KETIKA gadis yang muda melompat ke atas kereta, tiba-tiba pemuda kusir yang bukan lain adalah Tiang Bu itu, mengayun cambuk di tangannya.
"Tarr...!” dan betapapun gesitnya, gadis itu tidak dapat menghindarkan cambukan ini.
"Bret...!” pakaiannya di sekitar pinggang robek dan kulit pinggangn ya lecet-lecet. Biarpun hanya cambuk, namun di tangan Tiang Bu merupakan senjata hebat sekali. Gadis itu saking kaget melihat kusir itu masih hidup dan sakit terkena cambukan, tak dapat menguasai dirinya dan terbanting ke bawah, justeru tepat sekali di atas Tiang Bu!
Kalau yang jatuh itu laki-laki, tentu akan disampok oleh Tiang Bu. Akan tetapi mengingat bahwa yang jatuh adalah seorang gadis masih muda, Tiang Bu tidak tega membiarkan gadis itu terbanting roboh. mungkin binasa terbanting dari tempat tinggi itu dalam keadaan setengah pingsan. Terpaksa ia menyambut dengan tangannya dan... karena gadis itu masih dapat memberontak, tanpa dapat dicegah lagi dan tanpa disengaja gadis itu rebah di atas pangkuannya!
"Kau... manusia keparat, kurang ajar, tak tahu aturan...!” Gadis itu menjadi lemas dan pingsan! Dapat dibayangkan betapa terguncang perasaannya ketika gadis itu mendapatkan dirinya sudah berada di atas pangkuan pemuda itu dan... sebagian pakaiannya robek-robek di bagian pinggang. Saking heran, marah, dan malu tercampar rasa sakit dan kaget. ia menjadi pingsan.
Karuan saja Tian Bu yang gelagapan. Kalau gadis itu tidak pingsan, biarpun ia sendiri merasa malu dan jengah tahu-tahu memangku seorang gadis namun ia dapat mendorong gadis itu di atas bangku kereta di sisinya atau dapat melemparkan gadis itu ke bawah. Akan tetapi dalam keadaan pingsan, tak mungkin ia melakukan hal itu karena gadis itu tentu akan terlempar jatuh dan berbahaya sekali keselamatannya. Terpaksa ia menarik kendali kudanya dan menyuruh binatang-binatang berhenti.
Setelah itu baru ia melompat turun dengan tubuh gadis yang pingsan itu dalam pondongannya. Baru saja ia menurunkan gadis itu di atas tanah dan mukanya menjadi merah sekali melihat betapa pakaian gadis itu tidak karuan letaknya karena bagian pinggangnya sudah putus, tiba-tiba terdengar bentakan.
"Manusia hina, kau apakan adikku?"
Tiang Bu merasa ada sambaran angin. Dengan cepat ia mengelak dan tangannya me nyampok. Terdengar seruan kaget dan gadis berpakaian pria yang menyerangnya meloncat ke belakang de ngan muka berubah. Sampokan tangan Tiang Bu pada pedangn ya membuat pedang itu hampir terlepas dari pegangan. Hal ini belum pernah ia alami! Saking kaget dan herannya, gadis berpakaian pria ini berdiri melongo.
Tiang Bu tersenyum. "Kau tak usah bingung. Adikmu tidak apa-apa dan akupun tidak berbuat apa-apa. Tadi dia menyambit batang piauw kepada dadaku dan aku membalas hadiahnya itu dengan sekali cambukan pada pinggangnya. Eh, tahu-tahu dia pingsan di atas kereta, terpaksa kuturunkan."
Gadis itu cepat membungkuk dan memeriksa adiknya. Hatinya lega mendapatkan adiknya tidak terluka dan benar saja hanya lecet-lecet sedikit di bagian yang terlibat cambuk. Sekali ia mengurut leher adiknya nona itu siuman kembali dan begitu siuman melihat Tiang Bu berdiri tak jauh dari situ, ia melompat marah.
“Moi-moi... hati-hati pakaianmu...!" seru cicinya dan gadis manis yang galak itu cepat-cepat memegangi pakaiannya yang hampir saja merosot turun karena tidak ada ikat pinggangnya lagi!
Tiang Bu menahan ke tawanya menutupi mulutnya dan membelakangi gadis itu agar jangan kelihatan olehnya kalau-kalau pakaian itu betul-betul akan kedodoran.
"Cici, kau balaskan aku. Monyet itu kurang ajar sekali. Dia mencambuk pinggangku!”
“Moi-moi apa benar kau tadi menyerang dadanya dengan piauw?"
"Betul, kukira sudah mampus, tidak tahunya belum. Cici lekas kau serang dia dengan pedangmu!”
"Tidak ada waktu, mot-moi. Mari kita pergi!"
"Bagus, memang lebih baik kalian pergi, jangan masih begitu muda-muda sudah menjadi rampok. Kalau kelihatan orang kan malu!" kata Tiang Bu sambil membalikkan tubuhnya lagi menghadap enci dan adik yang istimewa ini.
"Cici, hatiku sakit sekali olehnya. Aku akan mati penasaran kalau kau belum membalaskan sakit hatiku!” Lagi-lagi gadis manis itu merajuk, kini dengan mulut hampir mewek.
"Biar lain kali kita mencari dia, moi-moi. Sahabat, siapakah namamu agar lain kali kami dapat mencarimu untuk membikin perhitungan!” tanya gadis cantik berpakaian pria.
Tiang Bu menjura. "Namaku Tiang Bu kalian siapakah?”
"Cih, tak tahu malu?” gadis berwajah manis itu menyemprot. "Tanya-tanya nama gadis mau apakah? Laki-laki ceriwis, Mari pergi, cici!"
Dengan tangan kiri memegang pakaian di bagian pinggang supaya tidak melorot dan tangan kanan menarik tangan cicinya, gadis ini pergi dengan bersungut-sungut. Encinya diam saja dan bahkan membawa adiknya ketempat kuda mereka berada.
"Tidak memberi tahu juga baik.” Tiang Bu mengomel. "Selanjutnya aku akan menyebut kalian enci dan adik tukang rampok!"
Kini gadis ayu berpakaian pria itu berhenti dan menoleh. Senyum dan kerlingan manis sekali. "Saudara Tiang Bu, namaku Pek Lian dan adikku ini Ang Lian.”
Setelah berkata demikian, ia mengajak adiknya melompat ke atas kuda dan di lain saat dua ekor kuda itu membedal cepat sekali pergi dari situ. Tiang Bu melihat mereka membawa empat buah bungkus an kecil, akan tetapi ia tidak tahu dan juga tidak perduli. Ang Lian berarti Teratai Merah dan Pek Lian berarti Teratai Putih. Nama-nama yang bagus, seperti orangnya akan tetapi betul-betulkah itu nama mereka? Mengapa tidak pakai she?
Tiba-tiba Tiang Bu teringat akan nama sendiri yang di perkenalkan tanpa she pula. Ia tersenyum. Mudah saja diingat, dua orang gadis itu adalah puteri dari seorang tokoh besar berjuluk Huang-ho Sian-jin. Ia lalu meruntun kuda-kuda yan g menarik kereta itu, dibawa kembali ke tempat pertempuran tadi, Lu Tiang Sek dan kawan kawannya yang sudah siuman dan tadinya bingung sekali, menjadi girang bukan main melihat kereta mere ka dituntun kembali ole h seorang pemuda tanggung yang tidak mereka kenal.
"Nih, terima kembali keretamu,” kata Tiang Bu. "Bai knya aku kenal dua orang gadis itu dan aku berhasil membujuk mereka mengembalikan kereta dan isinya. Mereka itu tidak bermaksud jahat, hanya ingin main-main belaka." Ia tertawa.
Lu Tiang Sek terheran-heran, akan tetapi cepat menjura menghaturkan terima kasih menanyakan nama pemuda ini. Tiang Bu tidak mau me nyebutkan namanya. "Untuk apa namaku? Tidak perlu diketahui. Asal kalian menerima kembali kereta, cukup kan?"
Lu Tiang Sek menyingkap tirai sutera dan ia mengeluarkan keruan kaget. "Celaka! Peti sepasang Kilin titipan Pangeran Wanyen Ci Lun telah dibongkar dan isinya lenyap!”
Seruan ini membuat Tiang Bu kaget setengah mati. Bukan kaget karena hilangnya benda itu, akan tetapi terutama sekali kaget mendengar disebutnya nama Pangeran Wanyen Ci Lun. "Apa kau bilang? Siapa punya yang hilang?"
"Sahabat, kau lihat sendirilah,” kata Lu Tiang Sek sambil membuka tirai.
Betul saja sebuah peti hitam yang indah, berukirkan sepasang Kilin di atas tutupnya, telah terbuka dan isinya lenyap, “Peti ini menurut keterangan Kwee-taijin adalah titipan Wanyen Ci Lun maka harus dijaga sangat hati-hati. Celakanya, sekarang lenyap!” Ia membanting-banting kaki.
"Tentu mereka yang ambil...“ kata Tiang Bu perlahan, masih bingung karena bagaimana Pangeran Wanyen Ci Lun bisa menitipkan sebuah peti berisi barang barang berharga pada pembesar she Kwee itu?
Sementara itu, Lu Tiang Sek dan kawan-kawann ya memandang kepada Tiang Bu dengan mata penuh arti, juga mereka mulai mengurungnya.
"Sahabat muda, kau tadi bilang kenal baik dengan mereka?”
"Ya, habis mengapa?"
"Kalau kau kenal baik berarti kan sudah bersekongkol dengan mereka untuk mencuri isi peti itu. Ha, kau adalah pembantu mereka!"
"Ngaco! Gila! Aku bukan apa-apanya dan aku tidak turut mengambil barang. Sungguh mati aku tidak pernah mengira bahwa mereka sudah mengambil barang dari dalam kereta. Kalau aku tahu... hemm, tentu kuminta barang itu kembali.”
"Siapa namamu? Kami harus menangkapmu sebagai saksi..." kata Lu Tiang Sek. Akan tetapi, berkelebat pemuda itu telah melompat jauh dari tempat itu, hanya terdengar suaranya meninggalkan pesan.
“Kalian cari sendiri, aku tidak bersekongkol dengan mereka!"
Tiang Bu cepat sekali mengejar dua orang gadis yang telah lama melarikan diri menunggang kuda tadi. Kini teringatlah Tiang Bu akan bungkusan bungkusan yang dibawa oleh dua orang gadis itu. Mengapa ia begitu bodoh? Ketika ia sedang menghadapi gadis yang menyerangnya di atas kereta, tentu gadis ke dua yang berpakaian pria dan lebih tinggi kepandaiannya, mempergunakan kesempatan itu untuk memasuki kereta dan membuka peti mengambil isinya. Dan isi peti itu milik Pangeran Wanyen Ci Lun Ia harus mendapatkannya kembali. Inilah pembuka jalan baginya untuk menghadap pangeran itu.
Hari telah malam ketika ia tiba di kota Wukeng. Dari penyelidikannya ia tahu bahwa, dua orang gadis yang dikejarnya itu bermalam di sebuah rumah penginapan di kota ini. Cepat ia melakukan penyelidikan dan akhirnya ia melihat bahwa dua orang gadis itu bermalam di Hotel "Peng An Likoan". Hatinya menjadi lega dan dia sendiri bermalam di sebuah kelenteng yang mempunyai ruang depan lebar dan hwesio hwesionya ramah. Menjelang tengah malam, dengan kepandaiannya yan g tinggi, Tiang Bu pergi dari kelenteng itu tanpa diketahui oleh siapapun. Ia melompat ke atas genteng dan berlari-lari tanpa mengeluarkan suara menuju ke Hotel Peng An.
Siang tadi ia telah menyelidiki dari pelayan Hotel Peng An bahwa dua orang gadis itu bermalam di kamar bagian belakang. Dengan tubuh ringan Tiang Bu menuju ke bagian ini. Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kamar dua orang gadis itu masih terang, lampu di dalamnya belum dipadamkan. Ketika ia mengintai, ternyata dua orang itu dengan pakaian masih seperti siang tadi, duduk bercakap-cakap di dalam kamar, agakn ya memang tidak akan tidur malam itu.
“Ci ci, aku ingin sekali melihat semua isi kantong-kantong ini..." terdengar Ang Lian berkata perlahan.
"Hush, untut apa? Paling-paling isinya seperti yang kita lihat di kantong pertama tadi, emas dan batu permata. Ayah memang menduga tepat. Orang-orang macam pembesar Kwee itu, setelah mengundurkan diri dari jabatannya, pasti sudah mengumpullan banyak harta, hasil pemeras an dari rakyat jelata. Kita harus hati-hati, moi-moi. Siapa tahu kalau- kalau orang dari Siang-kim-sai Piauw-kiok akan datang mengejar dan merampas kembali kantong-kantong ini."
“Aaah, tikus-tikus macam itu mana berani. Andaikata beranipun, perlu apa dikhawatirkan. Mereka itu hanya gentong-gentong kosong. Paling-paling yang berani mengejar hanya si pemuda hidung pesek bibir tebal seperti monyet hitam itu...”
"Hush, moi-moi. Kau benar-benar lancang mulut. Kulihat pemuda itu bukan orang sembarargan, dia tentu murid orang sakti, aku mempun yai dugaan bahwa dia itu biarpun kelihatan sederhana tentu seorang pendekar besar...”
Mendengar ucapan Pek Lian ini, hati Tiang Bu berdebar, mukanya menjadi panas dan tentu berwarna merah sekali kalau saja kelihatan. Ang Lian tertawa cekikikan. "Hi hi hi agaknya cici tertarik hati kepadanya, ya? Awas, kuberi tahu pada ayah nanti..."
"Kurang ajar, mulutmu benar jahat! Awas kau, sekali lagi bicara begitu, kucubit bibirmu!"
"Ampun, cici aku cuma main-main. Orang secantik engkau mana sudi dengan pemuda muka monyet itu? Eh, cici, bungkusan yang satu ini agak lain, lebih ringan akan tetapi dari sini mengeluarkan bau harum yang aneh. Aku ingin melihat isinya." Setelah berkata demikian, Ang Lian membuka ikatan mulut bungkusan itu.
Kini perhatian Tiang Bu dicurahkan kebawah lubang kecil dari mana mengintai. Bungkusan itu dibuka dan terdengar seruan heran dari dua orang gadis itu. Tiba-tiba terdengar suara “kok! kok! kok!” yang keras sekali.
“Cici, cepuk ini ada kodoknya!”
“Moi moi, cepat tutup kembali...! Awas jangan sampai ia terlepas!"
"Gila betul, mengapa kodok saja disimpan? Dan dalam cepuk emas berukir begini indah?"
“Moi-moi, apa kau lupa akan cerita aneh? Di dalam istana kaisar terdapat banyak barang- barang pusaka. Kalau aku tidak salah ingat, katak macam ini tentulah seekor di antara banatang-binatang ajaib yang dapat dipergunakan sebagai obat mempunyai khasiat luar biasa lain, entah apa khasiatnya. Binatang seperti ini tentu jauh lebih berharga dari pada semua barang permata atau emas.”
"Dan ini, apakah ini...? Eh, eh, eh, mengapa tanganku terbetot...!" Ang Li an memegang sebuah benda hitam di tangan kanan yang nampaknya berat biarpun besarnya hanya seperti kepalan tangan orang. Ia menarik-narik tangan kirinya yang terbetot ke tangan kanan, akhirnya terdengar suara "ting!" dan gelang di tangan kirinya terbetot dan nempel pada benda hitam itu.
“Hebat, ini tentu besi sembrani seperti yang sering kali disebut-sebut oleh ayah! Moi-moi, dalam kantong ini terisi benda-benda ajaib yang jauh lebih berharga dari pada kantong kantong lain. Lekas kita tutup kembali. Aduh, ayah pasti akan girang sekali melihat serous popwee (jimat) ini!"
Kemudian enci dan adik ini berjaga terus sambil bercakap-cakap lirih. Tiang Bu menjadi serba salah. Ingin turun tangan merampas kantong-kantong itu, tentu akan menimbulkan keributan. Maka iapun menanti saja. Menjelang pagi, dua orang gadis itu meninggalkan kamar dengan jalan melompati jendela, terus menuju ke kandang kuda. Tiang Bu maklum bahwa mereka tentu akan pergi pagi-pagi sebelum orang-orang lain bangun.
Benar saja, tak lama kemudian dua oran gadis itu melarikan kuda mereka keluar kota menuju ke utara. Masing-masing membuwa dua buah kantong yang dijadikan satu dengan sambungan tali panjang dan tali ini digantungkan di pundak sehingga dua buah kantong itu tergantung di depan dan belakang.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya dua orang gadis ini ketika tiba-tiba sesosok bayan gan hitam yang gesit sekali muncul di depan mereka. Sekali mengge rakkan kedua tangannya dua ekor kuda tunggan gan mereka meringkik dan ketakutan berdiri di atas kedua kaki belakang. Tentu saja dua orang gadis itu menjadi kaget dan cepat menekan kuda mereka.
Lapat-lapat mereka melihat pemuda yang bernama Tiang Bu itu sudah bergerak ke arah mereka dan di lain saat bungkusan-bungkusan itu telah direnggut dari pundak mereka! Perbuatan ini dilakukan cepat sekali dan pada saat mereka sedang sibuk menguasai kembali kuda mereka maka tidak sempat mencegah. Ketika mereka berseru kaget, pemuda itu telah lari cepat ke utara!
"Maling busuk bertenti kau!" teriak Ang Lian marah sekali dan dua tangannya diayun. Serr...! Serr...!” Dua batang piauw menyambar ke arah punggung Tiang Bu.
"Plak-plak Dua batang piauw itu mengenai punggung lalu runtuh ke bawah seperti mengenai karet saja pemuda itu berlari terus seakan-akan tidak merasa bahwa punggun gnya dihantam senjata gelap. Tentu saja Pek Lian dan Ang Lian tidak membiarkan pemuda itu lari menggondol kantong-kantong mereka, cepat mereka mengeprak kuda dan membalapkan kuda tung gan gan mengejar. Namun, ginkang dan ilmu lari cepat Tiang Bu sudah demikian hebatnya sehingga kuda-kuda itupun tak mampu menyusulnya.
Ilmu lari cepat yang dipelajari oleh Tiang Bu adalah ilmu lari yang luar biasa, kesaktian yang diturunkan oleh Tat Mo Couwsu sendiri. Hanya sayangnya Tiang Bu belum lama mempelajarinya sehingga yang sudah ia miliki hanya paling banyak enam bagian saja. Seandainya ia sudah memiliki sepuluh bagian atau seluruhnya, kiranya kecepatan kuda-kuda istimewa dari utara sekali pun belum dapat menyusulnya.
Sampai hari terang tanah, dua ekor kuda itu mnsih membalap mengejar terus. Akan tapi Tiang Bu juga tak dapat meninggalkan kejaran itu. Memang ia setengah mempermainkan dan berlari seenaknya.
"Orang yang bernama Tiang Bu!" Tiba-tiba terdengar suara Pek Lian. "Kalau kau memang laki-laki sejati, jangan main lari. Mari kita mengadu kepandaian sampai seribu jurus!"
Mendengar ini, Tiang Bu tertawa ia menghentikan larinya, membalikkan tubuh menanti datangnya dua dara itu sambil tersenyum. Dua orang gadis itu me lompat turun dari kuda dan sambil berlompat-lompatan menghampirin ya, Ang Lian menjadi merah mukanya seperti namanya, cicinya marah akan tetapi, hanya kelihatan dari sinar matanya saja.
"Tentu saja aku laki-laki sejati karena bukan seorang wanita yang menyaru laki-laki,” kata Tiang Bu sambil memandang kepada Pek Lian.
Entah mengapa. Tiang Bu merasa senang sekali menggoda wanita, perasaan suka menggoda ini datang dari dalam dirinya tanpa dapat ditahan atau dicegah pula. Ia mempunyai perasaan suka mempermainkan atau menggoda wanita, sungguhpun hati nuraninya membatasi dirinya dalam godaan ini, dan karenanya ia tidak sudi mempergunakan kata-kata yang tidak sopan. Ia menggoda hanya karena dorongan hati bukan menggoda dengan maksud-maksud yang kotor.
Mendengar kata-kata Tiang Bu itu, Pek Lian menjadi tertegun dan merah mukanya. Manis benar gadis ini ketika dengan malu-malu ia menunduk dan menyapu pakaian sendiri dengan lirikannya. Di lain fihak, Ang Lian sudah tak dapat menahan marahnya. Sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung Tiang Bu, ia menyemprot.
“Monyet hitam, kau cengar-cengir menggoda cici benar-benar sudah bosan hidup! Hayo serahkan empat bungkusan itu berikut kepalamu!” Sambil terkata demikian, Ang Lian mengayun pedangnya melakukan serangan kilat.
"Hayaaa...!" Sambil tertawa-tawa Tiang Bu mengelak ke kiri sehingga pedang itu berkelebat di pinggir tubuhnya. “Galak amat! Kau ini bocah perempuan berani main-main pedang tajam, apa tidak takut, nanti mengenai baju sendiri sehingga robek?”
Ang Lian menjadi makin merah mukanya karena godaan ini mengingatkan ia akan pengalamannya di hari kemarin, betapa pakaiannya sampai kedo doran, bahkan ia sampai terjatuh ke dalam pangkuan pemuda ini.
"Tikus sawah, mampus kau!” makinya dan pedangnya berkelebat mengurung tubuh Tiang Bu. Harus diakui bahwa ilmu pedang gadis itu cukup lihai, cepat, kuat dan sukar diduga gerakan-gerakannya. Akan tetapi ia menghadapi Tiang Bu, murid tunggal dua orang kakek sakti Omei-san, maka selalu sambaran pedangnya han ya mengenai angin saja. Tiba-tiba Tiang Bu menggerakkan tangan kiri dan jari telunjuknya menyentil ke arah pedang dari samping.
"Tringg...!”
Tanpa dapat ditahan lagi oleh Ang Lian, pedangnya sendiri yang terkena sentilan kuat itu terpental membalik dan menyerang pundak sendiri.
"Brett!
Ayaaaaa...!!” Ang Lian menjerit dan melompat ke belakang, mukanya menjadi pucat. Masih untung baginya bah wa dalam menyentil pedang tadi Tiang Bu masih ingat dan tidak bermaksud mencelakainya. Kalau sentilan itu dirubah arahnya dan pedang bukan membalik ke pundak melainkan ke dada atau perut, tentu lain lagi akibatnya. Kini yang terobek oleh ujung pedang hanya pakaian di atas dan yang kelihatan hanya sediki kulit leher dan pundak yang putih halus. Coba kalau yang robek itu bagian dada atau perut, bisa berabe! Tentu saja Ang Lian kaget setengah mati.
"Apa kataku tadi? Bocah perempuan kecil tidak baik bermain-main pedang, seharusnya bermain pisau dapur membuat masakan yang lezat." Tiang Bu menggoda.
“Tiang Bu manusia sombong, kau terlalu menghina orang!" Seru Pek Lian dan gadis ini menggerakkan pedang menyambar leher sedangkan tangan kiri menyusul dengan pukulan.
Gerakan tangan kiri itu adalah gerakan yang disebut Hio te-boan-hwa (Di Bawah Daun Mencari Bunga), sedangkan pedang itu melakukan serangan dengan gerak tipu Bi-li-tauw-su (Gadis Cantik Menenun). Sekaligus dapat mempergunakan dua macam gerak tipu, ilmu pedang dan ilmu tangan kosong, benar-benar sudah membuktikan kelihaian gadis ini. Juga macam serangannya itu merupakan serangan berantai, jadi memang sudah terlatih menggunakan serangan be rganda, setiap serangan didahului oleh angin pukulan yang dahsyat dan disertai kecepatan mengagumkan.
"Pantas dia bisa membongkar peti tanpa kuketahui, kiranya ia jauh lebih lihai dari adiknya...” pikir Tiang Bu yang cepat-cepat melompat ke belakang sambil mendorongkan tangan kirinya menangkis pukulan gadis itu.
Pek Lian tidak mau kepalan tangannya bertemu dengan telapak tangan lawan, cepat ia menarik pulang kepalan tangannya dan dua kali melangkah maju, ia sudah mengirim serangan berganda lagi, pedangnya membuat gerak tipu Bi-li-hoan-mo (Gadis Cantik Menukar Payung) sedangkan kepalan kirinya kembali meryerang dengan tangan terbuka mencengkeram ke arah dada lawan dengan gerak tipu Siu-ko-hian-hwa (Mengambil Buah Memberi Bunga). Gerakan-gerakannya cepat namun indah sekali, lemah gemulai seperti menari, akan tetapi jangan kira "tarian" ini tidak berbahaya karena salah-salah leher bisa terpenggal putus dan dada bisa dicengkeram sampai hancur tulang-tulangnya!
Tiang Bu hendak mencoba kepandaian gadis ini. Ia sengaja menyambuti dua serangan itu dengan kedua tangannya pula. Tangan kirinya dibuka jarinya dan melakukan gerakan menyampok pinggiran pedang, sedangkan tangan kanan memapaki cangkeraman gadis itu, menggantikan atau mewakili dada. Pedang itu tersampok ke pinggir hanya mencong dan menyeleweng saja, tidak membalik seperti Ang Lian tadi, sedangkan tangan Tiang Bu dekat pergelangan kena dicengkeram.
Pek Lian menjadi kaget setengah mati. Jarang ada orang berani menghadapi pedangnya hanya dengan sampokan jari-jari tangan saja, namun toh pemuda ini sudah berhasil menyampok pedangnya sampai menyeleweng, dan cengkeramannya dengan gerak tipu Siu-ko hian-hwa tadi bukanlah sembarangan mencengkeram, melainkan sebuah gerakan dari Ilmu Mencengkeram Liong jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Naga). Akan tetapi mengapa setelah mengenai tangan pemuda itu, menjadi musnah tenaganya dan cengkeraman itu hanya berubah menjadi semacam cubitan tak berarti saja?
“Aih... cih… bertempur ya bertempur, tapi jangan main cubit, eh...!" kata Tiang Bu sambil tersenyum dan menggosok-gosok tangannya yang kena "cubit" tadi.
Karuan saja Pek Lian menjadi malu dan marah, apalagi ketika Ang Lian tertawa kecil ditahan-tahan di belakangnya, lalu berkata lirih, "Kok mencubit, bagaimana sih cici ini?”
Saking marahnya Pek Lian menjadi pucat mukanya. Ia mengeluarkan suara bersuit keras dan pedangnya bergerak lagi, kini melakukan serangan-serangan nekat dan berbahaya sekali. Mendengar suara sultan ini. Ang Lian menutup menutup mulutnya karena tahu bahwa cicinya marah sekali. Ia lalu menggerakkan pedangnya pula membantu saudaranya mengeroyok Tiang Bu.
Tiang Bu memang tidak berniat melukai dua orang dara ini, hanya ingin merampas kembali barang-barang itu dan mengembalikannya kepada Pangeran Wanyen Ci Lun. Iapun kaget mendengar suitan ini yang ia tidak tahu apa maksudnya. Tiba-tiba diri arah utara terdengar suara suitan semacam itu, akan tetapi jauh lebih nyaring dan panjang, tanda bahwa yang bersuit itu memiliki khikang jauh lebih tinggi dari pada Pek Li an.
"Ceng moi datang... bagus...!” seru Ang Lian ketika mendengar suitan tadi.
Tiang Bu merasa sudah cukup menggoda maka iapun melompat mundur dengan cara terus lari ke utara. Dua orang gadis itu mengejar, akan tetapi mana mereka dapat melawan Tiang Bu yang mengerahkan ginkangnya? Di atas kuda saja mereka tadi masih belum mampu mengejar Tiang Bu. Apalagi sekarang Tiang Bu mengerahkan ilmu lari cepatnya dan mereka hanya mengejar dengan berlari saja. Sebentar saja mereka tertinggal jauh.
Dari arah depan terdengar derap kaki kuda dan muncullah seekor kuda hitam yang tinggi besar dan kuat sekali yang berlari seperti terbang ce patnya di tengah tengah debu yang mengebul tinggi. Di atas kuda hitam itu duduk seorang gadis muda berusia antara lima belas tahun, tubuhnya kecil ramping dan mukanya ayu dan angker seperti muka orang yang biasa dipandang tinggi. Gadis itu tangan kirinya memegang kendali, tangan kanan memegang sebatang ranting yang agaknya dipergunakan sebagai cambuk.
Melihat munculnya kuda hitam dengan penunggangnya gadis tanggung itu, Pek Lian berseru girang, "Ceng moi...! tolonglah! Orang itu telah mencuri empat bungkusan kami...!"
Mendengar seruan ini diam-diam Tiang Bu mendongkol sekali. Gadis itu telah memutarbalikkan kenyataan, pikirnya. Mereka yang menjadi perampok, sekarang menuduh dia mencuri bungkusan-bungkusan itu. Sebaliknya, gadis ayu yang menunggang kuda itu, tiba-tiba menarik kendali kuda dan serentak kuda hitam itu berhenti. Debu mengebul tinggi, Tiang Bu kagum bukan main. Menghentikan kuda berlari cepat secara mendadak seperti itu benar-benar bukan hal yang mudah, selain membutuhkan kemahiran menunggang kuda, juga harus memiliki ilmu lweekang yang disebut Jian-kin-kang (Tenaga Seribu Kati), yaitu ilmu memberatkan tubuh sehingga dapat menindih dan mengalahkan tenaga lari kuda itu demikian besar dan kuat sedangkan gadis itu demikian kecil, benar-benar sukar untuk dipercaya kalau tidak menyaksikan sendiri.
Pada saat Tiang Bu masih bengong saking kagumnya, gadis itu sudah 'melayang’ dari atas kuda ke dekatnya. Memang gadis itu seolah-olah melayang, bukan melompat. Demikian ringan tubuhnya serta gerakannya tadi seakan-akan dia hanya sehelai bulu, terbawa angin saja. Kemudian sebelum Tiang Bu hilang kagetnya, gadis itu sudah menggerakkan rantingnya, cepat sekali rantingnya menusuk ke depan.
"Cus! Cus! Ujung ranting itu menyolok sepasang mata Tiang Bu dengan gerakan cepat sekali.
Tentu saja Tian g Bu tidak membiarkan sepasang mata yang hanya satu-satunya dicolok buta, cepat ia mengelak dan sebagai balasan tangan kirinya menotok ke arah iga lawan untuk mencari sasarannya. yaitu Yan-goat-hiat. Jalan darah Yan-goat-hiat ini letaknya di dekat ketiak, kalau terkena orang akan menjadi kaku seperti patung.
Akan tetapi hebat benar gerakan dara ini. Ia lincah dan gesit, juga kedua kakinya melakukan langkah yang aneh mirip langkah il mu Silat Pat-kwa-kun-hwat. Tahu-tahu gadis itu sudah miringkan tubuh ke kanan, kaki kiri diangkat ke samping menginjak belakang lutut kaki kanan Tiang Bu dari samping. dan hebatnya rantingnya bekerja cepat sekali dan tahu-tahu tali yang menyambung dua buah kantong dan tergantung di pundak Tiang Bu telah putus!
Tangan kiri gadis itu diulur, menyambar kantong ke dua. Dengan demikian, dalam gebrakan pertama saja gadis ini sudah berhasil merampas dua kantong dan yang tergantung di pundak Thing Bu kini tinggal dua kantong lagi.
"Jangan takut, jiwi cici. biar siauw-moi yang merampas kembali barang-barangmu dari maling kecil ini!"
Melihat kelihaian gadis muda ini, Tiang Bu tertarik sekali dan merasa suka dan sayang. “Masih begini muda. lebih muda dari pada Ang Lian, ternyata sudah memiliki ilmu silat yang hebat dan aneh! Akan tetapi ia mendongkol juga karena gadis ini amat memandang rendah kepadanya bahkan memakinya maling kecil. Hemm, baru berhasil menipuku begitu saja sudah membuka mulut besar, pikirnya gemas.
"Siapa maling kecil? Nona cilik, biarpun kaki tanganmu lincah dan pandai, ternyata otakmu bodoh. Mudah saja ditipu orang. Mereka berdua itu adalah perampok keji yang merampok barang-barang ini di tengah hutan, sekarang mereka menuduh aku yang mencuri barang-barang mereka, bukankah itu sama halnya dengan maling berteriak maling? Dan kau percaya saja. membantu perampok. Apakah kau juga sebangsa perampok?"
"Eeh, kau kurang ajar sekali! Kau bilang kami perampok dan menghina kami. Andaikata kami betul perampok, habis kau sendiri apakah? Kau hanya maling kecil yang mencuri hasil rampokan kedua cici ini." Gadis muda itu menegur sambil tersenyum sindir dan ujung rantingnya sudah ditodongkan ke arah leher Tiang Bu tepat di atas jalan darah Tiong-eu-hiat.
"Aku Tiang Bu seorang laki-laki sejati, tidak sudi menjadi maling! Dua orang bocah itulah yang terang-terangan merampok barang yang dikawal oleh orang-orang Siang-kim sai Pioauw-kiok. Aku merampas empat buah kantong ini bukan dengan maksud menjadi maling, melainkan hendak kukirimkan kembali kepada pemiliknya, Pangeran Wanyen Ci Lun di kota raja."
Gadis yang baru datang ini mengangkat kedua alisnya yang hitam dan sepasang mata bintang itu bersinar bersinar penuh selidik kemudian ia tertawa geli. "Kau...? Kau mengira orang macam apa kau ini? Berlaku gagah-gagahan, memangnya kau pendekar sakti dari mana sih? Ketahuilah, manusia sombong, kedua cici itu adalah anak-anak dari Huang-ho Sian-jin!"
"Kau yang sombong, bukan aku!" Tiang Bu menjawab marah. "Dan aku tidak kenal siapa itu Huang-ho Sian-jin, mengapa kau sebut -sebut? Yang aku tahu Sungai Huang-ho adalah sungai yang jahat, suka mendatangkan banjir dan malapetaka kepada rakyat, mana bisa ada Sian-jin (Manusia Dewa) di sana? Paling-paling yang ada tentu Huang ho Yauw koai (Siluman Huang ho) apa kau kenal dengan dia?”
Gadis lincah itu tertawa geli, “Kau betul, kau betul!” Rantingnya diturunkan ia perlu mempergunakan tangan menekan perut menahan geli. “Krucuk atau cacing cauk macam kau ini mana mengenal nama Huang ho Sianjin? Dia memang betul ada itu Huang-hu Youw koai. Justeru karena Youw koai itu pada saat ini sedang mengamuk, maka kedua cici ini datang dan merampas harta dari segala macam okpa (hartawan kejam) seperti bekas menteri dari Kerajaan Kin itu!"
Tiang Bu menjadi bengong dan tidak mengerti, ia merasa dipermainkan, akan tetapi biarpun nona cilik ini sikapnya jenaka dan lincah, akan tetapi kiranya kata-kata seperti itu bukan bermaksud mempermainkan. “Apa artinya kata-katamu itu? Coba jelaskan, aku juga bukan orang yang mau menang sendiri."
"Adik Ceng Ceng terhadap maling kecil ini mengapa mesti banyak bicara? Banting saja biar gepeng!" kata Ang Lian yang gemas melihat Tiang Bu karena beberapa kali ia dipermainkan dan dikalahkan.
“Hush, moi-moi, jangan ganggu Ceng-moi!” Pek Lian mencela adiknya.
Aneh, tiba-tiba gadis yang dipanggil Cang itu mengerling ke arah Ang Lian dan bibir yang manis itu cemberut. "Enci Ang Lian, mengapa tidak dari tadi kaubanting sampai gepeng orang ini dan membiarkan dia merampas empat kantongmu?”
Merah wajah Ang Lian. "Aku... aku...” katanya gagap.
"Tarr...!” dan betapapun gesitnya, gadis itu tidak dapat menghindarkan cambukan ini.
"Bret...!” pakaiannya di sekitar pinggang robek dan kulit pinggangn ya lecet-lecet. Biarpun hanya cambuk, namun di tangan Tiang Bu merupakan senjata hebat sekali. Gadis itu saking kaget melihat kusir itu masih hidup dan sakit terkena cambukan, tak dapat menguasai dirinya dan terbanting ke bawah, justeru tepat sekali di atas Tiang Bu!
Kalau yang jatuh itu laki-laki, tentu akan disampok oleh Tiang Bu. Akan tetapi mengingat bahwa yang jatuh adalah seorang gadis masih muda, Tiang Bu tidak tega membiarkan gadis itu terbanting roboh. mungkin binasa terbanting dari tempat tinggi itu dalam keadaan setengah pingsan. Terpaksa ia menyambut dengan tangannya dan... karena gadis itu masih dapat memberontak, tanpa dapat dicegah lagi dan tanpa disengaja gadis itu rebah di atas pangkuannya!
"Kau... manusia keparat, kurang ajar, tak tahu aturan...!” Gadis itu menjadi lemas dan pingsan! Dapat dibayangkan betapa terguncang perasaannya ketika gadis itu mendapatkan dirinya sudah berada di atas pangkuan pemuda itu dan... sebagian pakaiannya robek-robek di bagian pinggang. Saking heran, marah, dan malu tercampar rasa sakit dan kaget. ia menjadi pingsan.
Karuan saja Tian Bu yang gelagapan. Kalau gadis itu tidak pingsan, biarpun ia sendiri merasa malu dan jengah tahu-tahu memangku seorang gadis namun ia dapat mendorong gadis itu di atas bangku kereta di sisinya atau dapat melemparkan gadis itu ke bawah. Akan tetapi dalam keadaan pingsan, tak mungkin ia melakukan hal itu karena gadis itu tentu akan terlempar jatuh dan berbahaya sekali keselamatannya. Terpaksa ia menarik kendali kudanya dan menyuruh binatang-binatang berhenti.
Setelah itu baru ia melompat turun dengan tubuh gadis yang pingsan itu dalam pondongannya. Baru saja ia menurunkan gadis itu di atas tanah dan mukanya menjadi merah sekali melihat betapa pakaian gadis itu tidak karuan letaknya karena bagian pinggangnya sudah putus, tiba-tiba terdengar bentakan.
"Manusia hina, kau apakan adikku?"
Tiang Bu merasa ada sambaran angin. Dengan cepat ia mengelak dan tangannya me nyampok. Terdengar seruan kaget dan gadis berpakaian pria yang menyerangnya meloncat ke belakang de ngan muka berubah. Sampokan tangan Tiang Bu pada pedangn ya membuat pedang itu hampir terlepas dari pegangan. Hal ini belum pernah ia alami! Saking kaget dan herannya, gadis berpakaian pria ini berdiri melongo.
Tiang Bu tersenyum. "Kau tak usah bingung. Adikmu tidak apa-apa dan akupun tidak berbuat apa-apa. Tadi dia menyambit batang piauw kepada dadaku dan aku membalas hadiahnya itu dengan sekali cambukan pada pinggangnya. Eh, tahu-tahu dia pingsan di atas kereta, terpaksa kuturunkan."
Gadis itu cepat membungkuk dan memeriksa adiknya. Hatinya lega mendapatkan adiknya tidak terluka dan benar saja hanya lecet-lecet sedikit di bagian yang terlibat cambuk. Sekali ia mengurut leher adiknya nona itu siuman kembali dan begitu siuman melihat Tiang Bu berdiri tak jauh dari situ, ia melompat marah.
“Moi-moi... hati-hati pakaianmu...!" seru cicinya dan gadis manis yang galak itu cepat-cepat memegangi pakaiannya yang hampir saja merosot turun karena tidak ada ikat pinggangnya lagi!
Tiang Bu menahan ke tawanya menutupi mulutnya dan membelakangi gadis itu agar jangan kelihatan olehnya kalau-kalau pakaian itu betul-betul akan kedodoran.
"Cici, kau balaskan aku. Monyet itu kurang ajar sekali. Dia mencambuk pinggangku!”
“Moi-moi apa benar kau tadi menyerang dadanya dengan piauw?"
"Betul, kukira sudah mampus, tidak tahunya belum. Cici lekas kau serang dia dengan pedangmu!”
"Tidak ada waktu, mot-moi. Mari kita pergi!"
"Bagus, memang lebih baik kalian pergi, jangan masih begitu muda-muda sudah menjadi rampok. Kalau kelihatan orang kan malu!" kata Tiang Bu sambil membalikkan tubuhnya lagi menghadap enci dan adik yang istimewa ini.
"Cici, hatiku sakit sekali olehnya. Aku akan mati penasaran kalau kau belum membalaskan sakit hatiku!” Lagi-lagi gadis manis itu merajuk, kini dengan mulut hampir mewek.
"Biar lain kali kita mencari dia, moi-moi. Sahabat, siapakah namamu agar lain kali kami dapat mencarimu untuk membikin perhitungan!” tanya gadis cantik berpakaian pria.
Tiang Bu menjura. "Namaku Tiang Bu kalian siapakah?”
"Cih, tak tahu malu?” gadis berwajah manis itu menyemprot. "Tanya-tanya nama gadis mau apakah? Laki-laki ceriwis, Mari pergi, cici!"
Dengan tangan kiri memegang pakaian di bagian pinggang supaya tidak melorot dan tangan kanan menarik tangan cicinya, gadis ini pergi dengan bersungut-sungut. Encinya diam saja dan bahkan membawa adiknya ketempat kuda mereka berada.
"Tidak memberi tahu juga baik.” Tiang Bu mengomel. "Selanjutnya aku akan menyebut kalian enci dan adik tukang rampok!"
Kini gadis ayu berpakaian pria itu berhenti dan menoleh. Senyum dan kerlingan manis sekali. "Saudara Tiang Bu, namaku Pek Lian dan adikku ini Ang Lian.”
Setelah berkata demikian, ia mengajak adiknya melompat ke atas kuda dan di lain saat dua ekor kuda itu membedal cepat sekali pergi dari situ. Tiang Bu melihat mereka membawa empat buah bungkus an kecil, akan tetapi ia tidak tahu dan juga tidak perduli. Ang Lian berarti Teratai Merah dan Pek Lian berarti Teratai Putih. Nama-nama yang bagus, seperti orangnya akan tetapi betul-betulkah itu nama mereka? Mengapa tidak pakai she?
Tiba-tiba Tiang Bu teringat akan nama sendiri yang di perkenalkan tanpa she pula. Ia tersenyum. Mudah saja diingat, dua orang gadis itu adalah puteri dari seorang tokoh besar berjuluk Huang-ho Sian-jin. Ia lalu meruntun kuda-kuda yan g menarik kereta itu, dibawa kembali ke tempat pertempuran tadi, Lu Tiang Sek dan kawan kawannya yang sudah siuman dan tadinya bingung sekali, menjadi girang bukan main melihat kereta mere ka dituntun kembali ole h seorang pemuda tanggung yang tidak mereka kenal.
"Nih, terima kembali keretamu,” kata Tiang Bu. "Bai knya aku kenal dua orang gadis itu dan aku berhasil membujuk mereka mengembalikan kereta dan isinya. Mereka itu tidak bermaksud jahat, hanya ingin main-main belaka." Ia tertawa.
Lu Tiang Sek terheran-heran, akan tetapi cepat menjura menghaturkan terima kasih menanyakan nama pemuda ini. Tiang Bu tidak mau me nyebutkan namanya. "Untuk apa namaku? Tidak perlu diketahui. Asal kalian menerima kembali kereta, cukup kan?"
Lu Tiang Sek menyingkap tirai sutera dan ia mengeluarkan keruan kaget. "Celaka! Peti sepasang Kilin titipan Pangeran Wanyen Ci Lun telah dibongkar dan isinya lenyap!”
Seruan ini membuat Tiang Bu kaget setengah mati. Bukan kaget karena hilangnya benda itu, akan tetapi terutama sekali kaget mendengar disebutnya nama Pangeran Wanyen Ci Lun. "Apa kau bilang? Siapa punya yang hilang?"
"Sahabat, kau lihat sendirilah,” kata Lu Tiang Sek sambil membuka tirai.
Betul saja sebuah peti hitam yang indah, berukirkan sepasang Kilin di atas tutupnya, telah terbuka dan isinya lenyap, “Peti ini menurut keterangan Kwee-taijin adalah titipan Wanyen Ci Lun maka harus dijaga sangat hati-hati. Celakanya, sekarang lenyap!” Ia membanting-banting kaki.
"Tentu mereka yang ambil...“ kata Tiang Bu perlahan, masih bingung karena bagaimana Pangeran Wanyen Ci Lun bisa menitipkan sebuah peti berisi barang barang berharga pada pembesar she Kwee itu?
Sementara itu, Lu Tiang Sek dan kawan-kawann ya memandang kepada Tiang Bu dengan mata penuh arti, juga mereka mulai mengurungnya.
"Sahabat muda, kau tadi bilang kenal baik dengan mereka?”
"Ya, habis mengapa?"
"Kalau kau kenal baik berarti kan sudah bersekongkol dengan mereka untuk mencuri isi peti itu. Ha, kau adalah pembantu mereka!"
"Ngaco! Gila! Aku bukan apa-apanya dan aku tidak turut mengambil barang. Sungguh mati aku tidak pernah mengira bahwa mereka sudah mengambil barang dari dalam kereta. Kalau aku tahu... hemm, tentu kuminta barang itu kembali.”
"Siapa namamu? Kami harus menangkapmu sebagai saksi..." kata Lu Tiang Sek. Akan tetapi, berkelebat pemuda itu telah melompat jauh dari tempat itu, hanya terdengar suaranya meninggalkan pesan.
“Kalian cari sendiri, aku tidak bersekongkol dengan mereka!"
Tiang Bu cepat sekali mengejar dua orang gadis yang telah lama melarikan diri menunggang kuda tadi. Kini teringatlah Tiang Bu akan bungkusan bungkusan yang dibawa oleh dua orang gadis itu. Mengapa ia begitu bodoh? Ketika ia sedang menghadapi gadis yang menyerangnya di atas kereta, tentu gadis ke dua yang berpakaian pria dan lebih tinggi kepandaiannya, mempergunakan kesempatan itu untuk memasuki kereta dan membuka peti mengambil isinya. Dan isi peti itu milik Pangeran Wanyen Ci Lun Ia harus mendapatkannya kembali. Inilah pembuka jalan baginya untuk menghadap pangeran itu.
Hari telah malam ketika ia tiba di kota Wukeng. Dari penyelidikannya ia tahu bahwa, dua orang gadis yang dikejarnya itu bermalam di sebuah rumah penginapan di kota ini. Cepat ia melakukan penyelidikan dan akhirnya ia melihat bahwa dua orang gadis itu bermalam di Hotel "Peng An Likoan". Hatinya menjadi lega dan dia sendiri bermalam di sebuah kelenteng yang mempunyai ruang depan lebar dan hwesio hwesionya ramah. Menjelang tengah malam, dengan kepandaiannya yan g tinggi, Tiang Bu pergi dari kelenteng itu tanpa diketahui oleh siapapun. Ia melompat ke atas genteng dan berlari-lari tanpa mengeluarkan suara menuju ke Hotel Peng An.
Siang tadi ia telah menyelidiki dari pelayan Hotel Peng An bahwa dua orang gadis itu bermalam di kamar bagian belakang. Dengan tubuh ringan Tiang Bu menuju ke bagian ini. Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kamar dua orang gadis itu masih terang, lampu di dalamnya belum dipadamkan. Ketika ia mengintai, ternyata dua orang itu dengan pakaian masih seperti siang tadi, duduk bercakap-cakap di dalam kamar, agakn ya memang tidak akan tidur malam itu.
“Ci ci, aku ingin sekali melihat semua isi kantong-kantong ini..." terdengar Ang Lian berkata perlahan.
"Hush, untut apa? Paling-paling isinya seperti yang kita lihat di kantong pertama tadi, emas dan batu permata. Ayah memang menduga tepat. Orang-orang macam pembesar Kwee itu, setelah mengundurkan diri dari jabatannya, pasti sudah mengumpullan banyak harta, hasil pemeras an dari rakyat jelata. Kita harus hati-hati, moi-moi. Siapa tahu kalau- kalau orang dari Siang-kim-sai Piauw-kiok akan datang mengejar dan merampas kembali kantong-kantong ini."
“Aaah, tikus-tikus macam itu mana berani. Andaikata beranipun, perlu apa dikhawatirkan. Mereka itu hanya gentong-gentong kosong. Paling-paling yang berani mengejar hanya si pemuda hidung pesek bibir tebal seperti monyet hitam itu...”
"Hush, moi-moi. Kau benar-benar lancang mulut. Kulihat pemuda itu bukan orang sembarargan, dia tentu murid orang sakti, aku mempun yai dugaan bahwa dia itu biarpun kelihatan sederhana tentu seorang pendekar besar...”
Mendengar ucapan Pek Lian ini, hati Tiang Bu berdebar, mukanya menjadi panas dan tentu berwarna merah sekali kalau saja kelihatan. Ang Lian tertawa cekikikan. "Hi hi hi agaknya cici tertarik hati kepadanya, ya? Awas, kuberi tahu pada ayah nanti..."
"Kurang ajar, mulutmu benar jahat! Awas kau, sekali lagi bicara begitu, kucubit bibirmu!"
"Ampun, cici aku cuma main-main. Orang secantik engkau mana sudi dengan pemuda muka monyet itu? Eh, cici, bungkusan yang satu ini agak lain, lebih ringan akan tetapi dari sini mengeluarkan bau harum yang aneh. Aku ingin melihat isinya." Setelah berkata demikian, Ang Lian membuka ikatan mulut bungkusan itu.
Kini perhatian Tiang Bu dicurahkan kebawah lubang kecil dari mana mengintai. Bungkusan itu dibuka dan terdengar seruan heran dari dua orang gadis itu. Tiba-tiba terdengar suara “kok! kok! kok!” yang keras sekali.
“Cici, cepuk ini ada kodoknya!”
“Moi moi, cepat tutup kembali...! Awas jangan sampai ia terlepas!"
"Gila betul, mengapa kodok saja disimpan? Dan dalam cepuk emas berukir begini indah?"
“Moi-moi, apa kau lupa akan cerita aneh? Di dalam istana kaisar terdapat banyak barang- barang pusaka. Kalau aku tidak salah ingat, katak macam ini tentulah seekor di antara banatang-binatang ajaib yang dapat dipergunakan sebagai obat mempunyai khasiat luar biasa lain, entah apa khasiatnya. Binatang seperti ini tentu jauh lebih berharga dari pada semua barang permata atau emas.”
"Dan ini, apakah ini...? Eh, eh, eh, mengapa tanganku terbetot...!" Ang Li an memegang sebuah benda hitam di tangan kanan yang nampaknya berat biarpun besarnya hanya seperti kepalan tangan orang. Ia menarik-narik tangan kirinya yang terbetot ke tangan kanan, akhirnya terdengar suara "ting!" dan gelang di tangan kirinya terbetot dan nempel pada benda hitam itu.
“Hebat, ini tentu besi sembrani seperti yang sering kali disebut-sebut oleh ayah! Moi-moi, dalam kantong ini terisi benda-benda ajaib yang jauh lebih berharga dari pada kantong kantong lain. Lekas kita tutup kembali. Aduh, ayah pasti akan girang sekali melihat serous popwee (jimat) ini!"
Kemudian enci dan adik ini berjaga terus sambil bercakap-cakap lirih. Tiang Bu menjadi serba salah. Ingin turun tangan merampas kantong-kantong itu, tentu akan menimbulkan keributan. Maka iapun menanti saja. Menjelang pagi, dua orang gadis itu meninggalkan kamar dengan jalan melompati jendela, terus menuju ke kandang kuda. Tiang Bu maklum bahwa mereka tentu akan pergi pagi-pagi sebelum orang-orang lain bangun.
Benar saja, tak lama kemudian dua oran gadis itu melarikan kuda mereka keluar kota menuju ke utara. Masing-masing membuwa dua buah kantong yang dijadikan satu dengan sambungan tali panjang dan tali ini digantungkan di pundak sehingga dua buah kantong itu tergantung di depan dan belakang.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya dua orang gadis ini ketika tiba-tiba sesosok bayan gan hitam yang gesit sekali muncul di depan mereka. Sekali mengge rakkan kedua tangannya dua ekor kuda tunggan gan mereka meringkik dan ketakutan berdiri di atas kedua kaki belakang. Tentu saja dua orang gadis itu menjadi kaget dan cepat menekan kuda mereka.
Lapat-lapat mereka melihat pemuda yang bernama Tiang Bu itu sudah bergerak ke arah mereka dan di lain saat bungkusan-bungkusan itu telah direnggut dari pundak mereka! Perbuatan ini dilakukan cepat sekali dan pada saat mereka sedang sibuk menguasai kembali kuda mereka maka tidak sempat mencegah. Ketika mereka berseru kaget, pemuda itu telah lari cepat ke utara!
"Maling busuk bertenti kau!" teriak Ang Lian marah sekali dan dua tangannya diayun. Serr...! Serr...!” Dua batang piauw menyambar ke arah punggung Tiang Bu.
"Plak-plak Dua batang piauw itu mengenai punggung lalu runtuh ke bawah seperti mengenai karet saja pemuda itu berlari terus seakan-akan tidak merasa bahwa punggun gnya dihantam senjata gelap. Tentu saja Pek Lian dan Ang Lian tidak membiarkan pemuda itu lari menggondol kantong-kantong mereka, cepat mereka mengeprak kuda dan membalapkan kuda tung gan gan mengejar. Namun, ginkang dan ilmu lari cepat Tiang Bu sudah demikian hebatnya sehingga kuda-kuda itupun tak mampu menyusulnya.
Ilmu lari cepat yang dipelajari oleh Tiang Bu adalah ilmu lari yang luar biasa, kesaktian yang diturunkan oleh Tat Mo Couwsu sendiri. Hanya sayangnya Tiang Bu belum lama mempelajarinya sehingga yang sudah ia miliki hanya paling banyak enam bagian saja. Seandainya ia sudah memiliki sepuluh bagian atau seluruhnya, kiranya kecepatan kuda-kuda istimewa dari utara sekali pun belum dapat menyusulnya.
Sampai hari terang tanah, dua ekor kuda itu mnsih membalap mengejar terus. Akan tapi Tiang Bu juga tak dapat meninggalkan kejaran itu. Memang ia setengah mempermainkan dan berlari seenaknya.
"Orang yang bernama Tiang Bu!" Tiba-tiba terdengar suara Pek Lian. "Kalau kau memang laki-laki sejati, jangan main lari. Mari kita mengadu kepandaian sampai seribu jurus!"
Mendengar ini, Tiang Bu tertawa ia menghentikan larinya, membalikkan tubuh menanti datangnya dua dara itu sambil tersenyum. Dua orang gadis itu me lompat turun dari kuda dan sambil berlompat-lompatan menghampirin ya, Ang Lian menjadi merah mukanya seperti namanya, cicinya marah akan tetapi, hanya kelihatan dari sinar matanya saja.
"Tentu saja aku laki-laki sejati karena bukan seorang wanita yang menyaru laki-laki,” kata Tiang Bu sambil memandang kepada Pek Lian.
Entah mengapa. Tiang Bu merasa senang sekali menggoda wanita, perasaan suka menggoda ini datang dari dalam dirinya tanpa dapat ditahan atau dicegah pula. Ia mempunyai perasaan suka mempermainkan atau menggoda wanita, sungguhpun hati nuraninya membatasi dirinya dalam godaan ini, dan karenanya ia tidak sudi mempergunakan kata-kata yang tidak sopan. Ia menggoda hanya karena dorongan hati bukan menggoda dengan maksud-maksud yang kotor.
Mendengar kata-kata Tiang Bu itu, Pek Lian menjadi tertegun dan merah mukanya. Manis benar gadis ini ketika dengan malu-malu ia menunduk dan menyapu pakaian sendiri dengan lirikannya. Di lain fihak, Ang Lian sudah tak dapat menahan marahnya. Sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung Tiang Bu, ia menyemprot.
“Monyet hitam, kau cengar-cengir menggoda cici benar-benar sudah bosan hidup! Hayo serahkan empat bungkusan itu berikut kepalamu!” Sambil terkata demikian, Ang Lian mengayun pedangnya melakukan serangan kilat.
"Hayaaa...!" Sambil tertawa-tawa Tiang Bu mengelak ke kiri sehingga pedang itu berkelebat di pinggir tubuhnya. “Galak amat! Kau ini bocah perempuan berani main-main pedang tajam, apa tidak takut, nanti mengenai baju sendiri sehingga robek?”
Ang Lian menjadi makin merah mukanya karena godaan ini mengingatkan ia akan pengalamannya di hari kemarin, betapa pakaiannya sampai kedo doran, bahkan ia sampai terjatuh ke dalam pangkuan pemuda ini.
"Tikus sawah, mampus kau!” makinya dan pedangnya berkelebat mengurung tubuh Tiang Bu. Harus diakui bahwa ilmu pedang gadis itu cukup lihai, cepat, kuat dan sukar diduga gerakan-gerakannya. Akan tetapi ia menghadapi Tiang Bu, murid tunggal dua orang kakek sakti Omei-san, maka selalu sambaran pedangnya han ya mengenai angin saja. Tiba-tiba Tiang Bu menggerakkan tangan kiri dan jari telunjuknya menyentil ke arah pedang dari samping.
"Tringg...!”
Tanpa dapat ditahan lagi oleh Ang Lian, pedangnya sendiri yang terkena sentilan kuat itu terpental membalik dan menyerang pundak sendiri.
"Brett!
Ayaaaaa...!!” Ang Lian menjerit dan melompat ke belakang, mukanya menjadi pucat. Masih untung baginya bah wa dalam menyentil pedang tadi Tiang Bu masih ingat dan tidak bermaksud mencelakainya. Kalau sentilan itu dirubah arahnya dan pedang bukan membalik ke pundak melainkan ke dada atau perut, tentu lain lagi akibatnya. Kini yang terobek oleh ujung pedang hanya pakaian di atas dan yang kelihatan hanya sediki kulit leher dan pundak yang putih halus. Coba kalau yang robek itu bagian dada atau perut, bisa berabe! Tentu saja Ang Lian kaget setengah mati.
"Apa kataku tadi? Bocah perempuan kecil tidak baik bermain-main pedang, seharusnya bermain pisau dapur membuat masakan yang lezat." Tiang Bu menggoda.
“Tiang Bu manusia sombong, kau terlalu menghina orang!" Seru Pek Lian dan gadis ini menggerakkan pedang menyambar leher sedangkan tangan kiri menyusul dengan pukulan.
Gerakan tangan kiri itu adalah gerakan yang disebut Hio te-boan-hwa (Di Bawah Daun Mencari Bunga), sedangkan pedang itu melakukan serangan dengan gerak tipu Bi-li-tauw-su (Gadis Cantik Menenun). Sekaligus dapat mempergunakan dua macam gerak tipu, ilmu pedang dan ilmu tangan kosong, benar-benar sudah membuktikan kelihaian gadis ini. Juga macam serangannya itu merupakan serangan berantai, jadi memang sudah terlatih menggunakan serangan be rganda, setiap serangan didahului oleh angin pukulan yang dahsyat dan disertai kecepatan mengagumkan.
"Pantas dia bisa membongkar peti tanpa kuketahui, kiranya ia jauh lebih lihai dari adiknya...” pikir Tiang Bu yang cepat-cepat melompat ke belakang sambil mendorongkan tangan kirinya menangkis pukulan gadis itu.
Pek Lian tidak mau kepalan tangannya bertemu dengan telapak tangan lawan, cepat ia menarik pulang kepalan tangannya dan dua kali melangkah maju, ia sudah mengirim serangan berganda lagi, pedangnya membuat gerak tipu Bi-li-hoan-mo (Gadis Cantik Menukar Payung) sedangkan kepalan kirinya kembali meryerang dengan tangan terbuka mencengkeram ke arah dada lawan dengan gerak tipu Siu-ko-hian-hwa (Mengambil Buah Memberi Bunga). Gerakan-gerakannya cepat namun indah sekali, lemah gemulai seperti menari, akan tetapi jangan kira "tarian" ini tidak berbahaya karena salah-salah leher bisa terpenggal putus dan dada bisa dicengkeram sampai hancur tulang-tulangnya!
Tiang Bu hendak mencoba kepandaian gadis ini. Ia sengaja menyambuti dua serangan itu dengan kedua tangannya pula. Tangan kirinya dibuka jarinya dan melakukan gerakan menyampok pinggiran pedang, sedangkan tangan kanan memapaki cangkeraman gadis itu, menggantikan atau mewakili dada. Pedang itu tersampok ke pinggir hanya mencong dan menyeleweng saja, tidak membalik seperti Ang Lian tadi, sedangkan tangan Tiang Bu dekat pergelangan kena dicengkeram.
Pek Lian menjadi kaget setengah mati. Jarang ada orang berani menghadapi pedangnya hanya dengan sampokan jari-jari tangan saja, namun toh pemuda ini sudah berhasil menyampok pedangnya sampai menyeleweng, dan cengkeramannya dengan gerak tipu Siu-ko hian-hwa tadi bukanlah sembarangan mencengkeram, melainkan sebuah gerakan dari Ilmu Mencengkeram Liong jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Naga). Akan tetapi mengapa setelah mengenai tangan pemuda itu, menjadi musnah tenaganya dan cengkeraman itu hanya berubah menjadi semacam cubitan tak berarti saja?
“Aih... cih… bertempur ya bertempur, tapi jangan main cubit, eh...!" kata Tiang Bu sambil tersenyum dan menggosok-gosok tangannya yang kena "cubit" tadi.
Karuan saja Pek Lian menjadi malu dan marah, apalagi ketika Ang Lian tertawa kecil ditahan-tahan di belakangnya, lalu berkata lirih, "Kok mencubit, bagaimana sih cici ini?”
Saking marahnya Pek Lian menjadi pucat mukanya. Ia mengeluarkan suara bersuit keras dan pedangnya bergerak lagi, kini melakukan serangan-serangan nekat dan berbahaya sekali. Mendengar suara sultan ini. Ang Lian menutup menutup mulutnya karena tahu bahwa cicinya marah sekali. Ia lalu menggerakkan pedangnya pula membantu saudaranya mengeroyok Tiang Bu.
Tiang Bu memang tidak berniat melukai dua orang dara ini, hanya ingin merampas kembali barang-barang itu dan mengembalikannya kepada Pangeran Wanyen Ci Lun. Iapun kaget mendengar suitan ini yang ia tidak tahu apa maksudnya. Tiba-tiba diri arah utara terdengar suara suitan semacam itu, akan tetapi jauh lebih nyaring dan panjang, tanda bahwa yang bersuit itu memiliki khikang jauh lebih tinggi dari pada Pek Li an.
"Ceng moi datang... bagus...!” seru Ang Lian ketika mendengar suitan tadi.
Tiang Bu merasa sudah cukup menggoda maka iapun melompat mundur dengan cara terus lari ke utara. Dua orang gadis itu mengejar, akan tetapi mana mereka dapat melawan Tiang Bu yang mengerahkan ginkangnya? Di atas kuda saja mereka tadi masih belum mampu mengejar Tiang Bu. Apalagi sekarang Tiang Bu mengerahkan ilmu lari cepatnya dan mereka hanya mengejar dengan berlari saja. Sebentar saja mereka tertinggal jauh.
Dari arah depan terdengar derap kaki kuda dan muncullah seekor kuda hitam yang tinggi besar dan kuat sekali yang berlari seperti terbang ce patnya di tengah tengah debu yang mengebul tinggi. Di atas kuda hitam itu duduk seorang gadis muda berusia antara lima belas tahun, tubuhnya kecil ramping dan mukanya ayu dan angker seperti muka orang yang biasa dipandang tinggi. Gadis itu tangan kirinya memegang kendali, tangan kanan memegang sebatang ranting yang agaknya dipergunakan sebagai cambuk.
Melihat munculnya kuda hitam dengan penunggangnya gadis tanggung itu, Pek Lian berseru girang, "Ceng moi...! tolonglah! Orang itu telah mencuri empat bungkusan kami...!"
Mendengar seruan ini diam-diam Tiang Bu mendongkol sekali. Gadis itu telah memutarbalikkan kenyataan, pikirnya. Mereka yang menjadi perampok, sekarang menuduh dia mencuri bungkusan-bungkusan itu. Sebaliknya, gadis ayu yang menunggang kuda itu, tiba-tiba menarik kendali kuda dan serentak kuda hitam itu berhenti. Debu mengebul tinggi, Tiang Bu kagum bukan main. Menghentikan kuda berlari cepat secara mendadak seperti itu benar-benar bukan hal yang mudah, selain membutuhkan kemahiran menunggang kuda, juga harus memiliki ilmu lweekang yang disebut Jian-kin-kang (Tenaga Seribu Kati), yaitu ilmu memberatkan tubuh sehingga dapat menindih dan mengalahkan tenaga lari kuda itu demikian besar dan kuat sedangkan gadis itu demikian kecil, benar-benar sukar untuk dipercaya kalau tidak menyaksikan sendiri.
Pada saat Tiang Bu masih bengong saking kagumnya, gadis itu sudah 'melayang’ dari atas kuda ke dekatnya. Memang gadis itu seolah-olah melayang, bukan melompat. Demikian ringan tubuhnya serta gerakannya tadi seakan-akan dia hanya sehelai bulu, terbawa angin saja. Kemudian sebelum Tiang Bu hilang kagetnya, gadis itu sudah menggerakkan rantingnya, cepat sekali rantingnya menusuk ke depan.
"Cus! Cus! Ujung ranting itu menyolok sepasang mata Tiang Bu dengan gerakan cepat sekali.
Tentu saja Tian g Bu tidak membiarkan sepasang mata yang hanya satu-satunya dicolok buta, cepat ia mengelak dan sebagai balasan tangan kirinya menotok ke arah iga lawan untuk mencari sasarannya. yaitu Yan-goat-hiat. Jalan darah Yan-goat-hiat ini letaknya di dekat ketiak, kalau terkena orang akan menjadi kaku seperti patung.
Akan tetapi hebat benar gerakan dara ini. Ia lincah dan gesit, juga kedua kakinya melakukan langkah yang aneh mirip langkah il mu Silat Pat-kwa-kun-hwat. Tahu-tahu gadis itu sudah miringkan tubuh ke kanan, kaki kiri diangkat ke samping menginjak belakang lutut kaki kanan Tiang Bu dari samping. dan hebatnya rantingnya bekerja cepat sekali dan tahu-tahu tali yang menyambung dua buah kantong dan tergantung di pundak Tiang Bu telah putus!
Tangan kiri gadis itu diulur, menyambar kantong ke dua. Dengan demikian, dalam gebrakan pertama saja gadis ini sudah berhasil merampas dua kantong dan yang tergantung di pundak Thing Bu kini tinggal dua kantong lagi.
"Jangan takut, jiwi cici. biar siauw-moi yang merampas kembali barang-barangmu dari maling kecil ini!"
Melihat kelihaian gadis muda ini, Tiang Bu tertarik sekali dan merasa suka dan sayang. “Masih begini muda. lebih muda dari pada Ang Lian, ternyata sudah memiliki ilmu silat yang hebat dan aneh! Akan tetapi ia mendongkol juga karena gadis ini amat memandang rendah kepadanya bahkan memakinya maling kecil. Hemm, baru berhasil menipuku begitu saja sudah membuka mulut besar, pikirnya gemas.
"Siapa maling kecil? Nona cilik, biarpun kaki tanganmu lincah dan pandai, ternyata otakmu bodoh. Mudah saja ditipu orang. Mereka berdua itu adalah perampok keji yang merampok barang-barang ini di tengah hutan, sekarang mereka menuduh aku yang mencuri barang-barang mereka, bukankah itu sama halnya dengan maling berteriak maling? Dan kau percaya saja. membantu perampok. Apakah kau juga sebangsa perampok?"
"Eeh, kau kurang ajar sekali! Kau bilang kami perampok dan menghina kami. Andaikata kami betul perampok, habis kau sendiri apakah? Kau hanya maling kecil yang mencuri hasil rampokan kedua cici ini." Gadis muda itu menegur sambil tersenyum sindir dan ujung rantingnya sudah ditodongkan ke arah leher Tiang Bu tepat di atas jalan darah Tiong-eu-hiat.
"Aku Tiang Bu seorang laki-laki sejati, tidak sudi menjadi maling! Dua orang bocah itulah yang terang-terangan merampok barang yang dikawal oleh orang-orang Siang-kim sai Pioauw-kiok. Aku merampas empat buah kantong ini bukan dengan maksud menjadi maling, melainkan hendak kukirimkan kembali kepada pemiliknya, Pangeran Wanyen Ci Lun di kota raja."
Gadis yang baru datang ini mengangkat kedua alisnya yang hitam dan sepasang mata bintang itu bersinar bersinar penuh selidik kemudian ia tertawa geli. "Kau...? Kau mengira orang macam apa kau ini? Berlaku gagah-gagahan, memangnya kau pendekar sakti dari mana sih? Ketahuilah, manusia sombong, kedua cici itu adalah anak-anak dari Huang-ho Sian-jin!"
"Kau yang sombong, bukan aku!" Tiang Bu menjawab marah. "Dan aku tidak kenal siapa itu Huang-ho Sian-jin, mengapa kau sebut -sebut? Yang aku tahu Sungai Huang-ho adalah sungai yang jahat, suka mendatangkan banjir dan malapetaka kepada rakyat, mana bisa ada Sian-jin (Manusia Dewa) di sana? Paling-paling yang ada tentu Huang ho Yauw koai (Siluman Huang ho) apa kau kenal dengan dia?”
Gadis lincah itu tertawa geli, “Kau betul, kau betul!” Rantingnya diturunkan ia perlu mempergunakan tangan menekan perut menahan geli. “Krucuk atau cacing cauk macam kau ini mana mengenal nama Huang ho Sianjin? Dia memang betul ada itu Huang-hu Youw koai. Justeru karena Youw koai itu pada saat ini sedang mengamuk, maka kedua cici ini datang dan merampas harta dari segala macam okpa (hartawan kejam) seperti bekas menteri dari Kerajaan Kin itu!"
Tiang Bu menjadi bengong dan tidak mengerti, ia merasa dipermainkan, akan tetapi biarpun nona cilik ini sikapnya jenaka dan lincah, akan tetapi kiranya kata-kata seperti itu bukan bermaksud mempermainkan. “Apa artinya kata-katamu itu? Coba jelaskan, aku juga bukan orang yang mau menang sendiri."
"Adik Ceng Ceng terhadap maling kecil ini mengapa mesti banyak bicara? Banting saja biar gepeng!" kata Ang Lian yang gemas melihat Tiang Bu karena beberapa kali ia dipermainkan dan dikalahkan.
“Hush, moi-moi, jangan ganggu Ceng-moi!” Pek Lian mencela adiknya.
Aneh, tiba-tiba gadis yang dipanggil Cang itu mengerling ke arah Ang Lian dan bibir yang manis itu cemberut. "Enci Ang Lian, mengapa tidak dari tadi kaubanting sampai gepeng orang ini dan membiarkan dia merampas empat kantongmu?”
Merah wajah Ang Lian. "Aku... aku...” katanya gagap.
Selanjutnya,
TANGAN GLEDEK JILID 25
TANGAN GLEDEK JILID 25