KARENA tertarik, Tiang Bu cepat menyelinap di antara pepohonan dan menuju tempat pertempuran. Dan di dekat sungat ia melihat pemuda tampan dan gadis jelita itu benar-benar tengah bertempur melawan seorang pemuda tampan yang lain yang hebat sekali kepandaiannya. Pemuda itu tampan, bertubuh jangkung kurus, dahinya lebar seperti botak, mulutnya tersenyum-senyum mengejek dan mata yang bersinar-sinar aneh!
Yang hebat, ia mainkan senjata yang luar biasa sekali, yaitu sebatang huncwe (pipa tembakau) yang panjangnya dua kaki, terbuat dari pada bambu badan batangnya dan tempat apinya dari tanah. Akan tetapi ia mainkan huncwe itu secara luar biasa sekaIi. Jelas kelihatan oleh Tiang bu bahwa pemuda tampan ini mainkan senjata huncwenya seperti orang mainkan pedang dan ilmu pedangnya inilah yang hebat.
"Eh, seperti Soan-hong-kiamsut (llmu Pedang Angin Puyuh)...eh, mengapa begitu? Itu seperti Soan-lian kiamsut (Ilmu Pedang Teratai Saju)...”
Tiang Bu berkata seorang diri ketika matanya mengikuti permainan pedang yang dilakukan dengan huncwe itu. Apal agi ketika tiba- tiba ia merasa sambaran huncwe itu mendatangkan hawa dingin, ia tidak ragu lagi bahwa tentu pemuda ini mengerah tenaga dalam Ilmu Pedang Teratai Salju, semacam ilmu pedang disertai lweekang tinggi yang asalnya dari Omei-san!
"Siapa dia yang begini lihai...?”
Tiang Bu dalam hati, membuat ia ragu untuk mencampuri pertempuran itu. Akan tapi kakak beradik itupun ternyata memiliki kepandaian yang tidak rengah. Hebat sekali adalah dara jelita itu, karena ia menghadapi lawannya dengan senjata yang lebih luar biasa lagi, yaitu dua ekor ular belang di kedua tangan kanan kiri. Melihat senjata aneh di tangan dara cantik ini, Tiang Bu, melengong dan seperti dibuka matanya. Teringatlah akan peristiwa di puncak Gunung Omei-san ketika ia melihat dua orang gadis kecil bertempur, yang seorang adalah Lee Goat adiknya dan gadis kedua bukan lain adalah gadis ini. Tak salah lagi!
Dan pemuda itu... pemuda yang sekarang mempergunakan pedang den gan amat indahnya mengeroyok pemuda berhuncwe itupun bukan lain adalah pemuda yang kemudian datang melerai adiknya yang berkelahi. Akan tetapi, pendapat ini tetap saja tidak mendatangkan keyakinan di hati Tiang Bu apakah ia harus membantu mereka. Ia tidak mengenal mereka, juga tidak mengenal pemuda lihai berhuncwe itu, kalau tanpa mengetahui urusannya ia membantu sefihak, itu tidak adil sekali. Akan tetapi kalau didiamkanya saja. juga tidak betul karena ia merasa khawatir sekali akan keselamatan gadis itu.
Selagi ia ragu-ragu, terdengar pemuda berhuncwe itu tertawa, suara ketawanya sungguh-sungguh berlawanan dengan wajahnya yang tampan dan sikapnya yang halus. Suara ketawanya parau, kasar dan kurang ajar. Apalagi ucapannya yang menyusul ketawanya itu, "Ha, ha ha, menurut patut aku harus membikin mampus kalian ini, budak-budak bangsa Kin! Akan tetapi... aduh sayang sekali kau, gadis manis. Mari ikut dengan aku mengejar kebagiaan, dan aku akan mengampuni jiwa budak yang menjadi kakakmu ini.”
Kata-kata ini saja cukup bagi Tiang Bu untuk mengambil keputusan membantu gadis itu. Bukan karena ia kini tahu bahwa gadis dan kakaknya itu bangsa Kin, ia tidak mempunyai hubungan dengan bangsa Kin, akan tapi kenyataan bahwa pemuda berhuncwe itu ternyata cabul dan jahat cukup membuat ia menganggapnya bersalah.
“Setan pemadatan jangan kau menjual lagak,” bentak Tiang Bu dan begitu ia menyerbu.
Pemuda berhuncwe itu terkejut setengah mati. Tadinya ia sudah melihat datangnya pemuda sederhana ini, akan tetapi tidak memperhatikannya dan tidak memandang sebelah mata, mengira bahwa pemuda itu bukan lain adalah seorang di antara "kuli-kuli" pemuda dan gadis itu. Kiranya sekarang begitu membentak dan me nyerbu dengan tangan kosong angin dorongan tangannya menyambar hebat dan hampir saja huncwenya terlepas dari pegangan dan hampir terampas kalau saja tidak cepat-cepat melompat mundur.
Dara jelita dan pemuda itu seperti pembaca sudah dapat menduga adalah Wan Bi Li dan kakaknya, Wan Sun, melihat datangnya benturan, dapat bernapas lega. Tentu saja mereka mengenal Tiang Bu sebagai pemuda yang kemarin mengejar-ngejar Ceng Ceng, akan tetapi karena sekarang pemuda ini membantu mereka melawan si pemegang huncwe yang lihai, mereka segera bersiap untuk mangeroyok pemegang huncwe itu.
Pada saat semua barang dari dalam kuil sudah diangkut ke sebelah perahu besar yang sejak tadi berada di tepi pantai sungai dan muncullah seorang panglima gundul dari dalam perahu itu.
“Bi Li dan kongcu, mari kita berangkat!” seru panglima ini dengan suara keras. Dua orang pemuda itu biarpun ragu-ragu tak berani membantah perintah ini dan segera me reka melompat keluar dari kalangan pertempuran, membiarkan Tiang Bu seorang diri menghadapi si pemegang huncwe, terus mereka berlompatan lari ke atas perahu.
"Gadis manis tunggulah aku!” Si pemegang huncwe berseru dan tubuhnya berkelebat mengejar. Bukan main cepatnya gerakannya ini karena tahu-tahu ia sudah berada di dekat Bi Li yang melarikan diri dan begitu mulutnya ditiupkan segulung asap ungu menyambar ke arah muka Bi Li dan gadis itu terguling!
Akan tetapi, Tiang Bu yang tadinya bengong dan heran mengenai panglima gundul di perahu besar itu adalah Kwan Kok Sun atau orang gundul yang dahulu membunuh suhunya, Bu Ho k Lokai kini menjadi sadar melihat tergulingnya Bi Li. Ia berseru keras dan pemuda berhuncwe yang sudah membun gkuk untuk menyambar tubuh Bi Li, tiba-tiba terpental dan bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya. Ternyata ia telah kena didorong oleh Tiang Bu yang marah sekali.
Hebatnya, dorongan yang dilakukan dengan tenaga lweekang besar itu agaknya tidak melukai pemuda berhuncwe ini. Ia telah bangkit kembali dan telah melompat ke dekat Tiang Bu den gan muka bengong terheran, bahkan saking herannya meli hat kelihaian Tiang Bu tadi, ia sampai tidak memperhatikan dan tidak perduli lagi melihat Bi Li dipondong oleh kakaknya dan dibawa lari ke atas perahu. Kemudian perahu dengan cepat berlayar ke tengah sungai yang sedang banjir!
"Bagus, jadi kau mempunyai sedikit kepandaian? Setan belang, kau ini siapakah berani sekali mencampuri urusanku!”
Tiang Bu tersenyum, lega melihat gadis manis itu sudah pergi dengan aman. Kini ia mendapat banyak ke sempatan untuk melihat dan memperhatikan pemuda itu. Pemuda itu paling banyak berusia dua puluh satu tahun dan biarpun wajah dan gerak-geriknya serta pakai annya menandakan bahwa dia itu seorang sopan terpelajar namun sepasang matanya membuat orang berdebar ngeri.
Sepasang mata mempunyai sinar yang aneh menyambar-nyambar dan seperti bukan mata manusia. Di dalam matanya inilah letak keistimewaan dan mungkin kejahatan pemuda ini, pikir Tiang Bu, kagum melihat seorang masih begini muda sudah memiliki kepandaian tinggi. Ia amat tertarik karena tadi ia mengenal dua ilmu pedang terbayang dalam ilmu pedang yang dimainkan dengan huncwe oleh pemuda ini, dan dua ilmu pedang yang berasal dari Omei-san.
"Sobat, ilmu silatmu hebat sekali. Sayang kau berlaku kurang sopan kepada seorang gadis terhormat. Setelah gadis itu pergi, perlukah kita meneruskan permusuhan? Bukankah lebih baik kita berkenalan ? Namaku Tiang Bu dan aku sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengan kau, hanya tadi aku ingin menolong nona itu...“
Akan tetapi ia melongo ketika tiba-tiba pemuda berhuncwe itu terbahak-bahak sambil memegangi perutnya dan kadang-kadang menatap wajahnya. Tiang Bu merasa seakan-akan mukanya ada coretan arang, ia menjadi gemas sekali akan tetapi diam-diam ia meraba-raba mukanya kalau kalau muka itu kotor dan kelihatan lucu membuat orang tertawa seperti tadi.
"Ha-ha ha-ha, kau...? Kau yang bernama Tiang Bu...!? Ha-ha ha ha. kok begini saja macamnya ? Lucu... lucu...!”
Pada saat itu, dari jauh terdengar suara wanita bertanya. "Twako kau tertawa-tawa gembira ada apakah?"
Mendengar pertanyaan ini, pemuda itu makin keras ketawanya dan Tiang Bu diam-diam terkejut. Suara pertanyaan itu dikeluarkan orang dari tempat jauh dengan pengerahan ilmu Coan im-jip-bit (Mengirimi Suara dari Jauh) yang cukup lihai, tanda bahwa wanita yan g bicara tadipun memiliki kepandaian tidak boleh dipandang ringan.
"Moi.moi, kalian lekas datang ke sini. Ada hal yang amat menyenangkan dan menggelikan hati. Lekas!” Pemuda berhuncwe menjawab, juga dengan pengerahan Ilmu Coan lm-jip-bit ke arah barat dari mana suara datang.
Baru saja gema suara ini lenyap, dari barat berlari datang dua orang gadis berpakaian serba merah dan ketika dua orang gadis itu datang dekat, Tiang Bu mendapat kenyataan bahwa mereka ini masih muda belia, paling banyak usia mereka sembilan belas dan delapan belas tahun, keduanya cantik-cantik dan manis-manis menggairahkan. Apalagi cara mereka berpakaian amat ketat dan ringkas, mencetak bentuk tubuh mereka yang bagaikan kembang baru mekar-mekarnya sehingga muka Tiang Bu menjadi merah padam melihat lekuk-lekuk tubuh yang kencang menantang dan dicetak oleh pakaian tipis, padahal biasanya disembunyikan rapat-rapat oleh setiap orang gadis sopan.
Gadis pertama yang mempunyai tahi lalat merah kecil di dagunya berusia paling banyak sembilan belas tahun, matanya galak kejam akan tetapi bibirnya yang indah bentuknya itu tersenyum manis sekali. Gadis kedua yang lebih muda sedikit amat menarik karena memiliki sepasang mata yang bening dan indah bentuknya, bergerak-gerak dengan amat genit, kerlingnya tajam menyambar-nyambar dari ujung mata.
"Apa yang menyenangkan hati twako tanya gadis bertahi lalat sambil memandang kearah Tiang Bu. "Apakah pemuda seperti ini kau bilang menyenangkan?"
"Biarpun tidak menyenangkan, memang betul dia menggelikan," kata gadis ke dua dan kerlingnya menyambar ke arah muka Tiang Bu yang menjadi makin merah, semerah warna pakaian dua orang dara lincah ini. "Enci Lin, kau lihat, matanya lapar betul."
Memang sepasang mata Tiang Bu menyapu mereka berdua dan nampaknya "lapar" sekali, padahal pemuda ini memperhatikan mereka karena amat tertarik melihat keadaan mereka ini seperti yang digambarkan oleh Ceng Ceng! Tahi lalat di dagu itu! Dan sikap dua orang gadis ini, tak salah lagi inilah dua orang gadis she Liok yang telah merampas kitab Omei-san dari tangan Ceng Ceng. Sebelum ia sempat menegur atau bertanya, pemuda yang memegang huncwe itu sudah berkata,
“Kalian tidak tahu, beliau ini bukan orang lain, akan tetapi inilah dia yang be rnama Tiang Bu!"
Disebutnya nama ini benar-benar mendatangkan perubuhan besar pada dua orang dara manis itu. Lenyap muka yang tadinya geli mentertawakan itu, terganti oleh perasaan heran, kagum, dan bahkan... mencari-cari muka.
"Memang namaku Tiang Bu apakah anehnya dengan itu? Kalian ini siapa?”
Pemuda berhuncwe itu membusungkan dada, berdiri dengan sikap menantang di depan Tiang Bu, lalu menjawab dengau suaranya yang kasar dan serak,
“Mau tahu namaku? Aku... Cui Kong namaku tidah kalah baiknya dengan namamu, juga aku lebih tampan. Adapun tentang kepandaian, aku tidak kalah kalau belum mencoba. Sambut ini!”
Begitu kata-kata ini dike luarkan huncwe itu meluncur cepat menusuk tenggorokan Tiang Bu, disusul oleh tangan kiri yang masuk ke perut dengan telapak miring seperti pedang membacok. Inilah serangan maut yang luar biasa lihai dan berbahayanya.
"Bagus!” seru Tiang Bu yang cepat sekali reaksinya menghadapi serangan dahsyat yang dilancarkan secara tiba-tiba ini. Ia maklum bahwa pemuda di depannya ini tidak main-main dan menyerangnya dengan mati-matian, begitu pula bahwa pemuda yang mengaku bernama Cui Kong ini memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada kepandaian Ceng Ceng, bahkan lebih tinggi dari pada kepandaian Bi Li dan kakaknya. Cepat ia mengerahkan ginkangnya, berkelebat mengelak tusukan huncwe ke tenggorokan sedangkan tangan kiri lawan yang “membacok" perutnya itu ia sambut dengan tangan kanan untuk dicengkeram.
Akan tetapi Cui Kong ternyata cerdik dan gesit sekali. Rupanya pemuda tampan inipun sudah dapat menduga akan ke lihaian Tiang Bu dan karenanya merasa jerih untuk mangadu tangan. Cepat ia menarik kembali tangan kirinya yang seperti seekor ular tahu-tahu telah menyusup ke dalam saku bajunya dan keluar lagi, kemudian dibarengi bentakan aneh, dari mulut pemuda itu menyambar asap ungu dan dari tangan kirinya menyambar jarum-jarum hitam, sedangkan huncwenya meluncur lagi ke arah ulu hati Tiang Bu. Sekaligus tiga macam serangan yang dapat merenggut nyawa telah mengurung Tiang Bu.
“Ganas dan keji...!" seru Tiang Bu kaget. Ia cepat melompat sambil mengumpulkan sinkangnya menggerakkan tangan berulang-ulang untuk memukul runtuh jarum-jarum hitam yang menyambar ke arahnya itu dengan hawa pukulannya, sedangkan dengan tenaga khikang yang mengagumkan, ia meniup arah asap ungu itu sehingga buyar dan terbang terbawa angin.
“Hebat...!" demikian dua orang gadis menonton pertempuran itu memuji kepandaian Tiang Bu. Juga Cui Kong diam-diam merasa kagum dan kaget sekali melihat cara Tiang Bu menghadapi semua serangan dengan demikian aneh dan mudah. Namun masih merasa penasaran dan dengan marah kembali menyerang dengan empat cara, yaitu dengan huncwe, dengan asap ungu, dengan jarum-jarum hitam atau dengan tangan kirinya.
Setiap gerakan dalam serangan ini merupak tangan maut menjangkau ke arah nyawa Tiang Bu, karena serangan huncwe selalu ditujukan kepada bagian tubuh yang berbahaya, sedangkan asap ungu dan jarum hitam itu semuanya mengandung racun yang amat jahat, juga pukulan-pukulan tangan kiri selalu mengarah jalan darah kematian. Menghadapi serangan-serangan lawan yang amat gan as ini, Tiang Bu marah sekali. Akan tetapi dia tidak sekeji Cui Kong dan tidak mau dia menewaskan orang tanpa sebab.
Kalau Tiang Bu menghendaki, dengan ilmunya yang jauh masih berada diatas tingkat Cui Kong kiranya mudah saja ia mengeluarkan serangan maut sebagai balasan yang takkan mungkin dapat dihindari oleh lawannya. Akan tetapi Tiang Bu tidak berniat membunuh orang. Ia hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian pemuda ini dan ingin mengalahkannya tanpa membunuh atau melukai berat. Inilah yang sukar karena pemuda inipun bukan orang lemah dan memiliki kepandaian tinggi sekali, maka mengalahkan dia tanpa melukai berat atau membunuh, hanya mudah dibicarakan akan tetapi pelaksanaannya sukar sekali.
"Aha, kau benar lihai, dan hatimu lemah sekali. Ha ha ha!” berteriak-teriak Cui Kong memuji dibarengi ejekan-ejekan yang memanaskan hati. “Lihat, alangkah manisnya Cui Lin dan Cui Kim itu, alangkah bagusnya bentuk badannya. Eh, Tiang Bu, kalau kau bisa menangkan aku, akan kuberikan mereka kepadamu untuk menyenangkan hatimu!”
Tiang Bu marah sekali dan berusaha sekerasn ya untuk merobohkan lawan yang lihai tangan lihai mulut ini. Seratus lima puluh jurus sudah lewat dan selama itu Tiang Bu tetap menghadapinya dengan tangan kosong. Makin lama Tiang Bu makin terkejut oleh karena ilmu silat dari pemuda di depannya itu selain lihai sekali juga banyak macamnya dan diantaranya terdapat ilmu pedang yang sifat nya tak salah lagi bersumber pada ilmu-ilmu Omei-san.
Di lain pihak, biarpun mulutnya mengomel namun Cui Kong diam-diam merasa panas bukan main. Belum pernah selama hidupnya menghadapi lawan sehebat ini yang melayani huncwe dan senjata-senjata rahasianya hanya dengan dua tangan kosong untuk selama seratus lima puluh jutus, sedikitpun tak pernah terdesak bahkan mendesaknya dengan hebat. Saking gemas dan penasaran, ia melompat mundur dan melakukan pelanggaran apa yang dilarang oleh ayahnya, yaitu melakukan pukulan dahsyat ajaran ayahnya. Pukulan Tin-san-kang (Pukulan Mendorong Gunung). Tubuhnya agak merendah setengah berjongkok selagi Tiang Bu mengejar maju, Cui Kong dorong dengan kedua tangan kosong ke depan mulutnya membentak, “Roboh...!"
Hebat tekali pukulan Tin-san-kang ini. Pukulan ini asalnya ciptaan seorang tosu kenamaan, ketua lm-yang bu-pai dan bernama Giok Seng Cu. Tosu rambut panjang ini adalah murid Pak Hong Siansu. Oleh Giok Seng Cu ilmu ini diturunkan kepada Liok Kong Ji dan dari Liok Kong Ji menurun kepada Cui Kong. Dalam menggunakan ilmu ini, ternyata Cui Kong tidak kalah lihainya oleh Liok Kong Ji.
Tiang Bu merasa seperti terbawa tiupan angin keras, dan ia tidak kuasa menahan lagi. Biarpun ia sudah mengerahkan tenaga sehingga pukulan ini sama sekali tidat dapat melukainya, namun dorongan hawa pukulan dahsyat ini membuatnya terlempar ke belakang dan roboh terlentang!
Saking kaget dan kagumnya ia tidak cepat-cepat berdiri dan ini dipergunakan oleh Cui Kong yang berwatak licik. Melihat betapa Tiang Bu hanya roboh saja dan pada mukanya tidak terlihat tanda kesakitan melainkan keheranan, Cui Kong masih belum puas akan kemenangannya, cepat ia melompat mendekati dan kini dari jarak dekat ia melancarkan pukulan Tin-san-kang pada perut Tiang Bu. Pukulan maut!
Kali ini Tiang Bu tidak mau mengalah lagi karena menghadapi bahaya sebesar itu, mengalah berarti mati. Dengan tubuh masih telentang di atas tanah, ia menggerakkan kedua tangannya dipukulkan ke atas, ke arah dua tangan Cui Kong yang menghantamnya. Biarpun tidak kelihatan dua pasang tangan bertemu, namun pertemuan dua tenaga raksasa ditengah udara itu akibatnya hebat sekali. Tubuh Tiang Bu yang terlentang itu melesak ke dalam tan ah sampai sejengkal lebih, sedangkan tubuh Cui Kong bagaikan tertendang dari bawah, terpental ke atas kemudian roboh lemas dan muntah-muntah darah!
"Saudaraku Tiang Bu, aku mengaku kalah... kau patut menjadi putera sejati dari ayah...” kata Cui Kong dan dua orang gadis itu maju dan merangkul pundak Tiang Bu.
“Koko, kau benar-benar lihai sekali…” kata Cui Lin sambil meremas remas tangan Tiang Bu.
"Koko, kau nanti harus ajarkan pukulan hebat itu kepada adikmu ini, biar upah. kuberi dulu..." kata Cui Kin dan cepat meraih kepala Tiang Bu untuk ditarik dan diciumnya pipi pemuda itu dengan bibir dan hidungnya.
Hal ini sama sekali di luar dugaan Tiang Bu. Karuan saja ia menjadi gelagapan hampir saja ia mendorong dua orang gadis itu kalau saja tidak terjadi hal yang aneh di dalam dirinya. Entah mengapa, begitu dua orang gadis itu merangkulnya dan bersikap manja dan manis, begitu kulit lengan yang halus putih bersentuhan dengan kulit leher dan lengannya, begitu keharuman bunga-bunga yang keluar dari pakaian mereka menyentuh hidungnya, tiba-tiba saja Tiang Bu menjadi panas seluruh tubuhnya.
Dadanya berdebar tidak karuan, kepalanya seperti berdenyut-denyut, pandang matanya berkunang dan pikirannya menjadi tidak karuan. Tiba-tiba saja timbul sesuatu yang mendorongnya untuk merasa senang, merasa gembira bersentuh kulit dengan dua orang gadis ini, bahkan membuatnya ingin membalas dan menyambut tangan dan belaian mereka. Pendeknya dalam waktu singkat dan secara aneh sekali, nafsu binatang telah menguasai hati dan pikiran Tiang-Bu, sukar untuk dilawan lagi.
Sementara itu, Cui Kong sudah bangun berdiri dan menghapus darah yang melumuri bibirnya, lalu menghampiri Tiang Bu sambil menjura dan berkata, "Benar-benar siauwie takluk sekali, kepan daian Tiang Bu koko patut dikagumi dan tentu akan membanggakan hati ayah kita."
Tiang Bu agak tersadar dari pada buaian pengaruh aneh yang memabokkannya melihat kedatangan Cui Kong, akan tetapi ia menjadi terheran-heran. "Kalian ini s iapakah ? Dan apa maksud kata-kata yang ganjil itu?"
“Saudara tua Tiang Bu harap maklum bahwa aku adalah putera angkat dari ayahmu Liok Kong Ji, jadi kita masih terhitung saudara, dan mereka ini, Cui Lin dan Cui Kim adalah...”
“Kami juga saudara-saudara angkat, akan tetapi seperti telah dijanjikan oleh Cui Kong toako tadi, setelah dia kalah maka kami menjadi..." setelah berkata demikian, dengan stkap genit sekali Cui Lin menggandeng tangan kanan Tiang Bu sedangkan tangan kiri pemuda itu digandeng oleh Cui Kim! Adapun Cut Kong memandang dengan tersenyum girang, lalu katanya.
"Tiang Bu koko, mari silakan mengaso di tempat di mana kita dapat bercakap-cakap dengan senang."
"Kita bukan saudara..." bantah Tiang Bu lemah karena hatinya makin tidak karuan ketika dua tangannya digandeng dan dibelai oleh dua orang dara cantik itu, "Aku... aku bukan anak Liok Kong Ji…”
Akan tetapi sambil tertawa-tawa Cui Kim berkata, "Aah, koko jangan kau main-main..." dicubitnya lengan pemuda itu dan ditarik-tariknya maju.
Sambil tertawa-tawa dua orang gadis itu membetot Tiang Bu yang terpaksa berjalan bersama mereka, sungguhpun mukanya masih memperlihatkan keraguan Cui Kong di sepanjang jalan terus menerus "bernyanyi” memuji kegagahan, kelihaian Tiang Bu. Bahkan kini dua orang gadis itu mulai memuji-muji ketampanan Tiang Bu, pada hal tadi mereka mencela. Anehnya.
Tiang Bu yang biasanya berwatak gagah dan bersemangat, kini seakan-akan pikirannya diselubungi sesuatu yang membuat daya pikirannya tumpul, membuat ia seperti kehilangan semangat dan seluruh tubuhnya dikuasai oleh nafsu, kotor. Tentu saja ia tidak menyangka sama sekali bahwa hal ini adalah akibat pengeruh katak ajaib yang ada di dalam saku bajunya!
Katak hijau itu memang betul semacam katak yang beracun aneh, seperti yang pernah dikatakan oleh Pek-thouw tiauw-ong Lie Kong bahwa katak hijau itu adalah katak pembangkit asmara. Racun yang keluar dari tubuh katak itu menjalar kepada orang yang membawanya dan mendatangkan pengaruh yan g luar biasa kuatnya sehingga orang yang membawanya akan diserang nafsu berahi yang tidak sewajarnya, membuat orang itu gelap mata dan kehilangan semangatnya.
Kalau si pembawa tidak bersentuhan kulit dengan wanita, maka pengaruh katak itu tidak terasa. Akan tetapi sekali orang bersentuhan kulit dengan seorang wanita, ia akan terpenguruh hebat sekali, apa lagi jika yang terpengaruh itu orang yang memang pada dasarnya mempunyai watak romantis. Adapun Tiang Bu, sebagai putera Liok Kong Ji yang aseli, ternyata sedikit banyak ada “darah” ayahnya mengalir di tubuhnya yang membawa watak "gila perempuan' dari ayahnya itu kepadanya. Oleh sebab inilah maka mudah sekali dihinggapi penyakit dari racun katak itu.
Bagaikan orang mabuk, Tiang Bu menurut saja digandeng dan ditarik oleh Cui Lin dan Cui Kim, seperti seekor kerbau ditarik hidungnya. Mereka menuju ke sebuah pondok kecil yang berada di sebuah hutan, belasan li dari pantai sungai tadi di mana perahu besarng membawa Bi Li dan Wan Sun menghilang. Seperti kelenteng tua yang ditinggali Bi Li dan Wan Sun tadi, pondok inipun dalamnya serba indah dan mewah, bahkan di sini terdapat tiga orang pelayan laki-laki.
Cui Kong segera memberi perintah kepada para pelayan untuk mengeluarkan hidangan arak wangi dan Tiang Bu dijamu dengan segala kehormatan. Dengan ramah-tamah Cui Kong menuangkan arak wangi dalam cawan besar penuh dan memberikan cawan itu kepada Tiang Bu.
"Tiang Bu koko, silakan menerima ucapan selamat bertemu dari siauwte dengan segelas arak"
“Aku... aku tidak biasa minum arak,” kata Tiang Bu menolak.
Akan tetapi Cui Kim merangkul lehernya dan menerima cawan arak itu lalu menempelkannya pada bibir Tiang Bu sambil berkata "Koko, apakah kau tidak suka kepada kami. Terimalah. biar ucapan selamat itu ditambahi oleh penghormatanku.”
Dihadapi bujuk rayu oleh si jelita dalam keadaan dia sedang terpengaruh oleh racun katak hijau, mana Tiang Bu dapat menolaknya? Sambil tersenyum-senyum bingung ia akhirnya menerima juga minum arak itu. Akan tetapi begitu arak itu mrmasuki mulutnya, hawa sinkang di dalam tubuhnya otomatis naik dan menahan arak itu sehingga tidak sampai masuk ke tenggorokan. Tiang Bu merasa sesuatu yang panas, pedas dan nenusuk-nusuk dari arak itu maka di dalam setengah sadarnya ia bercuriga. Cepat ia memutar kepala ke samping dan menyemburkan arak itu ketanah.
“Racun...!" katanya. Sebenarnya seruan itu hanya karena kagetnya saja merasa sesuatu yang amat tidak cocok di dalam mulutnya, akan tetapi tanpa disengaja ia telah mengeluarkan seruan yang amat tepat. Kalau saja Tiang Bu memperhatikan, tentu ia melihat betapa wajah Cui Kong dan dua orang gadis itu menjadi pucat. Bahkan Cui Kong sudah menarik huncwenya, bersiap kalau-kalau Tiang Bu akan menyerang. Akan tetapi karena melihat Tiang Bu tidak menyerangnya, Cui Kong lalu menyambar cawan arak di tangan Tiang Bu yang masih ada sisa araknya.
"Kurang ajar, kau berani mencoba meracuni kakakku?" bentaknya kepada pelayan yang tadi mengeluarkan hidangan.
“Tidak... siauwya... bukankah siuwya menyuruh hamba...”
Kata-kata pelayan yang menjadi ketakutan itu dipotong cepat oleh Cui Kong. “Aku menyuruhmu mengeluarkan arak terbaik dan yang paling wangi, akan tetapi apa yang kauhidangkan? Arak obat luka, arak yang mengandung racun. Hayo kau minum ini!” Ia mengulurksn tangan memberikan cawan itu, akan tetapi pelayan itu dengan muka pucat dan tubuh gemetar mundur tidak mau menerimanya.
"Tidak... tidak... ampun siauwya…”
Akan tetapi sebuah totokan dengan ujung huncwe membuat pelayan itu berdiri kaku dengan mulut ternganga, kemudian sekali menggerakkan cawan, isi cawan itu tertuang ke dalam mulut terus memasuki perut si pelayan yang bernasib malang. Setelah itu Cui Kong menotok pula jalan darah pelayan itu membebaskannya. Akan tetapi racun sudah bekerja dan seketika itu juga pelayan itu terjungkal, berkelojotan dan... mati.
“Akh, mengapa dia dibunuh?” Tiang Bu mencela, kaget dan ngeri.
"Dia tentu pesuruh musuh-musuhmu, twako. Dia itu pelayan yang baru saja tiga hari bekerja pada kami. Kalau tidak dibunuh, dia bisa berbahaya," jawab Cui Kong yang segera menyuruh dua orang pelayan lain untuk mcngurus mayat pelayan sial itu. Kemudian ia mengundurkan diri dan mempersilakan Tiang Bu bersenang-senang dengan dua orang gadis itu.
Tiang Bu benar-benar seperti orang lemah. Tak kuasa ia mengusir pengaruh racun katak pembangkit asmara itu dan akibatnya membawa ia seperti buta, tidak dapat ia menolak cumbu rayu kedua orang gadis yang sikapnya amat manis, mesra dan penuh cinta kasih kepadanya. Tiang Bu menjadi lupa akan segala ilmu batin yang pernah dipelajarinya, ia tidak berdaya dan menurut saja dirinya dibawa dan diseret ke jurang kehinaan oleh dua orang gadis yang biarpun pada lahirnya cantik-cantik, namun di lubuk hatinya sebetulnya adalah siluman-siluman bermuka manusia ini.
Pada keesokan harinya, seperti orang yang baru sadar dari maboknya, Tiang Bu mendapatkan dirinya terlentang di atas pembaring, di dalam kamar yang indah dan harum. Ia tak melihat Cui Lin dan Cui Kim dan tubuhnya terasa kaku dan sakit-sakit ketika ia hendak bangun. Pada saat itu, perasaannya yang sudah terlatih, juga berkat sinkangnya yang tinggi. ia tahu akan adanya senjata-senjata rahasia yang menyambar. Cepat sekali reaksinya dan di lain saat ia telah menggelundungkan tubuh ke bawah ranjang dan cepat melompat berdiri pada saat ujung huncwe di tangan Cui Kong menusuk ke arah matanya.
Tiang Bu kaget bukan main. Serangan ini luar biasa cepatnya dan pula sedang dalam keadaan limbung. pikirann ya masih belum sadar benar, baiknya ilmu silat yang dilatih be rtahun tahun oleh Tiang Bu adalah ilmu silat tinggi yang jarang bandingannya di dunia. Kedua kakinya secara otomatis sudah bergerak menurutkan Ilmu Kelit Sam-hoan-sam-bu. Kedua kaki ini ketika bergerak dalam Ilmu Kelit Sam-hoan-sam-bu, seakan-akan dua ekor ular saja lemasnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah melejit ke samping dan bebaslah ia dari tusukan yang mengarah matanya.
Sebelum ia dapat mengatur kembali posisinya. Cui Kong telah menerjangnya lagi dengan ilmu silatnya yang cepat dan lihai, dengan serangan-serangan bertubi-tubi yang amat ganas dan dahsyat. Kamar itu cukup lebar, tetapi karena di situ terdapat meja kursi, sukar juga bagi Tiang Bu untuk menghindar diri dari serangan-serangan yang bertubi-tubi dan amat lihai itu, sehingga dua kali ia terkena juga tusukan ujung bambu huncwe, sekali pada pahanya, dan kedua kalinya pada pundaknya.
Baiknya tubuh pemuda ini sudah luar biasa kuatnya, kebal dan tidak mudah terluka sehiogga tusukan-tusukan yang demikian cepat dan kerasnya itu hanya merobek pakaian dan sedikit daging di bawah kulit saja, sama sekali tidak men datangkan luka yang membayakan.
Marahlah Tiang Bu. Tadinya ia belum membalas karena tidak tahu apa sebabnya ia diserang mati-matian oleh pemuda yang mengaku sebagai saudararya itu. Akan tetapi, luka-luka di pundak dan pahanya membuat ia maklum bahwa tanpa perlawanan, ia akan menghadapi malapetiaka. Sambil berseru keras yang merupakan bentakan dahsyat, Tiang Bu mementang kedua tangannya dan sepuluh jari tangannya didorongkan ke depan. Inilah pukulan dahsyat sekali dari Ilmu Pukulan Pek-lo (Jari-jari Geledek).
. Masih baik bagi Cui Kong bahwa Tiang Bu tidak bermaksud membunuhnya maka pukulan dahsyat ini ditujukan ke bawah. Cui Kong menjerit keras dan terlempar keluar kamar, kedua tulang pahanya remuk. Tiang Bu hendak melompat keluar pula, tetapi tiba-tiba Cui Lin dan Cui Kim lari masuk dan memeluknya.
"Koko yang baik, jangan bunuh dia…” Cui Lin me mbujuk sedangkan Cui Kim memeluknya erat-erat. Begitu dua orang gadis itu berada di dekatnya, lemaslah seluruh tubuh Tiang Bu, lenyap kemarahannya.
“Akan tetapi... kenapa dia... hendak membunuhku?” tanyanya, keningnya berkarut matanya bersinar penasaran.
“Duduklah... biar kuterangkan kepadamu..." kata Cui Lin dan bersama adiknya ia menyeret Tiang Bu untuk duduk di atas ranjang.
"Sesungguhnya, terus terang saja, dia mempunyai hati kepadaku, akan tetapi aku tidak membalas cintanya dan... dan cinta padamu. Ini agaknya membuat iri dan cemburu dan tanpa tanya lagi dia menyerangmu. Akan tetapi dia sudah mendapat bagiannya dan tentu kapok. Biar dia pergi dari sini, jangan kita perdulikan dia."
"Koko, kau... kau gagah perkasa hebat...!" Cui Kim memuji dan nampak bangga sekali.
Untuk kedua kalinya Tiang Bu roboh. Racun katak sudah menjalar memasuki darahya membuat ia lupa daratan dan tidak tahu bahwa dua orang wanita cantik ini mengatur siasat untuk mencelakakannya. Namun, Cui Kim dan Cui Lin agaknya jerih menghadapi kelihaian ilmu silat Tiang Bu, sehingga sampai sebulan lebih mereka mengajak Tiang Bu bersenang-senang di tempat itu. Segala keperluan disediakan oleh dua orang pelayan itu dan anehnya, di tempat sesunyi itu apa saja yang dikehendaki mereka akan tersedia, makanan-makanan yang mahal atau minuman-minuman yang lezat.
Dalam maboknya, hal inipun tidak menarik perhatian Tiang Bu, apalagi menimbulkan kecurigaannya. Di luar pengetahuannya, makin lama tubuh Tiang Bu makin lemas. Racun katak itu memang hebat. Kalau yang dirangsang tidak melayaninya, racun itu takkan ada gunanya dan akan mati sendiri. Sebaliknya, apabila orang yang dirangsang menuruti dorongan nafsu yang timbul dari rangsangan racun ini, racun itu akan bekerja makin hebat, mengeram dalam jalan-jalan darah dan menyerang jantung.
Kalau bukan Tiang Bu, dalam waktu dua pekan saja orang yang menuruti nafsu akibat rangsangan racun ini akan kehabisan semua tenaganya dan darahnya akan keracunan sedemikian hebat yang akan merenggut nyawa. Baiknya Tiang Bu memang memiliki sinkang luar biasa, juga ia pernah mempelajari kitab Seng-thian-to dan melatih semacam yoga yang tertinggi, maka pengaruh racun itu dalam waktu sebulan lebih hanya membuat ia lemas saja dan tenaga sinkangnya banyak yang lolos keluar!
Empat puluh hari sudah lamanya Tiang Bu dipermainkan oleh kakak beradik Cui Lin dan Cui Kim dan masih tetap saja dua orang gadis ini jerih dan tidak berani sembarangan turun tangan terhadap Tiang Bu. Pada suatu pagi, Tiang Bu yang makin lemas tubuhnya dan masih belum bangun dari tidurnya, akan tetapi dua orang wanita itu sudah berhias dan se dang mengatur hidangan pagi di atas meja. Tiba-tiba terdengar suara.
"kok kok kok kok!" yang nyaring. Cui Lin dan Cui Kim sampai tersentak mendengar suara ini di dalam kamar. Mereka melihat Tiang Bu masih tidur dan ketika mereka mercari-cari, terlihatlah kotak hitam berukir di bawah bantal Tiang Bu. Dengan hati-hati Cui Kim mengamhil kotak ini dan kembali terdengar suara nyaring seperti tadi. Cui Kim membuka perlahan tutupnya dan… seekor katak hijau melompat keluar, terus ia menyerbu ke atas meja dan... makan makanan buah yang berada di situ. Agaknya katak ini paling doyan manisan atau makanan yang manis-manis maka tadi ketika mencium bau manis-manis yang baru dihidangkan pagi ini, ia memberontak dan berbunyi di dalam kotaknya. Katak aneh itu memang luar biasa biarpun tidak diberi makan sampai berbulan-bulan ia tidak apa-apa.
"Aneh sekali!" kata Cui Kim. "Untuk apakah dia menyimpan seekor katak?"
"Hush, jangan keras keras. Kukira katak ini semacam katak ajaib yang besar kasiatnya. Biar kupegang dia," Cepat sekali tangan Cui Lin menyambar, namun sekali menggerakkan pinggul saja katak itu sudah dapat mengelak. Tiga kali Cui Lin menubruk, selalu katak itu dapat mengelak di atas meja, mengelilingi piring berisi manisan itu.
"Pancing dengan manisan." kata Cui Kim yang segera mengambil semua manisan, disukkan ke dalam kotak. Benar saja, katak segera melompat dan sekali melompat tahu-tahu ia telah berada di dalam kotak. Demikian cepat lompatannya. Cui Kim cepat menutup kotak itu dan memasukkannya ke dalam sakunya.
Suara ribut-ribut ini membuat Tiang Bu bangun dari tidurnya. Dengan lemah dan ogah-ogahan ia membuka mata lalu bangkit duduk, memutar pinggang ke kanan kiri lalu bersila untuk bersamalhi seperti yang ia lakukan tiap malam dan pagi. Begitu panca indranya terkumpul dan pernapasannya jalan dengan sempurna, mendadak ia merasa sesuatu yaig aneh sekali.
Ia tidak rindu dan mencari-cari Cui Lin dan Cui Kim seperti biasa ia rasakan setiap saat kalau ia tidak tidur dan semangatnya perlahan-lahan datang kembali. Tiba-tiba saja pikirannya seperti dibuka dari selubungan tirai hitam gelap, membuat ia teringat segala kehinaan yang ia lakukan selama puluhan hari ini. Dan ia tiba-tiba menjadi malu dan terkejut sekali.
Cepat ia membuka matanya dan melihat dua orang wanita cantik itu tengah memandangnya sambil tersenyum-senyum. Senyum mereka yang biasanya mendatangkan rasa nikmat pada perasaan Tiang Bu, kini merupakan ejekan yang menikam kalbu, seperti mentertawakan kelemahan dan kedunguannya. Tak tertahan lagi Tiang Bu menutupi mukanya dengan kedua tangan untuk mengusir bayang wajah dua orang suhunya yang seakan-akan memandangnya dengan bengis. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya keras-keras untuk mengusir kata kata Tiong Sin Hwesio yang bergema di telinganya pada saat ia “sadar" itu.
"Tiang Bu muridku, syarat untuk menjadi seorang gagah adalah sama dengan syarat untuk me njadi seorang kuncu (budiman), karena seorang gagah itulah seorang budiman dan demikian sebaliknya. Kalau kau dapat mengalahkan seratus orang musuh, itu masih belum gagah. Sebaliknya kalau kau dapat mengalahkan iblis yang selalu datang dan hendak menguasai hati dan pikiran setiap orang, dapat mengalahkan iblis yang mengeram dalam dirimu sendiri, barulah kau patut mengaku sebagai murid Omei-san!
Hati-hati bahwa iblis menguasai batinmu adalah kalau kau menghindari menyakiti hati, atau mencelakai lain orang yang tidak berdosa hanya untuk memuaskan nafsu dan benci, kau merugikan lain orang hanya untuk kepentingan dan keuntunganmu sendiri, kalau kau melakukan perbuatan hina dan kotor untuk memuaskan nafsu, terutama sekali kalau kau berjina...”
Kata-kata ini semua berdengung di telinga Tiang Bu dan akhirnya tak dapat tertahan lagi Tiang Bu menangis. “Ampun suhu... ampunkan teecu…” katanya, masih menutup muka dan air matanya jatuh berderai.
"Melakukan perbuatan salah itu sebuah kesesatan, akan tetapi tidak menghentikan perbuatan yang salah itu sebuah kesesatan lain yang lebih besar." suara Tiong Jin Hwesio bergema di telinganya, membuat semangat Tiang Bu bangkit dan ia menurunkan kedua tangannya, membuka matanya yang menjadi merah dan basah.
“Koko, kau kenapakah?" kata Cui Lin.
“Agaknya kau mimpi buruk..." kata Cui Kim sambil tertawa dan bersama encinya ia maju menghampiri Tiang Bu.
Akan tetapi Tiang Bu mengebutkan selimut kearah mereka. "Pergi kalian!" bentaknya keras. Selimut itu menyambar ke arah dua gadis ini yang tidak mampu mengelak. Akan te tapi sambaran selimut itu hanya mendatangkan rasa pedas sedikit pada kulit. Maklumlah dua orang gadis ini bahwa Tiang Bu telah kehilangan banyak tenaganya sehingga pukulannya tidak berbahaya lagi.
“Twako... bantu kami...!” tiba-tiba Cui Lin berteriak sambil mencabut pedang diturut oleh Cui Kim. Mereka serentak nyerang Tiang Bu!
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Tiang Bu atas serangan yang sama sekali tak pernah disangkanya ini. Ia melompat dari atas perbaringan sambil mengelak dan dengan kecewa ia mendapat kenyataan betapa gerakannya tidak begitu gesit lagi. Namun berkat ilmunya yang tinggi, masih dapat ia menghindar sambaran-sambaran pedang dua orang kakak beradik yang malam tadi masih menjadi kekasih-kekasihnya yang kelihatannya mencintainya.
"Kerbau itu sudah cukup gemuk untuk disembelih?” Terdengar suara orang dan muncullah Cui Kong dengan huncwenya di tangan...
Yang hebat, ia mainkan senjata yang luar biasa sekali, yaitu sebatang huncwe (pipa tembakau) yang panjangnya dua kaki, terbuat dari pada bambu badan batangnya dan tempat apinya dari tanah. Akan tetapi ia mainkan huncwe itu secara luar biasa sekaIi. Jelas kelihatan oleh Tiang bu bahwa pemuda tampan ini mainkan senjata huncwenya seperti orang mainkan pedang dan ilmu pedangnya inilah yang hebat.
"Eh, seperti Soan-hong-kiamsut (llmu Pedang Angin Puyuh)...eh, mengapa begitu? Itu seperti Soan-lian kiamsut (Ilmu Pedang Teratai Saju)...”
Tiang Bu berkata seorang diri ketika matanya mengikuti permainan pedang yang dilakukan dengan huncwe itu. Apal agi ketika tiba- tiba ia merasa sambaran huncwe itu mendatangkan hawa dingin, ia tidak ragu lagi bahwa tentu pemuda ini mengerah tenaga dalam Ilmu Pedang Teratai Salju, semacam ilmu pedang disertai lweekang tinggi yang asalnya dari Omei-san!
"Siapa dia yang begini lihai...?”
Tiang Bu dalam hati, membuat ia ragu untuk mencampuri pertempuran itu. Akan tapi kakak beradik itupun ternyata memiliki kepandaian yang tidak rengah. Hebat sekali adalah dara jelita itu, karena ia menghadapi lawannya dengan senjata yang lebih luar biasa lagi, yaitu dua ekor ular belang di kedua tangan kanan kiri. Melihat senjata aneh di tangan dara cantik ini, Tiang Bu, melengong dan seperti dibuka matanya. Teringatlah akan peristiwa di puncak Gunung Omei-san ketika ia melihat dua orang gadis kecil bertempur, yang seorang adalah Lee Goat adiknya dan gadis kedua bukan lain adalah gadis ini. Tak salah lagi!
Dan pemuda itu... pemuda yang sekarang mempergunakan pedang den gan amat indahnya mengeroyok pemuda berhuncwe itupun bukan lain adalah pemuda yang kemudian datang melerai adiknya yang berkelahi. Akan tetapi, pendapat ini tetap saja tidak mendatangkan keyakinan di hati Tiang Bu apakah ia harus membantu mereka. Ia tidak mengenal mereka, juga tidak mengenal pemuda lihai berhuncwe itu, kalau tanpa mengetahui urusannya ia membantu sefihak, itu tidak adil sekali. Akan tetapi kalau didiamkanya saja. juga tidak betul karena ia merasa khawatir sekali akan keselamatan gadis itu.
Selagi ia ragu-ragu, terdengar pemuda berhuncwe itu tertawa, suara ketawanya sungguh-sungguh berlawanan dengan wajahnya yang tampan dan sikapnya yang halus. Suara ketawanya parau, kasar dan kurang ajar. Apalagi ucapannya yang menyusul ketawanya itu, "Ha, ha ha, menurut patut aku harus membikin mampus kalian ini, budak-budak bangsa Kin! Akan tetapi... aduh sayang sekali kau, gadis manis. Mari ikut dengan aku mengejar kebagiaan, dan aku akan mengampuni jiwa budak yang menjadi kakakmu ini.”
Kata-kata ini saja cukup bagi Tiang Bu untuk mengambil keputusan membantu gadis itu. Bukan karena ia kini tahu bahwa gadis dan kakaknya itu bangsa Kin, ia tidak mempunyai hubungan dengan bangsa Kin, akan tapi kenyataan bahwa pemuda berhuncwe itu ternyata cabul dan jahat cukup membuat ia menganggapnya bersalah.
“Setan pemadatan jangan kau menjual lagak,” bentak Tiang Bu dan begitu ia menyerbu.
Pemuda berhuncwe itu terkejut setengah mati. Tadinya ia sudah melihat datangnya pemuda sederhana ini, akan tetapi tidak memperhatikannya dan tidak memandang sebelah mata, mengira bahwa pemuda itu bukan lain adalah seorang di antara "kuli-kuli" pemuda dan gadis itu. Kiranya sekarang begitu membentak dan me nyerbu dengan tangan kosong angin dorongan tangannya menyambar hebat dan hampir saja huncwenya terlepas dari pegangan dan hampir terampas kalau saja tidak cepat-cepat melompat mundur.
Dara jelita dan pemuda itu seperti pembaca sudah dapat menduga adalah Wan Bi Li dan kakaknya, Wan Sun, melihat datangnya benturan, dapat bernapas lega. Tentu saja mereka mengenal Tiang Bu sebagai pemuda yang kemarin mengejar-ngejar Ceng Ceng, akan tetapi karena sekarang pemuda ini membantu mereka melawan si pemegang huncwe yang lihai, mereka segera bersiap untuk mangeroyok pemegang huncwe itu.
Pada saat semua barang dari dalam kuil sudah diangkut ke sebelah perahu besar yang sejak tadi berada di tepi pantai sungai dan muncullah seorang panglima gundul dari dalam perahu itu.
“Bi Li dan kongcu, mari kita berangkat!” seru panglima ini dengan suara keras. Dua orang pemuda itu biarpun ragu-ragu tak berani membantah perintah ini dan segera me reka melompat keluar dari kalangan pertempuran, membiarkan Tiang Bu seorang diri menghadapi si pemegang huncwe, terus mereka berlompatan lari ke atas perahu.
"Gadis manis tunggulah aku!” Si pemegang huncwe berseru dan tubuhnya berkelebat mengejar. Bukan main cepatnya gerakannya ini karena tahu-tahu ia sudah berada di dekat Bi Li yang melarikan diri dan begitu mulutnya ditiupkan segulung asap ungu menyambar ke arah muka Bi Li dan gadis itu terguling!
Akan tetapi, Tiang Bu yang tadinya bengong dan heran mengenai panglima gundul di perahu besar itu adalah Kwan Kok Sun atau orang gundul yang dahulu membunuh suhunya, Bu Ho k Lokai kini menjadi sadar melihat tergulingnya Bi Li. Ia berseru keras dan pemuda berhuncwe yang sudah membun gkuk untuk menyambar tubuh Bi Li, tiba-tiba terpental dan bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya. Ternyata ia telah kena didorong oleh Tiang Bu yang marah sekali.
Hebatnya, dorongan yang dilakukan dengan tenaga lweekang besar itu agaknya tidak melukai pemuda berhuncwe ini. Ia telah bangkit kembali dan telah melompat ke dekat Tiang Bu den gan muka bengong terheran, bahkan saking herannya meli hat kelihaian Tiang Bu tadi, ia sampai tidak memperhatikan dan tidak perduli lagi melihat Bi Li dipondong oleh kakaknya dan dibawa lari ke atas perahu. Kemudian perahu dengan cepat berlayar ke tengah sungai yang sedang banjir!
"Bagus, jadi kau mempunyai sedikit kepandaian? Setan belang, kau ini siapakah berani sekali mencampuri urusanku!”
Tiang Bu tersenyum, lega melihat gadis manis itu sudah pergi dengan aman. Kini ia mendapat banyak ke sempatan untuk melihat dan memperhatikan pemuda itu. Pemuda itu paling banyak berusia dua puluh satu tahun dan biarpun wajah dan gerak-geriknya serta pakai annya menandakan bahwa dia itu seorang sopan terpelajar namun sepasang matanya membuat orang berdebar ngeri.
Sepasang mata mempunyai sinar yang aneh menyambar-nyambar dan seperti bukan mata manusia. Di dalam matanya inilah letak keistimewaan dan mungkin kejahatan pemuda ini, pikir Tiang Bu, kagum melihat seorang masih begini muda sudah memiliki kepandaian tinggi. Ia amat tertarik karena tadi ia mengenal dua ilmu pedang terbayang dalam ilmu pedang yang dimainkan dengan huncwe oleh pemuda ini, dan dua ilmu pedang yang berasal dari Omei-san.
"Sobat, ilmu silatmu hebat sekali. Sayang kau berlaku kurang sopan kepada seorang gadis terhormat. Setelah gadis itu pergi, perlukah kita meneruskan permusuhan? Bukankah lebih baik kita berkenalan ? Namaku Tiang Bu dan aku sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengan kau, hanya tadi aku ingin menolong nona itu...“
Akan tetapi ia melongo ketika tiba-tiba pemuda berhuncwe itu terbahak-bahak sambil memegangi perutnya dan kadang-kadang menatap wajahnya. Tiang Bu merasa seakan-akan mukanya ada coretan arang, ia menjadi gemas sekali akan tetapi diam-diam ia meraba-raba mukanya kalau kalau muka itu kotor dan kelihatan lucu membuat orang tertawa seperti tadi.
"Ha-ha ha-ha, kau...? Kau yang bernama Tiang Bu...!? Ha-ha ha ha. kok begini saja macamnya ? Lucu... lucu...!”
Pada saat itu, dari jauh terdengar suara wanita bertanya. "Twako kau tertawa-tawa gembira ada apakah?"
Mendengar pertanyaan ini, pemuda itu makin keras ketawanya dan Tiang Bu diam-diam terkejut. Suara pertanyaan itu dikeluarkan orang dari tempat jauh dengan pengerahan ilmu Coan im-jip-bit (Mengirimi Suara dari Jauh) yang cukup lihai, tanda bahwa wanita yan g bicara tadipun memiliki kepandaian tidak boleh dipandang ringan.
"Moi.moi, kalian lekas datang ke sini. Ada hal yang amat menyenangkan dan menggelikan hati. Lekas!” Pemuda berhuncwe menjawab, juga dengan pengerahan Ilmu Coan lm-jip-bit ke arah barat dari mana suara datang.
Baru saja gema suara ini lenyap, dari barat berlari datang dua orang gadis berpakaian serba merah dan ketika dua orang gadis itu datang dekat, Tiang Bu mendapat kenyataan bahwa mereka ini masih muda belia, paling banyak usia mereka sembilan belas dan delapan belas tahun, keduanya cantik-cantik dan manis-manis menggairahkan. Apalagi cara mereka berpakaian amat ketat dan ringkas, mencetak bentuk tubuh mereka yang bagaikan kembang baru mekar-mekarnya sehingga muka Tiang Bu menjadi merah padam melihat lekuk-lekuk tubuh yang kencang menantang dan dicetak oleh pakaian tipis, padahal biasanya disembunyikan rapat-rapat oleh setiap orang gadis sopan.
Gadis pertama yang mempunyai tahi lalat merah kecil di dagunya berusia paling banyak sembilan belas tahun, matanya galak kejam akan tetapi bibirnya yang indah bentuknya itu tersenyum manis sekali. Gadis kedua yang lebih muda sedikit amat menarik karena memiliki sepasang mata yang bening dan indah bentuknya, bergerak-gerak dengan amat genit, kerlingnya tajam menyambar-nyambar dari ujung mata.
"Apa yang menyenangkan hati twako tanya gadis bertahi lalat sambil memandang kearah Tiang Bu. "Apakah pemuda seperti ini kau bilang menyenangkan?"
"Biarpun tidak menyenangkan, memang betul dia menggelikan," kata gadis ke dua dan kerlingnya menyambar ke arah muka Tiang Bu yang menjadi makin merah, semerah warna pakaian dua orang dara lincah ini. "Enci Lin, kau lihat, matanya lapar betul."
Memang sepasang mata Tiang Bu menyapu mereka berdua dan nampaknya "lapar" sekali, padahal pemuda ini memperhatikan mereka karena amat tertarik melihat keadaan mereka ini seperti yang digambarkan oleh Ceng Ceng! Tahi lalat di dagu itu! Dan sikap dua orang gadis ini, tak salah lagi inilah dua orang gadis she Liok yang telah merampas kitab Omei-san dari tangan Ceng Ceng. Sebelum ia sempat menegur atau bertanya, pemuda yang memegang huncwe itu sudah berkata,
“Kalian tidak tahu, beliau ini bukan orang lain, akan tetapi inilah dia yang be rnama Tiang Bu!"
Disebutnya nama ini benar-benar mendatangkan perubuhan besar pada dua orang dara manis itu. Lenyap muka yang tadinya geli mentertawakan itu, terganti oleh perasaan heran, kagum, dan bahkan... mencari-cari muka.
"Memang namaku Tiang Bu apakah anehnya dengan itu? Kalian ini siapa?”
Pemuda berhuncwe itu membusungkan dada, berdiri dengan sikap menantang di depan Tiang Bu, lalu menjawab dengau suaranya yang kasar dan serak,
“Mau tahu namaku? Aku... Cui Kong namaku tidah kalah baiknya dengan namamu, juga aku lebih tampan. Adapun tentang kepandaian, aku tidak kalah kalau belum mencoba. Sambut ini!”
Begitu kata-kata ini dike luarkan huncwe itu meluncur cepat menusuk tenggorokan Tiang Bu, disusul oleh tangan kiri yang masuk ke perut dengan telapak miring seperti pedang membacok. Inilah serangan maut yang luar biasa lihai dan berbahayanya.
"Bagus!” seru Tiang Bu yang cepat sekali reaksinya menghadapi serangan dahsyat yang dilancarkan secara tiba-tiba ini. Ia maklum bahwa pemuda di depannya ini tidak main-main dan menyerangnya dengan mati-matian, begitu pula bahwa pemuda yang mengaku bernama Cui Kong ini memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada kepandaian Ceng Ceng, bahkan lebih tinggi dari pada kepandaian Bi Li dan kakaknya. Cepat ia mengerahkan ginkangnya, berkelebat mengelak tusukan huncwe ke tenggorokan sedangkan tangan kiri lawan yang “membacok" perutnya itu ia sambut dengan tangan kanan untuk dicengkeram.
Akan tetapi Cui Kong ternyata cerdik dan gesit sekali. Rupanya pemuda tampan inipun sudah dapat menduga akan ke lihaian Tiang Bu dan karenanya merasa jerih untuk mangadu tangan. Cepat ia menarik kembali tangan kirinya yang seperti seekor ular tahu-tahu telah menyusup ke dalam saku bajunya dan keluar lagi, kemudian dibarengi bentakan aneh, dari mulut pemuda itu menyambar asap ungu dan dari tangan kirinya menyambar jarum-jarum hitam, sedangkan huncwenya meluncur lagi ke arah ulu hati Tiang Bu. Sekaligus tiga macam serangan yang dapat merenggut nyawa telah mengurung Tiang Bu.
“Ganas dan keji...!" seru Tiang Bu kaget. Ia cepat melompat sambil mengumpulkan sinkangnya menggerakkan tangan berulang-ulang untuk memukul runtuh jarum-jarum hitam yang menyambar ke arahnya itu dengan hawa pukulannya, sedangkan dengan tenaga khikang yang mengagumkan, ia meniup arah asap ungu itu sehingga buyar dan terbang terbawa angin.
“Hebat...!" demikian dua orang gadis menonton pertempuran itu memuji kepandaian Tiang Bu. Juga Cui Kong diam-diam merasa kagum dan kaget sekali melihat cara Tiang Bu menghadapi semua serangan dengan demikian aneh dan mudah. Namun masih merasa penasaran dan dengan marah kembali menyerang dengan empat cara, yaitu dengan huncwe, dengan asap ungu, dengan jarum-jarum hitam atau dengan tangan kirinya.
Setiap gerakan dalam serangan ini merupak tangan maut menjangkau ke arah nyawa Tiang Bu, karena serangan huncwe selalu ditujukan kepada bagian tubuh yang berbahaya, sedangkan asap ungu dan jarum hitam itu semuanya mengandung racun yang amat jahat, juga pukulan-pukulan tangan kiri selalu mengarah jalan darah kematian. Menghadapi serangan-serangan lawan yang amat gan as ini, Tiang Bu marah sekali. Akan tetapi dia tidak sekeji Cui Kong dan tidak mau dia menewaskan orang tanpa sebab.
Kalau Tiang Bu menghendaki, dengan ilmunya yang jauh masih berada diatas tingkat Cui Kong kiranya mudah saja ia mengeluarkan serangan maut sebagai balasan yang takkan mungkin dapat dihindari oleh lawannya. Akan tetapi Tiang Bu tidak berniat membunuh orang. Ia hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian pemuda ini dan ingin mengalahkannya tanpa membunuh atau melukai berat. Inilah yang sukar karena pemuda inipun bukan orang lemah dan memiliki kepandaian tinggi sekali, maka mengalahkan dia tanpa melukai berat atau membunuh, hanya mudah dibicarakan akan tetapi pelaksanaannya sukar sekali.
"Aha, kau benar lihai, dan hatimu lemah sekali. Ha ha ha!” berteriak-teriak Cui Kong memuji dibarengi ejekan-ejekan yang memanaskan hati. “Lihat, alangkah manisnya Cui Lin dan Cui Kim itu, alangkah bagusnya bentuk badannya. Eh, Tiang Bu, kalau kau bisa menangkan aku, akan kuberikan mereka kepadamu untuk menyenangkan hatimu!”
Tiang Bu marah sekali dan berusaha sekerasn ya untuk merobohkan lawan yang lihai tangan lihai mulut ini. Seratus lima puluh jurus sudah lewat dan selama itu Tiang Bu tetap menghadapinya dengan tangan kosong. Makin lama Tiang Bu makin terkejut oleh karena ilmu silat dari pemuda di depannya itu selain lihai sekali juga banyak macamnya dan diantaranya terdapat ilmu pedang yang sifat nya tak salah lagi bersumber pada ilmu-ilmu Omei-san.
Di lain pihak, biarpun mulutnya mengomel namun Cui Kong diam-diam merasa panas bukan main. Belum pernah selama hidupnya menghadapi lawan sehebat ini yang melayani huncwe dan senjata-senjata rahasianya hanya dengan dua tangan kosong untuk selama seratus lima puluh jutus, sedikitpun tak pernah terdesak bahkan mendesaknya dengan hebat. Saking gemas dan penasaran, ia melompat mundur dan melakukan pelanggaran apa yang dilarang oleh ayahnya, yaitu melakukan pukulan dahsyat ajaran ayahnya. Pukulan Tin-san-kang (Pukulan Mendorong Gunung). Tubuhnya agak merendah setengah berjongkok selagi Tiang Bu mengejar maju, Cui Kong dorong dengan kedua tangan kosong ke depan mulutnya membentak, “Roboh...!"
Hebat tekali pukulan Tin-san-kang ini. Pukulan ini asalnya ciptaan seorang tosu kenamaan, ketua lm-yang bu-pai dan bernama Giok Seng Cu. Tosu rambut panjang ini adalah murid Pak Hong Siansu. Oleh Giok Seng Cu ilmu ini diturunkan kepada Liok Kong Ji dan dari Liok Kong Ji menurun kepada Cui Kong. Dalam menggunakan ilmu ini, ternyata Cui Kong tidak kalah lihainya oleh Liok Kong Ji.
Tiang Bu merasa seperti terbawa tiupan angin keras, dan ia tidak kuasa menahan lagi. Biarpun ia sudah mengerahkan tenaga sehingga pukulan ini sama sekali tidat dapat melukainya, namun dorongan hawa pukulan dahsyat ini membuatnya terlempar ke belakang dan roboh terlentang!
Saking kaget dan kagumnya ia tidak cepat-cepat berdiri dan ini dipergunakan oleh Cui Kong yang berwatak licik. Melihat betapa Tiang Bu hanya roboh saja dan pada mukanya tidak terlihat tanda kesakitan melainkan keheranan, Cui Kong masih belum puas akan kemenangannya, cepat ia melompat mendekati dan kini dari jarak dekat ia melancarkan pukulan Tin-san-kang pada perut Tiang Bu. Pukulan maut!
Kali ini Tiang Bu tidak mau mengalah lagi karena menghadapi bahaya sebesar itu, mengalah berarti mati. Dengan tubuh masih telentang di atas tanah, ia menggerakkan kedua tangannya dipukulkan ke atas, ke arah dua tangan Cui Kong yang menghantamnya. Biarpun tidak kelihatan dua pasang tangan bertemu, namun pertemuan dua tenaga raksasa ditengah udara itu akibatnya hebat sekali. Tubuh Tiang Bu yang terlentang itu melesak ke dalam tan ah sampai sejengkal lebih, sedangkan tubuh Cui Kong bagaikan tertendang dari bawah, terpental ke atas kemudian roboh lemas dan muntah-muntah darah!
"Saudaraku Tiang Bu, aku mengaku kalah... kau patut menjadi putera sejati dari ayah...” kata Cui Kong dan dua orang gadis itu maju dan merangkul pundak Tiang Bu.
“Koko, kau benar-benar lihai sekali…” kata Cui Lin sambil meremas remas tangan Tiang Bu.
"Koko, kau nanti harus ajarkan pukulan hebat itu kepada adikmu ini, biar upah. kuberi dulu..." kata Cui Kin dan cepat meraih kepala Tiang Bu untuk ditarik dan diciumnya pipi pemuda itu dengan bibir dan hidungnya.
Hal ini sama sekali di luar dugaan Tiang Bu. Karuan saja ia menjadi gelagapan hampir saja ia mendorong dua orang gadis itu kalau saja tidak terjadi hal yang aneh di dalam dirinya. Entah mengapa, begitu dua orang gadis itu merangkulnya dan bersikap manja dan manis, begitu kulit lengan yang halus putih bersentuhan dengan kulit leher dan lengannya, begitu keharuman bunga-bunga yang keluar dari pakaian mereka menyentuh hidungnya, tiba-tiba saja Tiang Bu menjadi panas seluruh tubuhnya.
Dadanya berdebar tidak karuan, kepalanya seperti berdenyut-denyut, pandang matanya berkunang dan pikirannya menjadi tidak karuan. Tiba-tiba saja timbul sesuatu yang mendorongnya untuk merasa senang, merasa gembira bersentuh kulit dengan dua orang gadis ini, bahkan membuatnya ingin membalas dan menyambut tangan dan belaian mereka. Pendeknya dalam waktu singkat dan secara aneh sekali, nafsu binatang telah menguasai hati dan pikiran Tiang-Bu, sukar untuk dilawan lagi.
Sementara itu, Cui Kong sudah bangun berdiri dan menghapus darah yang melumuri bibirnya, lalu menghampiri Tiang Bu sambil menjura dan berkata, "Benar-benar siauwie takluk sekali, kepan daian Tiang Bu koko patut dikagumi dan tentu akan membanggakan hati ayah kita."
Tiang Bu agak tersadar dari pada buaian pengaruh aneh yang memabokkannya melihat kedatangan Cui Kong, akan tetapi ia menjadi terheran-heran. "Kalian ini s iapakah ? Dan apa maksud kata-kata yang ganjil itu?"
“Saudara tua Tiang Bu harap maklum bahwa aku adalah putera angkat dari ayahmu Liok Kong Ji, jadi kita masih terhitung saudara, dan mereka ini, Cui Lin dan Cui Kim adalah...”
“Kami juga saudara-saudara angkat, akan tetapi seperti telah dijanjikan oleh Cui Kong toako tadi, setelah dia kalah maka kami menjadi..." setelah berkata demikian, dengan stkap genit sekali Cui Lin menggandeng tangan kanan Tiang Bu sedangkan tangan kiri pemuda itu digandeng oleh Cui Kim! Adapun Cut Kong memandang dengan tersenyum girang, lalu katanya.
"Tiang Bu koko, mari silakan mengaso di tempat di mana kita dapat bercakap-cakap dengan senang."
"Kita bukan saudara..." bantah Tiang Bu lemah karena hatinya makin tidak karuan ketika dua tangannya digandeng dan dibelai oleh dua orang dara cantik itu, "Aku... aku bukan anak Liok Kong Ji…”
Akan tetapi sambil tertawa-tawa Cui Kim berkata, "Aah, koko jangan kau main-main..." dicubitnya lengan pemuda itu dan ditarik-tariknya maju.
Sambil tertawa-tawa dua orang gadis itu membetot Tiang Bu yang terpaksa berjalan bersama mereka, sungguhpun mukanya masih memperlihatkan keraguan Cui Kong di sepanjang jalan terus menerus "bernyanyi” memuji kegagahan, kelihaian Tiang Bu. Bahkan kini dua orang gadis itu mulai memuji-muji ketampanan Tiang Bu, pada hal tadi mereka mencela. Anehnya.
Tiang Bu yang biasanya berwatak gagah dan bersemangat, kini seakan-akan pikirannya diselubungi sesuatu yang membuat daya pikirannya tumpul, membuat ia seperti kehilangan semangat dan seluruh tubuhnya dikuasai oleh nafsu, kotor. Tentu saja ia tidak menyangka sama sekali bahwa hal ini adalah akibat pengeruh katak ajaib yang ada di dalam saku bajunya!
Katak hijau itu memang betul semacam katak yang beracun aneh, seperti yang pernah dikatakan oleh Pek-thouw tiauw-ong Lie Kong bahwa katak hijau itu adalah katak pembangkit asmara. Racun yang keluar dari tubuh katak itu menjalar kepada orang yang membawanya dan mendatangkan pengaruh yan g luar biasa kuatnya sehingga orang yang membawanya akan diserang nafsu berahi yang tidak sewajarnya, membuat orang itu gelap mata dan kehilangan semangatnya.
Kalau si pembawa tidak bersentuhan kulit dengan wanita, maka pengaruh katak itu tidak terasa. Akan tetapi sekali orang bersentuhan kulit dengan seorang wanita, ia akan terpenguruh hebat sekali, apa lagi jika yang terpengaruh itu orang yang memang pada dasarnya mempunyai watak romantis. Adapun Tiang Bu, sebagai putera Liok Kong Ji yang aseli, ternyata sedikit banyak ada “darah” ayahnya mengalir di tubuhnya yang membawa watak "gila perempuan' dari ayahnya itu kepadanya. Oleh sebab inilah maka mudah sekali dihinggapi penyakit dari racun katak itu.
Bagaikan orang mabuk, Tiang Bu menurut saja digandeng dan ditarik oleh Cui Lin dan Cui Kim, seperti seekor kerbau ditarik hidungnya. Mereka menuju ke sebuah pondok kecil yang berada di sebuah hutan, belasan li dari pantai sungai tadi di mana perahu besarng membawa Bi Li dan Wan Sun menghilang. Seperti kelenteng tua yang ditinggali Bi Li dan Wan Sun tadi, pondok inipun dalamnya serba indah dan mewah, bahkan di sini terdapat tiga orang pelayan laki-laki.
Cui Kong segera memberi perintah kepada para pelayan untuk mengeluarkan hidangan arak wangi dan Tiang Bu dijamu dengan segala kehormatan. Dengan ramah-tamah Cui Kong menuangkan arak wangi dalam cawan besar penuh dan memberikan cawan itu kepada Tiang Bu.
"Tiang Bu koko, silakan menerima ucapan selamat bertemu dari siauwte dengan segelas arak"
“Aku... aku tidak biasa minum arak,” kata Tiang Bu menolak.
Akan tetapi Cui Kim merangkul lehernya dan menerima cawan arak itu lalu menempelkannya pada bibir Tiang Bu sambil berkata "Koko, apakah kau tidak suka kepada kami. Terimalah. biar ucapan selamat itu ditambahi oleh penghormatanku.”
Dihadapi bujuk rayu oleh si jelita dalam keadaan dia sedang terpengaruh oleh racun katak hijau, mana Tiang Bu dapat menolaknya? Sambil tersenyum-senyum bingung ia akhirnya menerima juga minum arak itu. Akan tetapi begitu arak itu mrmasuki mulutnya, hawa sinkang di dalam tubuhnya otomatis naik dan menahan arak itu sehingga tidak sampai masuk ke tenggorokan. Tiang Bu merasa sesuatu yang panas, pedas dan nenusuk-nusuk dari arak itu maka di dalam setengah sadarnya ia bercuriga. Cepat ia memutar kepala ke samping dan menyemburkan arak itu ketanah.
“Racun...!" katanya. Sebenarnya seruan itu hanya karena kagetnya saja merasa sesuatu yang amat tidak cocok di dalam mulutnya, akan tetapi tanpa disengaja ia telah mengeluarkan seruan yang amat tepat. Kalau saja Tiang Bu memperhatikan, tentu ia melihat betapa wajah Cui Kong dan dua orang gadis itu menjadi pucat. Bahkan Cui Kong sudah menarik huncwenya, bersiap kalau-kalau Tiang Bu akan menyerang. Akan tetapi karena melihat Tiang Bu tidak menyerangnya, Cui Kong lalu menyambar cawan arak di tangan Tiang Bu yang masih ada sisa araknya.
"Kurang ajar, kau berani mencoba meracuni kakakku?" bentaknya kepada pelayan yang tadi mengeluarkan hidangan.
“Tidak... siauwya... bukankah siuwya menyuruh hamba...”
Kata-kata pelayan yang menjadi ketakutan itu dipotong cepat oleh Cui Kong. “Aku menyuruhmu mengeluarkan arak terbaik dan yang paling wangi, akan tetapi apa yang kauhidangkan? Arak obat luka, arak yang mengandung racun. Hayo kau minum ini!” Ia mengulurksn tangan memberikan cawan itu, akan tetapi pelayan itu dengan muka pucat dan tubuh gemetar mundur tidak mau menerimanya.
"Tidak... tidak... ampun siauwya…”
Akan tetapi sebuah totokan dengan ujung huncwe membuat pelayan itu berdiri kaku dengan mulut ternganga, kemudian sekali menggerakkan cawan, isi cawan itu tertuang ke dalam mulut terus memasuki perut si pelayan yang bernasib malang. Setelah itu Cui Kong menotok pula jalan darah pelayan itu membebaskannya. Akan tetapi racun sudah bekerja dan seketika itu juga pelayan itu terjungkal, berkelojotan dan... mati.
“Akh, mengapa dia dibunuh?” Tiang Bu mencela, kaget dan ngeri.
"Dia tentu pesuruh musuh-musuhmu, twako. Dia itu pelayan yang baru saja tiga hari bekerja pada kami. Kalau tidak dibunuh, dia bisa berbahaya," jawab Cui Kong yang segera menyuruh dua orang pelayan lain untuk mcngurus mayat pelayan sial itu. Kemudian ia mengundurkan diri dan mempersilakan Tiang Bu bersenang-senang dengan dua orang gadis itu.
Tiang Bu benar-benar seperti orang lemah. Tak kuasa ia mengusir pengaruh racun katak pembangkit asmara itu dan akibatnya membawa ia seperti buta, tidak dapat ia menolak cumbu rayu kedua orang gadis yang sikapnya amat manis, mesra dan penuh cinta kasih kepadanya. Tiang Bu menjadi lupa akan segala ilmu batin yang pernah dipelajarinya, ia tidak berdaya dan menurut saja dirinya dibawa dan diseret ke jurang kehinaan oleh dua orang gadis yang biarpun pada lahirnya cantik-cantik, namun di lubuk hatinya sebetulnya adalah siluman-siluman bermuka manusia ini.
Pada keesokan harinya, seperti orang yang baru sadar dari maboknya, Tiang Bu mendapatkan dirinya terlentang di atas pembaring, di dalam kamar yang indah dan harum. Ia tak melihat Cui Lin dan Cui Kim dan tubuhnya terasa kaku dan sakit-sakit ketika ia hendak bangun. Pada saat itu, perasaannya yang sudah terlatih, juga berkat sinkangnya yang tinggi. ia tahu akan adanya senjata-senjata rahasia yang menyambar. Cepat sekali reaksinya dan di lain saat ia telah menggelundungkan tubuh ke bawah ranjang dan cepat melompat berdiri pada saat ujung huncwe di tangan Cui Kong menusuk ke arah matanya.
Tiang Bu kaget bukan main. Serangan ini luar biasa cepatnya dan pula sedang dalam keadaan limbung. pikirann ya masih belum sadar benar, baiknya ilmu silat yang dilatih be rtahun tahun oleh Tiang Bu adalah ilmu silat tinggi yang jarang bandingannya di dunia. Kedua kakinya secara otomatis sudah bergerak menurutkan Ilmu Kelit Sam-hoan-sam-bu. Kedua kaki ini ketika bergerak dalam Ilmu Kelit Sam-hoan-sam-bu, seakan-akan dua ekor ular saja lemasnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah melejit ke samping dan bebaslah ia dari tusukan yang mengarah matanya.
Sebelum ia dapat mengatur kembali posisinya. Cui Kong telah menerjangnya lagi dengan ilmu silatnya yang cepat dan lihai, dengan serangan-serangan bertubi-tubi yang amat ganas dan dahsyat. Kamar itu cukup lebar, tetapi karena di situ terdapat meja kursi, sukar juga bagi Tiang Bu untuk menghindar diri dari serangan-serangan yang bertubi-tubi dan amat lihai itu, sehingga dua kali ia terkena juga tusukan ujung bambu huncwe, sekali pada pahanya, dan kedua kalinya pada pundaknya.
Baiknya tubuh pemuda ini sudah luar biasa kuatnya, kebal dan tidak mudah terluka sehiogga tusukan-tusukan yang demikian cepat dan kerasnya itu hanya merobek pakaian dan sedikit daging di bawah kulit saja, sama sekali tidak men datangkan luka yang membayakan.
Marahlah Tiang Bu. Tadinya ia belum membalas karena tidak tahu apa sebabnya ia diserang mati-matian oleh pemuda yang mengaku sebagai saudararya itu. Akan tetapi, luka-luka di pundak dan pahanya membuat ia maklum bahwa tanpa perlawanan, ia akan menghadapi malapetiaka. Sambil berseru keras yang merupakan bentakan dahsyat, Tiang Bu mementang kedua tangannya dan sepuluh jari tangannya didorongkan ke depan. Inilah pukulan dahsyat sekali dari Ilmu Pukulan Pek-lo (Jari-jari Geledek).
. Masih baik bagi Cui Kong bahwa Tiang Bu tidak bermaksud membunuhnya maka pukulan dahsyat ini ditujukan ke bawah. Cui Kong menjerit keras dan terlempar keluar kamar, kedua tulang pahanya remuk. Tiang Bu hendak melompat keluar pula, tetapi tiba-tiba Cui Lin dan Cui Kim lari masuk dan memeluknya.
"Koko yang baik, jangan bunuh dia…” Cui Lin me mbujuk sedangkan Cui Kim memeluknya erat-erat. Begitu dua orang gadis itu berada di dekatnya, lemaslah seluruh tubuh Tiang Bu, lenyap kemarahannya.
“Akan tetapi... kenapa dia... hendak membunuhku?” tanyanya, keningnya berkarut matanya bersinar penasaran.
“Duduklah... biar kuterangkan kepadamu..." kata Cui Lin dan bersama adiknya ia menyeret Tiang Bu untuk duduk di atas ranjang.
"Sesungguhnya, terus terang saja, dia mempunyai hati kepadaku, akan tetapi aku tidak membalas cintanya dan... dan cinta padamu. Ini agaknya membuat iri dan cemburu dan tanpa tanya lagi dia menyerangmu. Akan tetapi dia sudah mendapat bagiannya dan tentu kapok. Biar dia pergi dari sini, jangan kita perdulikan dia."
"Koko, kau... kau gagah perkasa hebat...!" Cui Kim memuji dan nampak bangga sekali.
Untuk kedua kalinya Tiang Bu roboh. Racun katak sudah menjalar memasuki darahya membuat ia lupa daratan dan tidak tahu bahwa dua orang wanita cantik ini mengatur siasat untuk mencelakakannya. Namun, Cui Kim dan Cui Lin agaknya jerih menghadapi kelihaian ilmu silat Tiang Bu, sehingga sampai sebulan lebih mereka mengajak Tiang Bu bersenang-senang di tempat itu. Segala keperluan disediakan oleh dua orang pelayan itu dan anehnya, di tempat sesunyi itu apa saja yang dikehendaki mereka akan tersedia, makanan-makanan yang mahal atau minuman-minuman yang lezat.
Dalam maboknya, hal inipun tidak menarik perhatian Tiang Bu, apalagi menimbulkan kecurigaannya. Di luar pengetahuannya, makin lama tubuh Tiang Bu makin lemas. Racun katak itu memang hebat. Kalau yang dirangsang tidak melayaninya, racun itu takkan ada gunanya dan akan mati sendiri. Sebaliknya, apabila orang yang dirangsang menuruti dorongan nafsu yang timbul dari rangsangan racun ini, racun itu akan bekerja makin hebat, mengeram dalam jalan-jalan darah dan menyerang jantung.
Kalau bukan Tiang Bu, dalam waktu dua pekan saja orang yang menuruti nafsu akibat rangsangan racun ini akan kehabisan semua tenaganya dan darahnya akan keracunan sedemikian hebat yang akan merenggut nyawa. Baiknya Tiang Bu memang memiliki sinkang luar biasa, juga ia pernah mempelajari kitab Seng-thian-to dan melatih semacam yoga yang tertinggi, maka pengaruh racun itu dalam waktu sebulan lebih hanya membuat ia lemas saja dan tenaga sinkangnya banyak yang lolos keluar!
Empat puluh hari sudah lamanya Tiang Bu dipermainkan oleh kakak beradik Cui Lin dan Cui Kim dan masih tetap saja dua orang gadis ini jerih dan tidak berani sembarangan turun tangan terhadap Tiang Bu. Pada suatu pagi, Tiang Bu yang makin lemas tubuhnya dan masih belum bangun dari tidurnya, akan tetapi dua orang wanita itu sudah berhias dan se dang mengatur hidangan pagi di atas meja. Tiba-tiba terdengar suara.
"kok kok kok kok!" yang nyaring. Cui Lin dan Cui Kim sampai tersentak mendengar suara ini di dalam kamar. Mereka melihat Tiang Bu masih tidur dan ketika mereka mercari-cari, terlihatlah kotak hitam berukir di bawah bantal Tiang Bu. Dengan hati-hati Cui Kim mengamhil kotak ini dan kembali terdengar suara nyaring seperti tadi. Cui Kim membuka perlahan tutupnya dan… seekor katak hijau melompat keluar, terus ia menyerbu ke atas meja dan... makan makanan buah yang berada di situ. Agaknya katak ini paling doyan manisan atau makanan yang manis-manis maka tadi ketika mencium bau manis-manis yang baru dihidangkan pagi ini, ia memberontak dan berbunyi di dalam kotaknya. Katak aneh itu memang luar biasa biarpun tidak diberi makan sampai berbulan-bulan ia tidak apa-apa.
"Aneh sekali!" kata Cui Kim. "Untuk apakah dia menyimpan seekor katak?"
"Hush, jangan keras keras. Kukira katak ini semacam katak ajaib yang besar kasiatnya. Biar kupegang dia," Cepat sekali tangan Cui Lin menyambar, namun sekali menggerakkan pinggul saja katak itu sudah dapat mengelak. Tiga kali Cui Lin menubruk, selalu katak itu dapat mengelak di atas meja, mengelilingi piring berisi manisan itu.
"Pancing dengan manisan." kata Cui Kim yang segera mengambil semua manisan, disukkan ke dalam kotak. Benar saja, katak segera melompat dan sekali melompat tahu-tahu ia telah berada di dalam kotak. Demikian cepat lompatannya. Cui Kim cepat menutup kotak itu dan memasukkannya ke dalam sakunya.
Suara ribut-ribut ini membuat Tiang Bu bangun dari tidurnya. Dengan lemah dan ogah-ogahan ia membuka mata lalu bangkit duduk, memutar pinggang ke kanan kiri lalu bersila untuk bersamalhi seperti yang ia lakukan tiap malam dan pagi. Begitu panca indranya terkumpul dan pernapasannya jalan dengan sempurna, mendadak ia merasa sesuatu yaig aneh sekali.
Ia tidak rindu dan mencari-cari Cui Lin dan Cui Kim seperti biasa ia rasakan setiap saat kalau ia tidak tidur dan semangatnya perlahan-lahan datang kembali. Tiba-tiba saja pikirannya seperti dibuka dari selubungan tirai hitam gelap, membuat ia teringat segala kehinaan yang ia lakukan selama puluhan hari ini. Dan ia tiba-tiba menjadi malu dan terkejut sekali.
Cepat ia membuka matanya dan melihat dua orang wanita cantik itu tengah memandangnya sambil tersenyum-senyum. Senyum mereka yang biasanya mendatangkan rasa nikmat pada perasaan Tiang Bu, kini merupakan ejekan yang menikam kalbu, seperti mentertawakan kelemahan dan kedunguannya. Tak tertahan lagi Tiang Bu menutupi mukanya dengan kedua tangan untuk mengusir bayang wajah dua orang suhunya yang seakan-akan memandangnya dengan bengis. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya keras-keras untuk mengusir kata kata Tiong Sin Hwesio yang bergema di telinganya pada saat ia “sadar" itu.
"Tiang Bu muridku, syarat untuk menjadi seorang gagah adalah sama dengan syarat untuk me njadi seorang kuncu (budiman), karena seorang gagah itulah seorang budiman dan demikian sebaliknya. Kalau kau dapat mengalahkan seratus orang musuh, itu masih belum gagah. Sebaliknya kalau kau dapat mengalahkan iblis yang selalu datang dan hendak menguasai hati dan pikiran setiap orang, dapat mengalahkan iblis yang mengeram dalam dirimu sendiri, barulah kau patut mengaku sebagai murid Omei-san!
Hati-hati bahwa iblis menguasai batinmu adalah kalau kau menghindari menyakiti hati, atau mencelakai lain orang yang tidak berdosa hanya untuk memuaskan nafsu dan benci, kau merugikan lain orang hanya untuk kepentingan dan keuntunganmu sendiri, kalau kau melakukan perbuatan hina dan kotor untuk memuaskan nafsu, terutama sekali kalau kau berjina...”
Kata-kata ini semua berdengung di telinga Tiang Bu dan akhirnya tak dapat tertahan lagi Tiang Bu menangis. “Ampun suhu... ampunkan teecu…” katanya, masih menutup muka dan air matanya jatuh berderai.
"Melakukan perbuatan salah itu sebuah kesesatan, akan tetapi tidak menghentikan perbuatan yang salah itu sebuah kesesatan lain yang lebih besar." suara Tiong Jin Hwesio bergema di telinganya, membuat semangat Tiang Bu bangkit dan ia menurunkan kedua tangannya, membuka matanya yang menjadi merah dan basah.
“Koko, kau kenapakah?" kata Cui Lin.
“Agaknya kau mimpi buruk..." kata Cui Kim sambil tertawa dan bersama encinya ia maju menghampiri Tiang Bu.
Akan tetapi Tiang Bu mengebutkan selimut kearah mereka. "Pergi kalian!" bentaknya keras. Selimut itu menyambar ke arah dua gadis ini yang tidak mampu mengelak. Akan te tapi sambaran selimut itu hanya mendatangkan rasa pedas sedikit pada kulit. Maklumlah dua orang gadis ini bahwa Tiang Bu telah kehilangan banyak tenaganya sehingga pukulannya tidak berbahaya lagi.
“Twako... bantu kami...!” tiba-tiba Cui Lin berteriak sambil mencabut pedang diturut oleh Cui Kim. Mereka serentak nyerang Tiang Bu!
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Tiang Bu atas serangan yang sama sekali tak pernah disangkanya ini. Ia melompat dari atas perbaringan sambil mengelak dan dengan kecewa ia mendapat kenyataan betapa gerakannya tidak begitu gesit lagi. Namun berkat ilmunya yang tinggi, masih dapat ia menghindar sambaran-sambaran pedang dua orang kakak beradik yang malam tadi masih menjadi kekasih-kekasihnya yang kelihatannya mencintainya.
"Kerbau itu sudah cukup gemuk untuk disembelih?” Terdengar suara orang dan muncullah Cui Kong dengan huncwenya di tangan...
Selanjutnya,
TANGAN GLEDEK JILID 30
TANGAN GLEDEK JILID 30