MULA-MULA Tiang Bu bingung melihat gua yang gelap itu dan ia tidak melihat sesuatu. Lambat laun matanya biasa dengan kegelapan namun tetap saja ia hanya melihat batu-batu karang menonjol dan gua itu ternyata menembus ke pinggir laut, merupakan jurang yang amat curam.
“Bi Li...!” teriaknya. Hanya gema suaranya sendiri yang menjawab. “Bi Li... di mana kau...?!" ia berseru lagi, kini mengerahkan tenaga khikang sehingga suaranya dapat terdengar sampai jauh di luar gua.
Ia menanti sampai gema suaranya sendiri yang panjang itu lenyap, namun tetap saja tidak ada suara jawaban Bi Li. Marahlah hati Tiang Bu. Ia merasa tertipu oleh Cui Kong. Setan, pikirnya, mengapa aku begini bodoh? Akan tetapi ketika ia hendak keluar dari gua yang gelap itu, kembali ia mendengar suara rintihan perlahan seperti yang ia dengar tadi. Ia memperhatikan dan memasuki gua lagi sampai di pinggir jurang. Ternyata suara itu keluar dari bawah!
Dengan hati-hati Tiang Bu merebahkan diri telungkup ke pinggir jurang dan melihat ke bawah. Gelap sekali. Tiba-tiba tangannya meraba sesuatu yang bergoyang-goyang. Ternyata sehelai tambang yang diikatkan pada batu karang dan tambang itu menggantung ke luar, masuk jurang! Dari ujung tambang itulah datangnya suara rintihan.
Tiang Bu mengeretak giginya. Tahulah kini ia bahwa tubuh Bi Li diikat pada ujung tambang yang digantungkan ke dalam jurang yang amat curam itu! Cepat ia hendak menarik tambang, akan tetapi kecerdikannya melarangnya dan lebih cepat lagi ia menarik kembali tangannya dan berpikir keras. Tak mungkin orang selicik Cui Kong akan menggantungkan tubuh Bi Li begitu saja dan mudah ditolong. Tentu ada apa-apa di balik ini semua.
Tiba-tiba ia melompat dengan gerakan cepat ke luar dari gua, menduga bahwa tentu Cui Kong dan Kong Ji megintai di luar gua dan akan melakukan sesuatu untuk menjebaknya. Akan tetapi di luar kosong saja dan kembali ia mendengar suara rintihan perlahan dari dalam guha. Ia memasuki guha kembali dan berpikir-pikir.
“Bi Li, apa kau berada di bawah situ?" tanyanya sambil melihat ke bawah.
Matanyna yang tajam dapat melihat samar-samar bayangan tubuh Bi Li tergantung di bawah, akan tetapi gadis itu tidak dapat menjawab, hanya mengeluarkan suara perlahan seperti rintihan. Tiang Bu berlari ke luar lagi, menggunakan tenaganya untuk membeset kulit pohon yang ulet. Ia menyambung nyambung kulit ini menjadi sehelai tambang yang panjang, kemudian berlari masuk lagi ke guha itu. Ia lupa sudah akan Cui Kong dan Kong Ji.
Seluruh perhatiannya tercurah kepada Bi Li yang hendak ditolongnya lebih dulu. Dengan cepat dan hati-hati ia mengikatkan tambang kulit kayu ini pada sebuah batu karang, kemudiann ia merosot turun ke dalam jurang melalui tambang sederhana itu. Ia teringat bahwa kalau musuh musuhnya datang dan memutuskan tambang itu, tentu ia akan menemui bencana besar. Akan tetapi resiko ini ia harus berani hadapi demi menolong nyawa Bi Li yang terancam bahaya maut.
Ketika ia sudah merosot sampai di tempat Bi Li tergantung dan ia dapat melihat keadaan gadis kekasihnya itu, ia menjadi pucat. Tambang yang dipergunakan untuk mengikat Bi Li dan digantung dari gua itu, dilibatkan pada sebuab batu karang yang tajam sekali, Tambang itu sudah tergosok-gosok dan tinggal setengahnya saja. Kalau tadi ia menarik ke atas, sudah pasti tambang itu akan putus dan tubuh Bi Li akan jatuh ke bawah menemui kematian yang mengerikan!
"Cui Kong jahanam keji!" Tiang Bu mengutuk. Cepat ia meraba-raba tubuh Bi Li dan mendapat kenyataan bahwa totokan pada tubuh itu sudah dibebaskan, akan tetapi kaki tangan gadis itu terikat dan mulutnya tertutup saputangan. Inilah sebab mengapa Bi Li tidak dapat menjawab panggilannya. Cepat ia merenggut saputangan yang menutupi mulut gadis itu sambil berbisik.
"Bi Li, jangan bergerak. Tambang yang mengikatmu hampir putus."
Peringatan ini penting sekali karena kalau tadi Bi Li meronta-ronta. tentu tambang itu sudah putus. Mendengar peringatan ini, Bi Li tidak bergerak, hanya terdengar ia berkata lemah, "Tiang Bu tanganku sakit sekali...“
Tiang Bu menggigit bibir melihat betapa lengan kekasihnya yang tinggal sebelah itu ditekuk ke belakang dan digantung. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan kekasihnya. Cepat Tiang Bu memutus tali itu dan menarik tubuh Bi Li sehingga gadis itu dapat manangkap tali kulit pohon, kemudian tambang yang mengikat kakinya diputuskan pula.
Dengan hati-hati sekali Bi Li lalu merayap naik dengan satu tangannya, dibantu oleh Tiang Bu dari bawah. Dengan susah payah mereka naik, akhirnya dapat juga mereka tiba di atas, selamat di dalam guha yang gelap itu. Begitu lepas dari bahaya. Bi Li terisak dan menjatuhkan diri di atas dada Tiang Bu. Tiang Bu mangelus-elus rambut kekasihnya, membiarkan kekasihnya yang baru saja terbebas dari bahaya maut mengerikan itu menangis sepuasnya.
"Bi Li... kau... kau tidak diganggu oleh Cui Kong?" bisiknya dengan hati panas terbakar, penuh kebencian dan dendam kepada Cui Kong.
Tanpa mengangkat mukanya dari dada Tiang Bu, Bi Li menggeleng kepalanya. Kemudian, setelah agak reda tangisnya, dengan singkat ia menceritakan pengalamannya, "Setelah kau tinggalkan, guruku datang dan dia yang mengajak aku menyusulmu. Malang bagi dia, di tengah jalan bertemu dengan dua orang iblis jahat itu. Terjadi pertempuran, akhirnya guruku tewas dan aku tertawan. Tadi iblis Cui Kong itu mengikatku dan menggantungkan ke luar gua sambil tertawa-tawa mengejek, bilang bahwa aku akan mati dalam tanganmu sendiri. Aku tidak tahu apa yang ia maksudkan, akan tetapi... hanya Thian yang tahu betapa gelisah dan takutnya hatiku,Tiang Bu...”
Tiang Bu memeluk lebih erat lagi. "Hanya sedikit selisih... Bi Li, sedikit saja selisihnya. Kalau aku tadi terburu nafsu dan menarik tambang di mana kau digantung... ah, ngeri aku membayangkan! Cui Kong manusia keparat harus kuhancurkan kepalanya!”
Bi Li nampak kecewa. “Jadi kau belum berhasil menewaskan mereka?"
"Sayang sekali belum. Aku mendengar rintihanmu dan terpaksa kutinggalkan mereka untuk menolongmu."
Bi Li melepaskan diri dari pelukan Tiang Bu. “Tiang Bu, kau memang benar. Kau lebih benar ketika melarangku datang ke pulau ini. Sekarang ternyata aku hanya menjadi penghalang, malah guruku tewas di tangan mereka.
"Tidak, Bi Li. Mati hidup berada di tangan Thian. Memang agaknya sudah menjadi suratan nasib Ang jiu-toanio untuk tewas oleh mereka. Akan tetapi kita masih mempunyai banyak harapan untuk mengejar dan mencari mereka. Hayo ke luar dari tempat terkutuk ini.”
Sambil men ggandeng tangan Bi Li, Tiang Bu mengajaknya ke luar. Sesampainya di luar, ia dapat melihat keadaan kekasihnya. Memang tidak apa-apa, hanya agak pucat karena mengalami ancaman maut yang mengerikan tadi. Ia menjadi lega. Akan tetapi sekarang sudah tidak kelihatan lagi bayangan Liok Kong Ji maupun Cui Kong. Namun Tiang Bu tidak putus asa dan ia mengajak Bi Li terus mencari dan memeriksa di sebelah dalam atau di tengah pulau.
Sementara itu, di pantai Palau Pek-houw to juga terjadi hal yang menarik. Serombongan orang gagah dipimpin oleh Wan Sin Hong mendatangi dengan dua buah perahu ke pulau itu. Inilah rombongan yang dilihat oleh kaki tangan Liok Kong Ji dan dilaporkan, membuat Kong Ji menjadi gelisah sekali. Apalagi ketika Kong Ji dan Cui Kong berhasil melepaskan diri dari desakan Tiang Bu dan hendak melarikan diri dengan perahu, mereka melihat dua perahu ini mendatangi, Kong Ji terpaksa kembali lagi ke pulau dan keadaannya seperti terjepit.
Wan Sin Hong kali ini tidak datang sendiri dan tidak mau kepalang usahanya membalas dendam kepada musuh besarnya. Ia maklum akan kelihaian Kong Ji yang dibantu oleh Cui Kong, Cun Gi Tosu, dan banyak lagi orang-orang gagah yang berhasil dibujuk menjadi kaki tangan Liok Kong Ji. Karena tidak berbasil bertemu dengan Tiang Bu yang akan menjadi pembantu kuat baginya, Wan Sin Hong datang membawa beberapa orang tokoh yang berkepandaian cukup tinggi.
Di antara kawan kawannya itu kelihatan muridnya sendiri, Coa Lee Goat dan suaminya, Wan Sun. Juga isterinya tidak ketinggalan, yaitu Hui-eng Niocu Siok Li Hwa yang sudah sembuh dari luka-lukanya ketika bertempur melawan Liok Cui Kong di Pulau Kim-bun-to. Li Hwa mempunyai sakit hati besar sekali terhadap Liok Kong Ji dan kaki tangannya, bukan saja karena anaknya diculik oleh Cun Gi Tosu, juga karena peristiwa di Kim-bun-to, di mana Cui Kong mengamuk dan menyebar maut itu.
Selain keluarga gagah parkasa ini, ikut juga Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, tosu tinggi kurus jenggot panjang itu, dan Pang Soan Tojin ketua Tang-san pai, tosu gemuk berjenggot pendek. Selain dua orang tokoh tua ini, masih ada lagi Huang-ho Sian-jin si datuk bajak dari Sungai Huang ho bersama dua orang puterinya, Ang Lian yang lincah jenaka dan Pek Lian yang cantik pendiam dan berpakaian pria. Juga masih ada dua orang lagi, yaitu H ok Tek Hwesio dari Siauw lim pai dan Ciu Lee Tai, seorang laki-laki muda berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah. Ciu Lee Tai ini seorang yang bersemangat sekali, pengagum Wan-bengcu dan biarpun ia agak bodoh, namun ia jujur dan berkepandaian lumayan.
Sebetulnya, Wan Sin Hong maklum bahwa tingkat kepandaian Ciu Lee Tai dan Hok Tek Hwesio masih terlampau rendah kalau dibandingkan dengan kelihaian Liok Kong Ji dengan kawan kawannya, akan tet api karena mereka ini orang segolongan dan mereka ikut dengan suka rela, ia pikir lumayan untuk melayani penjaga-penjaga kaki tangan Liok Kong Ji.
Demikianlah, rombongan yang terdiri dari sebelas orang ini mendarat dengan hati-hati dan dengan senjata di tangan. Mereka semua sudah maklum bahwa mereka menghadapi orang-orang jahat yang amat lihai kepandaiannya. Di sepanjang perjalanan. Ciu Lee Tai yang biarpun sudah berusia tiga puluh tahun tapi masih tetap single (membujang) itu, agaknya amat tertarik kepada Ang Lian, dara jelita yang bersikap lincah jenaka dan agak genit itu. Sedemikian jauh, si jaka tua ini selalu "tahan hinaan" dan mencemoohkan setiap orang gadis yang memandang kepadanya dengan kagum melihat ketampanan dan kegagahannya.
Akan tetapi begitu ia bertemu dengan Ang Lian dan melihat senyum dan kerling mata gadis ini, jatuhlah keangkuhannya. Senyum dan kerling itu langsung menembus jantungnya dan membuat dia tergila-gila! Si bujang ini beberapa kali melirik-lirik, mengajak senyum dan pendeknya mempergunakan segala macam siasat untuk memikat si dara jetita, akan tetapi kali ini ia "bertemu batunya.” Semua aksinya tidak digubris oleh Ang Lian, bahkan Ang Lian bersikap jinak-jinak merpati, kadang-kadang nampak mudah didekati akan tetapi kalau orang bersungguh-sungguh ia terbang menjauh Sikap beginilah yang membuat hati sang jaka jatuh bangun.
Tentu saja, sedogol-dogolnya, Ciu Lee Tai tidak berani berterus terang dengan kata kata menyatakan perasaan hatinya, apa lagi ia sering melihat wajah datuk bajak Huang-ho Sian-jin yang keren galak dan matanya melotot. Habislah nyalinya kalau ia melihat bapak dara pujaannya itu. Namun, saking dalamnya asmara menggerogoti jantungnya, si dogol ini sampai menghadap Wan Sin Hong dan dengan muka merengek ia mohon bantuan pendekar ini.
"Wan-bengcu." katanya dengan mukanya yang tampan menjadi merah seperti kepiting dipanggang. Siauwte hendak mengajukan permohonan kepada bengcu dan mengharap ke murahan hati bengcu."
Wan Sin Hong sudah lama kenal pemuda tua ini dan ia memang suka kepada Cui Lee Tai yang jujur dan dogol namun berjiwa ksatria. Bahkan dahulu ia berkenan menurunkan dua tiga macam ilmu pukulan kepada si dogol ini. Mendengar permohonan disertai wajah yang bersungguh-sungguh itu, ia tersenyum.
"Kita berada di tengah perjalanan, di atas laut. Kau hendak minta aku membantumu dalam hal apakah, Lee Tai?" Wan Sin Hong memang memanggil namanya begitu saja, inipun kemauan Lee Tai sendiri yang ingin diaku sebagai anak buah atau murid. Demikian besar kagumnya terhadap Wan Sin Hong.
"Sebetulnya bukan sekarang. Siauwte hanya minta kesediaan bengcu untuk membantuku dalam urusan ini, kelak kalau urusan penyerbuan ke Pulau Pek-houw-to selesai. Apakah bengcu bersedia?”
"Ha, kau ini aneh sekali. Tentu saja aku bersedia membantumu. Akan tetapi, bagaimana kalau dalam penyerbuan yang amat berbahaya ini kau atau aku tewas?”
“Kalau begitu... kalau begitu... tentu saja tidak jadi aku... kawin...”
"Eh kawin...?”
Muka pemuda itu menjadi makin merah. "Begini, bengcu. Sebetulnya siauwte hendak minta tolong agar bengcu suka... suka menjadi... menjadi perantara. Siauwte telah berusia tiga puluh tahun, dahulu ayah ibu minta siauwte menikah akan tetapi siauwte belum sanggup menjalani karena memang belum ada yang cocok. Sekarang ayah ibu sudah tidak ada dan siauwte kerap kali merasa berdosa dan bersedih tak dapat memuaskan hati orang tua. Sekarang siauwte bertemu dengan gadis yang mencocoki hati. Kiranya kalau siauwte bisa menikah dengan dia. arwah ayah-bunda siauwte akan menjadi puas.”
Sin Hong tidak ketawa lagi. Malah ia menjadi amat terharu, teringat akan keadaannya sendiri. Diapun menikah setelah usianya tiga puluhan lebih, dan tentang orang tuanya... juga tidak melihat pernikahannya. Dengan suara sungguh-sungguh ia menjawab.
"Baik. Lee Tai. Tenangkanlah hatimu. Tentu aku suka menjadi wakil orang tuamu untuk mengawinkan kau. Tidak tahu gadis manakah yang kau penujui?”
"Puteri... puteri Huang-ho Sian-jin...”
"Aahhh, dia...? Yang mana?”
“Yang kedua, bengcu. Itu yang namanya Ang Lian yang senyumnya manis kerlingnya tajam...”
Sin Hong tak dapat menahan senyumnya dan ia mengangguk-angguk. “Itu soal mudah. Huang-ho Sian-jin adalah sahabat karibku, kalau aku yang mintakan kiranya tak akan sukar. Hanya aku khawatir anaknya sendiri yang akan rewel. Kalau dia tidak setuju, anak seperti Ang Lian itu tentu akan menolak keras. Bagaimana pendapatmu, apakah dia juga... ada hati kepadamu?”
"Entahlah, bengcu. Akan tetapi dia sering kali tersenyum dan melirik. Akan kuselidiki hal itu. Asal Wan-bengcu sudah bersedia membantu, hatiku sudah lega dan banyak banyak terimakasih." Tanpa dapat dicegah lagi si dogol lalu menjatuhkan diri berlutut dan pai-kui sampai tujuh kali.
“Sudah, sudah, hasilnya masih belum tentu kau sudah jengkang-jengking seperti ayam makan padi.”
Dengan hati gembira dan besar sekali Ciu Lee Tai mengundurkan diri dan semenjak saat itu lebih berani melirik-lirik ke arah Ang Lian. Bahkan pada suatu ketika, ia mendapat kesempatan mendekati Ang Lian di atas perahu dan berbisik. "Nona, kalau kelak urusan ini beres, aku akan mengirim wali mengajukan lamaran kepadamu."
Tentu saja Ang Lian melengak. Selama hidupnya belum pernah ia bertmu dengan orang yang begini terus terang dan tidak kenal malu. Gadis ini dengan lagak mangejek meludah ke dalam laut dan melihat di situ tidak ada orang memperhatikan mereka, berkata perlahan,
“Enak saja kau mengomong. Kau bisa apa sih mau melamarku?"
Lee Tai mengangkat dadanya yang memang bidang dan tegap. "Aku Ciu Lee Tai, di barat terkenal dengan julukan Kang-thouw ciang (Si Kepalan Baja) dan siapa yang tidak tunduk terhadap golokku?" ia menepuk-nepuk golok di pinggangnya, golok besar yang memang amat lihai kalau ia mainkan.
Ang Lian menjebikan bibirnya yang merah membuat hati Lee Tai menjadi gemas terpincut. Biarpun orang ini dogol, namun Ang Lian diam-diam suka juga melihat ketegapan tubuh dan ketampanan wajah Ciu Lee Tai.
"Dengar baik-baik, dogol. Tidak sembarang orang bisa mendapatkan diriku. kecuali kalau ia berkepandaian tinggi." Bicara begini, Ang Lian teringat akan Tiang Bu yang membuat cicinya, Pek Lian, tergila-gila dan teringat selalu. "Begini syaratnya. Kalau kau bisa mengalahkan manusia iblis Liok Kong Ji, aku bersedia menerima lamaranmu. Nah, pergilah.”
Ciu Lee Tai berseri wajahnya. Ingin ia menari-nari kegirangan dan saking girangnya ia sampai lupa diri dan... melompat ke dalam air! Tentu saja semua orang di dalam dua perahu itu menjadi panik melihat tidak karu-keruan sebabnya, si dogol itu melompat ke dalam laut dan berenang ke sana ke mari sambil bernyanyi nyanyi.
"Lee Tai, kau sedang apa-apaan?" tegur Wan Sin Hong terheran-heran.
Baru Lee Tai sadar akan keadaannya yang memang tidak sewajarnya itu, maka cepat -cepat ia memutar otaknya yang puntul untuk mencari jawaban. Akhirnya ia menjawab, "Wan-bengcu. aku merasa kepanasan dan ingin mandi sebentar menyegarkan tubuh." Cui Lee Tai merasa bangga akan jawabannya yang langsung ini, tanda bahwa ia cerdik!
Akan tetapi jawabannya membuat semua orang tertawa sehingga ia menjadi kebingungan. Apa lagi ketika ia melihat Ang Lian cekikikan mentertawakannya, ia makin bingung dan penasaran. "Apa tidak boleh mandi?" tanyanya mendongkol sambil menyambar pinggiran perahu dan merayap naik dengan pakaian basah kuyup.
"Mana ada orang mandi dengan pakaian lengkap? Dan membawa-bawa golok pula, apakah kau hendak menyerang istana Hai-liong-ong di dasar laut?" kata Wan Sun sambil menahan kegelian hatinya.
Cin Lee Tai menunduk, memandang pakaiannya yang basah kuyup. Ia tak dapat menjawab, hanya buru-buru memasuki kamar perahu untuk bertukar pakaian kering. Akan tapi kegembiraannya tidak lenyap, tidak perduli ia ditertawakan orang, hatinya sebesar gunung. Liok Kong Ji? Itu syaratnya? Jangankan harus mengalahkan Liok Kong Ji biar harus melawan seribu orang Liok Kong Ji ia takkan gentar asal hadiahnya Ang Lian. Akan kutabas batang leher Liok Kong Ji dengan golokku, pikirnya. Pikiran hal membuat ia datang lagi menghadap Sin Hong.
"Ada apa lagi, Lee Tai? Harap kau jangan sekali-kali lagi terjun dan mandi di laut, banyak ikan hiu di sini, kalau kau dikeroyok hiu, biar aku sendiri takkan dapat menolong nyawamu."
"Wan-bengcu, apakah Liok Kong Ji itu sudah pasti berada di pulau itu?"
"Tentu saja, memang kita sedang mencari dia. Mengapa?”
"Harap bengcu memberi kesempatan kepadaku untuk menghadapi iblis itu. Siauwte ingin sekali menabas batang lehernya dengan golokku ini, jangan sampai didahului orang lain!”
Wan Sin Hong maklum akan keberanian orang she Ciu ini yang luar biasa, juga maklum akan kedogolannya. Akan tetapi mendengar ini, benar-benar perutnya menjadi sakit karena menahan tawa. Dia sendiri belum tentu dapat menahan Liok Kong Ji, dan si dogol ini bersumbar hendak menebas batang leher Liok Kong Ji! Benar-benar seperti seekor katak hendak membunuh kerbau. Akan tetapi Sin Hong berperasaan halus, tidak mau mengecewakan atau menyinggung perasaan hati orang lain, maka ia mengangguk dan menjawab,
"Baiklah, Lee Tai. Asalkan dapat berlaku hati-hati, dia lihai sekali.”
"Jangan khawatir, bengcu. Golokku biasanya ampuh sekali menghadapi orang jahat."
Ciu Lee Tai menjadi makin gembira. Semenjak saat itu, ia kelihatan berseri dan gembira dan bernyanyi-nyanyi. Memang suaranya merdu, sehingga kegembiraan si dogol ini menghibur orang-orang lain dan membuat orang lain gembira pula. Akan tetapi kecuali Ang Lian, tidak ada orang lain yang dapat menduga mengapa si dogol itu demikian gembira. Hanya Ang Lian yang tahu dan diam diam gadis jenaka ini terharu juga. Ia dapat menjajaki hati Lee Tai dan tahu bahwa pemuda dogol itu sudah membayangkan akan dapat menewaskan Liok Kong Ji dengan mudah.
"Sayang...” Ang Lian berkali-kali menarik napas panjang dan berbisik-bisik kepada diri sendiri. "Sayang ia tidak selihai Tiang Bu...”
Sin Hong membawa rombongannya mendarat di pantai yang datar dan sunyi. Mereka berlompatan ke darat dengan hati-hati sekali. Mereka merasa heoran dan curiga melihat pantai itu tidak terjaga dan sunyi sekali. Sin Hong lalu membagi tugas. Huang-ho Sian jin dan dua orang puterinya diberi tugas menjaga perahu-perahu di pantai agar perahu perahu itu tidak sampai diganggu musuh. Kemudian dengan delapan orang kawan lainnya Sin Hong memasuki hutan di pulau itu menuju ke tengah pulau. Mereka menjadi makin heran melihat beberapa orang penjaga menggeletak, terluka atau tewas. Bahkan mereka menemukan lima orang yang berpakaian berwarna menggeletak menjadi mayat.
"Eh. bukan kah ini Lam-thian-chit-ong,” kata Hok Tek Hwesio yang mengenal tokoh-tokoh selatan ini. "Mana lagi yang dua? Masih ada dua orang yang berpakaian hit am dan putih , kemana mereka dan siapa yang bisa membunuh mereka ini? Mereka terkenal lihai dengan Chit-seng-tin mereka."
Wan Sin Hong juga merasa heran. Ia sudah mendengar bahwa tujuh orang perampok ini menjadi kaki tangan Liok Kong Ji. Kiranya hanya satu orang yang dapat mengalahkan mereka dan orang itu tentu Tiang Bu. Benarkah pemuda itu sudah menyerbu ke sini? Ia mengajak kawan-kawannya maju terus. Di rumah gedung tempat tinggal Liok Kong Ji sunyi sekali. Di sana sini be rgeletakan para penjaga. Sin Hong mendesak seoran g penjaga yang luka tertotok. Ia membebaskan totokannya dan bertanya.
"Siapa yang menyerbu ke sini dan melukai kalian?”
"Hamba tidak tahu. Seorang manusia berkepandaian seperti setan. Pergi datang tidak meninggallan bekas dan tahu-tahu kami roboh...” orang itu menerangkan karena ia memang tidak mengenal Tiang Bu yang merobohkannya.
"Di mana Liok Kong Ji?"
"Tidak tahu, mungkin keluar menghadapi musuh."
Sin Hong tidak mau perdulikan lagi orang itu dan mengajak kawan-kawannya maju terus. Akan tetapi Ciu Lee Tai yang merasa kecewa karena Ang Lian tidak diajak menyerbu dan terpisah dari sampingnya, melampiaskan kemarahannya dengan menendang orang itu yang seketika putus nyawanya.
“Lee Tai, jangan lancang membunuh orang!" tegur Sin Hong.
"Bengcu, orang seperti ini adalah setengah iblis, kalau tidak dibunuh kelak tentu menjadi penjahat pula mengacau rakyat." bantah Lee Tai.
Sin Hong menganggap pendapat ini betul juga sungguh pun hatinya tidak mengijinkan orang berlaku kejam. Memang Sin Hong terkenal sebagai seorang pendekar yang halus budinya, tidak mau membunuh kalau tidak penting dan terpaksa sekali.
Ketika mereka memasuki rumah gedung itu, di dalamnya hanya terdapat para selir dan para pelayan wanita. Mereka ini semua biarpun sudah mempelajari ilmu silat, sekarang tidak berani berkutik dan berlutut minta diampuni jiwanya. Juga dari mereka ini Sin Hong tidak bisa mendapat keterangan di mana adanya Liok Kong Ji, Liok Cui Kong dan Cun Gi Tosu. Akan tetapi, ia mendapat petunjuk di mana adanya pondok Cun Gi Tosu, dan mendengar pula banwa Leng Leng dibawa pergi oleh tosu itu ke pondoknya.
Wan Sin Hong mengajak rombongannya menyusul ke pondok itu! Alangkah kagetnya ketika tiba di depan pondok, ia melihat tosu buntung itu sudah menggeletak tak bernyawa di atas
tanah. "Ada yang mendahulul kita!” Teriaknya dan ia berlari-lari, diikuti oleh isterinya, memasuki pondok Cun Gi Tosu untuk mencari anak mereka, Leng Leng. Akan tetapi di dalam pondok hanya terdapat seorang pelayan wanita yang menangis ketakutan.
"Hayo lekas bilang, di mana adanya Leng-ji?" Li Hwa membentak sambil menempelkan pedangnya di batang leher pelayan itu yang me njadi makin ketakutan.
"Tadi... tadi di sini... hamba yang bertugas mengasuhnya... lalu datang Liok-loya dan Liok-kongcu... nona Leng Leng dibawa pergi...!"
"Ke mana?” tanya Sin Hong yang berobah air mukan ya mendengar bahwa anaknya dibawa Liok Kong Ji.
"Mana hamba tahu? Ampun, hamba tidak bersalah apa-apa...”
Sin Hong tidak perdulikan lagi pelayan itu, bersama isterinya dan yang lain lain ia menggeledah ke dalam, akan tetapi betul saja, tak dapat ia menemukan anaknya di dalam pondok.
“Tentu ia membawa Leng-ji lari ke luar. Hayo cari,” kata Sin Hong dan keluarlah mereka. Sesampainya di luar, Sin Hong lalu membagi rombongannya. Dia sendiri bersama isterinya, Wan Sun dan Coa Lee Goat menuju ke kiri dan dia minta supaya rombongan lain yaitu Bu Kek Siansu, Pang Soan Tojin, Ho Tek Hwesio, dan Ciu Lee Tai mencari di sebelah kanan. Dengan cara begini Sin Hong hendak mengepung dan memotong jalan Liok Kong Ji dan Cui Kong.
Sementara itu, Tiang Bu dan Bi Li juga mencari terus, keluar masuk gua-gua yang banyak terdapat di pesisir batu karang itu. Akan tetapi belum juga mereka dapat menemukan musuh-musuh mereka. Tiang Bu mendapat akal. Ia naik ke sebatang pohon besar dan tinggi, lalu mengintai puncak pohon itu sampai beberapa lama. Usahanya ini berhasil karena tak lama kemudian ia melihat bayangan dua orang yang dikejar-kejarnya itu bersembunyi di antara batu karang yang bentuknya seperti menara-menara kecil. Yang membuat ia terheran adalah ketika melihat Kong Ji memondong seorang anak perempuan kecil.
la cepat melompat turun dan bersama Bi Li lari ke arah tempat itu. Setelah dekat menyelinap di antara batu karang dengan hati-hati. Akhirnya ia muncul di depan Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong yang tentu saja menjadi kaget setengah mati.
"Liok Kong Ji, kau sekarang hendak lari ke manakah?" Tiang Bu mengejek dan siap untuk menyerang.
Liok Kong Ji menjadi bingung. Untuk lari memang mudah, akan tetapi ia tahu bahwa Tiang Bu dapat mengejarnya. Untuk mempergunakan bocah yang dipondongnya juga tidak mungkin karena Tiang Bu mana mau memperdulikan bocah itu? Adanya ia membawa Leng Leng adalah untuk dipergunakan sebagai perisai terhadap Wan Sin Hong. Kalau Wan Sin Hong dan kawan kawannya yang mengurun gnya, dengan mudah ia dapat menyelamatkan diri dengan mengancam nyawa bocah itu.
Cui Kong juga tidak melihat jalan keluar lagi kecuali menyerang mati-matian. Maka ia lalu menggerakkan huncwenya, langsung menyerang Tiang Bu dengan sengit. Liok Kong Ji terpaksa menotok Leng Leng agar anak itu jangan dapat lari, menaruh bocah itu di atas tanah dan iapun membantu Cui Kong. Dengan maju berdua mereka masih dapat bertahan menghadapi amukan Tiang Bu yang luar biasa lihainya itu.
Bi Li tahu diri. Biarpun ia merasa gemas dan benci sekali melihat dua orang musuh besarnya itu, akan tetapi ia cukup maklum bahwa kalau ia melawan atau membantu Tiang Bu, bantuannya itu tidak banyak artinya, bahkan dapat mengacaukan permainan silat Tiang Bu. Maka ia berdiri saja menonton. Ia percaya penuh akan kesaktian kekasihnya, namun tidak urung ia berdebar gelisah juga melihat pedang di tangan Kong Ji menyambar-nyamhar seperti kilat dan huncwe di tangan Cui Kong bergerak ganas diselingi semburan asap hitam yang ia sudah merasai sendiri keganasannya.
Seperti juga tadi, Tiang Bu melayani ayah dan anak itu dengan tenang, namun setiap gerakannya mengandung tenaga dalam sehingga tanpa ia kelit, asap hitam itu sudah buyar sendiri terpukul hawa sinkang yang keluar dari sepasang tangannya. Pertempuran berjalan seru, sengit dan mati-matian.
Ketika mendapat kesempatan baik, huncwo maut di tangan Cui Kong menyambar ke arah kepala Tiang Bu dengan pukulan yang tentu akan meremukkan kepala itu apa bila mengenai sasaran, sedang pedang di tangan Kong Ji menusuk ulu hati, dengan gerakan memutar yang sudah diperhitungkan masak-masak dan amat sukar dielakkan.
Tiang Bu sengaja berlaku lambut sampai Bi Li mengeluarkan jeritan tertahan. Ketika huncwe itu sudah menyentuh rambut kepalanya, tiba-tiba Tiang Bu menggerakkan jari tangannya ke atas, menyentil huncwe itu dari atas sehingea huncwe menyelonong ke bawah dan tepat menangkis pedang Kong Ji yang menusuk ulu hatinya.
"Traangg...!" Sepasang senjata bertemu keras. Api berpijar dan di lain saat pedang di tangan Kong Ji sudah terampas oleh Tiang Bu sedangkan huncwe maut itu sudah terlepas dari tangan Cui Kong!
Tentu saja dalam pertemuan senjata itu, Cui Kong kalah kuat oleh ayah angkatnya dan huncwenya sampai terlempar, sedangkan Tiang Bu mempergunakan kesempatan baik itu untuk merampas pedang Kong Ji. Dapat dibayangkan betapa kaget dan gentarnya Liok Kong Ji dan Cui Kong yang sudah kehilangan senjata. Hampir berbareng mereka menghujankan Hek-tok-ciam ke arah Tiang Bu. Akan tetapi sambil tertawa menyeramkan. Tiang Bu memutar pedang rampasan nya dan se mua jarum runtuh ke bawah, bahkan ada yang membalik dan menyambar dua orang pelepas jarum itu sendiri!
Memang Kong Ji dan Cui Kong orang-orang licik sekali. Dalam keadaan terdesak dan senjata dilucuti dan Tiang Bu yang parkasa malah kini berpedang, mereka masih mampu mempergunakan siasat cerdik. secepat kilat Kong Ji menyambar tubuh Leng Leng di atas tanah dan mempergunakan bocah ini sebagai senjata! Ia memegang kedua kaki Leng Leng dan memutar tubuh itu untuk menghadapi serangan Tiang Bu.
"Tiang Bu, jangan lukai bocah itu...!” Bi Li menjerit. Gadis ini tidak ingin melihat Tiang Bu membunuh bocah yang mungil itu. Akan tetapi, tanpa cegahannya, Tiang Bu sendiri tidak sudi membunuh bocah yang tidak diketahui siapa itu. Hatinya tidak sekejam dan ia terpaksa mengalah mundur, menyelipkan pedang rampasan di pinggang dan maju lagi dengan kedua tangan kosong untuk mencoba merampas bocah itu dari tangan manusia iblis Liok Kong Ji.
Pada saat itu, Cui Kong yang licik juga menyerang lagi dengan Hek-tok ciam, akan tetapi tidak ditujukan kepada Tiang Bu, melainkan ke arah Bi Li! Namun, kalau hanya diserang senjata rahasia saja, kepandaian Bi Li cukup tinggi untuk menghindarkan dengan elakan manis dan kebutan tangan kanannya ia dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi Cui Kong telah dapat melompat jauh meninggalkan tempat itu Kong Ji menyusul. Ketika Tiang Bu hendak mengejarnya, ia membentak,
"Terimalah popwe (jimat) ini!” Sambil membentak begitu, tubuh Leng Leng ia lontarkan sekuat tenaga ke arah Tiang Bu! Sungguh kejam manusia ini, untuk menyelamatkan diri ia tak segan-segan untuk membunuh siapapun juga.
Tiang Bi kaget sekali. Kalau tubuh bocah itu tidak ia terima, tentu bocah itu akan mati terbanting pada batu-batu karang. Ia lalu bersiap dan dengan kedua tangannya ia menangkap tubuh bocah itu di udara. Ternyata Leng Leng sudah lemas dan pingsan. Ketika diputar-putar tadi saja Leng Leng sudah merasa pening dan sukar bernapas, membuatnya pingsan.
Tiang Bu menyerahkan bocah ini kepada Bi Li dan ia hendak mengejar, akan tetapi dua orang musuhnya sudah lenyap, tidak ketahuan ke mana perginya. Ia membanting-banting kaki. Lagi-lagi dua orang musuh itu terlepas dari tangannya berkat kelicikan mereka.
"Aku harus dapatkan mereka, aku harus basmi mereka!” gerutunya.
Bersama Bi Li ia mencari terus, akan tetapi sementara itu siang telah berganti senja dan udara mulai gelap. Leng Leng siuman dari pingsannya dan menangis.
"Diam, nak, diam... siapa namamu?” tanya Bi Li menimang-nimang bocah itu.
"Leng Leng... mana Sam-ma?" tanya anak itu menanyakan inang pengasuhnya.
Bi Li merasa sayang kepada bocah yang mungil ini, sambil mengelus kepalanya ia bertanya tentang ayah ibu bocah itu, akan tetapi Leng Leng yang baru saja mengalami banyak penderitaan semenjak "bibi Ceng Ceng” terbunuh, tak dapat banyak memberi keterangan. Ia hanya menangis dan berkali-kali berkata,
“Paman Kong Ji jahat sekali.... jahat sekali...“
Akhirnya setelah dihibur dan dibuai oleh Bi Li, ia tertidur dalam pang kuan Bi Li. “Heran, bocah ini siapakah dan anak siapakah. Kecil-kecil ia sudah tahu bahwa Kong Ji jahat...” kata Bi Li kepada Tiang Bu.
Akan tetapi Tiang Bu memberi isyarat supaya jangan berisik sambil menuding ke depan. Ketika Bi Li memperhatikan, benar saja dari arah itu terdengar suara orang bicara, makin lama makin keras, tanda bah wa dua orang yang bicara itu sedang berjalan mendekati tempat mereka.
“Dengan bocah itu di tanganmu, kau tak dapat menjaga diri dengan sempurna, lebih baik kau menanti di balik batu karang.” Tiang Bu berbicara kepada kekasihnya.
Bi Li mengangguk. Memang, kalau fihak musuh muncul dan terjadi pertempuran. tentu saja dengan adanya bocah itu ia takkan dapat melakukan pembelaan dari dengan baik, apa lagi kalau harus melindungi Leng Leng. Tanpa banyak membantah ia lalu pergi membawa Leng Leng yang sedang tidur itu, menyelinap di balik batu karang. bersembunyi sambil mengintai ke arah Tiang Bu.
Keadaan sudah mulai remang-remang, Tiang Bu tidak mengenal muka dua orang yang datang memasuki hutan itu, hanya tahu bahwa dua orang itu adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Ia mengira bahwa mereka ini tentulah kawan-kawan Liok Kong Ji maka tiba-tiba ia melompat ke luar dan membentak,
"Kalian siapa dan di mana Liok Kong Ji?” Ia sudah siap untuk menyerang tokoh dua orang itu.
Dua orang itu kaget bukan kepalang, akan tetapi pemuda itu segera berseru girang. “Tiang Bu...“
Gadis itupun berseru kaget dengan sikap jenaka. “Ya Dewa Maha Agung! Kiranya saudara Tiang Bu ini...?? Ah, bertahun-tahun enci Pek Lian merindukan dan menanti-nanti, tidak tahunya dapat bertemu di tempat seperti ini. Kalau ini bukan jodoh namanya, entah disebut apa!”
"Ang Lian, jangan main-main!" pemuda itu membentak si gadis baju merah yang jenaka...
“Bi Li...!” teriaknya. Hanya gema suaranya sendiri yang menjawab. “Bi Li... di mana kau...?!" ia berseru lagi, kini mengerahkan tenaga khikang sehingga suaranya dapat terdengar sampai jauh di luar gua.
Ia menanti sampai gema suaranya sendiri yang panjang itu lenyap, namun tetap saja tidak ada suara jawaban Bi Li. Marahlah hati Tiang Bu. Ia merasa tertipu oleh Cui Kong. Setan, pikirnya, mengapa aku begini bodoh? Akan tetapi ketika ia hendak keluar dari gua yang gelap itu, kembali ia mendengar suara rintihan perlahan seperti yang ia dengar tadi. Ia memperhatikan dan memasuki gua lagi sampai di pinggir jurang. Ternyata suara itu keluar dari bawah!
Dengan hati-hati Tiang Bu merebahkan diri telungkup ke pinggir jurang dan melihat ke bawah. Gelap sekali. Tiba-tiba tangannya meraba sesuatu yang bergoyang-goyang. Ternyata sehelai tambang yang diikatkan pada batu karang dan tambang itu menggantung ke luar, masuk jurang! Dari ujung tambang itulah datangnya suara rintihan.
Tiang Bu mengeretak giginya. Tahulah kini ia bahwa tubuh Bi Li diikat pada ujung tambang yang digantungkan ke dalam jurang yang amat curam itu! Cepat ia hendak menarik tambang, akan tetapi kecerdikannya melarangnya dan lebih cepat lagi ia menarik kembali tangannya dan berpikir keras. Tak mungkin orang selicik Cui Kong akan menggantungkan tubuh Bi Li begitu saja dan mudah ditolong. Tentu ada apa-apa di balik ini semua.
Tiba-tiba ia melompat dengan gerakan cepat ke luar dari gua, menduga bahwa tentu Cui Kong dan Kong Ji megintai di luar gua dan akan melakukan sesuatu untuk menjebaknya. Akan tetapi di luar kosong saja dan kembali ia mendengar suara rintihan perlahan dari dalam guha. Ia memasuki guha kembali dan berpikir-pikir.
“Bi Li, apa kau berada di bawah situ?" tanyanya sambil melihat ke bawah.
Matanyna yang tajam dapat melihat samar-samar bayangan tubuh Bi Li tergantung di bawah, akan tetapi gadis itu tidak dapat menjawab, hanya mengeluarkan suara perlahan seperti rintihan. Tiang Bu berlari ke luar lagi, menggunakan tenaganya untuk membeset kulit pohon yang ulet. Ia menyambung nyambung kulit ini menjadi sehelai tambang yang panjang, kemudian berlari masuk lagi ke guha itu. Ia lupa sudah akan Cui Kong dan Kong Ji.
Seluruh perhatiannya tercurah kepada Bi Li yang hendak ditolongnya lebih dulu. Dengan cepat dan hati-hati ia mengikatkan tambang kulit kayu ini pada sebuah batu karang, kemudiann ia merosot turun ke dalam jurang melalui tambang sederhana itu. Ia teringat bahwa kalau musuh musuhnya datang dan memutuskan tambang itu, tentu ia akan menemui bencana besar. Akan tetapi resiko ini ia harus berani hadapi demi menolong nyawa Bi Li yang terancam bahaya maut.
Ketika ia sudah merosot sampai di tempat Bi Li tergantung dan ia dapat melihat keadaan gadis kekasihnya itu, ia menjadi pucat. Tambang yang dipergunakan untuk mengikat Bi Li dan digantung dari gua itu, dilibatkan pada sebuab batu karang yang tajam sekali, Tambang itu sudah tergosok-gosok dan tinggal setengahnya saja. Kalau tadi ia menarik ke atas, sudah pasti tambang itu akan putus dan tubuh Bi Li akan jatuh ke bawah menemui kematian yang mengerikan!
"Cui Kong jahanam keji!" Tiang Bu mengutuk. Cepat ia meraba-raba tubuh Bi Li dan mendapat kenyataan bahwa totokan pada tubuh itu sudah dibebaskan, akan tetapi kaki tangan gadis itu terikat dan mulutnya tertutup saputangan. Inilah sebab mengapa Bi Li tidak dapat menjawab panggilannya. Cepat ia merenggut saputangan yang menutupi mulut gadis itu sambil berbisik.
"Bi Li, jangan bergerak. Tambang yang mengikatmu hampir putus."
Peringatan ini penting sekali karena kalau tadi Bi Li meronta-ronta. tentu tambang itu sudah putus. Mendengar peringatan ini, Bi Li tidak bergerak, hanya terdengar ia berkata lemah, "Tiang Bu tanganku sakit sekali...“
Tiang Bu menggigit bibir melihat betapa lengan kekasihnya yang tinggal sebelah itu ditekuk ke belakang dan digantung. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan kekasihnya. Cepat Tiang Bu memutus tali itu dan menarik tubuh Bi Li sehingga gadis itu dapat manangkap tali kulit pohon, kemudian tambang yang mengikat kakinya diputuskan pula.
Dengan hati-hati sekali Bi Li lalu merayap naik dengan satu tangannya, dibantu oleh Tiang Bu dari bawah. Dengan susah payah mereka naik, akhirnya dapat juga mereka tiba di atas, selamat di dalam guha yang gelap itu. Begitu lepas dari bahaya. Bi Li terisak dan menjatuhkan diri di atas dada Tiang Bu. Tiang Bu mangelus-elus rambut kekasihnya, membiarkan kekasihnya yang baru saja terbebas dari bahaya maut mengerikan itu menangis sepuasnya.
"Bi Li... kau... kau tidak diganggu oleh Cui Kong?" bisiknya dengan hati panas terbakar, penuh kebencian dan dendam kepada Cui Kong.
Tanpa mengangkat mukanya dari dada Tiang Bu, Bi Li menggeleng kepalanya. Kemudian, setelah agak reda tangisnya, dengan singkat ia menceritakan pengalamannya, "Setelah kau tinggalkan, guruku datang dan dia yang mengajak aku menyusulmu. Malang bagi dia, di tengah jalan bertemu dengan dua orang iblis jahat itu. Terjadi pertempuran, akhirnya guruku tewas dan aku tertawan. Tadi iblis Cui Kong itu mengikatku dan menggantungkan ke luar gua sambil tertawa-tawa mengejek, bilang bahwa aku akan mati dalam tanganmu sendiri. Aku tidak tahu apa yang ia maksudkan, akan tetapi... hanya Thian yang tahu betapa gelisah dan takutnya hatiku,Tiang Bu...”
Tiang Bu memeluk lebih erat lagi. "Hanya sedikit selisih... Bi Li, sedikit saja selisihnya. Kalau aku tadi terburu nafsu dan menarik tambang di mana kau digantung... ah, ngeri aku membayangkan! Cui Kong manusia keparat harus kuhancurkan kepalanya!”
Bi Li nampak kecewa. “Jadi kau belum berhasil menewaskan mereka?"
"Sayang sekali belum. Aku mendengar rintihanmu dan terpaksa kutinggalkan mereka untuk menolongmu."
Bi Li melepaskan diri dari pelukan Tiang Bu. “Tiang Bu, kau memang benar. Kau lebih benar ketika melarangku datang ke pulau ini. Sekarang ternyata aku hanya menjadi penghalang, malah guruku tewas di tangan mereka.
"Tidak, Bi Li. Mati hidup berada di tangan Thian. Memang agaknya sudah menjadi suratan nasib Ang jiu-toanio untuk tewas oleh mereka. Akan tetapi kita masih mempunyai banyak harapan untuk mengejar dan mencari mereka. Hayo ke luar dari tempat terkutuk ini.”
Sambil men ggandeng tangan Bi Li, Tiang Bu mengajaknya ke luar. Sesampainya di luar, ia dapat melihat keadaan kekasihnya. Memang tidak apa-apa, hanya agak pucat karena mengalami ancaman maut yang mengerikan tadi. Ia menjadi lega. Akan tetapi sekarang sudah tidak kelihatan lagi bayangan Liok Kong Ji maupun Cui Kong. Namun Tiang Bu tidak putus asa dan ia mengajak Bi Li terus mencari dan memeriksa di sebelah dalam atau di tengah pulau.
********************
Sementara itu, di pantai Palau Pek-houw to juga terjadi hal yang menarik. Serombongan orang gagah dipimpin oleh Wan Sin Hong mendatangi dengan dua buah perahu ke pulau itu. Inilah rombongan yang dilihat oleh kaki tangan Liok Kong Ji dan dilaporkan, membuat Kong Ji menjadi gelisah sekali. Apalagi ketika Kong Ji dan Cui Kong berhasil melepaskan diri dari desakan Tiang Bu dan hendak melarikan diri dengan perahu, mereka melihat dua perahu ini mendatangi, Kong Ji terpaksa kembali lagi ke pulau dan keadaannya seperti terjepit.
Wan Sin Hong kali ini tidak datang sendiri dan tidak mau kepalang usahanya membalas dendam kepada musuh besarnya. Ia maklum akan kelihaian Kong Ji yang dibantu oleh Cui Kong, Cun Gi Tosu, dan banyak lagi orang-orang gagah yang berhasil dibujuk menjadi kaki tangan Liok Kong Ji. Karena tidak berbasil bertemu dengan Tiang Bu yang akan menjadi pembantu kuat baginya, Wan Sin Hong datang membawa beberapa orang tokoh yang berkepandaian cukup tinggi.
Di antara kawan kawannya itu kelihatan muridnya sendiri, Coa Lee Goat dan suaminya, Wan Sun. Juga isterinya tidak ketinggalan, yaitu Hui-eng Niocu Siok Li Hwa yang sudah sembuh dari luka-lukanya ketika bertempur melawan Liok Cui Kong di Pulau Kim-bun-to. Li Hwa mempunyai sakit hati besar sekali terhadap Liok Kong Ji dan kaki tangannya, bukan saja karena anaknya diculik oleh Cun Gi Tosu, juga karena peristiwa di Kim-bun-to, di mana Cui Kong mengamuk dan menyebar maut itu.
Selain keluarga gagah parkasa ini, ikut juga Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, tosu tinggi kurus jenggot panjang itu, dan Pang Soan Tojin ketua Tang-san pai, tosu gemuk berjenggot pendek. Selain dua orang tokoh tua ini, masih ada lagi Huang-ho Sian-jin si datuk bajak dari Sungai Huang ho bersama dua orang puterinya, Ang Lian yang lincah jenaka dan Pek Lian yang cantik pendiam dan berpakaian pria. Juga masih ada dua orang lagi, yaitu H ok Tek Hwesio dari Siauw lim pai dan Ciu Lee Tai, seorang laki-laki muda berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah. Ciu Lee Tai ini seorang yang bersemangat sekali, pengagum Wan-bengcu dan biarpun ia agak bodoh, namun ia jujur dan berkepandaian lumayan.
Sebetulnya, Wan Sin Hong maklum bahwa tingkat kepandaian Ciu Lee Tai dan Hok Tek Hwesio masih terlampau rendah kalau dibandingkan dengan kelihaian Liok Kong Ji dengan kawan kawannya, akan tet api karena mereka ini orang segolongan dan mereka ikut dengan suka rela, ia pikir lumayan untuk melayani penjaga-penjaga kaki tangan Liok Kong Ji.
Demikianlah, rombongan yang terdiri dari sebelas orang ini mendarat dengan hati-hati dan dengan senjata di tangan. Mereka semua sudah maklum bahwa mereka menghadapi orang-orang jahat yang amat lihai kepandaiannya. Di sepanjang perjalanan. Ciu Lee Tai yang biarpun sudah berusia tiga puluh tahun tapi masih tetap single (membujang) itu, agaknya amat tertarik kepada Ang Lian, dara jelita yang bersikap lincah jenaka dan agak genit itu. Sedemikian jauh, si jaka tua ini selalu "tahan hinaan" dan mencemoohkan setiap orang gadis yang memandang kepadanya dengan kagum melihat ketampanan dan kegagahannya.
Akan tetapi begitu ia bertemu dengan Ang Lian dan melihat senyum dan kerling mata gadis ini, jatuhlah keangkuhannya. Senyum dan kerling itu langsung menembus jantungnya dan membuat dia tergila-gila! Si bujang ini beberapa kali melirik-lirik, mengajak senyum dan pendeknya mempergunakan segala macam siasat untuk memikat si dara jetita, akan tetapi kali ini ia "bertemu batunya.” Semua aksinya tidak digubris oleh Ang Lian, bahkan Ang Lian bersikap jinak-jinak merpati, kadang-kadang nampak mudah didekati akan tetapi kalau orang bersungguh-sungguh ia terbang menjauh Sikap beginilah yang membuat hati sang jaka jatuh bangun.
Tentu saja, sedogol-dogolnya, Ciu Lee Tai tidak berani berterus terang dengan kata kata menyatakan perasaan hatinya, apa lagi ia sering melihat wajah datuk bajak Huang-ho Sian-jin yang keren galak dan matanya melotot. Habislah nyalinya kalau ia melihat bapak dara pujaannya itu. Namun, saking dalamnya asmara menggerogoti jantungnya, si dogol ini sampai menghadap Wan Sin Hong dan dengan muka merengek ia mohon bantuan pendekar ini.
"Wan-bengcu." katanya dengan mukanya yang tampan menjadi merah seperti kepiting dipanggang. Siauwte hendak mengajukan permohonan kepada bengcu dan mengharap ke murahan hati bengcu."
Wan Sin Hong sudah lama kenal pemuda tua ini dan ia memang suka kepada Cui Lee Tai yang jujur dan dogol namun berjiwa ksatria. Bahkan dahulu ia berkenan menurunkan dua tiga macam ilmu pukulan kepada si dogol ini. Mendengar permohonan disertai wajah yang bersungguh-sungguh itu, ia tersenyum.
"Kita berada di tengah perjalanan, di atas laut. Kau hendak minta aku membantumu dalam hal apakah, Lee Tai?" Wan Sin Hong memang memanggil namanya begitu saja, inipun kemauan Lee Tai sendiri yang ingin diaku sebagai anak buah atau murid. Demikian besar kagumnya terhadap Wan Sin Hong.
"Sebetulnya bukan sekarang. Siauwte hanya minta kesediaan bengcu untuk membantuku dalam urusan ini, kelak kalau urusan penyerbuan ke Pulau Pek-houw-to selesai. Apakah bengcu bersedia?”
"Ha, kau ini aneh sekali. Tentu saja aku bersedia membantumu. Akan tetapi, bagaimana kalau dalam penyerbuan yang amat berbahaya ini kau atau aku tewas?”
“Kalau begitu... kalau begitu... tentu saja tidak jadi aku... kawin...”
"Eh kawin...?”
Muka pemuda itu menjadi makin merah. "Begini, bengcu. Sebetulnya siauwte hendak minta tolong agar bengcu suka... suka menjadi... menjadi perantara. Siauwte telah berusia tiga puluh tahun, dahulu ayah ibu minta siauwte menikah akan tetapi siauwte belum sanggup menjalani karena memang belum ada yang cocok. Sekarang ayah ibu sudah tidak ada dan siauwte kerap kali merasa berdosa dan bersedih tak dapat memuaskan hati orang tua. Sekarang siauwte bertemu dengan gadis yang mencocoki hati. Kiranya kalau siauwte bisa menikah dengan dia. arwah ayah-bunda siauwte akan menjadi puas.”
Sin Hong tidak ketawa lagi. Malah ia menjadi amat terharu, teringat akan keadaannya sendiri. Diapun menikah setelah usianya tiga puluhan lebih, dan tentang orang tuanya... juga tidak melihat pernikahannya. Dengan suara sungguh-sungguh ia menjawab.
"Baik. Lee Tai. Tenangkanlah hatimu. Tentu aku suka menjadi wakil orang tuamu untuk mengawinkan kau. Tidak tahu gadis manakah yang kau penujui?”
"Puteri... puteri Huang-ho Sian-jin...”
"Aahhh, dia...? Yang mana?”
“Yang kedua, bengcu. Itu yang namanya Ang Lian yang senyumnya manis kerlingnya tajam...”
Sin Hong tak dapat menahan senyumnya dan ia mengangguk-angguk. “Itu soal mudah. Huang-ho Sian-jin adalah sahabat karibku, kalau aku yang mintakan kiranya tak akan sukar. Hanya aku khawatir anaknya sendiri yang akan rewel. Kalau dia tidak setuju, anak seperti Ang Lian itu tentu akan menolak keras. Bagaimana pendapatmu, apakah dia juga... ada hati kepadamu?”
"Entahlah, bengcu. Akan tetapi dia sering kali tersenyum dan melirik. Akan kuselidiki hal itu. Asal Wan-bengcu sudah bersedia membantu, hatiku sudah lega dan banyak banyak terimakasih." Tanpa dapat dicegah lagi si dogol lalu menjatuhkan diri berlutut dan pai-kui sampai tujuh kali.
“Sudah, sudah, hasilnya masih belum tentu kau sudah jengkang-jengking seperti ayam makan padi.”
Dengan hati gembira dan besar sekali Ciu Lee Tai mengundurkan diri dan semenjak saat itu lebih berani melirik-lirik ke arah Ang Lian. Bahkan pada suatu ketika, ia mendapat kesempatan mendekati Ang Lian di atas perahu dan berbisik. "Nona, kalau kelak urusan ini beres, aku akan mengirim wali mengajukan lamaran kepadamu."
Tentu saja Ang Lian melengak. Selama hidupnya belum pernah ia bertmu dengan orang yang begini terus terang dan tidak kenal malu. Gadis ini dengan lagak mangejek meludah ke dalam laut dan melihat di situ tidak ada orang memperhatikan mereka, berkata perlahan,
“Enak saja kau mengomong. Kau bisa apa sih mau melamarku?"
Lee Tai mengangkat dadanya yang memang bidang dan tegap. "Aku Ciu Lee Tai, di barat terkenal dengan julukan Kang-thouw ciang (Si Kepalan Baja) dan siapa yang tidak tunduk terhadap golokku?" ia menepuk-nepuk golok di pinggangnya, golok besar yang memang amat lihai kalau ia mainkan.
Ang Lian menjebikan bibirnya yang merah membuat hati Lee Tai menjadi gemas terpincut. Biarpun orang ini dogol, namun Ang Lian diam-diam suka juga melihat ketegapan tubuh dan ketampanan wajah Ciu Lee Tai.
"Dengar baik-baik, dogol. Tidak sembarang orang bisa mendapatkan diriku. kecuali kalau ia berkepandaian tinggi." Bicara begini, Ang Lian teringat akan Tiang Bu yang membuat cicinya, Pek Lian, tergila-gila dan teringat selalu. "Begini syaratnya. Kalau kau bisa mengalahkan manusia iblis Liok Kong Ji, aku bersedia menerima lamaranmu. Nah, pergilah.”
Ciu Lee Tai berseri wajahnya. Ingin ia menari-nari kegirangan dan saking girangnya ia sampai lupa diri dan... melompat ke dalam air! Tentu saja semua orang di dalam dua perahu itu menjadi panik melihat tidak karu-keruan sebabnya, si dogol itu melompat ke dalam laut dan berenang ke sana ke mari sambil bernyanyi nyanyi.
"Lee Tai, kau sedang apa-apaan?" tegur Wan Sin Hong terheran-heran.
Baru Lee Tai sadar akan keadaannya yang memang tidak sewajarnya itu, maka cepat -cepat ia memutar otaknya yang puntul untuk mencari jawaban. Akhirnya ia menjawab, "Wan-bengcu. aku merasa kepanasan dan ingin mandi sebentar menyegarkan tubuh." Cui Lee Tai merasa bangga akan jawabannya yang langsung ini, tanda bahwa ia cerdik!
Akan tetapi jawabannya membuat semua orang tertawa sehingga ia menjadi kebingungan. Apa lagi ketika ia melihat Ang Lian cekikikan mentertawakannya, ia makin bingung dan penasaran. "Apa tidak boleh mandi?" tanyanya mendongkol sambil menyambar pinggiran perahu dan merayap naik dengan pakaian basah kuyup.
"Mana ada orang mandi dengan pakaian lengkap? Dan membawa-bawa golok pula, apakah kau hendak menyerang istana Hai-liong-ong di dasar laut?" kata Wan Sun sambil menahan kegelian hatinya.
Cin Lee Tai menunduk, memandang pakaiannya yang basah kuyup. Ia tak dapat menjawab, hanya buru-buru memasuki kamar perahu untuk bertukar pakaian kering. Akan tapi kegembiraannya tidak lenyap, tidak perduli ia ditertawakan orang, hatinya sebesar gunung. Liok Kong Ji? Itu syaratnya? Jangankan harus mengalahkan Liok Kong Ji biar harus melawan seribu orang Liok Kong Ji ia takkan gentar asal hadiahnya Ang Lian. Akan kutabas batang leher Liok Kong Ji dengan golokku, pikirnya. Pikiran hal membuat ia datang lagi menghadap Sin Hong.
"Ada apa lagi, Lee Tai? Harap kau jangan sekali-kali lagi terjun dan mandi di laut, banyak ikan hiu di sini, kalau kau dikeroyok hiu, biar aku sendiri takkan dapat menolong nyawamu."
"Wan-bengcu, apakah Liok Kong Ji itu sudah pasti berada di pulau itu?"
"Tentu saja, memang kita sedang mencari dia. Mengapa?”
"Harap bengcu memberi kesempatan kepadaku untuk menghadapi iblis itu. Siauwte ingin sekali menabas batang lehernya dengan golokku ini, jangan sampai didahului orang lain!”
Wan Sin Hong maklum akan keberanian orang she Ciu ini yang luar biasa, juga maklum akan kedogolannya. Akan tetapi mendengar ini, benar-benar perutnya menjadi sakit karena menahan tawa. Dia sendiri belum tentu dapat menahan Liok Kong Ji, dan si dogol ini bersumbar hendak menebas batang leher Liok Kong Ji! Benar-benar seperti seekor katak hendak membunuh kerbau. Akan tetapi Sin Hong berperasaan halus, tidak mau mengecewakan atau menyinggung perasaan hati orang lain, maka ia mengangguk dan menjawab,
"Baiklah, Lee Tai. Asalkan dapat berlaku hati-hati, dia lihai sekali.”
"Jangan khawatir, bengcu. Golokku biasanya ampuh sekali menghadapi orang jahat."
Ciu Lee Tai menjadi makin gembira. Semenjak saat itu, ia kelihatan berseri dan gembira dan bernyanyi-nyanyi. Memang suaranya merdu, sehingga kegembiraan si dogol ini menghibur orang-orang lain dan membuat orang lain gembira pula. Akan tetapi kecuali Ang Lian, tidak ada orang lain yang dapat menduga mengapa si dogol itu demikian gembira. Hanya Ang Lian yang tahu dan diam diam gadis jenaka ini terharu juga. Ia dapat menjajaki hati Lee Tai dan tahu bahwa pemuda dogol itu sudah membayangkan akan dapat menewaskan Liok Kong Ji dengan mudah.
"Sayang...” Ang Lian berkali-kali menarik napas panjang dan berbisik-bisik kepada diri sendiri. "Sayang ia tidak selihai Tiang Bu...”
Sin Hong membawa rombongannya mendarat di pantai yang datar dan sunyi. Mereka berlompatan ke darat dengan hati-hati sekali. Mereka merasa heoran dan curiga melihat pantai itu tidak terjaga dan sunyi sekali. Sin Hong lalu membagi tugas. Huang-ho Sian jin dan dua orang puterinya diberi tugas menjaga perahu-perahu di pantai agar perahu perahu itu tidak sampai diganggu musuh. Kemudian dengan delapan orang kawan lainnya Sin Hong memasuki hutan di pulau itu menuju ke tengah pulau. Mereka menjadi makin heran melihat beberapa orang penjaga menggeletak, terluka atau tewas. Bahkan mereka menemukan lima orang yang berpakaian berwarna menggeletak menjadi mayat.
"Eh. bukan kah ini Lam-thian-chit-ong,” kata Hok Tek Hwesio yang mengenal tokoh-tokoh selatan ini. "Mana lagi yang dua? Masih ada dua orang yang berpakaian hit am dan putih , kemana mereka dan siapa yang bisa membunuh mereka ini? Mereka terkenal lihai dengan Chit-seng-tin mereka."
Wan Sin Hong juga merasa heran. Ia sudah mendengar bahwa tujuh orang perampok ini menjadi kaki tangan Liok Kong Ji. Kiranya hanya satu orang yang dapat mengalahkan mereka dan orang itu tentu Tiang Bu. Benarkah pemuda itu sudah menyerbu ke sini? Ia mengajak kawan-kawannya maju terus. Di rumah gedung tempat tinggal Liok Kong Ji sunyi sekali. Di sana sini be rgeletakan para penjaga. Sin Hong mendesak seoran g penjaga yang luka tertotok. Ia membebaskan totokannya dan bertanya.
"Siapa yang menyerbu ke sini dan melukai kalian?”
"Hamba tidak tahu. Seorang manusia berkepandaian seperti setan. Pergi datang tidak meninggallan bekas dan tahu-tahu kami roboh...” orang itu menerangkan karena ia memang tidak mengenal Tiang Bu yang merobohkannya.
"Di mana Liok Kong Ji?"
"Tidak tahu, mungkin keluar menghadapi musuh."
Sin Hong tidak mau perdulikan lagi orang itu dan mengajak kawan-kawannya maju terus. Akan tetapi Ciu Lee Tai yang merasa kecewa karena Ang Lian tidak diajak menyerbu dan terpisah dari sampingnya, melampiaskan kemarahannya dengan menendang orang itu yang seketika putus nyawanya.
“Lee Tai, jangan lancang membunuh orang!" tegur Sin Hong.
"Bengcu, orang seperti ini adalah setengah iblis, kalau tidak dibunuh kelak tentu menjadi penjahat pula mengacau rakyat." bantah Lee Tai.
Sin Hong menganggap pendapat ini betul juga sungguh pun hatinya tidak mengijinkan orang berlaku kejam. Memang Sin Hong terkenal sebagai seorang pendekar yang halus budinya, tidak mau membunuh kalau tidak penting dan terpaksa sekali.
Ketika mereka memasuki rumah gedung itu, di dalamnya hanya terdapat para selir dan para pelayan wanita. Mereka ini semua biarpun sudah mempelajari ilmu silat, sekarang tidak berani berkutik dan berlutut minta diampuni jiwanya. Juga dari mereka ini Sin Hong tidak bisa mendapat keterangan di mana adanya Liok Kong Ji, Liok Cui Kong dan Cun Gi Tosu. Akan tetapi, ia mendapat petunjuk di mana adanya pondok Cun Gi Tosu, dan mendengar pula banwa Leng Leng dibawa pergi oleh tosu itu ke pondoknya.
Wan Sin Hong mengajak rombongannya menyusul ke pondok itu! Alangkah kagetnya ketika tiba di depan pondok, ia melihat tosu buntung itu sudah menggeletak tak bernyawa di atas
tanah. "Ada yang mendahulul kita!” Teriaknya dan ia berlari-lari, diikuti oleh isterinya, memasuki pondok Cun Gi Tosu untuk mencari anak mereka, Leng Leng. Akan tetapi di dalam pondok hanya terdapat seorang pelayan wanita yang menangis ketakutan.
"Hayo lekas bilang, di mana adanya Leng-ji?" Li Hwa membentak sambil menempelkan pedangnya di batang leher pelayan itu yang me njadi makin ketakutan.
"Tadi... tadi di sini... hamba yang bertugas mengasuhnya... lalu datang Liok-loya dan Liok-kongcu... nona Leng Leng dibawa pergi...!"
"Ke mana?” tanya Sin Hong yang berobah air mukan ya mendengar bahwa anaknya dibawa Liok Kong Ji.
"Mana hamba tahu? Ampun, hamba tidak bersalah apa-apa...”
Sin Hong tidak perdulikan lagi pelayan itu, bersama isterinya dan yang lain lain ia menggeledah ke dalam, akan tetapi betul saja, tak dapat ia menemukan anaknya di dalam pondok.
“Tentu ia membawa Leng-ji lari ke luar. Hayo cari,” kata Sin Hong dan keluarlah mereka. Sesampainya di luar, Sin Hong lalu membagi rombongannya. Dia sendiri bersama isterinya, Wan Sun dan Coa Lee Goat menuju ke kiri dan dia minta supaya rombongan lain yaitu Bu Kek Siansu, Pang Soan Tojin, Ho Tek Hwesio, dan Ciu Lee Tai mencari di sebelah kanan. Dengan cara begini Sin Hong hendak mengepung dan memotong jalan Liok Kong Ji dan Cui Kong.
********************
Sementara itu, Tiang Bu dan Bi Li juga mencari terus, keluar masuk gua-gua yang banyak terdapat di pesisir batu karang itu. Akan tetapi belum juga mereka dapat menemukan musuh-musuh mereka. Tiang Bu mendapat akal. Ia naik ke sebatang pohon besar dan tinggi, lalu mengintai puncak pohon itu sampai beberapa lama. Usahanya ini berhasil karena tak lama kemudian ia melihat bayangan dua orang yang dikejar-kejarnya itu bersembunyi di antara batu karang yang bentuknya seperti menara-menara kecil. Yang membuat ia terheran adalah ketika melihat Kong Ji memondong seorang anak perempuan kecil.
la cepat melompat turun dan bersama Bi Li lari ke arah tempat itu. Setelah dekat menyelinap di antara batu karang dengan hati-hati. Akhirnya ia muncul di depan Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong yang tentu saja menjadi kaget setengah mati.
"Liok Kong Ji, kau sekarang hendak lari ke manakah?" Tiang Bu mengejek dan siap untuk menyerang.
Liok Kong Ji menjadi bingung. Untuk lari memang mudah, akan tetapi ia tahu bahwa Tiang Bu dapat mengejarnya. Untuk mempergunakan bocah yang dipondongnya juga tidak mungkin karena Tiang Bu mana mau memperdulikan bocah itu? Adanya ia membawa Leng Leng adalah untuk dipergunakan sebagai perisai terhadap Wan Sin Hong. Kalau Wan Sin Hong dan kawan kawannya yang mengurun gnya, dengan mudah ia dapat menyelamatkan diri dengan mengancam nyawa bocah itu.
Cui Kong juga tidak melihat jalan keluar lagi kecuali menyerang mati-matian. Maka ia lalu menggerakkan huncwenya, langsung menyerang Tiang Bu dengan sengit. Liok Kong Ji terpaksa menotok Leng Leng agar anak itu jangan dapat lari, menaruh bocah itu di atas tanah dan iapun membantu Cui Kong. Dengan maju berdua mereka masih dapat bertahan menghadapi amukan Tiang Bu yang luar biasa lihainya itu.
Bi Li tahu diri. Biarpun ia merasa gemas dan benci sekali melihat dua orang musuh besarnya itu, akan tetapi ia cukup maklum bahwa kalau ia melawan atau membantu Tiang Bu, bantuannya itu tidak banyak artinya, bahkan dapat mengacaukan permainan silat Tiang Bu. Maka ia berdiri saja menonton. Ia percaya penuh akan kesaktian kekasihnya, namun tidak urung ia berdebar gelisah juga melihat pedang di tangan Kong Ji menyambar-nyamhar seperti kilat dan huncwe di tangan Cui Kong bergerak ganas diselingi semburan asap hitam yang ia sudah merasai sendiri keganasannya.
Seperti juga tadi, Tiang Bu melayani ayah dan anak itu dengan tenang, namun setiap gerakannya mengandung tenaga dalam sehingga tanpa ia kelit, asap hitam itu sudah buyar sendiri terpukul hawa sinkang yang keluar dari sepasang tangannya. Pertempuran berjalan seru, sengit dan mati-matian.
Ketika mendapat kesempatan baik, huncwo maut di tangan Cui Kong menyambar ke arah kepala Tiang Bu dengan pukulan yang tentu akan meremukkan kepala itu apa bila mengenai sasaran, sedang pedang di tangan Kong Ji menusuk ulu hati, dengan gerakan memutar yang sudah diperhitungkan masak-masak dan amat sukar dielakkan.
Tiang Bu sengaja berlaku lambut sampai Bi Li mengeluarkan jeritan tertahan. Ketika huncwe itu sudah menyentuh rambut kepalanya, tiba-tiba Tiang Bu menggerakkan jari tangannya ke atas, menyentil huncwe itu dari atas sehingea huncwe menyelonong ke bawah dan tepat menangkis pedang Kong Ji yang menusuk ulu hatinya.
"Traangg...!" Sepasang senjata bertemu keras. Api berpijar dan di lain saat pedang di tangan Kong Ji sudah terampas oleh Tiang Bu sedangkan huncwe maut itu sudah terlepas dari tangan Cui Kong!
Tentu saja dalam pertemuan senjata itu, Cui Kong kalah kuat oleh ayah angkatnya dan huncwenya sampai terlempar, sedangkan Tiang Bu mempergunakan kesempatan baik itu untuk merampas pedang Kong Ji. Dapat dibayangkan betapa kaget dan gentarnya Liok Kong Ji dan Cui Kong yang sudah kehilangan senjata. Hampir berbareng mereka menghujankan Hek-tok-ciam ke arah Tiang Bu. Akan tetapi sambil tertawa menyeramkan. Tiang Bu memutar pedang rampasan nya dan se mua jarum runtuh ke bawah, bahkan ada yang membalik dan menyambar dua orang pelepas jarum itu sendiri!
Memang Kong Ji dan Cui Kong orang-orang licik sekali. Dalam keadaan terdesak dan senjata dilucuti dan Tiang Bu yang parkasa malah kini berpedang, mereka masih mampu mempergunakan siasat cerdik. secepat kilat Kong Ji menyambar tubuh Leng Leng di atas tanah dan mempergunakan bocah ini sebagai senjata! Ia memegang kedua kaki Leng Leng dan memutar tubuh itu untuk menghadapi serangan Tiang Bu.
"Tiang Bu, jangan lukai bocah itu...!” Bi Li menjerit. Gadis ini tidak ingin melihat Tiang Bu membunuh bocah yang mungil itu. Akan tetapi, tanpa cegahannya, Tiang Bu sendiri tidak sudi membunuh bocah yang tidak diketahui siapa itu. Hatinya tidak sekejam dan ia terpaksa mengalah mundur, menyelipkan pedang rampasan di pinggang dan maju lagi dengan kedua tangan kosong untuk mencoba merampas bocah itu dari tangan manusia iblis Liok Kong Ji.
Pada saat itu, Cui Kong yang licik juga menyerang lagi dengan Hek-tok ciam, akan tetapi tidak ditujukan kepada Tiang Bu, melainkan ke arah Bi Li! Namun, kalau hanya diserang senjata rahasia saja, kepandaian Bi Li cukup tinggi untuk menghindarkan dengan elakan manis dan kebutan tangan kanannya ia dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi Cui Kong telah dapat melompat jauh meninggalkan tempat itu Kong Ji menyusul. Ketika Tiang Bu hendak mengejarnya, ia membentak,
"Terimalah popwe (jimat) ini!” Sambil membentak begitu, tubuh Leng Leng ia lontarkan sekuat tenaga ke arah Tiang Bu! Sungguh kejam manusia ini, untuk menyelamatkan diri ia tak segan-segan untuk membunuh siapapun juga.
Tiang Bi kaget sekali. Kalau tubuh bocah itu tidak ia terima, tentu bocah itu akan mati terbanting pada batu-batu karang. Ia lalu bersiap dan dengan kedua tangannya ia menangkap tubuh bocah itu di udara. Ternyata Leng Leng sudah lemas dan pingsan. Ketika diputar-putar tadi saja Leng Leng sudah merasa pening dan sukar bernapas, membuatnya pingsan.
Tiang Bu menyerahkan bocah ini kepada Bi Li dan ia hendak mengejar, akan tetapi dua orang musuhnya sudah lenyap, tidak ketahuan ke mana perginya. Ia membanting-banting kaki. Lagi-lagi dua orang musuh itu terlepas dari tangannya berkat kelicikan mereka.
"Aku harus dapatkan mereka, aku harus basmi mereka!” gerutunya.
Bersama Bi Li ia mencari terus, akan tetapi sementara itu siang telah berganti senja dan udara mulai gelap. Leng Leng siuman dari pingsannya dan menangis.
"Diam, nak, diam... siapa namamu?” tanya Bi Li menimang-nimang bocah itu.
"Leng Leng... mana Sam-ma?" tanya anak itu menanyakan inang pengasuhnya.
Bi Li merasa sayang kepada bocah yang mungil ini, sambil mengelus kepalanya ia bertanya tentang ayah ibu bocah itu, akan tetapi Leng Leng yang baru saja mengalami banyak penderitaan semenjak "bibi Ceng Ceng” terbunuh, tak dapat banyak memberi keterangan. Ia hanya menangis dan berkali-kali berkata,
“Paman Kong Ji jahat sekali.... jahat sekali...“
Akhirnya setelah dihibur dan dibuai oleh Bi Li, ia tertidur dalam pang kuan Bi Li. “Heran, bocah ini siapakah dan anak siapakah. Kecil-kecil ia sudah tahu bahwa Kong Ji jahat...” kata Bi Li kepada Tiang Bu.
Akan tetapi Tiang Bu memberi isyarat supaya jangan berisik sambil menuding ke depan. Ketika Bi Li memperhatikan, benar saja dari arah itu terdengar suara orang bicara, makin lama makin keras, tanda bah wa dua orang yang bicara itu sedang berjalan mendekati tempat mereka.
“Dengan bocah itu di tanganmu, kau tak dapat menjaga diri dengan sempurna, lebih baik kau menanti di balik batu karang.” Tiang Bu berbicara kepada kekasihnya.
Bi Li mengangguk. Memang, kalau fihak musuh muncul dan terjadi pertempuran. tentu saja dengan adanya bocah itu ia takkan dapat melakukan pembelaan dari dengan baik, apa lagi kalau harus melindungi Leng Leng. Tanpa banyak membantah ia lalu pergi membawa Leng Leng yang sedang tidur itu, menyelinap di balik batu karang. bersembunyi sambil mengintai ke arah Tiang Bu.
Keadaan sudah mulai remang-remang, Tiang Bu tidak mengenal muka dua orang yang datang memasuki hutan itu, hanya tahu bahwa dua orang itu adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Ia mengira bahwa mereka ini tentulah kawan-kawan Liok Kong Ji maka tiba-tiba ia melompat ke luar dan membentak,
"Kalian siapa dan di mana Liok Kong Ji?” Ia sudah siap untuk menyerang tokoh dua orang itu.
Dua orang itu kaget bukan kepalang, akan tetapi pemuda itu segera berseru girang. “Tiang Bu...“
Gadis itupun berseru kaget dengan sikap jenaka. “Ya Dewa Maha Agung! Kiranya saudara Tiang Bu ini...?? Ah, bertahun-tahun enci Pek Lian merindukan dan menanti-nanti, tidak tahunya dapat bertemu di tempat seperti ini. Kalau ini bukan jodoh namanya, entah disebut apa!”
"Ang Lian, jangan main-main!" pemuda itu membentak si gadis baju merah yang jenaka...
Selanjutnya,
TANGAN GLEDEK JILID 50
TANGAN GLEDEK JILID 50