalam-dalamnya. Kidung Paminggir ditulis dan disusun oleh Eyang Sepuh, dan membuat Sri Baginda Raja Murka. Karena intinya mengisyaratkan munculnya seorang paminggir, seorang yang tidak mempunyai darah keturunan, bakal memegang kendali Keraton di masa yang akan datang. Itu yang terbaca. Perintah larangan Sri Baginda Raja diketahui secara luas. Namun dalam Kidungan Para Raja, Sri Baginda Raja justru menuliskan bahwa roh raja bisa bersemi dalam dada setiap prajurit dan ksatria. Bukankah sedikit membingungkan? Ah, kenapa kita bicara seperti ini, Adimas?”
Permaisuri Rajapatni membuka tirai. Kini muncul dengan dandanan yang anggun, ayu, membuat Upasara tak berani melirik.
“Karena Mbakyu Ayu paling bijaksana dan mengetahui.”
“Itu anggapan yang keliru. Semakin membaca kidungan, semakin banyak yang tidak diketahui.”
Permaisuri Rajapatni bersila di bawah. Berseberangan dengan Upasara. Permaisuri Tribhuana duduk di pinggir ranjang.
“Mudah-mudahan Baginda menangkap wangsit, menangkap ilham yang sejati di sanggar pamujan.” Akhir kalimatnya benar-benar menggambarkan pengharapan.
Kidung Mahamanusia
PERMASURI TRIBHUANA menunduk, bersama dengan Permaisuri Rajapatni. Lamat, samar, keduanya menembangkan kidungan secara bersamaan.
Atas nama Sri Baginda Raja
yang menguasai tanah Singasari
disusun Kidungan Pamungkas
atas perkenan pribadi Sri Baginda Raja
dan kemurahan hati yang bijak
semata-mata karena Sri Baginda Raja
sebagai manusia
manusia ialah manusia
bukan Dewa, bukan penjelmaan Dewa
manusia mempunyai raga
manusia mempunyai jiwa
keduanya menjelma
menjadi manusia
manusia menjadi mahamanusia
jika mengagungkan manusia
bukan Dewa
bukan gerhana
bukan nirwana
manusia bukan hewan
bukan tumbuhan
bukan cairan
maha manusia bisa berkaca
melihat dirinya
mahamanusia bisa berkata
dan mendengarnya
menghadapi diri
melihat batin yang sejati
dalam hidup sejati
mahamanusia
bertatap muka dengan Dewa
yang sebenarnya entah di mana
mahamanusia
menguasai jagat seisinya
mahamanusia
hidup di akhir peradaban
di zaman pamungkas
zaman yang telah selesai
bagi kehidupan
ketika mahamanusia lahir
mengagungkan manusia
adalah kodrat jagat
menjadi maha manusia
adalah kodrat jagat
mengagungkan manusia
bukan menyatu dengan Dewa
mengagungkan manusia
adalah menjadi maha manusia
atas perkenan Sri Baginda Raja
yang menguasai Keraton seisinya
Kidungan Pamungkas disusun
untuk memuja manusia
bukan Dewa
bukan raja
bukan nirwana
bukan gerhana
bukan raga
bukan jiwa
sebab maha manusia
sudah segalanya…
Kedua permaisuri mengakhiri dengan menyembah. Upasara masih tak bergerak.
“Semoga Sri Baginda Raja mengampuni putrinya yang telah lancang membaca kidungan di depan orang lain.”
Kembali keduanya menyembah.
“Adimas Upasara, apa yang Adimas rasakan?”
“Hamba tak begitu paham tentang tata krama, Permaisuri Tribhuana. Agaknya memang bukan ajaran ilmu silat atau berlatih pernapasan.”
“Kidungan Pamungkas, kalau ditilik dari tembangan yang disajikan, masih dekat dengan saat-saat Kidungan Para Raja. Kalau dilihat dari pilihan kata-kata bukan tidak mungkin ditulis Eyang Mpu Raganata. Kalau pada awalnya ditulis atas perkenan Sri Baginda Raja, berarti Sri Baginda Raja turut membaca sejak huruf pertama. Adimas, saya pernah sowan Kanjeng Rama dan menanyakan dimasukkan ke dalam deretan apa Kidungan Pamungkas ini. Kanjeng Rama mengatakan bisa di mana saja. Bisa di bagian tata cara pemerintahan, ilmu silat, atau tembang dolanan, permainan anak-anak. Memang ganjil. Di saat-saat terakhir Sri Baginda Raja hanya memusatkan pada penulisan Kidungan Para Raja. Sampai akhir hayatnya, sebelum kembali ke keabadian yang sempurna. Akan tetapi kidungan ini juga sempat diperhatikan.”
Permaisuri Tribhuana menggerakkan tangannya.
“Kalau tak banyak yang bisa menangkap isinya, untuk apa Dara Petak mengambilnya? Untuk kitab yang biasa-biasa, Dara Petak tak mampu memahami. Apalagi Gemet…”
Masih terasa kegetiran yang tak terhapuskan. Permaisuri Tribhuana tetap menyebut Dara Petak, dan bukan Permaisuri Indreswari.
“Nimas Ayu, apakah Keraton sedang ketamuan seseorang?”
“Rasanya yang muncul hanyalah para pendeta dari tanah Syangka.”
“Saya tak melihat adanya hubungan dengan tanah Syangka. Ataupun tanah Hindia. Atau tanah Turkana…”
Sampai di sini, Permaisuri Tribhuana memandang Upasara selintas. Cukup bagi Upasara untuk merasakan sesuatu yang mengganjal.
“Rasanya hamba sudah cukup lama. Mohon perkenan Permaisuri Tribhuana dan Permaisuri Rajapatni untuk mengundurkan diri.”
Permaisuri Tribhuana menghela napas. “Malam ini meskipun angin segar, tapi alam seperti bergegas. Dan beringas. Semua memanfaatkan saat-saat Baginda berada di sanggar pamujan. Adimas Upasara Wulung. Adimas ksatria sejati, senopati Keraton. Menjadi tanggung jawab Adimas untuk membantu tegaknya wibawa Keraton, dalam keadaan apa pun. Seperti juga kami semua.”
“Kehormatan bagi hamba, Permaisuri Tribhuana.”
“Terima kasih, Adimas. Nimas Ayu, Kakang-mu akan meninggalkan prameswaren. Apakah ada yang ingin Nimas Ayu katakan tanpa kudengar?”
“Apa bedanya, Mbakyu Ayu? Mbakyu Ayu sudah saya anggap pengganti kedua orangtua sejak masih kanak-kanak. Rasanya tak ada yang bisa saya sembunyikan dari Mbakyu Ayu. Kakang Upasara…”
Udara di dada Upasara tertahan.
“Kakang tahu aku masih keracunan bubuk putih?”
"Dengan dua atau tiga kali pengobatan rasanya akan segera bersih kembali, Yayi. Kakang hanya menunggu kalau Yayi sudah merasa sehat.”
“Sekarang sudah.”
Upasara mengangguk. Bersiap. Permaisuri Rajapatni tersenyum tipis. Permaisuri Tribhuana memandang ke arah lain.
“Saya tak mau Kakang menyembuhkan seketika. Supaya suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi. Supaya Kakang tetap mengingat bahwa saya masih penyakitan, dan Kakang mau datang menolong.”
Kali ini Permaisuri Tribhuana yang tersenyum tipis sekali.
“Kakang berjanji?”
Upasara mengangguk.
“Kakang, aku menyimpan pakaian untuk Kakang. Aku menyambung dengan tanganku sendiri. Sekarang Kakang bisa mengenakan. Maukah, Kakang?”
Busana Kanendran
UPASARA mengangguk. Seperti juga ia mengangguk terhadap semua permintaan Permaisuri Rajapatni. Tapi sekali ini membuatnya terbengong. Melongo. Banyak kejadian yang membuat Upasara kikuk tak bisa berbuat apa-apa. Yang seperti ini sama sekali tak pernah diduga.
Dari peti yang berbau harum, Permaisuri Rajapatni mengeluarkan semua isinya. Semua permata, pakaian kebesaran, sebelum mengambil pakaian Upasara. Saat itu Upasara berpikir bahwa pakaian yang disiapkan untuknya diletakkan di bagian bawah, agar tak mudah diketahui orang lain. Meskipun boleh dikata tak ada emban yang diizinkan menyentuh debu dalam peti busana.
Sewaktu sudah diangkat, Upasara masih menduga bahwa bukan yang disodorkan itu yang harus ia pakai. Pakaian yang luar biasa. Warna dasar hitam, dengan renda-renda emas di ujung lengan, di bagian leher.
“Yayi…”
“Pakai saja… Nimas Ayu sudah menyiapkan sejak puluhan tahun yang lalu.” Permaisuri Tribhuana ikut mendandani Upasara. Menggelung rambutnya, memakaikan kain secara tepat pada goresan kecil-kecil yang ada. Mengenakan sabuk besar yang bertatahkan berlian.
“Yayi…”
“Kakang seperti narendra…”
Seumur hidup, Upasara tak pernah mengenakan pakaian kebesaran seperti sekarang ini. Apalagi busana narendra, busana raja! Mimpi pun tak pernah.
“Ah! Siapa sangka dengan busana kanendran ini Adimas tak kalah gagah dari Gemet atau bahkan Baginda?”
“Yayi…”
“Inilah impian yang mewujud, Kakang. Impianku tentang Kakang.”
“Ya, tapi…”
“Kenakan, Kakang! Sebagai kenangan padaku.”
Upasara menggeleng-geleng. “Yayi…”
“Aku menyimpan pakaian yang sepadan dengan yang Kakang kenakan. Suatu hari nanti kita akan memakai bersama. Sekarang Kakang pakai sendiri.”
“Ya, tapi…”
“Biarlah Kakang melangkah dari kamar ini seperti kenangan yang kumiliki.”
Upasara benar-benar mati kutu. Tak bisa menolak. Tak bisa mengelak. Apalagi Permaisuri Rajapatni begitu bersungguh-sungguh, dan Permaisuri Tribhuana merapikan hampir di semua tempat. Termasuk membetulkan keris yang bertatahkan permata.
“Yayi…”
“Berangkatlah, Kakang. Rembulan sudah hampir tak bersisa lagi.” Air mata Permaisuri Rajapatni menetes. Air mata Permaisuri Tribhuana menggenang.
Upasara menyembah. Berjalan menuju pintu dengan langkah kaku. Gerahamnya beradu.
Permaisuri Rajapatni meneriakkan kata batinnya. Menahan. Mengerem. Menjeritkan agar Upasara kembali. Atau setidaknya menoleh. Tapi Upasara berlalu. Membuka pintu dengan gagah. Dan sebelum pintu betul-betul terbuka lebar, tubuhnya melesat dan pintu tertutup kembali. Melewati bayangan pepohonan, Upasara meloncati dinding bagian belakang. Menyusup di antara prajurit jaga.